Anda di halaman 1dari 13

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, terdiri atas berbagai jenis dan sifat tanah yang berbeda di setiap daerahnya. Dengan sifat dan jenis tanah yang berbeda di setiap daerah, tentunya memiliki kandungan bahan organik yang berbeda di setiap tempatnya, hal ini dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Kandungan bahan organik di dalam tanah ini sangat berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang selanjutnya berpengaruh terhadap tingkat kesuburan tanah. Salah satu komponen utama penyusun bahan organik adalah unsur karbon, sehingga pengetahuan akan kandungan karbon di dalam tanah dapat memberikan informasi akan tingkat kesuburan tanah. Unsur karbon di dalam tanah berada dalam 4 wujud, yaitu wujud mineral karbonat, unsur padat seperti arang, grafit dan batu bara, wujud humus sebagai sisa-sisa tanaman dan hewan serta mikroorganisme yang telah mengalami perubahan, namum relatif tahan terhadap pelapukan dan wujud yang terakhir berupa sisa-sisa tanaman dan hewan yang telah mengalami dekomposisi di dalam tanah. Berkaitan dengan wujud-wujud unsur karbon di dalam tanah tersebut, maka penentuan kandungan karbon tanah dilakukan berdasarkan kandungan karbon organik totalnya yaitu dengan menggunakan metode potensiometri menggunakan elektroda selektif CO2. Agar elektroda selektif CO2 dapat digunakan dengan baik, maka terhadap elektroda tersebut perlu dilakukan kalibrasi sebelum digunakan untuk penentuan CO2 dari larutan analit.

1.2 Pembatasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada penentuan kandungan karbon organik total tanah yang diambil dari daerah Rancaekek, daerah Cangkuang dan daerah AlJawami Cileunyi dengan metode potensiometri.

1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis dapat mengidentifikasi masalah sebagai berikut : 1. Apakah tanah di setiap daerah yang berbeda memiliki kandungan TOC tanah yang berbeda juga? 2. Bagaimana kandungan karbon organik tanah di setiap daerah berdasarkan kandungan karbon organik totalnya? 3. Bagaimana hasil analisis kuantitatif TOC dengan potensiometri dalam penelitian kandungan karbon tanah yang diperoleh dari daerah yang berbeda ini?

1.4 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menganalisis kandungan TOC tanah di setiap daerah. 2. Menganalisis kadar TOC yang diperoleh di setiap daerah berdasarkan kandungan karbon organik totalnya.

1.5 Kegunaan Penelitian Terdapat beberapa kegunaan dari penelitian ini, diantaranya : 1. Mengetahui kandungan karbonat tanah di setiap daerah berdasarkan kandungan TOC. 2. Mengetahui kadar karbonat tanah yang diperoleh di setiap daerah berdasarkan kandungan TOC.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Tanah Tanah sangat vital peranannya bagi semua kehidupan karena tanah

mendukung kehidupan tumbuhan dengan menyediakan hara dan air sekaligus sebagai penopang akar. Struktur tanah yang berongga rongga juga menjadi tempat yang baik bagi akar untuk bernapas dan tumbuh. Tanah juga menjadi habitat hidup berbagai mikroorganisme. Bagi sebagian besar hewan darat, tanah menjadi lahan untuk hidup dan bergerak. Ilmu yang mempelajari berbagai aspek mengenai tanah dikenal sebagai ilmu tanah (Anonim, 2012). Dari segi klimatologi, tanah memegang peranan penting sebagai penyimpan air dan menekan erosi, meskipun tanah sendiri juga dapat tererosi. Komposisi tanah berbeda-beda pada satu lokasi dengan lokasi yang lain. Air dan udara merupakan bagian dari tanah (Anonim, 2012). Tubuh tanah (solum) tidak lain adalah batuan yang melapuk dan mengalami proses pembentukan lanjutan. Usia tanah yang ditemukan saat ini tidak ada yang lebih tua daripada periode Tersier dan kebanyakan terbentuk dari masa Pleistosen. Tubuh tanah terbentuk dari campuran bahan organik dan mineral. Tanah non-organik atau tanah mineral terbentuk dari batuan sehingga ia mengandung mineral. Sebaliknya, tanah organik (organosol/humosol) terbentuk dari pemadatan terhadap bahan organik yang terdegradasi (Soepardi, 1983). Tanah organik berwarna hitam dan merupakan pembentuk utama lahan gambut dan kelak dapat menjadi batu bara. Tanah organik cenderung memiliki keasaman tinggi karena mengandung beberapa asam organik (substansi humik) hasil dekomposisi berbagai bahan organik. Kelompok tanah ini biasanya miskin mineral, pasokan mineral berasal dari aliran air atau hasil dekomposisi jaringan makhluk hidup. Tanah organik dapat ditanami karena memiliki sifat fisik gembur (sarang) sehingga mampu menyimpan cukup air namun karena memiliki keasaman tinggi sebagian besar tanaman pangan akan memberikan hasil terbatas dan di bawah capaian optimum (Sarief, 1989)

