Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH ANTROPOLOGI

PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI HUKUM DI INDONESIA

1. Antropologi di Indonesia Dunia antropologi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari nama mendiang Prof.Dr. Koentjaraningrat, M.A. Lelaki kelahiran Yogyakarta 15 Juni 1923 ini memang sudah sangat identik dengan dunia antropologi kita. Padahal kalau ditilik, awalnya almarhum lebih tertarik pada bidang sastra. Ia alumnus Sastra Indonesia dari Universitas Indonesia pada 1952. Tapi minatnya berbelok ke bidang budaya, sehingga sukses menyabet gelar MA pada Yale University, AS, dan pada 1958[5] dibawah bimbingan Prof. Dr. Elisabeth Allard. Anak Tunggal R.M. Emawan Brotokoesoemo ini menjadi doktor antropologi UI dengan judul disertasi Beberapa Methode Antropologi dalam Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia.Koen, demikian nama panggilannya, Putera pegawai pamong praja Pakualaman, Yogyakarta ini dikirim ke sekolah khusus yang hanya menerima anak-anak Belanda. Setelah itu ke MULO, lantas ke AMS. Tetapi, ketika ayahnya pindah ke Purwokerto, Koen tetap di Yogyakarta dan berkesempatan meneruskan mempelajari kebudayaan Jawa. Baru setahun Koen kuliah di Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada, terjadi Revolusi Kemerdekaan. Ia menggabungkan diri dalam Korps Mahasiswa Universitas Gajah Mada. Ia ditugaskan menjadi guru para prajurit yang sedang bertempur mengajar bahasa Inggris dan sejarah. Ia ditempatkan di Brigade 29, Kediri. Setelah perjanjian Renville, 1948, ia kembali kuliah di Universitas Gajah Mada. ''Untung, seandainya saya masih di Kediri, saya nggak hidup lagi'', katanya. Seperti diketahui, Brigade 29 memihak kaum komunis dalam Peristiwa Madiun (1948), yang kemudian dihancurkan oleh pasukan Siliwangi. Koen menikah dengan Kustiani yang dikenalnya sejak di UI, ayah tiga anak yang juga berjasa dalam mendirikan LP3ES.Koen tertarik pada antropologi sejak menjadi asisten Prof. G.J. Held, guru besar antropologi di Universitas Indonesia yang mengadakan penelitian lapangan di Sumbawa. Tak mau memendam ilmu yang diperolehnya, Koentjaraningrat terus memperkenalkan dan mengembangkan antropologi yang saat itu merupakan ilmu pengetahuan baru di Indonesia.

Ia mendirikan Jurusan Antropologi dan mengajar di sana. Ia juga mendirikan jurusan antropologi di berbagai universitas di berbagai daerah Indonesia.Sembilan tahun sudah doktor antropologi Indonesia pertama itu meninggal dunia. Ia mewariskan pemikirannya dalam berbagai buku dan tulisan yang tak kurang dari 200 judul yang diterbitkan dari majalah-majalah ilmiah di dalam maupun di luar negeri, 22 buah buku dan beberapa buah karangan ilmiah populer untuk surat kabar. Rata-rata buku tersebut menjadi buku pegangan mahasiswa antropologi selama bertahun-tahun, di antaranya Pengantar Antropologi, Keseragaman Aneka Warna Masyarakat Irian Barat (1970), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (1971), Petani Buah-buahan di Selatan Jakarta (1973), Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (1974), Pengantar Ilmu Antropologi (1979), Masyarakat Desa di Indonesia (1984), Kebudayaan Jawa (1984), Irian Jaya, Membangun Masyarakat Majemuk (1992). Kepiawaiannya di bidang antropologi seolah belum ada pesaing di eranya. Oleh karena itu, Koentjaraningrat langganan menjadi guru besar di banyak kampus, selain Deputi Ketua LIPI. Ia pernah menjadi Guru Besar Antropologi pada Universitas Indonesia, kemudian menjadi Guru Besar Luar Biasa pada Universitas Gadjah Mada, dan juga Guru Besar di Akademi Hukum Militer di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Ia juga pernah diundang sebagai guru besar tamu di Universitas Utrecht, Belanda, Universitas Columbia, Universitas Illinois, Universitas Ohio, Universitas Wisconsin, Universitas Malaya, Ecole des Hautes, Etudes en Sciences Sociales di Paris dan Center for South East dan Asian Studies di Kyoto. Ia juga meraih penghargaan ilmiah gelar doctor honoris causa dari Universitas Utrecht, 1976 dan Fukuoka Asian Cultural Price pada tahun 1995. Salah satu mahasiswa bimbingan Prof.Dr. Koentjaraningrat adalah Dr. Nico L. Kana (Alumni UKSW/Mantan Ketua GMKI Cabang Salatiga/Mantan Dosen UKSW,kiniKetuaYayasanPercik-Salatiga).

