Anda di halaman 1dari 17

Korupsi Dalam Tinjauan Budaya Politik

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Teori Perubahan Sosial Dan Pembangunan

Disusun oleh: Kelompok 1

Universitas Padjadjaran Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Jurusan Administrasi Negara 2010/2011

Anggota-Anggota : 1. Anggita Mahesa 2. Selga 3. R Agung 4. M. Surya Atmaja 5. Nurmawati Utsman 6. Choirunnisa Prisanti 7. Gyska Luthfi P 8. Nisa Dian O 9. Dawis 10.Billianto Dwi 170110100004 170110100006 170110100008 170110100010 170110100012 170110100014 170110100016

Kata Pengantar

Bismillahirahmanirrahim , Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan kita dan senantiasa meridhai amal ibadah kita. Selawat dan salam semoga dilimpahkan kepada junjunan Nabi besar Muhammad s.a.w Alhamdulillah dengan pertolongan dan hidayah Allah-lah, kami dapat menyusun makalah ini ditulis sebagai sumber hukum , dengan harapan semoga makalah ini bermanfaat bagi para mahasiswa / mahasiswi Amin. Kami ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah mendorong kami, serta rekan sekalian yang telah mendukung kami dan memotivasi kami. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu kepada para pembaca, kami mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini.

Jatinangor, April 2011

Penyusun

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Maraknya berita-berita yang dimunculkan akhir-akhir ini mengenai kasus korupsi membuat seoah-olah kita terbiasa dengan kasus penyelewengan yang tidak manusiawi ini. Setiap hari selalu saja ada kasus yang dimunculkan media agar kita sebagai rakyat akhirnya tahu kebusukan-kebusukan para penguasa diatas sana. Dengan banyaknya berita korupsi dan terkuaknya topeng-topeng para koruptor, seolah-olah negara kita memang terbiasa dan pada akhirnya dinilai menjadi negara sarang para koruptor dan korupsi adalah budaya berpolitik di Indonesia.

1.2

Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan korupsi dan budaya politik? 2. Bagaimana budaya politik yang berkembang di Indonesia? 3. Bagaimana korupsi dalam pandangan atau kajian dalam budaya politik? 4. Bagaimana

1.3

Maksud dan Tujuan Maksud dan tujuan penulisan makalah ini adalah mengetahui apakah sebenarnya korupsi dan budaya politik. Juga kaitan keduanya dalam contoh kasus di Indonesia sendiri. Selain mengetahui apa itu korupsi dan budaya politik, penulisan makalah ini mencoba memberikan solusi dan rekomendasi atas kasus yang diungkapkan.

1.4

Sistematika Penulisan KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN : Dalam bab ini diuraikan latar belakang penulisan, rumusan masalah, maksud dan tujuan penulisan, serta sistematika penulisan.

BAB II PEMBAHASAN : Dalam bab ini menguraikan tentang pengertian dari korupsi dan budaya politik, kajian budaya politik, korupsi dalam kajian budaya politik, analisis kasus, serta solusi. BAB III KESIMPULAN SARAN Dalam bab ini diuraikan berupa kesimpulan dan rekomendasi.

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Budaya Politik dan Korupsi Kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio dari kata kerja corrumpere yang memiliki arti busuk, rusak, menyogok, menggoyahkan, memutarbalik. Secara harafiah, Korupsi berarti kebusukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucia, katakata pentimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang memfitnah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah : 1) Penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. 2) Menyelewengkan; menggelapkan (uang dsb) Menurut pasal 345 KUHP, korupsi berarti busuk, buruk, bejat dan dapat disogok, suka disuap, pokoknya merupakan perbuatan yang buruk. Perbuatan korupsi dalam istilah kriminologi digolongkan kedalam kejahatan White Collar Crime. Dalam praktek Undang-undang yang bersangkutan, Korupsi adalah tindak pidana yang memeperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secaa langsung ataupun tidak langsung merugikan keuangan negara dan perekonomian negara. Definisi korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula politik dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras

pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat status atau kewenangannya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi.

