Anda di halaman 1dari 4

HALAL BI HALAL KMM MESIR Kupasan Perbedaan Penentuan 1 Syawal di Indonesia & Dampaknya Terhadap Pelaksanaan Ibadah oleh:

Alnofiandri Dinar/ KMM mesir

Umum | Jumat, 02/09/2011 14:30 WIB KMM Mesir selaku organisasi yang mewadahi silaturrahim seluruh masyarakat minang di Mesir pada momen lebaran 1432 H. ini kembali menggelar acara halal bi halal. Hanya saja formatnya beda. Halal bi halal kali ini diplot dalam bentuk silaturrahim dan talk show "Perbedaan Penentuan 1 Syawal di Indonesia dan dampaknya terhadap pelaksanaan ibadah", bersama Ust. Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, MA. (Pakar Ilmu Falak di kalangan mahasiswa Indonesia di Mesir) dan DR. Jamaluddin Achmad Kholiq, MA. (pakar Syariah di kalangan mahasiswa Indonesia di Mesir). Talk show dengan tema seperti ini sengaja diangkatkan karena melihat realita perbedaan hari raya 1432 H di Indonesia dan perdebatan yang muncul akibat prahara ini, ujar ketua KMM Mesir, Alnofiandri Dinar. Di hadapan sekitar 150 orang masyarakat KMM Mesir, Ustadz Arwin menyatakan bahwa perhitungan yang dilakukan oleh kubu Muhammadiyyah dan kubu pemerintah sama-sama akurat. Tidak ada yang salah. Letak perbedaannya adalah kriteria masing-masing pihak dalam menentukan hilal. Kubu Muhammadiyah masih kukuh menggunakan hisab wujudul hilal. Bila posisi bulan sudah positif di atas ufuk, tetapi ketinggiannya masih sekitar batas kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat, batas kemungkinan untuk diamati) atau lebih rendah lagi, sedangkan pemerintah bertahan dengan metode imkan rukyat dengan kriteria: 1. Hilal sudah berada di atas ufuk setinggi 2 derajat. 2. Usia bulan setelah terjadi ijtima` sampai terbenam matahari selama 8 jam. 3. Sudut elongasi 3 derajat. Data yang ada pada saat penentuan Syawwal tahun ini adalah hilal baru berada di atas ufuq di wilayah barat Indonesia setinggi 1,49 derajat dan usia bulan sejak terjadi ijtima` sampai dengan matahari terbenam baru berusia 7,5 jam. Berdasarkan data yang ada, sudah pasti pemerintah tidak akan menerima bahwa 1 Syawal terjadi pada tanggal 30 Agustus. Bedahalnya dengan Muhammadiyyah yang menyatakan sudah masuk 1 Syawwal, karena hilal sudah positif ada, meskipun kurang dari 2 derajat. Kedua kriteria bisa dipertanggungjawabkan, hanya saja masing-masing memiliki kelemahan. Jikalau kedua kriteria ini tidak segera dicarikan solusinya, maka dalam 100 tahun ke depan,