2. Antropologi dan Pembangunan di Indonesia Salah satu diantara perhatian-perhatian khusus dalam antropologi adalah perubahan masyarakat dan kebudayaan dan salah satu diantara berbagai corak perubahan masyarakat dan kebudayaan yang menjadi perhatian antropologi adalah perubahan masyarakat dan kebudayaan yang direncakan melalui program

pembangunan. Pembangunan dapat didefinisikan sebagai serangkaian upaya yang direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah, badan-badan atau lembaga-lembaga internasional, nasional atau lokal, yang terwujud dalam bentuk-bentuk kebijaksanaan, program, atau proyek, yang secara terencana merubah cara-cara hidup atau kebudayaan dari sesuatu masyarakat sehingga warga masyarakat tersebut dapat hidup lebih baik atau lebih sejahtera daripada sebelum adanya pembangunan tersebut (Suparlan, 1995).Program-program tersebut biasanya terwujud sebagai program-program pembangunan ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang mencakup programprogram peningkatan kesejahteraan hidup atau mutu dalam bidang-bidang sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, kehidupan keluarga dan kependudukan, pertanian, industri, pasar dan kewiraswastaan, hukum dan hak-hak untuk memperoleh keadilan, keteraturan sosial dan politik, komunikasi dan transportasi, hiburan dan pariwisata, pandangan hidup dan keyakinan keagamaan (ideologi). Koentjaraningrat telah mengidentifikasi masalah-masalah yang tercakup dalam pembangunan di Indonesia, yang dinamakannya Antropologi Terapan, yaitu masalah-masalah (1) penduduk; (2) struktur masyarakat desa; (3) migrasi, transmigrasi dan urbanisasi; (4) integrasi nasional; (5) pendidikan dan modernisasi. Mengapa harus melibatkan Antropolog atau menggunakan Ilmu Antropologi dalam pembangunan di Indonesia? Antropologi sebagai sebuah ilmu pengetahuan sosial, yang berbeda dari ilmu-ilmu humaniora (ilmu filsafat atau ilmu sejarah, misalnya) dan dari sains (fisika, kimia dan biologi misalnya), bercorak intelektual dan akademis serta berlandaskan pada metode ilmiah yang universal serta baku dan yang obyektif serta membumi (grounded) yang berpihak pada kemanusiaan. Keberpihakan pada kemanusiaan yang ada dalam antropologi tidak berarti bahwa antropologi tidak bebas nilai, sebagaimana yang ada dan menjadi ciri dari humaniora seperti yang dikemukakan oleh tokoh sejahrawan Indonesia, Profesor Taufik Abdullah yang berulang kali mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak bebas nilai. Antropologi, sebagai ilmu pengetahuan, terbebas dari nilai-nilai budaya maupun nilai-nilai pribadi yang dipunyai oleh ahli antropologi yang bersangkutan. Antropologi, Sebagai ilmu pengetahuan ytang berisikan konsep-konsep dan teori-teori yang dapat digunakan untuk