Istilah budaya politik (political culture) untukpertama kali muncul pada tahun 1950-an (Almond, 1956), yang penelitian empirisyang substansialnya mulai muncul pada tahun 1960-an. Pada umumnya konsepbudaya politik itu berkaitan dengan

ketidakpuasan baik terhadap pandanganpolitik yang mengabaikan masalahmasalah makna dan kebudayaan; maupunterhadap pandangan kultural yang mengabaikan isu-isu politik dan kekuasaan ( Welch, 1993) Menurut Brown (2002: 779), definisi-definisi budaya politik pada umumnya dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok definisi. Definisi kelompok pertama, kelompok yang membatasi cakupan budaya politik pada

orientasisubyektif bangsa-bangsa, kelompok-kelompok sosial atau individual hinggapolitik. Kelompok ini beranggapan bahwa budaya politik sebagai sistemkeyakinan-keyakinan empiris, simbol-simbol dan nilai-nilai ekspresif yangmenentukan situasi di mana tindakan politik terjadi (Verba, 1965). Dalam artibudaya politik sebagai persepsi subyektif tentang sejarah dan politik, keyakinandan nilai-nilai mendasar, lokus identifikasi dan loyalitas, serta pengetahuan danharapan-harapan politik yang merupakan produk dari pengalaman sejarah khususdari bangsa atau kelompok.Kedua; kelompok yang memperluaskonsep itu sehingga meliputi pola-pola perilaku politik. Dalam hal ini dapatdianalogikan bahwa budaya politik sebagai matriks sikap dan perilaku di manasistem politik berada.Dalam pengertian yang kedua ini,

konseppsikologis demikian melekat, sehingga terjadi perpaduan erat dengan antropologisosial dan budaya. Teori tentang budaya politik merupakan salah satu bentuk teori yang dikembangkan dalam memahami sistem politik. Budaya politik, kata Almond dan Verba, merupakan sikap individu terhadap sistem politik dan komponenkomponennya, juga sikap individu terhadap peranan yang dapat dimainkan dalam sebuah sistem politik. Budaya politik tidk lain daripada orientasi

psikologis terhadap objek sosial, dalam hal ini sistem politik kemudian mengalami proses internalisasi ke dalam bentuk orientasi yang bersifat cognitive, affective, dan evaluative. Orientasi yang bersifat kognitif menyangkut pemahaman dan keyakinan individu terhadap sistem politik dan atributnya, seperti tentang ibu kota negara, lambang negara, kepala negara, batas-batas negara, mata uang yang dipakai, dan lain sebagainya. Sementara itu, orientasi yang bersifat afektif menyangkut ikatan emosional yang dimiliki oleh individu terhadap sistem politik. Jadi, menyangkut feelings terhadap sistem politik. Sedangkan orientasi yang bersifat evaluatif menyangkut kapasitas individu dalam rangka memberikan penilaian terhadap sistem politik yang sedang berjalan dan bagaimana peranan individu di dalamnya. Dengan sikap dan orientasi seperti itu, kemudian terbentuk budaya politik yang berbeda. Dalam sebuah masyarakat yang sikap dan orientasi politiknya didominasi oleh karakteristik yang bersifat kognitif akan terbentuk budaya politik yang parokial. Sementara, dalam sebuah masyarakat yang sikap dan orientasi politiknya diwarnai oleh karakteristik yang bersifat afektif, akan terbentuk budaya politik yang bersifat subjective. Akhirnya, masyarakat yang memiliki kompetensi politik yang tinggi, dimana warga masyarakat mampu memberikan evaluasi terhadap proses politik yang berjalan, akan terbentuk sebuah budaya politik yang bersifat partisipatif. Budaya politik yang demokratik, dalam hal ini budaya politik yang partisipatif, akan mendukung terbentuknya sebuah sistem politik yang demokratik dan stabil. Budaya politik yang demokratik ini menyangkut suatu kumpulan sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi, dan sejenisnya, yang menopang terwujudnya partisipasi, kata Almond dan Verba. Almond dan Verba mengaitkan antara tinggi-rendahnya budaya politik atau civis culture dengan kehadiran demokrasi dalam sebuah negara. Dari hasil penelitian survei yang dilakukan di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Italia, dan

Meksiko, kedua ilmuwan politik tersebut menemukan bahwa negara-negara yang mempunyai civic culture yang tinggi akan menopang demokrasi yang stabil. Sebaliknya negara-negara yang memiliki derajat civic culture yang rendah tidak mendukung terwujudnya sebuah demokrasi yang stabil. Proses pembentukan budaya politik dilakukan melalui apa yang disebut sebagai sosialisasi politik.Yaitu, proses penerusan atau pewarisan nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Budaya Politik di Indonesia: 1. Hierarki yang tegar. Sebenarnya, sangat sulit untuk melakukan identifikasi budaya politik Indonesia, karena atributnya tidak jelas. Akan tetapi, satu hal yang barangkali dapat dijadikan titik tolak untuk membicarakan masalah ini adalah adanya sebuah pola budaya yang dominan, yang berasal dari kelompok etnis yang dominan pula, misalnya kelompok etnis Jawa. Etnis ini sangat mewarnai sikap, perilaku, dan orientasi politik kalangan elite politik di Indonesia. 2. Kecenderungan Patronage. Salah satu budaya politik yang menonjol di Indonesia adalah kecendrungan pembentukan pola hubungan patronage, baik di kalangan pengusaha maupun masyarakat, yang didasarkan atas patronage. Atau oleh James Scott (1976) disebut sebagai pola hubungan patron-client. 3. Kecenderungan Neo-Patrimonialistik. Salah satu kecenderungan yang dapat kita amati dalam perpolitikan Indonesia adalah sebuah kecenderungan akan munculnya budaya politik yang bersifat neo-patrimonalistik. Harold Crouch (1979) telah mengungkapkan beberapa waktu yang lalu. Apa yang

