Anda di halaman 1dari 12

Menjaga Konsistensi Aturan Konstitusi: Peran dan Fungsi Mahkamah Konstitusi

M. Akil Mochtar**

PENDAHULUAN Ide konstitusionalisme (constitutionalism) adalah gagasan bahwa negara (government) bisa dan harus dibatasi kekuasaannya dengan menetapkan kerangka aturan main dalam suatu bentuk peraturan yang memiliki kasta paling tinggi. Konstitusi atau Undang-Undang Dasar didaulat menjadi aturan tertinggi dalam suatu negara (the supreme law of the land). Konstitusi menjadi dasar acuan utama yang membatasi kekuasaan lembaga-lembaga negara dengan menetapkan kewenangan dan tugas dari tiap-tiap lembaga negara serta mengatur tentang hubungan tata kerja antar lembaga negara tersebut. Dalam konstruksi klasik pembagian kewenangan lembaga negara, maka yang biasa mengemuka adalah teori Trias Politica. Teori yang dicetuskan oleh Montesquieu ini menjadi acuan, atau paling tidak sebagai pembanding, atas penerapan pembagian kekuasaan dan hubungan lembaga negara dalam praktek kenegaraaan di berbagai negara, meskipun sekarang banyak variasi yang muncul dari teori klasik ini. Namun, ide konstitusionalisme tidak lantas diasosiasikan dengan Montesquieu sebagai pencetus awalnya. Tidak ada literatur yang menyebutkan dengan pasti siapa pencetus awal gagasan konstitusionalisme ini. Namun, banyak kalangan menyebut John Locke dan founding fathers Amerika Serikat sebagai mereka yang menggagas dan menerapkan ide konstitusionalisme ini.1 Lalu, apa kaitannya konstitusionalisme dengan Mahkamah Konstitusi (MK) dan konsistensi konstitusional? Tulisan ini akan memaparkan keterkaitan antara 3 (tiga) konsep tersebut dengan memaparkan mengenai konstitusi Indonesia (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya UUD 1945) dan fungsi MK sebagai penafsir dan penjaga konstitusi melalui pelaksanaan kewenangan dan kewajibannya.

KONSTITUSI, KONSTITUSIONALISME DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Makalah disampaikan pada Program Pendidikan Reguler Angkatan XLVI, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Republik Indonesia, Jakarta, 19 Agustus 2011.
**
1

Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

lihat Stanford Encyclopedia of Philosophy, Constitutionalism, http://plato.stanford.edu/entries/constitutionalism/#BM5, diunduh pada tanggal 10 Agustus 2011. Lihat juga Douglas H. Ginsburg, On Constitutionalism, Cato Supreme Court Review, http://www.cato.org/pubs/scr/2003/constitutional.pdf, diunduh pada tanggal 10 Agustus 2011.

Sejatinya, dalam surat permohonan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) mengajukan topik diskusi dengan judul Konsistensi Konstitusional untuk Menegakkan Supremasi Hukum dalam Rangka Ketahanan Nasional.2 Berangkat dari frasa konsistensi konstitusional, tertangkap sebuah konsep besar yang selaras dengan gagasan konstitusionalisme, sebagaimana telah dibahas sedikit dalam pendahuluan. Secara implisit, maksud dari frase konsistensi konstitusional yang diajukan oleh Lemhannas ini adalah bahwa peraturan perundang-undangan dan praktek ketatanegaraan haruslah selaras dengan aturan-aturan konstitusi. Setiap lembaga negara, terutama pemerintah, harus dibatasi kekuasaannya dengan menetapkan tugas dan kewenangannya dalam koridor konstitusional. UUD menjadi cermin yang merefleksikan bagaimana susunan dan kedudukan lembaga-lembaga negara itu ditata serta bagaimana ketentuan-ketentuan pada peraturan perundang-undangan taat asas dengan UUD. Konstitusi Indonesia memiliki keunikan tersendiri. Keunikan itu lahir dari uniknya Indonesia yang memiliki karakter Pancasila sebagai jati diri dan cara pandang terhadap bangsa. Konstitusi memegang peranan yang lebih bersifat ideologis dengan mengekspresikan nilai-nilai dan jati diri kebangsaan suatu bangsa, secara tersurat maupun tersirat. Bagi Indonesia, nilai-nilai bersama dan jati diri khusus dari bangsa Indonesia adalah Pancasila. Soekarno mendeskripsikan Pancasila sebagai satu Weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat pemersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke hanyalah dapat bersatu padu diatas daras Pancasila itu. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri, mempunyai karakter sendiri. Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mempunyai kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya, dan lain sebagainya. (Soekarno, 1958) Perumusan nilai-nilai Pancasila sehingga menjadi ideologi bangsa digali dari pribadi dan jati diri bangsa. Nilai-nilai Pancasila terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dan menjiwai seluruh norma yang terdapat dalam batang tubuh konstitusi. Pancasila adalah roh dari konstitusi dan segala peraturan perundangundangan yang berlaku. UUD 1945, yang didalamnya terkandung nilai-nilai Pancasila, memiliki gagasan konstitusionalisme yang sangat kuat terbaca dalam tiap-tiap pasalnya. Yang paling utama adalah pernyataan eksplisit pada pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Selain itu, Pasal 1 ayat (3) menegaskan ketentuan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebelum Perubahan UUD, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
2