kemungkinan sebanyak 50 kali di Indonesia akan terjadi hal yang sama dengan tahun ini. Untuk sementara sebagai solusinya adalah wilayatul hukmi (kekuasaan pemerintah dalam membuat keputusan), meskipun tidak bisa diterima secara astronomis. Senada dengan itu, Ustadz Jamal menjelaskan bahwa perbedaan di dalam tubuh umat bukan barang baru, yang harus selalu disikapi reaktif, tapi perlu lapang dada dan tidak dijadikan polemik, apalagi menyebabkan pecahnya kesatuan umat. Dengan adanya perbedaan yang telah dan akan terjadi, solusi yang bisa ditawarkan dianatranya: 1. Keputusan pemerintah sebagai solusi dari perbedaan yang ada seeprti yang disebutkan oleh para ulama dengan kaidah ( keputusan pemerintah menyelesaikan khilaf yang terjadi) 2. Bertoleransi dan saling hormati terhadap perbedaan yang ada ( kita bekerjasama pada tataran kesamaan yang ada di antara kita dan kita saling toleransi diantara kita pada wilayah perbedaan yang ada). Jika solusi pertama tidak memungkinkan dicapai, maka solusi kedua adalah solusi yang sangat mungkin dicapai. Meskipun solusi seperti ini terkesan lebih sebagai solusi sementara dan penjinak, bukan solusi permanen yang terlahir dari kolaborasi konsep syariat dan astronomis. Untuk lahirnya solusi permanen di negeri kita tercinta diperlukan masukkan secara akademis dari para pelajar ilmu agama yang menyentakkan pemerintah kita dan ormas-ormas yang ada. Mengomentari tentang Mesir, Ustadz Arwin memaparkan metode yang diterapkan oleh Mesir melalui Lembaga Fatwanya adalah model terbaik yang pernah ditemui. Penentuan awal bulan (khususnya Ramadan & Syawal) di Mesir dilakukan melalui kombinasi antara hisab & rukyat. Hisab dan rukyat berjalan secara seiring dan dalam proporsi yang seimbang, dengan prinsip arRu'yah as-Shahhah muwfiq li'l Hisb ad-Daqq (rukyat yang tepat bersesuaian dengan hisab akurat). Artinya, penentuan awal bulan dilakukan melalui pengamatan lapangan yang didahuli dengan prediksi hisab untuk memastikan konjungsi telah terjadi dan hilal sudah berada diatas ufuk serta hal-hal teknis astronomis lainnya. Lembaga Fatwa Mesir menetapkan: secara asal cara penetapan adalah dengan rukyat sesuai petunjuk hadis, dan hisab dapat dijadikan rujukan selama rukyat tidak bisa (sulit) dilakukan. Sesuai keputusan yang dikeluarkan Lembaga Fatwa nya, pengamatan hilal di Mesir dilakukan melalui pembentukan tim (lajnah) yang terdiri dari berbagai unsur: perwakilan dari Institut Nasional Penelitian Astronomi & Geofisika (Ma'had al-Qawm lil Buhuts al-Falakiyyah wal Jiyufizkiyyah) Helwan, pakar dan pemerhati hukum Islam dari Drul Ift', Imam-imam masjid setempat, LSM resmi, dan beberapa pakar astronomi dari jurusan Astronomi Universitas AlAzhar dan Universitas Kairo.