dikemukakan Crouch masih relevan untuk konteks kehidupan politik Indonesia sekarang ini. Dikatakan sebagai neo-patrimonalistik, karena

negara memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik, seperti birokrasi. Tetapi juga memperlihatkan atribut yang bersifat

patrimonalistik. Konsep patrimonialisme yang dikembangkan oleh Max webber (1968). Cukup relevan kalau kita kaitkan dengan pemerintahan Orde Baru. Dalam negara yang patrimonialistik, penyelenggaraan

pemerintahan dan kekuatan militer berada di bawah kontrol langsung pimpinan negara, yang mempersepsikan segala sesuatunya

mempribadi. Pada masa lampau, di Eropa, dukungan terhadap penguasa yang patrimonialistik diperoleh bukan dari kalangan aristokrasi (kalangan bangsawan), tetapi berasal dari kalangan budak dan tentara bayaran, yang secara langsung dikuasai sepenuhnya oleh penguasa. Hal itu dapat terjadi karena tidak adanya sitem ekonomi yang kapitalistik, kata Webber.

2.2

Kajian Budaya Politik. Kajian budaya politik kemudian ditinggalkan karena beberapa sebab. Sebab pertama, konsep budaya politik terlalu abstrak alias vague. Persoalan yang ditimbulkan dari abstraknya konsep budaya politik ini antara lain adalah persoalan menentukan unit analisa. Persoalan kedua yang ditimbulkan karena terlalu abstrak adalah variabel budaya sering diperlakukan sebagai variabel residu. Artinya, variabel kultur menjadi the last resort, kalau variabel lain tidak mampu menjelaskan sebuah fenomena. Sebab kedua ia ditinggalkan adalah bahwa politik selalu dikaitkan denganpolitical correctness. Artinya, budaya politik cenderung dijadikan alat untuk menyalahkan keadaan. Misalnya, bila sebuah masyarakat gagal membangun demokrasi, maka budaya dijadikan kambing hitam latar belakang gagalnya demokrasi itu.

Sejak tahun 1990-an, kajian budaya politik kembali mendapat perhatian dari para comparativists. Ada beberapa penyebabnya, diantaranya adalah mulai tersedianya data set global mengenai budaya, seperti data dari World Value Survey. Tersedianya data set ini memungkinkan budaya politik dikaji secara lebih saintifik dengan dukungan data empirik. Sehingga, kajian budaya politik tidak lagi menjadi kajian yang vague dan abstrak. Sebab lain berkembangnya kajian budaya politik adalah munculnya karya-karya akademis yang solid dan lebih kaya mengenai basis

budaya.Selanjutnya, trust menjadi social

capital yang

membentuk

bagi civil society.Sementara di Italia selatan, berkembang apa yang disebut oleh Banfield sebagai amoral familial , dimana orang hanya mempercayai anggota keluarganya. Keadaan semacam ini menjadi lahan amat subur untuk nepotisme dan terbentuknya masyarakat yang tertutup.

2.3

Korupsi dalam Tinjauan Budaya Politik. Korupsi saat ini dipandang sebagai tindakan yang lebih keren dibanding maling atau merampok padahal kedua-duanya merupakan tindakan pencurian milik orang lain atau milik negara atau uang rakyat. Kondisi seperti itu dimungkinkan karena terciptanya sebuah budaya politik yang tertutup, sehingga menimbulkan sifat-sifat yang paternalistik. Indonesia memang mewarisi sifat feodalisme yang sangat kuat dan mengakar, pada masyarakat feodal memberikan upeti kepada atasan adalah sebuah kaharusan, perilaku sekarang ini tidak jauh berbeda dengan masyarakat pada masa lalu, sehingga ketika atasan berbuat curang tidak ada semacam koreksi atau teguran dari bawahan, malahan bawahanpun ikut-ikutan merusaknya. Sifat ini menandakan kekeluargaan yang salah tempat. Maraknya korupsi yang dilakukan oleh pejabat yang memiliki wewenang memang disebabkan lemahnya pengontrolan yang semestinya dilakukan oleh inspektorat jenderal pada masing-masing departemen.

