Anda di halaman 1dari 5

Program Pendidikan S2 Government CIO di Universitas Gadjah Mada

Lukito Edi Nugroho1 Latar Belakang Inpres nomor 3 tahun 2003 yang mengamanatkan implementasi penyelenggaraan pemerintahan yang didukung oleh teknologi informasi (TI), atau sering dikenal dengan istilah e-government (e-gov) sudah berumur 5 tahun, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan respons yang berbeda dari instansi-instansi pemerintah terhadap Inpres tersebut. Ada instansi yang sudah melangkah jauh, tapi sebagian besar masih berada dalam tahap mengenal dan belajar tentang penerapan e-gov. Mengimplementasikan e-gov sesungguhnya bukan pekerjaan mudah. Kesulitannya tidak terletak pada aspek-aspek teknis yang terkait dengan pembangunan sarana, fasilitas, dan sistem-sistem berbasis TI, tetapi justru lebih pada bagaimana TI diselaraskan (aligned) dengan proses-proses penyelenggaraan pemerintahan. Bank Dunia menyatakan bahwa peran utama e-gov terletak pada bagaimana TI dapat memicu transformasi hubungan (relations) antara pemerintah dengan warganya, pemerintah dengan dunia usaha, dan antar instansi pemerintah sendiri, sehingga transformasi tersebut dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan untuk kepentingan publik. Menilik substansinya yang justru lebih menekankan pada aspek penyelarasan, nampaknya usaha penerapan e-gov perlu didistribusikan ke banyak spektrum. Dimulai dari spektrum filosofis yang terkait dengan pengertian dasar e-gov, sosialisasi terhadap esensi e-gov perlu lebih diintensifkan. Jangan sampai ada yang salah arah, menganggap e-gov hanyalah sekedar memiliki situs web saja. Di spektrum operasional, tentu saja banyak persoalan yang harus diselesaikan. Dari persoalan teknis tentang TI-nya sendiri, sampai ke manajemen birokrasi yang mau tidak mau harus terkait jika ingin melakukan penyelarasan TI. Urgensi keberhasilan implementasi e-gov menjadi semakin terasa jika dihadapkan pada target pencapaian sasaran-sasaran Millenium Development Goals (MDG) pada tahun 2015. Peningkatan kesejahteraan rakyat (dalam berbagai manifestasinya) memang bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah, tetapi sasaran itu hanya dapat tercapai jika pemerintah dapat menyediakan sistem dan mekanisme birokrasi yang kondusif. TI, seperti yang disampaikan oleh Depkominfo, diyakini akan menjadi pendorong utama (main thruster) dalam program besar ini. Dalam konteks inilah implementasi e-gov, baik di tingkat pusat maupun daerah, menjadi sangat krusial. Dalam berbagai program pembangunan, unsur SDM selalu saja menjadi faktor vital, apalagi untuk pembangunan yang terkait dengan teknologi baru termasuk TI. SDM yang berkompeten tidak saja diperlukan untuk menangani urusan-urusan teknis ke-TI-an, tetapi juga untuk membangun visi, menentukan arah pembangunan, menetapkan sasaran-sasaran, dan memimpin perubahan paradigma yang selalu menyertai setiap penetrasi TI ke sebuah lingkungan tertentu. Orang-orang dengan peran seperti ini sering disebut dengan Chief Information Officer (CIO), dan mereka yang bekerja di lingkungan pemerintah disebut dengan Government CIO (GCIO).

Dosen Magister Teknologi Informasi UGM yang terlibat dalam desain Program S2 CIO MTI UGM

