Anda di halaman 1dari 5

Dalil 5 : Kecemasan sebagai Syarat Hidup Kecemasan adalah suatu karakteristik dasar manusia.

Kecemasan tidak perlu merupakan sesuatu yang patologis, sebab ia bisa menjadi suatu tenaga motivasional yang kuat untuk pertumbuhan. Kecemasan adalah akibat dari kesadaran atas tanggung jawab untuk memilih. Kecemasan sebagai sumber pertumbuhan Kecemasan bisa menjadi perangsang bagi pertumbuhan, dalam arti bahwa kita mengalami kecemasan dengan meningkatnya kesadaran kita atas kebebasan dan atas konsekuensi-konsukuensi dari penerimaan ataupun penolakan kebebasan kita itu. Sebenarnya, apabila kita membuat suatu putusan yang melibatkan rekonstruksi hidup kita, kecemasan yang menyertai pembuatan putusan itu bisa menjadi tanda bahwa kita memang telah siap untuk mengalami perubahan pribadi. Tanda itu konstruktif, sebab ia memberi tahu kita bahwa tidak semua hal berjalan baik. Jika kita bisa menangkap pesan-pesan yang terkandung dalam kecemasan, maka kita akan berani mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna mengubah arah hidup kita. Pelarian dari kecemasan Banyak klien yang membutuhkan konseling menginginkan penyelesaian-penyelesaian yang membuat mereka mampu tidak menderita oleh kecemasan. Meskipun usaha-usaha untuk menghindari kecemasan dengan menciptakan ilusi bahwa dalam hidup ini terdapat keamanan yang dapat membantu kita mengatasi hal-hal yang tidak di kenal, kita sesungguhnya tahu sampai taraf tertentu bahwa kita menipu diri kita sendiri ketika mengira bahwa kita telah menemukan keamanan yang pasti. Kita bisa mementahkan kecemasan dengan membatasi hidup, dan dengan demikian mengurangi pilihan-pilihan. Membuka diri terhadap hidup baru, bagaimanapun, berarti membuka diri terhadap kecemasan, dan kita berkorban terlalu banyak apabila kita memintas lingkaran kecemasan. Implikasi - impIikasi konseling bagi kecemasan Konselor yang berorientasi eksistensial, bagaimanapun, bekerja tidak semata-mata untuk menghilangkan gejala-gejala atau mengurangi kecemasan. Sebenarnya, konselor eksistensial tidak memandang kecemasan sebagai hal yang tak diharapkan.

Kecemasan adalah bahan bagi konseling yang produktif, baik konseling individual maupun konseling kelompok. Jika klien tidak mengalami kecemasan, maka motivasinya untuk berubah akan rendah. Kecemasan dapat ditransformasikan ke dalam energi yang dibutuhkan untuk bertahan menghadapi risiko bereksperimen dengan tingkah laku baru. Oleh karena itu, terapis yang berorientasi eksistensial bisa membantu klien untuk menyadari bahwa belajar menoleransi keberdwiartian dan ketidaktentuan serta belajar bagaimana hidup tanpa sandaran dapat merupakan fase yang penting dalam perjalanan dan hidup bergantung kepada menjadi pribadi yang lebih otonom. Terapis dan klien bisa mengeksplorasi kemungkinan bahwa, meskipun keluar dari pola-pola yang melumpuhkan dan pembangunan gaya hidup baru bisa menghasilkan kecemasan untuk sementara, karena klien lebih merasa puas dengan cara-cara yang lebih baru dalam mengada, kecemasan akan berkurang. Karena klien mulai dapat mempercayai diri. maka kecemasan sebagai akibat dugaan akan datangnya bencana menjadi berkurang.

Dalil 6: Kesadaran atas Kematian dan Non-Ada Kesadaran atas kematian adalah kondisi manusia yang mendasar memberikan makna kepada hidup. Para eksistensialis tidak memandang kematian secara negatif. Menurut mereka, karakteristik yang khas pada manusia adalah kemampuannya untuk memahami konsep masa depan dan tak bisa dihindarkannya kematian. Justru kesadaran atas akan terjadinya ketiadaan memberikan makna kepada keberadaan, sebab hal itu menjadikan setiap tindakan manusia itu berarti. Ketakutan terhadap kematian dan ketakutan terhadap kehidupan memiliki korelasi. Ketakutan terhadap kematian membayangi mereka yang takut mengulurkan tangan dan benar-benar merangkul kehidupan. Jika kita mengukuhkan hidup dan berusaha hidup waktu kini sepenuh-penuhnya, kita tidak akan dihantui oleh berakhirnya kehidupan. Jika kita takut mati, maka kita juga takut hidup, seakan-akan kita mengatakan, Kita takut mati karena kita belum pernah benar-benar hidup.