Hampir semua Itjen mengalami penyakit Kultural, yaitu kebiasaan dengan membiarkan kecurangan-kecurangan yang terjadi pada setiap departemen, ini yang membuat lumpuhnya sifat pengontrolan internal. Maraknya tingkat korupsi di Indonesia salah satu penyebabnya adalah tidak adanya budaya oposisi yang terbentuk dalam masyarakat dan sistem politik di Indonesia. Oposisi dipandang sebagai musuh bagi lawan politiknya, sehingga budaya politik oposisi sampai sekarang tidak pernah ada. Oposisi pada bagian tertentu akan memperkuat bangunan pemerintah dan mengharmosiskan pengawasan dan keseimbangan kekuasaan. Penyebab korupsi di Indonesia dikarenakan sistem birokrasi yang dibangun tidak sesuai dengan yang dibutuhkan. Banyak orang-orang yang diangkat tidak sesuai dengan kapasitas dan kemampuan dalam menjalankan mesin birokrasi sehingga birokrasi menjadi tidak efektif. Birokrasi Indonesia cenderung dipaksakan sehingga dalam sistem perekrutanpun ternyata syarat dengan politik uang, inilah yang menjadi pangkal utama korupsi pada birokrasi atau jabatan publik.

Faktor kemiskinan dapat pula menjadi salah satu hal yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan korupsi. Artinya, para pejabat yang melakukan tindakan korupsi ini sama artinya dengan telah melakukan serangkaian tindakan memiskinkan masyarakat secara umum. Dengan korupsi, maka uang yang semestinya untuk rakyat malahan diambilnya, pada akhirnya korupsi telah memiskinkan rakyat miskin. Karenanya, untuk menanggulangi korupsi di Indonesia harus ada upaya bersama melalui penegakan hukum dengan memberikan penguatan pada lembaga-lembaga independen baik di bawah naungan pemerintah seperti KPK, maupun dari kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) misalnya ICW. Selain itu dapat pula diberikan pemahaman anti korupsi melalui jenjang pendidikan dari mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Dan juga, banyaknya pejabat yang melakukan tindakan korupsi dikarenakan budaya yang sudah sekian lama terbentuk. Secara sosial memang

ada keinginan pada manusia yang sifatnya tidak terbatas, namun tidak semua manusia dapat menahan hasrat dan keinginan karena banyaknya godaan, tetapi ada juga sebahagian yang dapat menahan hasrat seperti itu. Sebenarnya masih banyak elite yang melakukan tindakan korup, namun yang terungkap hanyalah sebahagian kecil saja, elite memiliki kemampuan untuk menjaga dengan rapi hasil kejahatan korupsinya.

2.4

Analisis Kasus Korupsi menjadi musuh kita bersama. Manipulasi anggaran justru dilakukan

oleh para anggota legeslatif, baik di tingkat pusat maupun daerah. Praktek korupsi sudah biasa dilakukan di tingkat birokrasi Indonesia, bahkan yang terendah, seperti misalnya contoh kasus korupsi yang sangat jelas dilakukan di muka umum ketika rakyat mengurus KTP, SIM, paspor, akte kelahiran, dan surat-surat penting lainnya. Keberanian untuk berkorupsi para aparat di tingkat paling bawah, seperti oknum polisi dan DLAAJ, justru makin merajalela. Belum lagi yang terjadi di jajaran menengah dan atas yang tidak mudah diditeksi. Korupsi semacam ini biasanya dilakukan atas dasar sistem, sehingga praktek korupsi menjadi tersamar dan biasanya dilakukan secara berjamaah. Dan kami mengambil contoh kasus korupsi yang paling sederhana dan sering ditemui oleh masyarakat, yaitu adanya korupsi saat pembuatan KTP, SIM, paspor, dan surat-surat penting lainnya. Telah banyak masyarakat yang menjadi korban dalam penyalahgunaan dana saat pembuatan surat-surat penting, seperti : KTP, SIM, dan lainlain. Budaya politik yang tertutup memungkinkan maraknya korupsi yang terjadi di Indonesia. Selain itu, juga karena tidak adanya transparansi keuangan dalam suatu pemerintahan, baik pemerintahan secara global maupun dalam skala kecil. Dan juga di Indonesia ini, badan hukum negara sangat lemah. Dengan tidak adanya sangsi berat bagi koruptor, maka kasus korupsi akan terus terjadi. Selain itu, bukan rahasia lagi bahwa oknum-oknum di badan hukum juga ikut terlibat dalam korupsi, kolusii dan nepotisme.