Tanah non-organik didominasi oleh mineral. Mineral ini membentuk partikel pembentuk tanah. Tekstur tanah demikian ditentukan oleh komposisi tiga partikel pembentuk tanah: pasir, lanau (debu), dan lempung. Tanah pasiran didominasi oleh pasir, tanah lempungan didominasi oleh lempung. Tanah dengan komposisi pasir, lanau, dan lempung yang seimbang dikenal sebagai geluh (loam) (Sutanto) Warna tanah merupakan ciri utama yang paling mudah diingat orang. Warna tanah sangat bervariasi, mulai dari hitam kelam, coklat, merah bata, jingga, kuning, hingga putih. Selain itu, tanah dapat memiliki lapisan-lapisan dengan perbedaan warna yang kontras sebagai akibat proses kimia (pengasaman) atau pencucian (leaching). Tanah berwarna hitam atau gelap seringkali menandakan kehadiran bahan organik yang tinggi, baik karena pelapukan vegetasi maupun proses pengendapan di rawa-rawa. Warna gelap juga dapat disebabkan oleh kehadiran mangan, belerang, dan nitrogen. Warna tanah kemerahan atau

kekuningan biasanya disebabkan kandungan besi teroksidasi yang tinggi; warna yang berbeda terjadi karena pengaruh kondisi proses kimia pembentukannya. Suasana aerobik / oksidatif menghasilkan warna yang seragam atau perubahan warna bertahap, sedangkan suasana anaerobik / reduktif membawa pada pola warna yang bertotol-totol atau warna yang terkonsentrasi (Sutanto, 2005). Struktur tanah merupakan karakteristik fisik tanah yang terbentuk dari komposisi antara agregat (butir) tanah dan ruang antaragregat. Tanah tersusun dari tiga fase: fase padatan, fase cair, dan fase gas. Fasa cair dan gas mengisi ruang antaragregat. Struktur tanah tergantung dari imbangan ketiga faktor penyusun ini. Ruang antaragregat disebut sebagai porus (jamak pori). Struktur tanah baik bagi perakaran apabila pori berukuran besar (makropori) terisi udara dan pori berukuran kecil (mikropori) terisi air. Tanah yang gembur (sarang) memiliki agregat yang cukup besar dengan makropori dan mikropori yang seimbang. Tanah menjadi semakin liat apabila berlebihan lempung sehingga kekurangan makropori (Sarief, 1989) Definisi uji tanah secara umum adalah pengukuran sifat kimia atau fisik tanah, sedangkan definisi uji tanah secara terbatas adalah analisis kimia secara

cepat untuk menilai status ketersediaan hara, salinitas, dan keracunan unsur dari tanah. Program uji tanah adalah melakukan interpretasi, evaluasi, serta rekomendasi pemupukan dan perubahannya berdasarkan analisis kimia

(Westerman 1990).

2.2

Bahan Organik Tanah Bahan organik merupakan bahan penting dalam menciptakan kesuburan