Mendidik calon-calon CIO, terutama di kalangan pemerintahan, tentu saja tidak mudah. Spektrum tugas seorang GCIO cukup luas, dari yang bersifat strategis sampai yang menyentuh hal-hal operasional. Pendidikan GCIO perlu mengakomodasi kebutuhan ini. Keluasan spektrum ditangani dengan cara membangun kompetensi inti yang diperlukan untuk tiap-tiap aspek yang kemudian dapat dikembangkan sesuai kebutuhan. Selanjutnya kurikulum pendidikan CIO perlu didasarkan pada bangunan kompetensi yang dirancang untuk memenuhi spesifikasi kebutuhan (requirements) GCIO di Indonesia. Kompetensi untuk GCIO di Indonesia Berbicara tentang kompetensi GCIO, banyak model yang bisa dijadikan acuan. CIO sebagai obyek pendidikan bukanlah barang baru, terutama di luar negeri, karena memang kebutuhan (demand) di sana sudah dirasakan sejak lama. APECTEL misalnya, mengusulkan untuk mengembangkan sebuah model pelatihan yang membedakan 3 aras GCIO: dasar, menengah, dan lanjut (Obi, dkk, 2007). Berbeda dengan obyek pendidikan lain yang lebih generik, GCIO adalah topik pendidikan yang sangat terkait dengan kondisi lokal. Meskipun ada hukum, peraturan, dan tatacara tentang penyelenggaraan pemerintahan yang berlaku secara umum, tetapi tiap instansi, baik di tingkat pusat maupun daerah adalah unik. Untuk itu, penyusunan kompetensi GCIO Indonesia harus memperhatikan aspek lokalitas. Lokalitas mencakup model dan struktur birokrasi yang berlaku di lingkup lokal (misalnya, SK Bupati), ketersediaan infrastruktur TI di lapangan, dan kesadaran serta penerimaan tentang TI dari para pelaku, termasuk stakeholders yang terkait dengan implementasi e-gov. Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, Universitas Gadjah Mada mengembangkan sebuah program pendidikan pada tingkat pascasarjana untuk para calon CIO. Meskipun program CIO ini bersifat generik, tetapi desain kurikulumnya dapat memenuhi kebutuhan CIO yang berasal dari lingkungan pemerintahan. Program ini berjalan sejak Februari 2007 dan dilaksanakan oleh Program Magister Teknologi Informasi, Jurusan Teknik Elektro UGM. Desain kurikulum pendidikan S2 CIO ini memandang GCIO terbagi dalam dua peran besar: pembuat kebijakan (policy making) dan manajemen operasional TI. Peran pertama dijalankan oleh eksekutif dengan kewenangan cukup tinggi dan memiliki peran koordinatif bagi pejabat-pejabat di bawahnya. GCIO dalam posisi ini bertugas untuk mendefinisikan visi, misi, tujuan, dan sasaran pemanfaatan TI dalam organisasinya. Dia menetapkan arah pembangunan TI termasuk strategi-strategi penyelarasannya dengan sistem dan proses birokrasi yang ada. GCIO pembuat kebijakan juga bertugas menjamin arah dan strategi yang ditetapkan diikuti oleh segenap elemen organisasi. Peran kedua bekerja pada aras operasional. Berkomplemen dengan peran pertama yang berada pada tataran kebijakan, GCIO pada aras operasional bertanggung jawab atas terlaksananya berbagai program dan kegiatan pembangunan TI dalam koridor yang telah ditentukan. Fokus tugasnya pada aspek manajemen teknis. Untuk mengakomodasi kedua tipe GCIO tersebut, maka MTI UGM mendefinisikan kompetensi yang dikembangkan dalam program S2 CIO di UGM: Penyusun visi, arah pengembangan, dan strategi TI. Dapat dikatakan saat ini semua instansi pemerintah di Indonesia sedang berada dalam tahap awal

pembangunan e-government seperti diamanatkan oleh Undang-Undang no. 3/2003. Menurut Bank Dunia, pemanfaatan TI dalam e-government pada akhirnya harus bisa melahirkan transformasi relasi antara pemerintah dengan warga, antara pemerintah dengan dunia usaha, dan antara sesama lembaga pemerintah sendiri. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah memerlukan visi, misi, dan strategi pemanfaatan TI yang tepat. Salah satu tugas GCIO adalah memformulasikan ketiga hal fundamental tersebut, yang diselaraskan dengan visi, misi, dan tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Promotor dalam perekayasaan proses bisnis (business process reengineering) dan penyelarasan TI (IT alignment). TI sebagai enabler pada akhirnya harus berjalan seiring dengan proses-proses birokrasi yang ada. Pada umumnya sistem dan proses birokrasi yang ada saat ini tidak kondusif bagi pemanfaatan TI secara optimal, sehingga perlu ada pendekatan top-down agar keselarasan antara keduanya bisa tercapai. Pendekatan harus secara top-down karena pada umumnya penyelarasan TI dengan sistem/proses birokrasi melibatkan penataan birokrasi (struktur, mekanisme kerja, tupoksi, dan sebagainya). GCIO pada posisi pembuat kebijakan dapat mengemban peran sebagai promotor dan inisiator bagi penyelarasan ini. Perancang manajemen solusi TI. Seorang GCIO harus dapat melihat bagaimana TI memberikan solusi terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Sebagai promotor untuk solusi-solusi TI, GCIO harus dapat mendefinisikan tujuan dan sasaran solusi yang akan diimplementasikan, strategi pengembangan dan operasionalisasinya, dan tahapan-tahapan yang harus dijalankan. Penentu kebutuhan TI. Sebagai konsekuensi dari peran no. 2 dan 3, instansi pemerintah akan memerlukan sarana dan fasilitas TI (perangkat keras, jaringan, perangkat lunak, dan data). Penentuan kebutuhan dengan memanfaatkan prinsip efisiensi dan efektivitas perlu dilakukan oleh GCIO. Lingkupnya adalah pada organisasi sebagai sebuah enterprise sehingga perlu memperhitungkan alokasi dan pemakaian bersama di unit-unit internal yang ada. Perancang investasi dan anggaran TI. GCIO juga perlu memiliki fungsi perancang investasi dan anggaran untuk menjamin kebutuhan-kebutuhan TI dapat diadakan (procured) secara tepat guna. Penilai kinerja TI (IT performance). Implementasi TI yang berjalan perlu dinilai kinerjanya untuk berbagai kepentingan. Untuk kepentingan audit, penilaian kinerja dilakukan untuk mengetahui kelayakan implementasi dengan anggaran. Untuk kepentingan pengembangan dan penyempurnaan, evaluasi kinerja dapat memberitahu aspek-aspek apa saja yang perlu mendapatkan perhatian. GCIO harus dapat menjadi promotor maupun eksekutor dalam evaluasi kinerja TI. Pengelola operasional sistem-sistem berbasis TI dan teknologi pendukungnya. Pada tataran operasional, GCIO diperlukan untuk menjamin operasional sistem dan teknologi informasi dapat berjalan dengan baik.