Sementara itu, lokasi pengamatan hilal berada pada 7 lokasi, yaitu (1) Helwan, (2) Qatamea, (3) Six October, (4) Sallum, (5) Qina, (6) Aswan, dan (7) Wahat. Hasil pengamatan, baik hilal terlihat atau istikmal, dikemas dalam satu keputusan yang dikeluarkan Lembaga Fatwa diumumkan kepada seluruh masyarakat. Dalam kenyataannya masyarakat menerima dan mengikuti patuh keputusan ini dan perbedaan praktis tidak pernah terjadi. Secara sosial kenegaraan (politik), sikap pemerintah dan masyarakat Mesir yang selalu sama dalam penentuan awal bulan patut dipuji dan ditiru. Barangkali sistim di Mesir bisa dicobakan di tanah air?! Jelas Ustadz Arwin panjang lebar, setelah dihujani pertanyaan dari masyarakat KMM Mesir yang memadati Auditorium Rumah Gadang. Lebih jauh Ustadz Jamal menimpali, berperannya pemerintah dalam penetapan awal Ramadhan dan Syawal ini merupakan sebuah siyasah syar`iyah (politik islam) yang perlu dibidik untuk menyatukan ijtihad yang ada di tanah air kita. Selain kaidah keputusan pemerintah menyelesaikan khilaf yang terjadi, ada kaidah lain yang perlu menjadi pertimbangan pemerintah ( kebijakan seorang penguasa terhadap rakyatnya berdasarkan maslahat/kebaikan rakyatnya). Ketika terjadi perbedaan akut yang tidak bisa dihindarkan dalam sebuah tatanan sosial politik, maka pemerintah mesti campur tangan untuk kebaikan rakyat yang dipimpinnya. Tahun ini, di Mesir sebenarnya sama dengan di Indonesia, keberadaan hilal di atas ufuq masih minimum, bahkan belum mencapai 1 derajat. Secara astronomis tidak mungkin hilal terlihat. Hanya saja dengan alasan menjaga persatuan, pemerintah Mesir menetapkan 1 syawal sama dengan Negara-negara arab lain yang bertetanggaan dengannya. Memang secara astronomi bermasalah, tapi secara syar`i bisa dipertangungjawabkan penetapan 1 Syawal ini, karena adanya kesaksian 1 orang yang adil di luar Mesir bahwa hilal sudah terlihat. Dan keputusan ini ternyata tidak menimbulkan polemik, apalagi perpecahan di Mesir. Perbedaan penetapan 1 Syawal di Indonesia beberapa hari lalu tentu saja berpengaruh kepada pelaksanaan beberapa ibadah, seperti bagaimana hukumnya berpuasa pada hari yang dipersengketakan (realita tahun ini: Selasa), apakah boleh seseorang menjadi khatib dua kali (Selasa dan Rabu), kapan harus memulai takbiran dan mengakhirinya? Bagaimana dengan pelaksanaan nazar yang berkaitan dengan waktu 1 Syawal? Apakah boleh shalat Idul fitri pada tanggal 2 Syawal?! Dan berbagai ibadah lainnya. Secara gamblang Ustadz Jamal memaparkan banyaknya pertanyaan yang muncul dengan mendasari penjelasan beliau pada kaidah ( mazhab orang awam adalah sesuai dengan mazhab muftinya). Dalam artian seorang awam bebas memilih siapa yang akan diikutinya, dan hukum dari segala perbuatan akan mengikuti ijtihad orang yang diikutinya. Jikalau dia memilih 1 Syawal adalah Selasa, maka hari itu dia tidak berpuasa lagi, dia shalat Idul

fitri dan takbiran dimulai sejak waktu magrib malam sebelumnya sampai imam memulai shalat Id hari Selasa itu. Dan seorang khatib boleh shalat dua kali, karena berdasarkan hadits Muadz bahwa beliau pernah melaksanakan shalat fardhu berjama`ah bersama Rasul SaW. di masjid, kemudian ketika sampai di rumah, beliau kembali mengimami keluarganya untuk pelaksanaan shalat fardhu yang sama. Halal bi halal yang diformat dalam bentuk talk show ini menuai apresiasi masyarakat KMM Mesir yang hadir dan melepas dahaga mereka terhadap jawaban dari polemik yang sedang aktual di Indonesia. Di penghujung acara, Bapak Kamarullah, Kepala Sekolah Indonesia Kairo yang berasal dari Pasamaan Timur menyatakan acara ini menarik, sangat bagus dan perlu sering diadakan. Sangat terasa manfaatnya, apalagi problematika ini sangat aktualita. Tidak cukup sekali ini. Dengan adanya silaturrahim dan talk show ini lebaran yang biasanya tanpa ketupat, tidak ada kue lebaran, serta jauh dari keluarga terasa lebih hangat. Makan lontong saat berkumpul bersama di hari kemenangan menjadi penghibur tersendiri bagi para perantau minang di Bumi Al Azhar. Terutama bagi mereka yang tahun lalu masih berlebaran bersama keluarga di tanah air. Lebaran terkesan hambar bagi mereka. Tak heran bila ada salah seorang mahasiswa baru anggota KMM Mesir yang menyatakan Lebaran disini hanya seperti liburan di hari Jum`at. Semaraknya cuma saat shalat Idul Fitri di lapangan atau di masjid, selebihnya hanya sepi di tengah Kota besar Kairo. Tidak ada acara silaturrahim temu keluarga, piknik bersama keluarga, memakan rendang, lamang tapai, dll.***

Anda mungkin juga menyukai