tanah, baik secara fisik atau kimia. Bahan organik tanah memiliki banyak kegunaan, diantaranya dalam mempertahankan struktur tanah, meningkatkan kemampuan tanah untuk menyimpan dan mendistribusikan air dan udara di dalam tanah, serta nutrisi-nutrisi untuk pertumbuhan tanaman dan organisme di dalam tanah (Hardjowigeno, 2003) Bahan organik tanah adalah semua jenis senyawa organik yang terdapat di dalam tanah, termasuk serasah, fraksi bahan organik ringan, biomassa mikroorganisme, bahan organik terlarut di dalam air, dan bahan organik yang stabil atau humus. Bahan organik memiliki peran penting dalam menentukan kemampuan tanah untuk mendukung tanaman, sehingga jika kadar bahan organik tanah menurun, kemampuan tanah dalam mendukung produktivitas tanaman juga menurun. Menurunnya kadar bahan organik merupakan salah satu bentuk kerusakan tanah yang umum terjadi. Kerusakan tanah merupakan masalah penting bagi negara berkembang karena intensitasnya yang cenderung meningkat sehingga tercipta tanah-tanah rusak yang jumlah maupun intensitasnya meningkat. Kerusakan tanah secara garis besar dapat digolongkan menjadi tiga kelompok utama, yaitu kerusakan sifat kimia, fisika dan biologi tanah. Kerusakan kimia tanah dapat terjadi karena proses pemasaman tanah, akumulasi garamgaram (salinisasi), tercemar logam berat, dan tercemar senyawa-senyawa organik dan xenobiotik seperti pestisida atau tumpahan minyak bumi (Stevenson 1994) Kerusakan tanah secara fisik dapat diakibatkan karena kerusakan struktur tanah yang dapat menimbulkan pemadatan tanah. Kerusakan struktur tanah ini dapat terjadi akibat pengolahan tanah yang salah atau penggunaan pupuk kimia secara terus menerus. Kerusakan biologi ditandai oleh penyusutan populasi

maupun berkurangnya biodiversitas organisme tanah, dan terjadi biasanya bukan kerusakan sendiri, melainkan akibat dari kerusakan lain (fisik dan atau kimia). Sebagai contoh penggunaan pupuk nitrogen (dalam bentuk ammonium sulfat dan sulfur coated 6 urea) yang terus menerus selama 20 tahun dapat menyebabkan pemasaman tanah sehingga populasi cacing tanah akan turun dengan drastis (Djajakirana, 2001). Tanah dengan drainase yang terhambat biasanya banyak mengandung bahan organik pada lapisan atas (top soil), sehingga berwarna gelap. Tanah bagian bawah memiliki sedikit bahan organik sehingga berwarna kelabu muda. Bila drainase agak baik, air dan suhu menguntungkan untuk peristiwa kimia, besi (Fe) dalam tanah teroksidasi sehingga menjadi senyawa yang berwarna merah dan kuning (Foth D, 1998) Kandungan bahan organik tanah sangat dipengaruhi oleh tekstur, iklim, dan pengairan lingkungan. Rata-rata bahan organik menyusun 5-10% tanah pertanian. Bahan organik ini mempunyai kandungan senyawa rantai karbon, dari yang sederhana hingga senyawa kompleks dengan komposisi lebih dari 50%, 40% oksigen, 5% hidrogen, 4% nitrogen, dan 1% sulfur. Bahan organik dalam tanah dapat berasal dari hasil penambahan terus menerus pelapukan sisa tanaman secara alami maupun penambahan yang diatur oleh manusia. Soepardi (1983) mengemukakan bahwa sumber bahan organik mencakup (1) sisa-sia tanaman yang tertinggal dalam tanah, (2) sisa tanaman dan binatang yang terdekomposisi di permukaan tanah, (3) pupuk kandang, (4) pupuk buatan, dan (5) mikro organisme tanah yang jaringan tubuhnya telah mati (Soepardi 1983) Dekomposisi bahan organik tanah menghasilkan dua fraksi, yaitu fraksi bahan organik sederhana yang mantap dan fraksi senyawa aktif yang mudah terurai kembali atau hilang. Fraksi bahan organik yang mantap sering disebut sebagai humus, yang dihasilkan oleh mikroorganisme sedangkan fraksi yang mudah terurai disebut zatzat bukan humus, seperti karbohidrat, protein, asam asam amino, lipid, dan lignin, dihasilkan dari residu tanaman atau

mikroorganisme. Bahan-bahan bukan humus ini bermanfaat dalam pembentukan

struktur tanah, meningkatkan kapasitas tukar kation, penyangga pH tanah, dan meningkatkan kapasitas menahan air (Bohn et al. 1979). Dekomposisi bahan organik dapat terjadi pada kondisi aerob dan anaerob. Kedua proses tersebut dibedakan dalam dua hal, yaitu kecepatan dekomposisi dan hasil akhir dekomposisi. Bentuk NO3- dan NH4+ tanah diperlukan oleh jasad-jasad renik dalam proses dekomposisi bahan organik. Apabila bahan yang dihancurkan kaya akan N dibandingkan dengan kadar C, maka tidak akan terjadi imobilisasi N, sebaliknya jika kadar N lebih rendah dari kadar C, maka akan terjadi proses imobilisasi N-tanah oleh mikroorganisme. Laju dekomposisi bahan organik dipengaruhi oleh: (a) bahan asal tumbuhan, meliputi jenis, umur, dan komposisi kimia tumbuhan (b) faktor tanah (aerasi, temperatur, kelembaban, kemasaman, dan, tingkat kesuburan), (c) faktor iklim. Kandungan hara dalam pupuk organik yang mencukupi, akan menunjang peningkatan produksi pertanian (Soepardi 1983).

