Anda di halaman 1dari 8

Sumber : Buletinsosiologiuajy's Blog

Artikel: Pendidikan Politik Bagi Generasi Muda


1.-08- 2009

PENDIDIKAN POLITIK UNTUK GENERASI MUDA Oleh Andi William Inggita

Pemilihan umum telah berlangsung dan sekarang kita akan memasuki pemilihan presiden 2009 yang tinggal menghitung hari, lima tahun sudah rakyat Indonesia menanti perayaan pesta demokrasi untuk perubahan kesejahteraan dan kehidupan bagi segenap bangsa Indonesia . Tetapi apakah pada pemilihan presiden 2009 ini rakyat Indonesia dapat diantar kedepan pintu gerbang kemerdekaan, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur sesuai dengan UUD 1945. Sistem Demokrasi

Demokrasi adalah suatu sistem politik yang kekuasaannya berada ditangan rakyat dengan melakukan kontrol terhadap kekuasaan, kebebasan berpartisipasi, dan kebebasan bersuara dan diserahkan ke pemerintah sebagai penyelenggaranya. Sistem demokrasi telah dianut oleh negara Indonesia sejak kedaulatan Indonesia diserahkan oleh Kolonia Belanda pada tanggal 29 Desember 1949. Prinsip demokrasi yaitu rule by the people yang prinsipnya adalah demokrasi perwakilan merupakan kontrol rakyat terhadap penetapan kebijakan, persamaan kedudukan dalam praktik politik, kebebasan politik, dan prinsip demokrasi mayoritas.

Terlepas dari pengertian dan prinsip dari demokrasi, saya pernah membaca sebuah buku berjudul Demokrasi Overdosis yang ditulis oleh Iranda Yudhatama. Dalam buku itu digambarkan bahwa demokrasi bagaikan obat untuk masyarakat, dimana obat itu dapat digunakan untuk menyembuhkan juga berdampak mematikan jika tidak sesuai takaran alias over dosis hal itu justru akan mengakibatkan gagalnya proses penyembuhan dan demokrasi yang ada malah akan menjadi demokrasi liberal yang mengarah ke liberalisasi ekonomi dan akan menyebabkan munculnya penyakit yang kronis dalam masyarakat sehingga demokrasi yang dijalankan akan mengalami kelumpuhan bahkan kematian.

Demokrasi di Indonesia lebih pantas didefinisikan sebagai sebuah cara untuk mengisi posisi jabatan-jabatan publik melalui persaingan-persaingan untuk memperebutkan suara rakyat. Lihat saja perilaku para calon-calon pemimpin bangsa ini pada masa kampanye sekarang, mereka bagaikan pengemis yang sedang mengemis untuk mendapatkan suara rakyat sehingga kursi-kursi kekuasaan dapat diperolehnya, tetapi setelah kursi kekuasaan telah terisi maka rakyatlah yang akan mengemis kepada mereka untuk mendapatkan kesejahteraan dan kemakmuran.

Sebagai rakyat, dapat kita lihat berdasarkan realitas yang ada dimana rakyat dibuat antri untuk mendapatkan sembako, antri untuk mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan antri untuk mendapatkan BBM. Apakah itu merupakan kemakmuran serta kesejahteraan yang sesuai dengan tujuan dari terlaksananya demokrasi di Indonesia yaitu sebagai peluang bagi setiap orang untuk mendapatkan kesejahteraan dan kemakmuran yang dicapai melalui Negara sebagai penyelenggaranya? Demokrasi yang ada di Indonesia seakan hanya sebagai pemenuhan hak-hak politik semata. Pemerintah telah melepaskan perannya sebagai pelindung dan pemenuhan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Contohnya saja, para pemimpin bangsa ini mengambil cuti untuk kepentingan kampanye politik partai. Sangat terlihat jelas

dimana mereka menanggalkan peran mereka yang harusnya menjalankan fungsinya dalam pemerintahan.

Demokrasi telah mengalami kelumpuhan dan hanya menjadi topeng dibalik penguasa yang mengadopsinya kemudian menjadikannya sebagai ajang tebar pesona dengan memberikan janji-janji yang akan dilupakannya jika telah mendapatkan kursi kekuasaan. Rakyat sendiri yang akan menjadi saksi sebelum dan sesudah pemilihan umum nanti dimana pada masa kampanye ini dapat kita dengar teriakan-teriakan diseluruh pelosok Indonesia, sedangkan di media mereka bagaikan artis yang sedang populer yang muncul di setiap stasiun TV dan setelah keinginan mereka tercapai dan melenggang ke Senayan maka teriakan-teriakan itu akan diam selamanya dan hanya merokok, minum, makan, tidur, korupsi dan saling jotos.

Ilmu dari Para Calon Pemimpin Bangsa Demokrasi di Indonesia dijadikan sebagai ajang persaingan para penguasa, berbagai macam cara dilakukan untuk mendapatkan suara rakyat sehingga kursi kekuasaan dapat diperoleh. Nilai-nilai luhur Pancasila tidak lagi di junjung tinggi, sehingga melahirkan pendidikan politik yang buruk di Negeri Pertiwi ini untuk para generasi muda mendatang. Berdasarkan realita yang ada jelang pemilu 2009, terdapat berbagai macam pelanggaran yang terjadi, antara lain pertama, saling berkata mulut antara para calon pemimpin kita. Kedua, Kampanye Politik Dangdut, dimana dangdut menjadi budaya kampanye yang turun temurun dilakukan dengan menyajikan para penyanyi dengan goyangan-goyangan mautnya kepada anak-anak. Ketiga, calon legislatif mantan narapidana. Kebebasan yang diberikan kepada mantan narapidana untuk memimpin negeri ini. Keempat, politik uang dimana para penguasa membayar masyarakat untuk memilih partai politik mereka. Kelima, politik anarki dimana terjadi pertikaian antara kubu-kubu penguasa dan Keenam, politik agama dimana agama dijadikan sebagai suatu daya tarik untuk mendapat inspirasi dari masyarakat.

Sangat disayangkan jika sistem demokrasi ini masih diwarnai dengan pelanggaranpelanggaran tersebut. Bagaimana generasi muda nanti kedepan jika pendidikan yang diajarkan oleh para calon pemimpin bangsa seperti sekarang ini. Apakah mereka akan mengikuti jejak yang sama karena pendidikan yang mereka dapatkan adalah demikian ataukah mereka akan melakukan perubahan terhadap negara tercinta ini?.

Suara Hati Rakyat Jangan salahkan kami karena kami sebagai rakyat Indonesia menanti sebuah perubahan yang akan terjadi setelah terselenggarakan pemilihan umum nanti. Akan tetapi kepastian itu jauh dari harapan kami dengan melihat perilaku para calon-calon pemimpin Negara ini bertingkah untuk mendapatkan kekuasaan. Belum lagi ditambah dengan ketidaksiapan pemerintah untuk merayakan pesta demokrasi 2009. Jika kami memilih menjadi pendukung partai golongan putih bukan berarti kami tidak mendukung pesta demokrasi tetapi merupakan bagian dari kedewasaan politik yang mana kami sadar bahwa kami bukan rakyat yang sedang dibodohkan oleh para penguasa dengan segala janji-janji manisnya. Demokrasi di Indonesia ini akan berjalan ditempat apabila calon pemimpin adalah sosoksosok yang sama. Semoga rakyat dapat memberikan pilihan yang benar dan dapat belajar dari sejarah kepemimpinan para calon politik yang sudah-sudah sehingga hak-hak dasar yang harus didapatkan oleh rakyat dapat terpenuhi dan sesuai dengan cita-cita bangsa ini dan tujuan dari sistem demokrasi di Indonesia

Pendidikan politik tingkatkan pengaruh politik perempuan Indonesia oleh Siti Musdah Mulia Melihat prosentase perempuan yang bersaing dalam pemilu legislatif bulan April lalu, 35,35% dari 11,301 total kandidat, orang bisa saja menyimpulkan bahwa hak perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan politik di Indonesia telah benar-benar dijamin. Untuk soal hak memilih dan dipilih, kesimpulan ini mungkin saja benar. Tetapi, perempuan Indonesia masih harus berjuang untuk bisa mempengaruhi kebijakan publik yang berkaitan dengan kehidupan mereka.

Sejumlah organisasi perempuan tengah berusaha untuk merubah realitas ini dengan menyelenggarakan program pendidikan pemilih yang mengulas tak hanya faktor politik dan budaya, tetapi juga faktor agama yang mempengaruhi peran politik perempuan. Sejak tahun 1999, organisasi-organisasi ini telah melatih kaum perempuan untuk menggunakan hak politik mereka agar bisa meningkatkan kualitas partisipasi mereka dalam politik.

Keterlibatan saya di Muslimat, organisasi perempuan NU, membuat saya menyadari bahwa banyak perempuan Indonesia yang tidak menyadari potensi yang mereka miliki untuk menentukan kualitas demokrasi di negeri ini.

Selain itu, mereka pun tak memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk menggunakan hak politik mereka dan akhirnya memilih untuk bungkam. Akibatnya, mereka tak bisa terlibat dalam pembuatan legislasi yang mempengaruhi hak-hak mereka dan tak terwakili dengan baik di lembaga-lembaga pengambilan kebijakan.

Tapi kurangnya pengetahuan politik bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi kualitas partisipasi mereka dalam perpolitikan negeri ini, nilai-nilai budaya dan agama juga turut berperan di dalamnya. Agama, termasuk Islam, telah digunakan sedemikian rupa untuk melanggengkan pemisahan ruang publik bagi laki-laki dan ruang privat bagi perempuan.

Politik hampir selalu disebut-sebut sebagai domain laki-laki hingga perempuan dianggap tak pantas untuk berpartisipasi di dalamnya.

Karena itu, program pendidikan pemilih bagi perempuan-terutama yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi perempuan Muslim, tidak boleh hanya menekankan ide tentang hak politik perempuan sebagai hak-hak asasi dan bahwa pengalaman perempuan itu perlu dipertimbangkan dalam kebijakan publik, tetapi juga menekankan bahwa Islam sebagai agama mayoritas penduduk negeri ini menjamin hak-hak politik perempuan sepenuhnya.

Dalam Surat al-Mumtahanah, al-Quran memerintahkan Nabi untuk menerima baiat perempuan yang ikut dalam pertemuan Aqabah yang terlaksana sebelum beliau hijrah ke Madinah. Perintah ini memperlihatkan bahwa Islam menghargai pentingnya suara perempuan. Keputusan Nabi Muhammad untuk memberikan izin kepada sepupunya, Ummu Hani, untuk memberikan perlindungan kepada seorang serdadu Mekah pada peristiwa Futuh Mekah memperlihatkan bahwa suara perempuan dan tindakannya dihargai.

Quran juga mendorong perempuan dan laki-laki untuk terlibat dalam mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan mereka melalui syura,

mekanisme pengambilan keputusan kebijakan publik dalam Islam. Ini menunjukkan Islam melihat perempuan sebagai pihak yang berhak membentuk kebijakan publik. Quran bahkan menyatakan bahwa Muslim dan Muslimah adalah partner dalam menegakkan kebajikan dan mencegah kemunkaran (Qs 9:71).

Berkat justifikasi keagamaan ini, sejumlah perempuan yang pada awalnya enggan berpartisipasi dalam politik mulai berani bergabung dengan partai politik, bahkan menjadi kandidat dalam pemilu legislatif di tingkat pusat maupun daerah. Sebagian perempuan bahkan ikut memperebutkan kursi ketua partai politik di tingkat daerah. Dengan panduan nilai-nilai Islam, para perempuan kandidat ini menunjukkan komitmen mereka untuk merubah masyarakat dengan cara yang positif.

Tak hanya itu, justifikasi keagamaan ini juga memberikan dorongan kepada feminis dan organisasi-organisasi perempuan untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik, memonitor kebijakan dan peraturan yang dianggap melanggar dan merugikan hak perempuan serta mengajukan peraturan yang bisa meningkatkan kesetaraan perempuan dalam berbagai sektor.

Hasil pemilu menunjukkan bahwa perempuan kemungkinan besar akan mendapatkan kurang lebih 15 persen kursi di lembaga legislatif. Meski masih terbatas, perolehan ini sudah menuju arah yang tepat dan bisa mendorong perempuan lain untuk terlibat lebih aktif dalam politik.

Pendidikan pemilih bagi perempuan yang mengulas berbagai faktor yang menghambat partisipasi perempuan dalam politik dan sekaligus menyediakan justifikasi keagamaan untuk memberdayakan perempuan bisa membuat partisipasi

perempuan dalam politik lebih bermakna.

###

* Siti Musdah Mulia adalah ketua umum ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace sekaligus professor Kajian Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia pernah menerima penghargaan International Women of Courage dari Kementrian Luar Negeri Amerika tahun 2007 lalu. Artikel ini merupakan bagian dari seri khusus Perempuan Muslim dan hak-hak relijius mereka dan ditulis untuk Kantor Berita Common Ground.

Sumber: Kantor Berita Common Ground, 14 Mei 2009, www.commongroundnews.org Izin hak cipta untuk publikasi telah diterbitkan

Anda mungkin juga menyukai