Bukti nyatanya, kami ambil dari beberapa contoh pemungutan uang saat pembuatan KTP dibawah ini: 1. Seperti contoh kasus di Padang, sebenarnya untuk pembuatan KTP itu dibebaskan biaya, tetapi agar proses pembuatannya lancar dan cepat selesai, maka terdapat pemungutan biaya yang seharusnya tidak terjadi. Biaya yang dikeluarkan yaitu sebesar Rp 25.000,00. 2. Di Bekasi, untuk pembuatan KTP dipungut biaya sebesar Rp 50.000,00 3. Di Pekanbaru, untuk pembuatan KTP dipungut biaya sebesar Rp 25.000,00 4. Di Makassar, untuk pembuatan KTP tidak dipungut biaya. 5. Di Bandung, untuk pembuatan KTP dipungut biaya sebesar Rp 10.000,00

Berdasarkan dari contoh kasus diatas, bisa dilihat bahwa adanya pemungutan liar dalam proses pembuatan KTP yang terjadi di berbagai daerah. Walaupun sebenarnya pembuatan KTP dari pemerintah itu tidak dipungut biaya, namun adanya oknum-oknum yang berusaha memanfaatkannya.

2.5

Solusi kasus Dari kasus yang terjadi diatas, ada beberapa solusi untuk menghindari

terjadinya korupsi, antara lain : 1. Memulai dari diri sendiri. Seharusnya ada kesadaran dari masing-masing individu bahwa ia telah melakukan kesalahan dengan mengambil yang bukan hak nya. Dan itu juga tercermin atas keimana dan ketqwaan seseorang. 2. Penegakan hukum. Seharusnya penegakan hukum di Indonesia lebih tegas dalam mengangni koruptor dan harus memiliki standardisasi yang sesuai dengan seberapa besar kesalahan yang dilakukan oleh si koruptor tersebut. 3. Perlunya kontrol pengawasan. Kurangnya pengawasan akan memperparah bangsa kita menjadi bangsa yang korup. Jadi, pengawasan atau pengontrilan itu sangat berperan

penting dalam mengurangi korupsi di Indonesia, baik itu pengawasan dari masyarakat itu sendiri, dari media, maupun dari pemerintah.

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN


3.1 Kesimpulan Budaya politik yang tertutup sangat membuka peluang untuk terjadinya korupsi. Jadi, diperlukan adanya budaya politik yang terbuka agar tidak terjadinya korupsi. Dan korupsi memang semakin marak karena kurangnya kontrol pengawasan baik dari masyarakat itu sendiri maupun dari pemerintah atau lembaga-lembaga masyarakat. Dan dengan budaya politik yang tertutup, maka tidak adanya transparansi tentang politik itu sendiri. Maraknya tingkat korupsi, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya budaya oposisi yang terbentuk dalam masyarakat dan sistem politik. Pada akhirnya, korupsi bisa diminimalisir atau bahkan dihilangkan atas dasar kesadaran dari masing-masing individu sendiri dan juga penegakan hukum harus lebih tegas dan memiliki stardisasi hukum yang jelas. Dan tak lupa juga harus saling mengawasi sera mengontrol sehingga nantinya tidak akan ada celah untuk melakukan penyelewengan (korupsi).

3.2

Rekomendasi. Berdasarkan kesimpulan di atas, maka kami mempunyai rekomendasi kepada pihak KPK untuk lebih mencari akar-akar atau sumber utama masalah dalam kasus korupsi tersebut, karena ketika kita sudah memberantas akarakarnya, maka akan lebih mudah untuk memberantasnya. Dan juga rekomendasi kami ditujukan kepada Badan Hukum untuk lebih tegas dalam menjalankan hukum-hukum tetang korupsi dan lebih tegas dalam menghukum para koruptor yang terbukti melakukan korupsi. Supaya ada keseimbangan antara kesalahan yang dilakukan dengan hukuman yang didapatkan.

DAFTAR PUSTAKA

Gaffar, Afan. 2004. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Kantaprawira, Rusadi. 2006. Sistem Politik Indonesia Suatu Model Pengantar. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Syafiie, Inu Kencana. Azhari. 2005. Sistem Politik Indonesia. Bandung: Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai