Anda di halaman 1dari 3

Sekitar tahun 1996 an waktu saya masih di tebuireng saya pernah berziarah di maqom

seorang waliyulloh di pulau Madura dan sempat menginap beberapa malam disana untuk
menghatamkan quran sebelum kembali ke rumah di Jakarta sebagaimana pesan dari
almarhum guru saya. beliau adalah KH Muhammad Khalil bin Kiyai Haji Abdul Lathif
bin Kiyai Hamim bin Kiyai Abdul Karim bin Kiyai Muharram bin Kiyai Asrar Karamah
bin Kiyai Abdullah bin Sayid Sulaiman.

Sayid Sulaiman adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif
Hidayatullah itu putera Sultan Umdatuddin Umdatullah Abdullah yang memerintah di
Cam (Campa). Ayahnya adalah Sayid Ali Nurul Alam bin Sayid Jamaluddin al-Kubra.

KH. Muhammad Kholil dilahirkan pada 11 Jamadilakhir 1235 Hijrahatau 27 Januari


1820 Masihi di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten
Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Beliau berasal dari keluarga Ulama dan
digembleng langasung oleh ayah Beliau menginjak dewasa beliau ta’lim diberbagai
pondok pesantren. Sekitar 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Kiyai
Muhammad Khalil belajar kepada Kiyai Muhammad Nur di Pondok-pesantren Langitan,
Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok-pesantren Cangaan, Bangil,
Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok-pesantren Keboncandi. Selama belajar di
pondok-pesantren ini beliau belajar pula kepada Kiyai Nur Hasan yang menetap di
Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kiyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih
mempunyai pertalian keluarga dengannya. Sewaktu menjadi Santri KH Muhammad
Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa
Arab). disamping itu juga beliau juga seorang hafiz al-Quran . Belia mampu membaca
alqur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca al-Quran).

Pada 1276 Hijrah/1859 Masihi, KHMuhammad Khalil Belajar di Mekah. Di Mekah KH


Muhammad Khalil al-Maduri belajar dengan Syeikh Nawawi al-Bantani(Guru Ulama
Indonesia dari Banten). Di antara gurunya di Mekah ialah Syeikh Utsman bin Hasan ad-
Dimyathi, Saiyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-
Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani i. Beberapa sanad hadis yang
musalsal diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail
al-Bimawi (Bima, Sumbawa). Kh.Muhammad Kholil Sewaktu Belajar di Mekkah
Seangkatan dengan KH.Hasym Asy’ari,Kh.Wahab Hasbullah dan KH.Muhammad
Dahlan namum Ulama-ulama Dahulu punya kebiasaan Memanggil Guru sesama
Rekannya, Dan Kh.Muhammad KHolil yang Dituakan dan dimuliakan diantara mereka.
Sewaktu berada di Mekah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Kh.Muhammad
Khalil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para
pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu:
Syeikh Nawawi al-Bantani, Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri dan Syeikh Saleh as-
Samarani (Semarang) menyusun kaedah penulisan huruf Pegon. Huruf Pegon ialah
tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf
Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa
Melayu.

karena Kiyai Muhammad Khalil cukup lama belajar di beberapa pondok-pesantren di


Jawa dan Mekah, maka sewaktu pulang dari Mekah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar
nahwu, fiqih, thariqat ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman
yang telah diperolehnya, Kiyai Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan pondok-
pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa
kelahirannya. Kh. Muhammad Khalil al-Maduri adalah seorang ulama yang
bertanggungjawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam
dan bangsanya. Beliau sedar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam
suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya. Beliau
dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus peratus memeluk agama Islam, sedangkan
bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristian. Sesuai dengan
keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekah telah berumur lanjut, tentunya Kiyai
Muhammad Khalil tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan
senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya. Kiyai
Muhammad Khalil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda kerana dituduh
melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya.
beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaana lainnya yang terlibat
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan
dari Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri .

Kh.Ghozi menambahkan, dalam peristiwa 10 November, Mbah Kholil bersama kiai-kiai


besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah dan Mbah Abas Buntet
Cirebon, menge-rahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu.

Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang
bersenjatakan lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan kiai-kiai itu
bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar.

Tak ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan
pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan
buyar.

Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan. ”Hasilnya
terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan yang senjatanya
super modern. Tapi sayang, peran ulama yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak
banyak dipublikasikan,” papar Kiai Ghozi, cucu KH Wahab Chasbullah ini.
Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada
di beberapa tempat dalam waktu bersamaan.

Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah
Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau
basah kuyub,” cerita kh Ghozi.

Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa.
Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju.

Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Mbah
Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut,
langsung ditolong Mbah Kholil.

”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil
dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah.
Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si
nelayan itu,” papar kh Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.

di antara sekian banyak murid Kh Muhammad Khalil al-Maduri yang cukup menonjol
dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah Kh Hasyim
Asy’ari (pendiri Pondok-pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdhatul Ulama /
NU) Kiyai Haji Abdul Wahhab Hasbullah (pendiri Pondok-pesantren Tambakberas,
Jombang); Kiyai Haji Bisri Syansuri (pendiri Pondok-pesantren Denanyar); Kiyai Haji
Ma’shum (pendiri Pondok-pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda Kiyai Haji Ali
Ma’shum), Kiyai Haji Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang); dan Kiyai
Haji As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok-pesantren Asembagus, Situbondo).

Kh. Muhammad Khalil al-Maduri, wafat dalam usia yang lanjut 106 tahun, pada 29
Ramadan 1341 Hijrah/14 Mei 1923 Masihi.

Anda mungkin juga menyukai