Surat Permohonan sebagai Penceramah PPRA XLVI Lemhannas RI Kepada Ketua Mahkamah Konstitusi tertanggal 21 Juli 2011. Permohonan topik yang diajukan adalah Konsistensi Konstitusional untuk Menegakkan Supremasi Hukum dalam Rangka Ketahanan Nasional.

Permusyawaratan Rakyat. Ketentuan konstitusional ini memberi mandat penuh kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk melaksanakan kedaulatan rakyat secara penuh. Dengan demikian, MPR menjelma menjadi super parliamentary body yang menentukan arah kebijakan dan haluan negara. MPR juga diberikan kewenangan untuk menetapkan garis-garis besar haluan negara (GBHN) yang berisikan program kerja pemerintahan dan lembaga negara selama 5 (lima) tahun atau satu periode kekuasaan pemerintah.3 Secara tidak langsung, MPR dikala itu dapat dikatakan sebagai lembaga yang paling berwenang untuk menafsirkan UUD melalui penetapan GBHN dan ketetapan-ketetapan MPR lainnya. Performa lembaga-lembaga negara diukur dari tingkat efektifitas lembaga tersebut menjalankan GBHN. Bahkan, Penjelasan UUD mengatur secara khusus hubungan antara MPR dengan Presiden dengan menyebutkan bahwa Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis.4 Perubahan UUD 1945 membawa dampak signifikan bagi rancang-bangun sistem ketatanegaraan Indonesia. Gagasan konstitusionalisme makin kuat terpolakan dalam Perubahan UUD dengan pembatasan kekuasaan pemerintah dan pengaturan pola hubungan antar lembaga negara. Keberadaan model lembaga tertinggi negara tidak lagi dianut sehingga kewenangan MPR terpangkas. Model hubungan kelembagaan yang bersifat horizontal fungsional adalah yang dipilih dengan adanya perubahan UUD 1945. Dengan demikian, mekanisme saling mengawasi dan dalam kedudukan yang setimbang (checks and balances mechanism) lebih ditekankan dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan. Masing-masing lembaga negara diberi mandat konstitusional akan tugas dan kewenangannya. Mekanisme saling keterhubungan antar lembaga negara untuk menjalankan mekanisme pengawasan pun diatur lebih rigid. Misalnya, keterhubungan antara DPR dan Presiden dalam pola penyusunan Undang-undang telah diatur sedemikian rupa dalam mekanisme konstitusional yang tercantum dalam pasal-pasal UUD.5 Lembaga-lembaga negara baru (yaitu: Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Daerah, dan Komisi Yudisial), sebagai imbas dari adanya Perubahan UUD 1945, dibentuk. Keberadaan lembaga-lembaga negara ini adalah untuk mengakomodir penerapan pola sistem ketatanegaraan yang baru. Pembentukan Mahkamah Konstitusi, sendiri, pada awalnya berangkat dari semangat para anggota MPR untuk menyusun proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya (impeachment/pemakzulan) agar melalui forum hukum terlebih dahulu dan tidak hanya dihakimi dalam forum politik, layaknya yang terjadi pada proses pemakzulan sebelum Perubahan UUD 1945 (contoh kasus: pemberhentian Presiden Abdurahman Wahid). Pasal 24C ayat
3

Pasal 3 UUD 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-garis besar daripada haluan negara
4

Indonesia, Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, Bagian tentang Sistem Pemerintahan Negara bahagian III. Kekuasaan Negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Die Gezamte Staatgewalt liegi allein bei der Majelis)
5

Lihat Pasal 5 ayat (1), Pasal 7C, Pasal 11, Pasal 20 ayat (2) sampai (5), dan Pasal 22 UUD 1945.

(2) UUD 1945 mengatur bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Selain menjadi lembaga yang menghakimi pendapat DPR atas pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden, MK juga diberikan kewenangan lainnya yaitu : (i) menguji UndangUndang terhadap UUD; (ii) memutus sengketa kewenangan lembaga negara; (iii) memutus pembubaran partai politik; dan (iv) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Kewenangan dan kewajiban konstitusional MK tersebut adalah untuk menjaga agar kehidupan ketatanegaraan tidak menyimpang dari norma-norma konstitusi. Berikut ini akan diuraikan satu persatu kewenangan dan kewajiban konstitusional dikaitkan dengan maksud dari pelaksanaan kewenangan dan kewajiban tersebut dengan peranan MK sebagai penjaga Konstitusi (the Guardian of the Constitution). a. Pengujian UU terhadap UUD Pengujian undang-undang dimaksudkan untuk menjaga agar undang-undang yang dibuat oleh parlemen dan pelaksanaannya oleh pemerintah tidak menyimpang dari nilai-nilai konstitusional dan melanggar hak-hak konstitusional warga negara. Dalam sistem pemerintahan demokrasi, lembaga legislatif berfungsi sebagai lembaga perwakilan rakyat. Namun, layaknya sebuah sistem demokrasi, lembaga legislatif tidak mutlak mencerminkan kehendak rakyat secara keseluruhan. Suara mayoritas sangat dominan dalam proses pengambilan keputusan di lembaga legislatif sehingga tidak jarang bila suara mayoritas dapat merugikan hak-hak konstitusional warga negara, terutama dari kelompok minoritas. Dengan adanya pengujian Undang-undang terhadap UUD maka dimungkinkan adanya mekanisme untuk menjaga agar nilai-nilai konstitusional tidak terlanggar oleh adanya aturan undang-undang yang dihasilkan dengan keputusan suara mayoritas. Dimandatkannya kewenangan untuk menguji UU terhadap UUD dimaksudkan bahwa MK berperan sebagai penyeimbang bilamana suara mayoritas dalam parlemen mencerminkan dominasi kepentingan dalam pengambilan keputusan pembentukan UU. Kelompok-kelompok minoritas yang aspirasinya tidak tertampung dalam pembentukan UU, kemungkinan akan diperparah dengan terpinggirkannya kelompok minoritas tersebut dengan berlakunya UU. Oleh karenanya, kelompok minoritas itu menderita kerugian konstitusional. UU MK (UU nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi) menyebutkan pihakpihak yang berhak menjadi pemohon dalam perkara pengujian UU terhadap UUD mencerminkan keterwakilan golongan minoritas.6

Pasal 51 ayat (1) mengatur bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara.