2.3

Metode Potensiometri Suatu penelitian dapat diukur dengan menggunakan dua metode yaitu,

pertama (potensiometri langsung) yaitu pengukuran tunggal terhadap potensial dari suatu aktivitas ion yang diamati, hal ini terutama diterapkan dalam pengukuran pH larutan air. Kedua (titrasi langsung), ion dapat dititrasi dan potensialnya diukur sebagai fungsi volume titran. Potensial sel, diukur sehingga dapat digunakan untuk menentukan titik ekuivalen. Suatu petensial sel galvani bergantung pada aktifitas spesies ion tertentu dalam larutan sel, pengukuran potensial sel menjadi penting dalam banyak analisis kimia (Basset, 1994). Proses titrasi potensiometri dapat dilakukan dengan bantuan elektroda indikator dan elektroda pembanding yang sesuai. Dengan demikian, kurva titrasi yang diperoleh dengan menggambarkan grafik potensial terhadap volume pentiter yang ditambahkan, mempunyai kenaikan yang tajam di sekitar titik kesetaraan. Dari grafik itu dapat diperkirakan titik akhir titrasi. Cara potensiometri ini bermanfaat bila tidak ada indikator yang cocok untuk menentukan titik akhir

titrasi, misalnya dalam hal larutan keruh atau bila daerah kesetaran sangat pendek dan tidak cocok untuk penetapan titik akhir titrasi dengan indikator (Rivai, 1995). Titik akhir dalam titrasi potensiometri dapat dideteksi dengan menetapkan volume pada mana terjadi perubahan potensial yang relatif besar ketika ditambahkan titran. Dalam titrasi secara manual, potensial diukur setelah penambahan titran secara berurutan, dan hasil pengamatan digambarkan pada suatu kertas grafik terhadap volum titran untuk diperoleh suatu kurva titrasi. Dalam banyak hal, suatu potensiometer sederhana dapat digunakan, namun jika tersangkut elektroda gelas, maka akan digunakan pH meter khusus. Karena pH meter ini telah menjadi demikian biasa, maka pH meter ini dipergunakan untuk semua jenis titrasi, bahkan apabila penggunaannya tidak diwajibkan (Basset, 1994). Reaksi-reaksi yang berperan dalam pengukuran titrasi potensiometri yaitu reaksi pembentukan kompleks reaksi netralisasi dan pengendapan dan reaksi redoks. Pada reaksi pembentukan kompleks dan pengendapan, endapan yang terbentuk akan membebaskan ion terhidrasi dari larutan. Umumnya digunakan elektroda Ag dan Hg, sehingga berbagai logam dapat dititrasi dengan EDTA. Reaksi netralisasi terjadi pada titrasi asam basa dapat diikuti dengan elektroda indikatornya elektroda gelas. Tetapan ionisasi harus kurang dari 10-8. Sedangkan reaksi redoks dengan elektroda Pt atau elektroda inert dapat digunakan pada titrasi redoks. Oksidator kuat (KMnO4, K2Cr2O7, Co(NO3)3) membentuk lapisan logamoksida yang harus dibebaskan dengan reduksi secara katoda dalam larutan encer (Khopkar, 1990). Persamaan Nernst memberikan hubungan antara potensial relatif suatu elektroda dan konsentrasi spesies ioniknya yang sesuai dalam larutan. Potensiometri merupakan aplikasi langsung dari persaman Nernst dengan cara pengukuran potensial dua elektroda tidak terpolarisasi pada kondisi arus nol. Dengan pengukuran pengukuran potensial reversibel suatu elektroda, maka perhitungan aktivitas atau konsentrasi suatu komponen dapat dilakukan (Rivai, 1995).

Potensial dalam titrasi potensiometri dapat diukur sesudah penambahan sejumlah kecil volume titran secara berturut-turut atau secara kontinu dengan perangkat automatik. Presisi dapat dipertinggi dengan sel konsentrasi. Elektroda indikator yang digunakan dalam titrasi potensiometri tentu saja akan bergantung pada macam reaksi yang sedang diselidiki. Jadi untuk suatu titrasi asam basa, elektroda indikator dapat berupa elektroda hidrogen atau sesuatu elektroda lain yang peka akan ion hidrogen, untuk titrasi pengendapan halida dengan perak nitrat, atau perak dengan klorida akan digunakan elektroda perak, dan untuk titrasi redoks (misalnya, besi(II)) dengan dikromat digunakan kawat platinum sematamata sebagai elektroda redoks (Khopkar, 1990).

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1

Tempat dan Waktu penelitian : Laboratorium Sains Kimia UIN Sunan Gunung Djati Bandung : 21-23 Mei 2012

Tempat Tanggal 3.2

Sampel Penelitian Sampel yang akan digunakan pada penelitian ini adalah tanah kecamatan

Rancaekek kabupaten Bandung, tanah kecamatan cileunyi kabupaten Bandung dan tanah kecamatan Leles kabupaten Garut. 3.3 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data ini dilakukan dengan mengumpulan beberapa macam tanah yang berapa pada kawasan Kecamatan Rancaekek Kabupaten Bandung, Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung dan Kecamatan Leles Kabupaten Garut. Pada setiap kawasan sampel tanah yang dibutuhkan sebanyak 1 Kg. 3.4 Alat dan Reagensia Penelitian

3.4.1 Bahan Bahan penelitian yang digunakan meliputi KMnO4 0,1 M, NaHCO3 0,5 M, HCl pekat, CH3COONa, NaH2PO4 0,1 M, asam oksalat 0,1 M, H2SO4 0,1 M dan sampel di tanah Kecamatan Rancaekek Kabupaten Bandung, Kecamatan cileunyi Kabupaten Bandung dan Kecamatan Leles Kabupaten Garut. 3.4.2 Peralatan Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini di samping alat gelas yang lazim digunakan di laboratorium kimia, juga alat-alat ukur lainnya seperti pHmeter beserta perangkat alat yang berkaitan dengan penelitian potensiometri. Pengukuran pH dan potensial elektroda dilakukan dengan pH/mV-meter buatan Metrohm tipe 692, sedangkan pengukuran potensial CO2 dilakukan dengan

10

menggunakan elektroda selektif CO2 yang dibandingkan terhadap elektroda Ag AgCl sebagai referensi. Dalam penelitian ini pengukuran potensial elektroda dilakukan pada suhu kamar (25 + 1 )0C. 3.5 Prosedur Penelitian

3.5.1 Teknik pengambilan sampel tanah Sampel tanah dapat diambil setiap saat. Keadaan tanah saat pengambilan sampel tanah pada lahan kering sebaiknya pada kondisi kapasitas lapang (kelembaban tanah sedang, yakni keadaan tanah kira-kira cukup untuk pengolahan tanah). Cara pengambilan sampel tanah individu yakni menggunakan cangkul dan sekop. Tanah dicangkul sedalam lapisan olah (membentuk seperti huruf v), kemudian tanah pada sisi yang tercangkul diambil setebal 1,5 cm dengan menggunakan cangkul atau sekop. Sampel tanah dibersihkan dari tanaman atau akar. Kemudian diambil 1 kg dan dimasukkan kedalam kantong plastik yang dirangkap dua. Selanjutnya diberikan label pada dalam dan luar kantong plastik agar tidak kotor atau basah. Pada label diberikan keterangan mengenai kode pengambilan, nomor sampel tanah, asal (kecamatan), tanggal pengambilan, nama dan alamat pemohon. 3.5.2 Penentuan waktu respon Membuat larutan yang mengandung CO2 dengan konsentrasi 9,09 M hingga 2,83 107 10-1M dari pengerjaan titrasi larutan NaHCO3 dengan HCl pekat,

sambil dilakukan pengadukan dengan pengaduk magnetik dan sekaligus pengukuran potensial CO2 menggunakan elektroda selektif CO2 pada setiap saat (menit). Waktu respon ditentukan berdasarkan saat elektroda menunjukkan respon potensial yang maksimum dan stabil. 3.5.3 Penentuan daerah konsentrasi, faktor Nernst dan limit deteksi Dari data yang diperoleh pada percobaan 3.5.1, selanjutnya dibuat grafik potensial (mV) terhadap log[CO2]. Dari grafik ini diperoleh bagian garis yang linier sebagai daerah konsentrasi (kurva kalibrasi). Sedangkan limit deteksi

11

ditentukan dengan cara membuat garis ekstrapolasi dari kurva linier dengan garis horisontal pada grafik tersebut, sehingga didapatkan harga pCO2 pada titik perpotongan kedua garis tersebut sebagai limit deteksi. 3.5.4 Penentuan pH optimum Membuat larutan yang mengandung CO2 dengan konsentrasi 8,2 x 10-4M hingga 8,2 x 10-2M pada kondisi pH 2; 3; 4; 4,5; 4,8; 5; dan 6 dari hasil titrasi larutan NaHCO3 dengan HCl pekat sambil melakukan pengadukan dan sekaligus mengukur respon potensialnya menggunakan elektroda selektif CO2. Selanjutnya membuat grafik dengan mengalurkan potensial (mV) terhadap log[CO2] untuk menentukan faktor Nernst dan linieritasnya. pH optimum dipilih dari grafik yang memberikan fungsi paling linier dengan faktor Nernst yang paling mendekati nilai teori. 3.5.5 Penentuan pengaruh ion CH3COO- dan H2PO4- terhadap respon potensial CO2 Membuat larutan yang mengandung CO2 dengan konsentrasi yang sama dengan percobaan 3.5.3, tetapi setiap larutan mengandung ion CH3COO- 10-2 M maupun H2PO4-10-2 M dan sambil melakukan pengadukan, diamati respon potensialnya. Hal yang sama dilakukan terhadap larutan CO2 yang mengandung CH3COO- maupun H2PO4- dengan konsentrasi 10-3M dan 10-4 M. Selanjutnya dibuat grafik potensial (mV) terhadap -log[CO2] untuk menentukan koefisien selektivitasnya (Kij) dari ekstrapolasi garis horisontal dan vertikal pada grafik tersebut. 3.5.6 Kurva Kalibrasi Kurva kalibrasi sebagai kurva pembanding untuk penentuan karbon organik total tanah dibuat dari reaksi redoks antara campuran larutan asam oksalat 0,1 M dan H2SO4 0,1 M dengan KMnO4 0,1 M, sehingga didapatkan CO2 dengan konsentrasi 5 x 10-4 M, 10 M, 5 x 10-3 M, 10-2 M, 5 x 10-2 M dan 0,1 M sambil mengukur respon potensialnya bersamaan dengan dilakukannya pengadukan.
-3

12

Selanjutnya membuat grafik potensial (mV) terhadap log[CO2] sebagai kurva kalibrasi.

3.5.7 Pengukuran karbon organik total tanah Pengukuran respon potensial CO2 hasil oksidasi C-organik total tanah dengan larutan KMnO4 dalam suasana asam dilakukan berdasarkan 3 (tiga) parameter, yaitu pada berat sampel tanah maupun volume H2SO4 tetap (parameter 1), pada berat sampel bervariasi dan volume H2SO4 tetap (parameter 2), dan pada berat sampel tetap namun volume H2SO4 bervariasi (parameter 3). Dari hasil pengukuran ini diperoleh kondisi yang tepat untuk pengukuran konsentrasi karbon organik total tanah, baik dengan metode potensiometri maupun titrimetri. Untuk penentuan dengan metode potensiometri, 2 gram sampel tanah kering dimasukkan ke dalam gelas beker yang berisi 25 ml. H2SO4 0,1 M, kemudian dititrasi dengan KMnO4 0,1 M secara berlebih sambil diaduk dan diukur potensialnya, sampai diperoleh CO2 yang potensialnya terbesar saat diukur dengan elektroda selektif CO2. Harga potensial ini selanjutnya dimasukkan ke dalam persamaan garis regresi dari kurva kalibrasi yang telah dibuat. Untuk pengukuran dengan metode titrimetri, sampel yang telah diukur potensialnya selanjutnya disaring dan filtrat yang didapatkan dititrasi balik dengan asam oksalat 0,1 M sampai titik ekivalen tercapai. Kandungan karbon organik total tanah ditentukan berdasarkan jumlah KMnO4 yang diperlukan untuk mengoksidasi C-organik total menjadi CO2.

13

Anda mungkin juga menyukai