menjelaskan makna dari gejala-gejala dan hakekat hubungan antara gejala-gejala yang ada dalam kehidupan masyarakat, secara sadar atau tidak sadar banyak ahli dari bidangbidang ilmu pengetahuan lainnya telah menggunakan konsep-konsep dan teori-teori yang ada dalam antropologi untuk menjelaskan berbagai masalah sosial yang relevan, bahkan pejabat pemerintah dan orang awam juga menggunakannya (contoh: konsep rintangan-rintangan mental dan pembangunan dari Koentjaraningrat yang secara luas diacu dan digunakan dalam masyarakat Indonesia). Apapun jabatannya dan seperti apa pun peranannya, para ahli antropologi yang bekerja di pemerintahan atau lembagalembaga pembangunan internasional atau nasional, yang dapat dinamakan sebagai ahli antropologi pembangunan, melakukan kegiatan-kegiatan kajiannya dengan berprinsip pada metode pengamatan terlibat atau partisipatori yang melakukan kajiannya dari perspektif masyarakat yang dijadikan sasaran pembangunan (Green 1986:1-9; Rhoades 1986:36-66). Walaupun demikian kajian-kajian antropologi pembangunan mempunyai corak yang berbeda dan kajian antropologi pada umumnya, karena etnografi yang dihasilkan oleh para ahli antropologi pembangunan menekankan pada tema-tema yang relevan dengan masalah utama dalam upaya penerapan teknologi modern (pertanian, kesehatan, pendidikan, politik dan administrasi pemerintahan atau bidang-bidang lainnya). Beberapa contoh diantaranya, keberhasilan pembangunan pariwisata Bali sampai dengan akhir 1980-an, keberhasilan pembangunan di Wamena dengan pusat kegiatannya adalah pertanian sawah, model transmigrasi dan pemugaran desa (Kampung Development) di Timika dan masih banyak contoh lainnya. 3. Antropologi Pada Awal Dan Perkembangan Tema Kajian Dari Pandangan Ilmu Hukum, sejak warsa 1980-an dunia pendidikan ilmu hukum di Indonesia semakin diperkaya dengan pengenalan studi-studi hukum empiris dengan menggunakan pendekatan antropologis. Untuk ini, T.O. Ihromi dan Valerine J.L. Kriekhoff dari UI bekerjasama dengan F. von Benda Beckmann dari Wageningen Agriculture University the Netherlands dapat dinobatkan sebagai peletak dasar studistudi antropologis tentang hukum yang kemudian dikenal sebagai antropologi hukum (anthropology of law, legal anthropology, anthropological study of law). antropologi hukum sebagai bidang studi ilmu hukum empiris, dengan berfokus pada awal pemikiran studi-studi antropologis tentang hukum, pengembangan konsep hukum dalam studi

antropologi hukum, perkembangan tema-tema kajian antropologi hukum, metodologi antropologi hukum, dan diskusi tema kemajemukan hukum dalam studi antropologi hukum. antropologi hukum pada dasarnya adalah sub disiplin ilmu hukum empiris yang memusatkan perhatiannya pada studi-studi hukum dengan menggunakan pendekatan antropologis. Kendati demikian, dari sudut pandang antropologi, sub disiplin antropologi budaya yang memfokuskan kajiannya pada fenomena empiris kehidupan hukum dalam masyarakat secara luas dikenal sebagai antropologi hukum. Antropologi hukum pada dasarnya mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum dengan fenomena-fenomena sosial secara empiris dalam kehidupan masyarakat ; bagaimana hukum berfungsi dalam kehidupan masyarakat, atau bagaimana hukum bekerja sebagai alat pengendalian sosial (social control) atau sarana untuk menjaga keteraturan sosial (social order) dalam masyarakat. Dengan kata lain, studi-studi antropologis mengenai hukum memberi perhatian pada segi-segi kebudayaan manusia yang berkaitan dengan fenomena hukum dalam fungsinya sebagai sarana menjaga keteraturan sosial atau alat pengendalian sosial (Pospisil, 1971:x, 1973:538; Ihromi, 1989:8). Karena itu, studi antropologis mengenai hukum secara khusus mempelajari proses-proses sosial di mana pengaturan mengenai hak dan kewajiban warga masyarakat diciptakan, dirobah, dimanipulasi, diinterpretasi, dan diimplementasikan oleh warga masyarakat (F. von Benda-Beckmann, 1979, 1986). Awal pemikiran antropologis tentang hukum dimulai dengan studi-studi yang dilakukan oleh kalangan ahli antropologi dan bukan dari kalangan sarjana hukum. Awal kelahiran antropologi hukum biasanya dikaitkan dengan karya klasik Sir Henry Maine yang bertajuk The Ancient Lawyang diterbitkan pertama kali pada tahun 1861. Ia dipandang sebagai peletak dasar studi antropologis tentang hukum melalui introduksi teori evolusionistik (the evolusionistic theory) mengenai masyarakat dan hukum, yang secara ringkas menyatakan : hukum berkembang seiring dan sejalan dengan perkembangan masyarakat, dari masyarakat yang sederhana (primitive), tradisional, dan kesukuan (tribal) ke masyarakat yang kompleks dan modern, dan hukum yang inherent dengan masyarakat semula menekankan pada status kemudian wujudnya berkembang ke bentuk kontrak (Nader, 1965; Roberts, 1979; Krygier, 1980; Snyder, 1981). Tema kajian pada fase awal studi-studi teoritis mengenai hukum dengan pendekatan antropologis lebih difokuskan pada fenomena hukum dalam masyarakat bersahaja (primitive), tradisional (traditional), dan kesukuan (tribal) dalam skala evolusi