Menurut May, Pengorbanan untuk mengingkari kematian adalah kecemasan yang tak menentu, pengucilan diri. Untuk memahami dirinya dengan sempurna, manusia harus menghadapi kematian dan sadar akan kematian pribadinya. Frank menyebutkan bahwa kematian memberikan makna kepada keberadaan manusia. Jika kita tidak akan pernah mati, maka kita bisa menunda tindakan untuk seiamanya. Akan tetapi, karena kita terbatas, apa yang kita lakukan sekarang memiliki arti khusus. Bagi Frankl, yang menentukan kebermaknaan hidup seseorang bukan lamanya melainkan bagaimana orang itu hidup. Implikasi-implikasi konseling Satu teknik kelompok yang telah terbukti berguna adalah meminta kepada kelompok orang (klien) untuk mengkhayalkan diri mereka berada dalam ruangan yang sama dengan orang-orang yang sama sepuluh tahun akan datang. Mereka akan diminta untuk membayangkan bahwa mereka tidak mengikuti putusan-putusan yang telah mereka buat dan bahwa mereka gagal menerima peluang untuk mengubah diri dengan cara-cara yang sangat diinginkan. Mereka juga diminta membayangkan bahwa mereka tidak menghadapi bagianbagian diri yang ditakuti, bahwa urusan mereka yang tak selesai tetap tidak terselesaikan, bahwa mereka tidak menggarap proyek-proyek mereka, dan bahwa mereka memilih untuk tetap seperti sekarang alih-alih mengambil risiko untuk berubah. Kemudian meminta kepada mereka untuk berbicara tentang kehidupan mereka seakan-akan mereka tahu bahwa diri mereka sedang mendekati ajal. Praktek ini bisa memobilisasi para klien untuk memandang waktu yang mereka miliki secara serius dan ia bisa mencegah mereka menerima kemungkinan bahwa mereka bisa menerima keberadaan seperti zombie alih-alih kehidupan yang lebih sempurna.

Dalil 7. Perjuangan untuk Aktualisasi Diri Manusia berjuang untuk aktualisasi diri, yakni kecenderungan untuk menjadi apa saja yang mereka mampu. Setiap orang memiliki dorongan bawaan untuk menjadi seorang pribadi yakni, mereka memiliki kecenderungan ke arah pengembangan keunikan dan keunggalan, penemuan

identitas pribadi, dan penjuangan demi aktualisasi potensi-potensinya secara penuh. Jika seseorang mampu mengaktualkan potensi-potensinya sebagai pribadi, maka dia akan mengalami kepuasan yang dalam yang bisa dicapai oleh manusia, sebab demikianlah alam mengharapkan mereka berbuat. Beberapa ciri yang ditemukan oleh Maslow (1968, l970) orang-orang yang mengaktualkan diri itu adalah: kesanggupan menoleransi dan bahkan menyambut ketidaktentuan dalam hidup mereka, penerimaan terhadap diri sendiri dan orang lain, kespontanan dan kreativitas, kebutuhan akan privacy dan kesendirian, otomoni, kesanggupan menjalin hubungan interpersonal yang mendalam dan intens, perhatian yang tulus terhadap orang lain, rasa humor, keterarahan kepada diri sendiri (kebalikan dari kecenderungan untuk hidup berdasarkan pengharapan orang lain), dan tidak adanya dikotomi-dikotomi yang artifisial (seperti kerja-bermain, cinta-benci dan lemah-kuat). Dalil Maslow tentang aktualisasi diri memiliki implikasi-implikasi yang jelas bagi praktek psikologi konseling, sebab tendensi ke arah pertumbuhan dan aktualisasi merangkum kekuatan utama yang menggerakkan proses terapeutik. Menurut kodratnya, manusia memiliki dorongan yang kuat arah aktualisasi diri dan ingin mencapai lebih dari sekedar keberadaan yang aman tetapi statis. Kecenderungan dasarnya adalah mencapai potensinya yang tertinggi sekalipun harus berhadapan dengan masalah-masalah internal dan penolakan-penolakan eksternal. Carl Rogers (1961), seorang tokoh utama dalam penciptaan psikologi humanistik, membangun teori dan praktek terapinya di atas konsep tentang pribadi yang berfungsi penuh, yang sangat mirip dengan orang yang mengaktualkan diri yang dikemukakan oleh Maslow. Rogers mempercayai dapat dipercayanya sifat manusia dan memandang gerak ke arah berfungsi penuh sebagai suatu kebutuhan dasar. Menurut Rogers, apabila manusia berfungsi secara bebas, maka dia akan bersifat konstruktif dan dapat dipercaya.

D. Rangkuman dan Evaluasi Greening (1971) menjelaskan bahwa humanisme eksistensial sebagai suatu orientasi psikologi menggabungan aspek-aspek eksistensialisme dan humanisme dengan cara membuktikan sumbangan-sumbangan dari keduanya. Fokus pada sifat manusia, pentingnya hubungan antara terapis dan klien, dan kebebasan klien untuk menentukan nasibnya sendiri adalah aspek-aspek yang berarti. Pendekatan eksistensial-humanistik tidak mengecilkan manusia menjadi kumpulan naluri ataupun hasil pengondisian. Alih-alih ia menyajikan suatu filsafat yang menjadi landasan bagi praktek terapi. Sumbangan utama dari pendektan ekstensial-humanistik adalah penekanannya pada kualitas manusia-kepada-manusia dari hubungan terapeutik. Aspek ini mengurangi kemungkinan dehumanisasi psikoterapi yang menganggap psikoterapi sebagai proses mekanis. Banyak konsep penting dan abstrak dari eksistensialisme yang sulit dimengerti dan bahkan lebih sulit lagi untuk diterapkan pada praktek. Konsep-konsep dan kata-kata yang luas dan sulit dimengerti menyulitkan proses terapeutik. Sedikitnya teknik yang dihasilkan oleh pendekatan eksistensial-humanistik menjadikan para praktisi perlu mengembangkan prosedur-prosedur penemuannya sendiri atau memungutnya dari aliran-aliran terapi lain. Pendekatan ini amat terbatas penerapannya pada para klien yang fungsinya rendah, pada klien yang ada dalam keadaan krisis, dan pada klien yang miskin.

Anda mungkin juga menyukai