Tentunya, terdapat perdebatan panjang mengenai bagaimana suara 9 (sembilan) orang hakim konstitusi dapat membatalkan ketentuan yang telah disepakati bersama oleh Presiden dan DPR serta telah melalui proses persetujuan oleh sidang pleno DPR yang beranggotakan kurang lebih 500 orang. Perdebatan ini setidaknya berkutat tentang prinsip mana yang lebih dianut dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yaitu antara prinsip nomokrasi (kedaulatan nilai) yang diwakili oleh MK dengan prinsip demokrasi (kedaulatan rakyat) yang diwakili oleh parlemen. MK dalam putusan nomor 41/PHPU.D-VI/2008 tentang Permohonan Keberatan atas Keputusan KPU Provinsi Jawa Timur Nomor 30 Tahun 2008 tanggal 11 November tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2008 berpendapat : asas kedaulatan rakyat (demokrasi) selalu dikaitkan dengan asas negara hukum (nomokrasi) sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebagai konsekuensi logisnya, demokrasi tidak dapat dilakukan berdasarkan pergulatan kekuatan-kekuatan politik an sich, tetapi juga harus dapat dilaksanakan sesuai dengan aturan hukum. Oleh sebab itu, setiap keputusan yang diperoleh secara demokratis (kehendak suara terbanyak) semata-mata, dapat dibatalkan oleh pengadilan jika di dalamnya terdapat pelanggaran terhadap nomokrasi (prinsip-prinsip hukum) yang bisa dibuktikan secara sah di pengadilan. Prinsip lembaga peradilan yang bersifat pasif harus tetap dijunjung oleh MK. Para pencari keadilan-lah yang pro-aktif memohon kepada MK untuk mengadili suatu ketentuan UU yang dianggap telah melanggar hak konstitusional pencari keadilan itu. Dan karena sifat UU adalah erga omnes (berlaku untuk semua) maka pembatalan atas suatu ketentuan UU oleh MK, meski diajukan oleh golongan minoritas bahkan perorangan, juga bersifat erga omnes. Sebagai contoh adalah putusan MK mengenai pembatalan ketentuan persyaratan yang melarang mantan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk mencalonkan diri menjadi anggota DPR, DPD dan DPRD.7 Perkara ini diajukan oleh perorangan warga negara yang kesemuanya berjumlah 28 orang. Meskipun MK berpendapat bahwa hanya 13 dari 28 orang pemohon yang memenuhi kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan perkara ini, namun putusan MK yang bersifat erga omnes tidak hanya mengikat 13 orang pemohon yang memenuhi legal standing. Putusan MK yang membatalkan ketentuan UU mengenai pelarangan mantan anggota PKI untuk menjadi anggota DPR, DPD dan DPRD berlaku untuk semua orang dan mengikat sejak putusan tersebut dibacakan dalam sidang terbuka. Secara teoritis, tiap putusan lembaga peradilan harus dihormati dan dijalankan. Meskipun putusan tersebut tidak terlepas dari wacana kontroversi dan perdebatan ditengah masyarakat namun kondisi ini haruslah dianggap sebagai bagian dari dinamika masyarakat dan bejana ukur untuk melihat tingkat kesadaran hukum masyarakat.
7

Putusan perkara nomor 011-017/PUU-I/2003 diputus tanggal 24 Februari 2004, Dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004, Terbit hari Selasa tanggal 2 Maret 2004. Putusan ini membatalkan keberlakuan pasal 60 huruf g UU nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.

Perkara pengujian UU menjadi perkara yang paling banyak diterima oleh MK. Menurut data dari perkembangan perkara pengujian UU, secara keseluruhan telah diterima sebanyak 370 perkara. Dari keseluruhan penerimaan perkara tersebut, MK telah memutus sebanyak 321 perkara dan mengabulkan 85 diantaranya. (lihat tabel 1)
tabel 1. Rekapitulasi Perkara s.d 05 Juli 2011

Pengujian

Undang-Undang

Terhadap

UUD,

Tahun

2003

No. Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Terima Jumlah 24 27 25 27 30 36 78 81 42 370 24 47 37 36 37 46 90 120 101 -

Putus 0 11 10 8 4 10 15 18 9 85 0 9 14 8 11 12 17 22 13 106 3 11 4 11 7 7 12 16 23 94

Ketetapan 1 4 0 2 5 5 7 5 7 36

Kabul Tolak Tidak Diterima Tarik Kembali

Jumlah Putusan 4 35 28 29 27 34 51 61 52 321

Jumlah

b. Memutus Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara Salah satu dampak dari perubahan konstitusi adalah dihapuskannya konsep lembaga tertinggi negara. MPR difungsikan sebagai lembaga negara setara dengan lembaga-lembaga negara lain yang disebut dalam konstitusi. Imbas dari tidak adanya lagi lembaga tertinggi negara adalah kebutuhan untuk mengatur mekanisme bilamana ada sengketa kewenangan antar lembaga negara. Fungsi konstitusi adalah memandatkan tugas dan kewenangan kepada lebagalembaga negara secara seimbang serta menciptakan mekanisme kontrol antar lembaga-lembaga tersebut. Paling tidak, itulah ide dasar dari konstitusionalisme yaitu menciptakan aturan main dalam pelaksanaan sistem ketatanegaraan yang tertuang dalam konstitusi. Aturan konstitusional tersebut mendiskripsikan kewenangan dari masing-masing lembaga dengan tujuan untuk membatasi kemungkinan penggunaan kewenangan dan kekuasaan secara semena-mena. Dalam kutipan klasik yang telah menjadi demikian populer dari Lord Acton secara tepat mengatakan bahwa power tends to corrupt. Maka, untuk meminimalisir penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan, aturan main ketatanegaraan dalam pengaturan konstitusional dibuat segamblang mungkin. Namun demikian, tidak dipungkiri bahwa masih ada lubang untuk kemungkinan bahwa akan ada tumpang tindih atau perebutan kewenangan antar lembaga negara. Hal ini, dimungkinkan karena adanya interpretasi berbeda dalam menafsirkan kewenangan konstitusional oleh masing-masing lembaga negara. Bila 6

masing-masing lembaga berhak untuk menafsirkan ketentuan konstitusional akan tugas dan kewenangannya maka yang terjadi adalah adanya kemungkinan untuk berkelindannya tugas antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lain. Saling tarik menarik kewenangan akan menciptakan sistem ketatanegaraan tidak berjalan dengan lancar. Contohnya adalah tarik menarik kewenangan antara DPD yang tidak dilibatkan dalam pemberhentian dan pengangkatan anggota Badan Pemeriksa Keuangan oleh DPR ditahun 2004.8 Oleh sebab itu, diberikannya kewenangan untuk memutus sengketa antar lembaga negara kepada Mahkamah Konstitusi adalah untuk melerai perselisihan yang terjadi. Sifat kelembagaan MK sebagai lembaga peradilan untuk memutus sengketa adalah tepat, karena lembaga peradilan haruslah menjunjung tinggi prinsip independensi dan netralitas. Selain itu, proses penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara juga merupakan bagian dari proses penafsiran konstitusi atas mandat kewenangan konstitusional yang diberikan pada tiap-tiap lembaga negara. Secara tidak langsung, dalam memutus sengketa kewenangan lembaga negara, MK akan mendalami dan menafsirkan ketentuan konstitusional yang menjadi focal point dari perselisihan antar lembaga negara tersebut. Dengan demikian, perselisihan antar lembaga karena adanya beda tafsir dari masingmasing lembaga diselesaikan oleh MK dengan memberikan tafsir resmi atas ketentuan konstitusional untuk melerai sengketa. Hal ini sejalan dengan peranan MK untuk menjaga nilai-nilai konstitusi. Dalam rangka penanganan perkara sengketa kewenangan lembaga negara, hingga kini MK telah menerima 15 perkara. Dari keseluruhan perkara tersebut, MK telah memutus sebanyak 13 perkara dan tidak ada satu putusan dari MK yang mengabulkan permohonan pemohon. (lihat tabel 2)
tabel 2. Rekapitulasi Perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, Tahun 2003 S.D 05 Juli 2011 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Terima 0 1 1 4 2 3 0 1 3 15 Putus Kabul Tolak 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 2 Tidak Diterima 0 0 0 2 1 2 1 0 2 8 Tarik Kembali 0 0 0 1 0 2 0 0 0 3 Jumlah Putusan 0 1 0 3 2 4 1 0 2 13

No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Lihat putusan MK nomor 068/SKLN-II/2004 diputus tanggal 12 November 2004. Sebagai catatan, Presiden, juga merupakan termohon dalam perkara ini. Karena Presiden telah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 185/M Tahun 2004 tentang Pemberhentian Anggota Badan Pemeriksa Keuangan Periode 1999-2004 dan Pengangkatan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan Periode 2004-2009 yang menjadi obyek sengketa dalam perkara ini.

c. Memutus pembubaran partai politik Partai politik digadang sebagai wahana kontemporer yang paling pas untuk menunjang sistem demokrasi. Namun disisi lain, negara pun harus mengatur kebebasan berserikat dan mengungkapkan pendapat sebagai hak konstitusional partai politik. Ukuran yang diterapkan negara untuk mengatur hak dan kebebasan partai politik haruslah dalam porsi yang tepat, sehingga aturan tersebut tidak untuk menekan atau tidak pula terlalu longgar. Aturan itu harus dibuat dalam ukuran porsi konstitusional sesuai dengan bejana ketentuan Konstitusi. Disinilah peran MK untuk mencari keseimbangan antara hak konstitusional partai politik untuk mengekspresikan kebebasan berserikat dan berkumpul dengan kebijakan negara untuk mengatur sistem kepartaian dan mencari format demokrasi yang baik bagi jalannya roda pemerintahan. Dengan berkembangnya ide konstitusionalisme, konstitusi menjadi sumber utama untuk melihat bagaimana pola rancang-bangun partai politik itu disusun dalam norma-norma konstitusi. Namun, merancang bangun atau mengatur partai politik bukanlah hal yang mudah sebab karakter dasar unik yang dimiliki oleh partai politik. Pencantuman kata partai politik atau bahkan pengaturan partai politik secara eksplisit, di konstitusi beberapa negara, telah mengukuhkan pengakuan konstitusional akan peranan dan kedudukan partai politik pada sistem ketatanegaraan. Kedudukan partai politik yang pengaturannya -atau paling tidak hanya peranannya- disebut dalam konstitusi serta peranan idealnya dalam sistem demokrasi menegaskan bahwa partai politik memiliki kedudukan konstitusional yang tinggi dalam sistem ketatanegaraan. Disisi lain, dengan adanya MK sebagai lembaga yang berwenang memutus pembubaran partai politik maka pemerintah tidak dapat secara sepihak atau sewenang-wenang membubarkan partai politik yang merupakan pengejawantahan dari kebebasan berekspresi untuk berserikat dan berkumpul dari setiap warga negara. Namun, hak prerogatif tetap dimiliki oleh pemerintah sebagai satusatunya pihak yang berhak berlaku sebagai pemohon. Dalam pengajuan permohonan pembubaran partai politik, pemerintah harus menyebutkan secara jelas dalam permohonannya bahwa ideologi, tujuan, asas, program atau kegiatan yang dilakukan oleh partai politik telah melanggar nilai-nilai konstitusi. Bayangkan, bila kran pihak yang berhak menjadi pemohon dibuka sebesar-besarnya maka internal kader partai yang berseteru dapat saja mengajukan pembubaran partai politik ke MK atau juga lawan politik dari partai politik yang saling bersitegang. d. Memutus perselisihan hasil pemilihan umum Mahkamah Konstitusi selain sebagai penjaga konstitusi juga adalah pengawal demokrasi. Kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum yang dimandatkan konstitusi mencerminkan bahwa MK adalah pengawal demokrasi. Ketidakpuasan para peserta pemilu atas penghitungan hasil suara yang diputuskan oleh Komisi Pemilihan Umum dapat disalurkan melalui Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya, prosedur mekanisme penyelesaian perselisihan hasil 8

pemilu ini tidak dikenal dalam sistem pemilu Indonesia. Perubahan konstitusi kemudian mengakomodasi mekanisme banding atas kesalahan penghitungan hasil suara pemilu dengan membebankan kewenangan tersebut diatas pundak Mahkamah Konstitusi. Pemilihan umum di Indonesia yang diselenggarakan rutin, setiap 5 (lima) tahun sekali, adalah untuk memilih anggota legislatif dan Presiden. Yang disebutkan dengan anggota legislatif adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik di Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Pemilihan anggota legislatif ini dilakukan secara serentak. Peserta pemilu adalah partai politik (untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD) dan perseorangan (untuk pemilihan anggota DPD). Namun, MK tidak hanya berkutat dalam urusan mengadili sengketa hasil pemilu legislatif dan Presiden. MK juga mengadili sengketa hasil pemilu kepala daerah (pemilukada). Dalam putusan MK nomor 41/PHPU.D-VI/2008 tentang Permohonan Keberatan atas Keputusan KPU Provinsi Jawa Timur Nomor 30 Tahun 2008 tanggal 11 November tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2008, diungkapkan bahwa : Mahkamah berwenang juga untuk mengawal tegaknya demokrasi seperti yang diatur di dalam konstitusi yang dalam rangka mengawal tegaknya demokrasi itu harus juga menilai dan memberi keadilan bagi pelanggaranpelanggaran yang terjadi di dalam pelaksanaan demokrasi, termasuk penyelenggaraan Pemilukada Sejak ditetapkannya Undang- undang (UU) Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perselisihan hasil pemilukada yang semula menjadi wewenang Mahkamah Agung (MA) dialihkan ke MK paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak UU tersebut ditetapkan. Untuk melaksanakan pasal 236C UU tersebut, Ketua MA dan Ketua MK menandatangani Berita Acara Pengalihan Wewenang Mengadili, pada 29 Oktober 2008. Dengan demikian, kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilukada baru berjalan efektif sejak pelimpahan kewenangan dari MA tersebut. Sejak tahun 2008, penyelesaian perselisihan hasil pemilukada telah banyak menyita perhatian dan konsentrasi dari MK. Hal ini disebabkan oleh sempitnya waktu yang dibatasi oleh UU untuk penyelesaian perselisihan hasil pemilu oleh MK, yaitu selama 14 hari kerja. Secara keseluruhan, ada 337 perkara penyelesaian sengketa hasil pemilukada yang diterima MK sejak tahun 2008 hingga saat ini (lihat tabel 3). Setiap perkara tersebut adalah untuk wilayah provinsi, Kabupaten atau kota yang berbeda-beda. Bila menurut data dari Departemen Dalam Negeri tahun 2010, jumlah Provinsi, Kabupaten dan Kota di Indonesia ada 535, yang terdiri 33 Propinsi dan 532 gabungan Kabupaten dan Kota, maka dapat diasumsikan bahwa selama tiga tahun terakhir penyelenggaraan pemilukada di Indonesia, sekitar 60% dari penyelenggaraan pemilukada, para peserta pemilu merasa tidak puas dengan hasil penghitungan suara. Namun, bila mencermati putusan MK atas perkara sengketa hasil pemilukada, hanya 36 dari 337 perkara dimana MK mengabulkan permohonan pemohon. Ini berarti hanya kurang dari 5% 9

dari keseluruhan perkara sengketa pemilukada yang hasil akhir penghitungan pemilukada oleh KPUD dianulir oleh MK.
tabel 3. Rekapitulasi Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Pemilihan Kepala Daerah, Tahun 2003 s.d 05 Juli 2011 No. 1 2 3 4 Tahun 2008 2009 2010 2011 Terima 27 3 230 77 337 Putus Kabul 3 1 26 6 36 Tolak 12 10 149 53 224 Tidak Diterima 3 1 45 18 67 Putus Tarik Kembali 0 0 4 0 4 Jumlah Putusan 18 12 224 77 331

e. Memutus pendapat DPR atas pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden Sebelum Perubahan UUD, mekanisme pertanggungjawaban Presiden dan Wakil Presiden adalah kepada MPR. Dalam model ketatanegaraan lama, dikonstruksikan bahwa Presiden adalah mandataris MPR. Presiden harus menjalankan garis-garis besar program pembangunan yang disusun oleh MPR sebagaimana dituangkan dalam GBHN. Bila presiden melanggar GBHN dan ketetapan-ketetapan MPR lain maka Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan. Kini, telah berlaku model mekanisme ketatanegaraan baru dalam hal pertanggungjawaban Presiden dan/atau Wakil Presiden. Perubahan UUD 1945 menetapkan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dipilih secara langsung melalui pemilihan umum. Hal ini membawa konsekuensi bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden bertanggung jawab langsung kepada rakyat. DPR diberikan peranan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Dalam mejalankan fungsinya untuk mengawasi pemerintah, DPR memiliki kewenangan untuk mengajukan pendapat untuk pemberhentian Presiden. Alasan-alasan untuk pemberhentian Presiden ditetapkan secara jelas dalam konstitusi. Pasal 7A UUD 1945 menyebutkan apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pendapat DPR tersebut diajukan kepada MPR dengan sebelumnya diuji terlebih dahulu melalui forum hukum.9 MK menjadi forum hukum yang dipilih untuk menguji pendapat DPR tersebut. Pendapat DPR yang diajukan beserta bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Aturan konstitusional menjadi standar acuan bagi MK untuk memutus keabsahan pendapat tersebut apakah terbukti secara hukum atau tidak. Dalam konteks ini,
9

Lihat Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden

10

maka MK juga akan melakukan penafsiran konstitusional atas hal-hal yang menjadi alasan atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh DPR. Tidak dipungkiri bahwa ada variabel-variabel yang menjadi ukuran konstitusional alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden itu amatlah longgar sehingga membutuhkan proses penafsiran. Contohnya, tidak disebut secara jelas dalam aturan konstitusional mengenai batasan yang dimaksud dengan perbuatan tercela. Bila DPR mengusulkan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan alasan telah melakukan perbuatan tercela maka MK harus memberi tafsir konstitusional atas definisi perbuatan tercela tersebut dan mengukur bukti-bukti yang diajukan oleh DPR apakah memenuhi ukuran konstitusional bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan perbuatan tercela. Dengan demikian, aturan konstitusional dapat dijalankan secara konsisten dengan menciptakan mekanisme dan sistem yang diperuntukkan sebagai penjaga konstitusi. MK adalah lembaga yang dimandakan untuk melakukan peranan sebagai penjaga, namun tidak berarti bahwa MK menjadi lembaga yang superior. Dalam konteks kedudukan lembaga negara, sistem ketatanegaraan Indonesia dirancang agar lembaga-lembaga negara memiliki posisi yang setara. Tidak ada lembaga negara yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibanding lembaga negara konstitusional lainnya. Dalam konteks peranan lembaga negara, masing-masing didesain untuk memainkan peranan yang berbeda dalam kewenangan yang dibatasi oleh konstitusi. MK bisa diibaratkan seperti seorang wasit dalam sebuah pertandingan olahraga. Kedudukan wasit dikonstruksikan setara dengan atlet yang bermain namun memiliki peranan yang berbeda dengan para atlet dilapangan.

SIMPULAN Indonesia memiliki jati diri yang unik. Falsafah Pancasila adalah wahana cara pandang bangsa Indonesia untuk melihat bangsa Indonesia kedalam (antara negara dan rakyat) maupun keluar (dengan negara-negara lain). Rumusan Pancasila yang terdapat pada Pembukaan UUD 1945 menjadi ruh dari batang tubuh UUD 1945. Nilai-nilai Pancasila sebagai pemersatu bangsa dipertahankan dan dijalankan dalam aturan konstitusi. Oleh karenanya, penerapan aturan konstitusi secara konsisten bertujuan untuk menjaga dan menciptakan keutuhan bangsa. Bahaya inkonsistensi penerapan aturan konstitusi bisa mengancam keutuhan bangsa. Bila peraturan perundang-undangan diterapkan tidak selaras dengan nilainilai konstitusi maka kemungkinan akan terjadi chaos dan ketidakpastian hukum. Bila tidak ada institusi yang memutus perselisihan hasil pemilu, kemungkinan munculnya mobokrasi tidak terelakkan. Ketidakpuasan akan hasil pemilu, terlebih bila pemilu itu diwarnai oleh pelanggaran dan kecurangan, dengan mudahnya akan menyulut api perpecahan terutama di masyarakat Indonesia yang belum dewasa dalam berdemokrasi.

11

Konsep konsistensi konstitusional selaras dengan gagasan konstitusionalisme yang dianut UUD 1945. Ide konstitusionalisme melandasi penyusunan sistem dan mekanisme ketatanegaraan yang dikonstruksikan oleh UUD. Tiap-tiap lembaga negara diberikan mandat konstitusional berupa tugas dan kewenangan yang menjadi peran yang harus dilaksanakannya. MK diberikan kewenangan-kewenangan yang menjadikan dirinya sebagai penjaga dan pengawal konstitusi. Kewenangan dan kewajiban MK adalah dilakukan untuk menjaga aturan konstitusi. Penerapan UU harus tetap dalam koridor konstitusi, bila ada UU yang menyimpang dari nilai konstitusional maka MK menjadi lembaga yang meluruskannya; Perselisihan hasil pemilu harus ditegakkan demi terjaganya nilai-nilai demokrasi konstitusional, MK menjadi lembaga yang memastikan bahwa pelanggaran pemilu diselesaikan dan keadilan pemilu ditegakkan; Pembubaran partai politik harus dilakukan sesuai dengan konstitusi agar tidak melanggar hak konstitusional warga negara dalam menerapkan kebebasan berserikat dan berkumpul; Sengketa kewenangan antar lembaga negara harus diselesaikan dalam koridor konstitusional agar tiap-tiap lembaga negara berperan dan berfungsi sebagaimana diatur oleh konstitusi; Dan terakhir, pendapat DPR mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diputus oleh MK berdasarkan acuan dan ukuran konstitusi sehingga hukum dan konstitusi menjadi pegangan utama dan bukan atas dasar pertimbangan politis semata. Kesemuanya itu dijalankan MK sesuai mandat konstitusi dan dilakukan untuk menjaga konsistensi konstitusional.

12

Anda mungkin juga menyukai