bentuk-bentuk organisasi sosial dan hukum yang mengiringi perkembangan masyarakat manusia. Sedangkan, metode kajian yang digunakan untuk memahami fenomena hukum dalam masyarakat adalah apa yang dikenal sebagai armchair methodology, yaitu metodologi untuk memahami hukum dalam perkembangan masyarakat melalui kajiankajian yang dilakukan di belakang meja, sambil duduk di kursi empuk, dalam ruangan yang nyaman, dengan membaca dan menganalisis sebanyak mungkin documentary datayang bersumber dari catatan-catatan perjalanan para petualang atau pelancong, dari laporan-laporan berkala dan dokumen resmi para missionaris, pegawai sipil maupun para serdadu pemerintah kolonial dari daerah-daerah jajahannya (F. von BendaBeckmann, 1989). Pada awal abad ke-20 metode kajian hukum dari belakang meja mulai ditinggalkan, dan mulai memasuki perkembangan metode studi lapangan (fieldwork methodology) dalam studi-studi antropologis tentang hukum. Karya Barton, misalnya, yang berjudul Ifugao Law yang dipublikasikan pertama kali pada tahun 1919 merupakan hasil dari fieldwork yang intensif dalam masyarakat suku Ifugao di Pulau Luzon Philipina. Kemudian, muncul karya Malinowski berjudul Crime and Custom in Savage Society yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1926 adalah hasil studi lapangan yang komprehensif dalam masyarakat suku Trobrian di kawasan Lautan Pasific, dan seterusnya sampai sekarang metode fieldwork menjadi metode khas dalam studi-studi antropologi hukum. Tema-tema kajian yang dominan pada fase awal perkembangan antropologi hukum berkisar pada pertanyaan-pertanyaan : apakah hukum itu ? apakah ada hukum dalam masyarakat yang bersahaja, tradisional, dan kesukuan ?; bagaimanakah hukum berujud dan beroperasi dalam kehidupan masyarakat ? Pada dekade tahun 1940-an sampai 1950-an tema-tema kajian antropologi hukum mulai bergeser ke mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa dalam masyarakat sederhana. Karya klasik dari Llewellyn dan Hoebel bertajuk The Cheyenne Way (1941) merupakan hasil studi lapangan kolaborasi dari seorang sarjana hukum dengan ahli antropologi dalam masyarakat sukuCheyenne (suku Indian) di Amerika Serikat. Kemudian, Hoebel mempublikasikan The Law of Primitive Man(1954), disusul dengan karya Gluckman mengenai Hukum orang Barotse dan Lozi di Afrika, karya Bohannan mengenai Hukum orang Tiv, karya Gulliver mengenai Hukum orang Arusha dan Ndendeuli. Karya Fallers mengenai Hukum dalam masyarakat suku Soga, dan karya Pospisil tentang Hukum orang Kapauku di Papua. Fase perkembangan tema studi antropologi hukum ke arah mekanisme-mekanisme peneyelesaian sengketa seperti disebutkan di atas disebut oleh

F. von Benda-Beckmann (1989) sebagai fase the anthropology of dispute settlements. Pada dekade tahun 1960-an tema studi-studi antropologi lebih memberi perhatian pada fenomena kemajemukan hukum atau pluralisme hukum. Tema pluralisme hukum pertama-tama difokuskan pada kemajemukan cara-cara penyelesaian melalui mekanisme tradisional, tetapi kemudian diarahkan kepada mekanisme dan institusi penyelesaian sengketa menurut hukum pemerintah kolonial dan pemerintah negaranegara yang sudah merdeka. Karya Bohannan, Gluckman, dan Gulliver misalnya, tidak secara sistematis memberi perhatian pada eksistensi mekanisme dan institusi penyelesaian sengketa menurut hukum kolonial dan hukum negara-negara sedang berkembang Sejak tahun 1970-an tema studi-studi antropologi hukum secara sistematis difokuskan pada hubungan antar institusi-institusi penyelesaian sengketa secara tradisional, neo-tradisional, dan menurut institusi hukum negara. Karya Nader dan Todd (1978) misalnya, memfokuskan kajiannya pada proses, mekanisme, dan institusiinstitusi penyelesaian sengketa di komunitas masyarakat tradisional dan modern di beberapa negara di dunia, melalui Berkeley Village Law Projects, menjadi karya yang memperlihatkan kecenderungan baru dari topik-topik studi antropologi hukum. Publikasi lain yang perlu dicatat adalah mekanisme penyelesaian sengketa di kalangan orang Togo di Afrika karya van Rouveroy van Nieuwaal, kemudian karya F. von Benda-Beckmann (1979) dan K. von Benda-Beckmann (1984) yang memberi pemahaman tentang penyelesaian sengketa harta warisan di kalangan orang Minangkabau menurut pengadilan adat dan di pengadilan negeri di Sumatera Barat. Fase selanjutnya studi pluralisme mekanisme penyelesaian sengketa mulai ditinggalkan, dan mulai diarahkan kepada studi-studi pluralisme hukum di luar penyelesaian sengketa. Karya Sally F. Moore (1978) misalnya, mengenai kemajemukan hukum agraris dalam kehidupan suku Kilimanjaro di Afrika, dan mekanisme dalam proses produksi pabrik garment terkenal di Amerika dapat dicatat sebagai perkembangan baru studi pluralisme hukum. Kemudian, studi-studi pluralisme hukum mulai difokuskan pada mekanisme jaminan sosial (social security), pasar dan perdagangan, mekanisme irigasi pertanian, institusi koperasi dan perkreditan di daerah pedesaan di negara-negara sedang berkembang. Studistudiinidikembangkanoleh AgrarianLaw Department Wageningen Agricult ure University. Fase perkembangan tema pluralisme hukum yang menyoroti topik-topik penyelesaian sengketa maupun non penyelesaian sengketa, interaksi antara hukum