Kurikulum Program S2 CIO Magister Teknologi Informasi UGM

Selanjutnya kebutuhan kompetensi kedua tipe GCIO diakomodasi dalam sebuah kurikulum yang rancangannya dapat dilihat pada Gambar-1 dan Gambar-2.
Pemahaman komprehensif tentang strategi TI dalam organisasi dan metode /cara untuk mewujudkan strategi untuk mencapai tujuan yang diinginkan

Workshop kebijakan strategis


Perluasan wawasan dan pemantapan pemahaman melalui studi studi kasus -

Keselarasan Bisnis dan TI


Tatakelola TI; strategi penyelarasan manajemen ; perubahan

Pemahaman tentang organisasi manajemen, dan kebijakan serta peluang-peluang TI dalam meningkatan , , keunggulan kompetitif

Manajemen Strategis TI
Pengambilan keputusan teori organisasi dan ; manajemen strategis TI dan keunggulan kompetitif ;

Perkembangan TI dan pemanfaatannya


Tren perkembangan TI TI sebagai enabler ; ; peluang-peluang baru

Gambar-1. Model kurikulum untuk GCIO pembuat kebijakan

Ketrampilan merencanakan mengoperasikan dan mengevaluasi TI dan SI guna mewujudkan berbagai layanan , ,

Perencanaan TI
Identifikasi kebutuhan TI; perencanaan anggaran ; pengadaan manajemen ; proyek

Manajemen Operasi SI
Prinsip operasi SI (HW & SW); pemeliharaan dan update sistem; perawatan data; keamanan sistem

Audit dan Evaluasi SI


Identifikasi indikator kinerja; pengukuran kinerja; evaluasi dan rekomendasi

Workshop kebijakan teknis


Pemantapan pemahaman melalui studi kasus

Pemahaman tentang TI dan pemanfaatan TI untuk mewujudkan berbagai layanan

Azas-Azas TI
Konsep dasar TI; komponen HW&SW; teknologi komunikasi ; konsep pemrograman database, dan networking ,

Konsep Layanan Berbasis TI


Konsep layanan elektronis arsitektur berbasis ; layanan (SOA); ergonomi sistem; CRM

Gambar-2. Model kurikulum untuk GCIO manajer operasional TI Dalam Gambar-1 dan Gambar-2, tiap kotak menunjukkan nama matakuliah yang diberikan, dan bentuk oval berwarna kuning menunjukkan kompetensi yang diharapkan terpenuhi setelah mengikuti matakuliah-matakuliah penyusunnya. Semua matakuliah diberikan (bersifat wajib), dan tidak ada matakuliah pilihan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, desain kurikulum di atas bersifat generik, artinya berlaku pula

untuk CIO di lingkungan non-pemerintahan. Diferensiasi sajian untuk CIO nonpemerintahan dan GCIO terletak pada isi (content) matakuliahnya. Bahasan kuliah disesuaikan dengan sasarannya. Kekhasan sasaran (GCIO atau CIO non-pemerintahan) dapat diakomodasi pada matakuliah yang bersifat workshop dan kapita selekta, yang bisa dibentuk secara fleksibel untuk memenuhi karakteristik kebutuhan tertentu. Kurikulum program S2 CIO MTI UGM ditempuh dalam waktu 4 caturwulan (16 bulan), dengan beban 36 SKS. Setelah selesai menempuh studi, seorang lulusan diharapkan memiliki pengetahuan dan ketrampilan dasar dalam menjalani karirnya sebagai seorang CIO. Selanjutnya pengalaman di lapanganlah yang akan membentuk yang bersangkutan dalam menjalankan perannya sebagai seorang CIO di lingkungan kerjanya. Penutup Sejak tahun 2007, Program Magister Teknologi Informasi UGM bekerjasama dengan Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia dalam mendidik para pegawai negeri sipil di lingkungan pemerintah pusat maupun daerah untuk menjadi GCIO di tempatnya masing-masing. Program kerjasama ini berupa pemberian beasiswa bagi para PNS yang lolos seleksi untuk belajar pada program S2 CIO di MTI UGM. Tujuan program kerjasama ini adalah mengakselerasi implementasi e-gov di berbagai instansi pemerintah. Sebagai pemicu (trigger), pemberian beasiswa dimaksudkan untuk menggerakkan kesadaran instansi pemerintah di berbagai tingkat dan sektor tentang pentingnya penyiapan SDM yang tangguh dalam rangka penerapan e-gov. E-gov sendiri saat ini adalah sebuah keharusan mengingat tidak ada satu aspekpun dalam penyelenggaraan pemerintahan yang sama sekali lepas dari pengaruh TI, sementara di sisi lain target peningkatan kesejahteraan masyarakat sudah di depan mata.

Anda mungkin juga menyukai