negara, hukum rakyat, atau dengan hukum agama disebut oleh F. von Benda-Beckmann (1989) sebagai fasethe anthropology of legal pluralism. Kecenderungan yang berkembang sejak tahun 1970-an adalah penggunaan pendekatan sejarah dalam studistudi antropologi hukum. Studi yang dilakukan Moore (1986), Snyder (1981), F. von Benda-Beckmann (1979), K. von Benda-Beckmann (1984) misalnya, secara eksplisit menggunakan kombinasi dimensi sejarah untuk menjelaskan interaksi institusi hukum negara (state law) dengan hukum rakyat (folk law) dalam kajian pluralisme hukum penyelesaian sengketa.. Di Indonesia, bila menengok kebelakang, kesejarah hukum atau lebih khusus sejarah studi hukum di Indonesia. Menurut Satjipto Raharjo, maka apa yang telah dilakukan Van Vollenhoven, pada prinsipnya adalah mempelajari hukum secara Antropologis juga. Salah satu karakteristik Antropologi hukum adalah penolakan pada kehadiran dari hukum dalam bentuk yang formal dan mutlak. Ia (Van Vollenhoven) juga telah menolak untuk melihat konseptualisasi hukum sebagaimana yang dibawa orang dari Eropa, dan mencoba untuk melihat hukum di Indonesia yang muncul dari masyarakat dan pergaulan Indonesia sendiri. Dengan demikian, semestinya studi hukum secara antropologis di negeri ini adalah sama tuanya dengan saat Van Vollenhoven memaparkan pikirannya itu. Tetapu sangat disayangkan, bahwa dalam studi hukum di Indonesia, karya Van Vollenhoven lebih diterima secara normatif dogmatis. Peranan ilmuan tersebut sebagai seorang Antropolog hukum tidak diperkenankan. Pada tahun 1940-an sampai 1950-an tema-tema kajian antropologi hukum mulai bergeser ke mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa dalam masyarakat yang diperoleh dari hasil studi lapangan, kolaborasi dari sarjana hukum dengan ahli antropologi. Pada dekade tahun 1960-an tema studi-studi antropologi lebih memberi perhatian pada fenomena kemajemukan hukum atau pluralisme hukum. Tema pluralisme pertama-tama difokuskan pada kemajemukan cara-cara penyelesaian melalui mekanisme tradisional, tetapi kemudian diarahkan kepada mekanisme dan institusi penyelesaian sengketa menurut hukum pemerintah kolonial dan pemerintah negara-negara yang sudah merdeka. Sejak tahun 1970-an tema studi-studi antropologi hukum secara sistematis difokuskan pada hubungan antar institusi-institusi penyelesaian swngketa secara tradisional, neo-tradisional, dan menurut institut hukum negara. Seperti karya F. Von

Benda-Backmann (1979) dan K. Von Benda-Backmann (1984) yang memberi pemahaman tentang pilihan hukum dalam penyelesaian sengketa harta warisan dikalangan orang Minangkabau menurut mekanisme Pengadilan Adat dan Pengadilan Negeri di Sumatera Barat. Penelitian Atmadja (1993) menunjukan bahwa ternyata peranan desa adat Sangeh penting dalam menciptakan kaedah-kaedah (yang bersanksi) untuk menjaga kelestarian hutan Sangeh, sekaligus mensosialisasikan kaedah-kaedah itu dikalangan warga desa. Selain itu mereka juga melakukan kontrol sosial dan mengenakan sanksi bagi para pelanggar. Bahkan masyarakat desa adat tersebut mempertahankan berlakunya kaedah-kaedahnya hingga mereka berkonflik dengan pihak BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) setempat yang notabene adalah institusi formal yang secara resmi berhak mengelola hutan sangeh. Menurut Atmadja, aturan-aturan adat yang dilandasi oleh religi Hindu ternyata efektif dilaksanakan dan berimplikasi bagi pengelolaan hutan wisata Sangeh. Hal yang menarik adalah bahwa pihak kepala daerah Bali justru berpihak pada teknik swakelola hutan wisata oleh masyarakat adat itu (Djaka Soehendra dalam Yanis Maladi: Antara Hukum Adat dan Penciptaan Hukum oleh Hakim (judge made law): 2009;27-28). Pada tahun 2005 penelitian Yanis Maladi memberikan informasi tentang pandangan dan sikap warga masyarakat tentang hukum negara (state law) perihal pendaftaran tanah nasional, dimana sebagian besar warga masyarakat kabupaten Lombok Barat tidak melaksanakan pendaftaran tanahnya meskipun undang-undang (hukum negara) mewajibkan setiap bidang tanah didaftarkan untuk memperoleh ertifikan. Namun pada kenyataanya sebagian warga masyarakat setempat enggan atau tidak ingin mendaftarkan tanahnya dengan berbagai pertimbangan bahw hukum yang bersumber dari hukum lokal (Indigenous people law) dirasakan manfaat dan keampuhannya melindungi hak-hak mereka ketika dihadapkan dengan masalah sengketa yang diajukan ke Pengadilan (Yanis Maladi; Pendaftaran Tanah Nasional dan Kehidupan Hukum Masyarakat:2008). Dari berbagai gambaran dan informasi hasil-hasil penelitian terurai di ata menunjukkan bahwa ilmu antropolgi hukum telah memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu hukum di Indonesia. Dan untuk dimaklumi, sajian materi dalam buku Antropologi Hukum ini, bersumber dari racikan bacaan hasil penataran Antropologi Hukum dan Sosiologi Hukum bagi staf pengajar Fakultas Hukum seluruh Indonesia yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Inonesia (UI) sejak tahun

1994 dalam rangka penyiapan materi mata kuliah Antropologi Hukum yang pada saat itu merupakan mata ajar/mata kulaih baru di fakultas hukum. Sedangkan yang menjadi nara sumber kegiatan tersebut diatas antara lain TO Ihromi, Stajipa Rahardja, Sulistyowati Irianto, Djaka Soehendra, I Nyoman Nurjaya, Yanis Maladi dan lainlainya. Peneributan buku ini bertujuan memberikan pemahaman bagi para staf pengajar, mahasiswa S1 dan S2 dalam kajian-kajian Hukum perspektif Antropologi Hukum. 4. Penggunaan Antropologi Hukum di Indonesia Hukum dalam perspektif antropologis merupakan aktifitas kebudayaan yang berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (social control), atau sebagai alat untuk menjaga keteraturan sosial (social order) dalam masyarakat (Black & Mileski, 1973:6; Black,1976:6, 1984:2). Karena itu, hukum dipelajari sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan, bukan sebagai suatu institusi otonom yang terpisah dari segi-segi kebudayaan yang lain (Pospisil, 1971:x). Jadi, untuk memahami tempat hukum dalam struktur masyarakat, maka harus dipahami terlebih dahulu kehidupan sosial dan budaya masyarakat tersebut secara keseluruhan. We must have a look at society and culture at large in order to find the place of law within the total structure. We must have some idea of how society works before we can have a full conception of what law is and how it works (Hoebel, 1954:5). Kenyatan ini memperlihatkan, bahwa hukum menjadi salah satu produk kebudayaan yang tak terpisahkan dengan segi-segi kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, struktur dan organisasi sosial, ideologi, religi, dll. Untuk memperlihatkan keterpautan hukum dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka menarik untuk mengungkapkan teori hukum sebagai suatu sistem (the legal system) yang diintroduksi Friedman (1975:14-5, 1984:5-7) seperti berikut : 1. Hukum sebagai suatu sistem pada pokoknya mempunyai 3 elemen, yaitu (a) struktur sistem hukum (structure of legal system) yang terdiri dari lembaga pembuat undang-undang (legislatif), institusi pengadilan dengan strukturnya, lembaga kejaksaan dengan strukturnya, badan kepolisian negara, yang berfungsi sebagai aparat penegak hukum; (b) substansi sistem hukum (substance of legal system) yang berupa norma-norma hukum, peraturan-peraturan hukum, termasuk pola-pola perilaku masyarakat yang berada di balik sistem hukum; dan

(c) budaya hukum masyarakat (legal culture) seperti nilai-nilai, ide-ide, harapanharapan dan kepercayaan-kepercayaan yang terwujud dalam perilaku masyarakat dalam mempersepsikan hukum. 2. Setiap masyarakat memiliki struktur dan substansi hukum sendiri. Yang menentukan apakah substansi dan struktur hukum tersebut ditaati atau sebaliknya juga dilanggar adalah sikap dan perilaku sosial masyarakatnya, dan karena itu untuk memahami apakah hukum itu menjadi efektif atau tidak sangat tergantung pada kebiasaan-kebiasaan (customs), kultur (culture), tradisi-tradisi (traditions), dan normanorma informal (informal norms) yang diciptakan dan dioperasionalkan dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan mengkaji komponen struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum sebagai suatu sistem hukum, maka dapat dicermati bagaimana suatu sistem hukum bekerja dalam masyarakat, atau bagaimana sistemsistem hukum dalam konteks pluralisme hukum saling berinteraksi dalam suatu bidang kehidupan sosial (social field) tertentu. Kultur hukum menjadi bagian dari kekuatan sosial yang menentukan efektif atau tidaknya hukum dalam kehidupan masyarakat; kultur hukum menjadi motor penggerak dan memberi masukan-masukan kepada struktur dan substansi hukum dalam memperkuat sistemhukum. Kekuatan sosial secara terus menerus mempengaruhi kinerja sistem hukum, yang kadangkala dapat merusak, memperbaharui, memperkuat, atau memilih lebih menampilkan segi-segi tertentu, sehingga dengan mengkaji komponen substansi, struktur, dan budaya hukum berpengaruh terhadap kinerja penegakan hukum, maka dapat dipahami suatu situasi bagaimana hukum bekerja sebagai suatu sistem dalam kehidupan masyarakat (Friedman, 1984:12). Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa hukum pada dasarnya berbasis pada masyarakat. Karena itu, salah satu metode khas dalam antropologi hukum adalah kerja lapangan (fieldwork methodology) untuk memahami eksistensi dan bekerjanya hukum dalam situasi normal maupun suasana sengketa. Ciri khas yang lain dari antropologi hukum adalah penggunaan pendekatan holistik (holistic approach) dengan selalu mengkaitkan fenomena hukum dengan aspekaspek kebudayaan yang lain, seperti ekonomi, politik, organisasi sosial, religi, ideologi, dll. dalam investigasi dan analisis bekerjanya hukum dalam masyarakat. Selain itu, metode perbandingan hukum (comparative method) juga menjadi ciri khas antropologi hukum, dengan melakukan studi perbandingan antara sistem-sistem hukum dalam masyarakat yang berbeda-beda di berbagai belahan dunia. Dalam kaitan dengan yang

disebut terakhir, hukum adat di Indonesia tidak sama dengan antropologi hukum, karena hukum adat hanya salah satu dari sistem hukum rakyat (folk law ataucustomary law) yang menarik untuk dikaji melalui studi antropologi hukum, seperti juga sistemsistem hukum rakyat asli (indigenous law) yang dapat ditemukan di Malaysia, Philipina, Thailand, Nepal, India, Australia, Amerika Latin, Afrika, dll. dengan menggunakan metode studi perbandingan (comparative study). Jadi, hukum adat (adat law) adalah sistem hukum khas Indonesiayang dapat dijadikan obyek kajian untuk memahami sistem hukum hukum rakyat yang secara empiris hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat sebagai cerminan pluralisme hukum dalam masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia. Karakter khas lain dari antropologi hukum adalah berbagai sistem hukum dalam masyarakat di berbagai belahan dunia dipelajari dengan memfokuskan pada prosesproses mikro (micro processes) yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, metode holistik dalam mengkaji kemajemukan hukum dalam masyarakat sangat membantu menjelaskan mekanisme, prosedur, dan institusi-institusi hukum dan bekerjanya hukum serta keterkaitannya dengan aspek politik, ekonomi, religi, organisasi sosial, ideologi, dll. Implikasi dari karakteristik metodologi antropologi hukum seperti disebutkan di atas adalah : jika studi-studi mengenai fenomena hukum dalam masyarakat dilakukan untuk memperoleh pemahaman secara utuh-menyeluruh dan holistik, maka studi antropologi hukum harus difokuskan paling tidak pada 4 (empat) aspek kajian pokok sekaligus (sebagai satu kesatuan), yaitu mulai dari kajian : 1. Proses Pembuatan Hukum (Law Making Process); 2. Norma Hukum/ Peraturan Perundang-undangan (Legal Norms); 3. Pelaksanaan Hukum (Law Implementation/Application); dan 4. Penegakan Hukum (Law Enforcement). Kajian pada tingkatan proses pembuatan hukum akan memberi pemahaman bagaimana petarungan berbagai kepentingan ekonomi, politik, sosial, religi, termasuk ideologi partai dan tekanan dunia internasional (negara-negara/lembaga-lembaga internasional) mempengaruhi masa-masa perdebatan dan pengambilan keputusan untuk menyetujui (dari lembaga legislatif) dan mensahkan (dari lembaga ekskutif) suatu produk hukum negara (state law). Selain itu, akan diamati dan dicermati apakah proses pembuatan hukumnya sudah melalui mekanisme yang benar, seperti dimulai dengan membuat background paper, naskah akademik, baru kemudian menyusun rancangan

undang-undangnya ?; apakah kemudian dalam proses tersebut dilakukan konsultasi publik (puclic consultation) oleh ekskutif dan dengar pendapat (hearing) sebagai cerminan dari prinsip transparansi dan partisipasi publik dengan melibatkan semua komponen stakeholders sebelum persetujuan oleh legislatif dan pensahan oleh eksekutif dilakukan ?. Dengan demikian, proses-proses tersebut dan pertarungan kepentingan yang mendominasi proses tersebut dapat diketahui secara eksplisit memberi warna dan nuansa, jiwa dan semangat dari produk hukum yang dihasilkan seperti tercermin pada asas dan norma-norma hukumnya. Kajian pada tingkatan norma-norma hukumnya, produk peraturan perundangundangan, akan memberi pemahaman mengenai jiwa dan semangat serta prinsip-prinsip yang dianut dari suatu produk hukum/peraturan perundang-undangan. Kaitan dengan studi antropologi hukum yang berfokus pada pluralisme hukum, akan dicermati apakah prinsip-prinsip penting, seperti : informed-consent principle, prinsip pengakuan dan perlindungan atas hak-hak masyarakat lokal (indigenous tenurial rights), dan prinsip pengakuan atas kamajemukan hukum (legal pluralism) sudah diatur secara eksplisit dalam norma-norma hukumnya. Hal-hal krusial di atas akan dapat terjawab selain dengan mencermati dan mengkritisi norma-norma hukumnya, juga dengan meniti kembali proses pembuatannya ketika berlangsung di tingkat ekskutif dan legislatif. Kajian pada tingkatan implementasi hukum (law implementation) dan tingkatan penegakan hukum (law enforcement) dapat memberi pemahaman mengenai apakah di satu segi aparat pelaksana hukum dan penegak hukum secara konsisten dan konsekuen sudah melaksanakan norma-norma hukum sebagai bagian dari kewenangan, kewajiban, dan tugas-tugasnya; dan di segi lain apakah masyarakat secara konsisten mematuhi dan mentaati hukum yang mengatur perilaku mereka, sehingga dapat dicermati apakah hukum berlaku secara efektif atau mungkin berlangsung sebaliknya menjadi tidak efektif. Pada tingkatan ini akan dapat dipahami bagaimana aspek-aspek ekonomi, politik, sosial, religi, sosial, bahkan ideologi partai atau tekanan negara/lembaga internasional mempengaruhi kinerja pelaksanan hukum maupun penegakan hukum berlangsung dalam masyarakat. Selain itu, dapat dikritisi dengan pendekatan antropologi hukum apakah hukum negara cenderung mendominasi, menggusur, mengabaikan, atau memarjinalisasi eksistensi hak-hak masyarakat lokal dan sistem hukum rakyat (adat) dalam proses implementasi dan penegakan hukum negara melalui politik pengabaian kemajemukan hukum (the political of legal pluralism ignorance);

atau mungkin berlangsung dan diberlakukan secara berdampingan (co-existance) dalam suasana yang harmoni

Anda mungkin juga menyukai