A. Pendahuluan Setiap masyarakat didunia mempunyai bahasa tersendiri yang itu bisa menggambarkan bagaimana mereka melakoni kehidupan mereka sehari-harinya, karena kehidupan sehari-hari membentuk struktur logis yang bisa membentuk kultur atau tradisi kehidupan mereka sehingga masuk dalam alam bawah sadar mereka. Untuk mengekspresikan itu kultur dan tradisi yang mereka ungkapkan, manusia membuat bahasa yang mereka sepakati untuk berkomunikasi dengan sesamanya sehingga ide-ide yang masih berada difikirannya bisa dipahami dan kemudian terjadi dialektika antar mereka, yang disetiap kepala ini ada ide masing-maasing, yang membuat kehidupan itu menjadi dinamis. Sebagai buktinya adalah didalam bahasa didaerah tertentu terdapat bahasa yang memang tidak bisa ditemukan maknanya dalam bahasa yang lain didaerah tertentu, baik berupa kosakata maupun berupa ungkapan-ungkapan yang kadang merujuk pada satu maksud maupun maksud atau makna yang benar-benar tidak difahami karena tidak pernah memikirkannya apalagi mendengarnya. Seperti orang jawa tidak tahu apa itu acceleration dalam bahasa inggris, pada akhirnya memang mereka akhirnya memahami itu, tapi mereka agak sulit untuk mengungkapkannya kedalam bahasa jawa. Begitu juga dari bahasa jawa kunduran, kejebur, dll. Agak susah diterjemahkan kedalam bahasa indonesia sekalipun. Untuk menerjemahkannya harus membawa pengertian yang agak panjang. Kemudian kita pindah pada masa pra-islam diderah arab sekitar kabah dan beberapa daerah arab tertentu lainnya. Tentunya orang arab disekitar arab pada waktu itu berbicara dengan menggunakan simbol yang disepakati orang arab yang kemudian sebagiannya disebut sebagai bahasa arab, disana juga sudah ada beberapa kepercayaan keagamaan yang mensyariatkan untuk berhaji dan bersembahyang disekitar kabah. Masyarakat arab juga dikenal dengan masyarakat berjiwa pedagang yang biasa mengeksport dan mengimport barang dari negara yang baru saja didatangi untuk memperjualbelikan dagangannya, sehingga dari sana disepakati dengan adanya bulan-damai untuk gencatan senjata. Sehingga pada bulan damai tersebut dilarang ada darah mengalir akibat perang, walaupun perang merupakan sesuatu hal yang sudah biasa dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa perdagangan merupakan kegiatan rutin yang dilakukan orang arab pada waktu itu dan sangat penting, bahwa ada bulan yang sangat suci untuk memberikan perdagangan berjalan dengan aman tanpa gangguan perang, sehingga sampai ada perlu kesepakatan seperti itu 1 . Kemudian arab khususnya dalam hal ini kabah adalah daerah gurun. Bangsa Arab adalah penduduk asli jazirah Arab. Dalam struktur masyarakat Arab terdapat kabilah sebagai intinya, ia adalah organisasi keluarga besar yang biasanya hubungan antar anggotanya terikat oleh pertalian darah (nasab), ikatan perkawinan atau karena sumpah setia, sehingga institusi kabilah adalah sangat penting dalam kehidupan digurun untuk bertahan hidup karena dengan itu mereka bisa hidup dan hak-haknya terlindungi. Akibatnya fanatisme terhadap keluarga dan pengagungan terhadap nasab keluarga, budaya yang sangat kental dengan budaya patrialistik. satu hal lagi ciri yang sangat spesifik antara masyarakat arab selatan, yang mempunyai sejarah peradaban yang tinggi, dan masyarakat arab utara adalah bahwa masyarakat arab utara, dalam hal ini makkah adalah secara geografis berada pada masyarakat utara, dikenal dengan masyarakat nomad yang suka bergembala, hanya beberapa persen saja masyarakat arab utara ini yang sudah menetap 2 . Saya tidak ingin membahas ini seperti membahas sejarah dengan data yang banyak dan disertai analisis-analisis, saya hanya ingin mengungkap ini secara singkat yang nantinya akan dipergunakan sebagai salah satu pijakan untuk proses menafsir.
B. Filsafat analitik ludwig wittgenstein Menarik mengkuti pemikiran ludwig wittgenstein karena dalam perjalanan pemikirannya yang banyak melewati lika-liku kehidupan yang bisa dibilang indah dalam keindahan yang tidak bisa dirasakan oleh orang lain, karena keindahan itu terletak dihati masing-masing personal individu dalam hal ini adalah wittgenstein sendiri. Kata-katanya yang terakhir yang terakhir Wittgenstein sebelum kematiannya adalah Good! Tell them Ive had a wonderful life! 3 Walaupun dalam kehidupannya dilingkupi kehidupan yang cukup menarik untuk dituliskan dalam sebuah novel jika disertai dengan perjalanan pemikiran yang menjadi pokok-pokoknya. Wittgenstein cukup jujur dengan dengan besar hati merubah dan mau menuliskannya walaupun buku yang kedua diterbitkan oleh muridnya setelah beliau meninggal. Dalam tractatus logico philosophicus, buku yang diterbitkan dan dianggap mewakili pemikiran model yang pertama, wittgenstein berpikir bahwa bahasa sebagai kumpulan besar yang tak
11 Ada empat bulan yang dijadikan bulan suci pada masyarakat pra-islam yaitu: zulkadah, zulhijjah, dan muharram di khususkan untuk ritual agama, dan bulan yang terakhir adalah bulan rajab, dan pada bulan ini adalah bulan yang dikhsuskan untuk kegiatan perdagangan. Karena posisi sentralnya, keterbukaan dan lokasi mekah berada dijalur utama kafilah dari utara keselatan, hijaz menawarkan sebuah kesempatan baik untuk aktivitas keagamaan dan perdagangan. Oleh karena itu muncul festival di Ukaz dan Kabah. Lihat Philip K. Hitti, History of the Arabs, (terj; Cecep Lukman Hakim Dkk). Jakarta; serambi, 2002. H 128 2 Philip K. Hitti, History of the Arabs, hal 100 3 http://my.opera.com. Dipublikasikan pada hari minggu 3 maret 2008 terbatas dari proposisi-proposisi yang sederhana atau yang atomis. Preposisi atomis hakikatnya menggambarkan fakta realitas atomis yaitu keberadaan suatu peristiwa yang paling sederhana yang yang memiliki satu saja analisis yang lengkap. Dengan demikian sebuah proposisi adalah sebuah proposisi yang elementer dengan sebuah kebenaran. Makna dari sebuah proposisi itu adalah kenyataan dari sebuah fakta atau keberadaan dari sebuah peristiwa 4 . Dalam bukunya Philosophical Investigation wittgenstein menolak pandangan pertamanya bahwa bahasa yang bermakna adalah bahasa yang dibangun dari proposisi- proposisi atomis yang masing-masing proposisi elementernya itu dapat membangun bahasa, sehingga proposisi-proposisi tersebut harus dapat diverifikasi sehingga ketika proposisi- proposisi itu menjadi sebuah bahasa maka bahasa tersebut adalah logis karena dibangun dari sesuatu yang empiris atau paling tidak ada kemungkinan untuk diobsevasi. Jadi ini tidak memperdulikan benar atau tidak nya arti tapi, bermakna atau tidaknya. Sehingga bahasa yang tidak bisa diverifikasi adalah tidak bermakna. Tapi pada akhirnya pendapat itu dibantah oleh dirinya sendiri, karena dalam realitasnya bahasa tidak hanya dipakai seperti yang dijelaskan dengan komposisi formal atomis yang ketat. Ada banyak banyak cara untuk mengekspresikan kebenaran 5 . Dalam sebuah kutipan langsung wittgenstein berkata: Adalah sangat menarik untuk membandingkan kemajemukan dari alat-alat dalam bahasa yang dipergunakannya, kita melihat bahwa apa yang kita sebut kalimat dan bahasa tidak mempunyai kesatuan formal yang saya bayangkan, akan tetapi meupakan kelompok struktur yang kurang lebih saling berhubungan satu dengan yang lainnya. 6
Wittgenstein dalam bukunya Philosophical Investigation melihat bahasa dengan pragmatis, artinya beliau lebih meletakkan bahasa pada fungsinya sebagai alat komunikasi manusia. Bahasa tidak hanya memiliki satu struktur logis saja tapi juga penggunaannya dalam berbagai segi kehidupan manusia yang kompleks. Dengan demikian filsafat fungsinya adalah untuk menguraikan atau menjelaskan bahasa bukan malah mengintervensi didalamnya 7 . Sehingga bahasa mempunyai arti jika digunakan manusia apapun bentuknya tanpa melihat apakah itu proposisinya dapat diverifikasi atau tidak. Yang terpenting ketika sebuah bahasa digunakan kemudian mempunyai arti sehingga kedua komunikator menyepakati arti dari bahasa tersebut. Sebuah bahasa aku bisa bermakna sangat banyak tergantung bagaimana subyek memperlakukan, digunakan dengan nada tinggi dan dengan nada rendah akan mengakibatkan makna yang sangat beragam. Diucapkan dengan muka merah atau dengan muka kecut. Ini menunjukkan bahwa satu kata saja bisa menimbulkan berbagai makna, tidak seperti yang dibicarakan Wittgenstein pada fase pertama tractatus logico philosophicus bahwa sampai pada proposisi yang paling elementer hanya mempunyai satu makna yang logis.
4 Kaelan, M.S. Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya, Yogyakarta, Paradigma, 2002, hal 144 5 Kaelan, M.S. Filsafat Bahasa, hal 144-145 6 Kaelan, M.S. Filsafat Bahasa, hal 145 7 Kaelan, M.S. Filsafat Bahasa, hal 146 Wittgenstein menggambarkan bahwa bahasa itu seperti sebuah keluarga, antara kakak dan adik ada beberapa hal yang berbeda dari bentuk matanya dan ada pula yang sama dibagian-bagian tubuh yang lain, artinya bahasa itu mempunyai karakter seperti itu. Dalam satu bentuk bahasa yang sama mempunyai karakter umum yang sama dalam satu sisi maknanya tapi diantara mereka ada aksentuasi yang ditekankan secara berbeda, demikian ujarnya: Saya kira tidak ada ungkapan yang lebih sesuai untuk menggambarkan sifat kata atau kalimat, yang dipergunakan dalam banyak cara; aneka kemiripan keluarga aneka kemiripan dalam keluarga terlihat dalam bentuk, sifat, warna mata, sikap, temprament, dan lain-lain. Meskipun tampakny saling tumpang tindih dan simpang siur, namun terletak dalam jalur yang sama, dan saya katakan ini bagian bentuk dari permainan keluarga 8 . Kesadaran Wittgenstein tentang keanekaan bahasa walaupun masih dalam satu keluarga, dilihat dari sudut pandang yang lain. Ada kecenderungan untuk mencari pengertian umum yang diperkirakan mencerminkan sifat keumumannya. Hal ini disebutnya dengan istilah carving for generality yaitu adanya kecenderungan mencari istilah umum pada sesuatu banyak entitas kongkrit. Mencari keragaman dalam keseragaman, ketunggalan dalam kemajemukan 9 . Sehingga akibat yang paling ketahuan adalah menghilangkan sesuatu hal spesifik yang seharusnya malah menjadi identitas kata kunci dari pengertian sebuah bahasa. Artinya basis penelitian Wittgenstein berpindah dari bahasa harus sesuai logika formal menjadi bahasa mempunyai makna yang berbeda dalam penggunaan makna sehari-hari yang mempunyai aturannya sendiri-sendiri. Sebuah kata akan mempunyai makna ketika berada dalam deretan kalimat, dan kalimat mempunyai makna ketika dipergunakan dalam bahasa 10 , artinya makna sebuah kata ketika berada pada sebuah kalimat, dan makna sebuah kalimat ketika berada pada sebuah bahasa dan segala ruang lingkupnya. Kemudian muncullah istilah language game yang diartikan permainan bahasa hal ini konon muncul kata ini ketika Wittgenstein menonton permainan sepakbola, tiba-tiba melintas dalam benaknya, bahwa sesunggunya dalam bahasa kita juga terdapat suatu bentuk permainan kata 11 . Makna bahasa ditemukan ketika berada dalam ruang lingkup penggunaanya, seperti dalam sepakbola juga yang mempunyai arti jika mempunyai aturan-aturan yang sudah ditentukan, bola dalam sebuah permainan hanya ada satu dalam lapangan, 2 gawang, 22 pemain, pelanggaran, kartu kuning dan seterusnya. Tanpa itu semua tidak dikatakan sepakbola. Bahasa juga. Menurut Wittgenstein macam permainan bahasa itu adalah diantaranya member perintah, mematuhi perintah, bergurau, mengarang cerita, mengarang dan menjawab teka- teki, bertanya, memaki, berterima kasih dan masih banyak lagi 12 setiap bahasa yang
8 Rizal Mustansyir, filsafat analitik sejarah, perkembangan dan peranan para tokohnya, yogyakarta; pustaka pelajar, 2001. Hal 106 9 Rizal Mustansyir, filsafat analitik, hal 108 10 Rizal Mustansyir, filsafat analitik, hal 104-105 11 Rizal Mustansyir, filsafat analitik, hal 102 12 Rizal Mustansyir, filsafat analitik, hal 103 digunakan mempunyai maknanya sendiri dan juga aturannya sendiri, sehingga tidak bisa dicampur antara aturan pernyataan dan aturan bahasa pertanyaan, antara bergurau dan memberi perintah, sehingga ketika terjadi tumpang tindih atau aturan yang bahasa tertentu digunakan untuk aturan bahasa yang lain akan kacau. Sehingga diperlukan perhatian pada alat-alat bahasa yang dipergunakan dan jenis keanekaragamannya. Sehingga pemilihan dari sebuah kata harus diperhatikan, dikoordinasikan dengan aturan bahasa apa yang sedang dipergunakan. Setiap kelas atau kelompok dalam kehidupan social ini mempunyai bahasanya sendiri, menurut hemat penulis ini juga masih bisa menggunakan teori language game milik Wittgenstein. Kelompok ulama mempunyai bahasa nya sendiri dan segala aturannya, kelompok priayi juga masih mempunyai aturan-aturan bahasa yang dipahaminya yang berbeda dengan bahasanya orang terminalan, demikian juga bahasa ekonomi orang pedagang dalam kegiatan perkonomian mereka, aturan-aturan bahasa mereka tidak bisa dicampuradukkan dengan bahasa yang digunakan sehari-hari oleh politisi. Sehingga akibatnya akan lucu apabila bahasa peradilan diselesaikan dengan bahasa perdagangan. Semuanya akan kacau dan tatanan dunia ini juga akan dikacaukan dengan acuhnya tatanan bahasa yang digunakan.
C. Analisis bahasa dalam penafsiran. Al quran turun ditanah arab pada abad 7 masehi, jelas al quran turun ditanah arab yang secara spesifik berada disekitar makkah dan madinah (kemudian ada istilah dalam al quran makkiyah dan madaniyah), yang kesemuanya turun di tanah Arab dan turun menggunakan bahasa arab seperti keterangan ayat: .^^) +OE4^4O^ ^47O~ 1)4O4N 7^UE- ]OUu> ^g 13
Bahwa al quran diturunkan membawa misi yang luhur untuk membangun peradaban kemanusiaan. dari kenyataan sejarah bahwa al quran turun di tanah Arab ini akan penulis ambil beberapa kenyataan juga yang berupa karakteristik turunnya al quran di tanah Arab yang nantinya akan kami bedah dengan pendekatan teori language game yang ditawarkan oleh Ludwig Wittgenstein. Kita tahu, dan penulis terutama, meyakini bahwa tuhan berbicara kepada makhluknya diantaranya adalah al quran itu sendiri, padahal al quran adalah kitab yang disana terdiri dari huruf yang tersusun ada awalnya dan akhirnya. Sedangakan sifat tuhan adalah tidak terbatas, dan kalamnya tuhan juga tidak terbatas 14 . Penulis tidak ingin memperdebatkan bahasa al quran yang bahasa arab itu merupakan bahasa tuhan atau tidak, tapi yang menjadi kenyataan bahwa al quran diturunkan dengan wahyu melalui jibril dengan
13 Surah yusuf ayat 2, dan masih banyak lagi ayat yang menerangkan kearaban bahasa al quran dari keterangan al quran sendiri. 14 Badruddin al Zarkasyi, Al Burhan Fi Ulum Al Quran, Dar Ihya Kutub al Arabia, 1957, hal 9 bahasa yang demikian arab dan dengan yakin tidak berubah. Penekanan penulis hanya sampai pada bahwa bahasa arab digunakan tuhan untuk berbicara kepada masyarakat Arab pada masa itu. Pertanyaan pertama yang paling mendasar adalah apakah bahasa al quran yang digunakan pada masa itu hanyalah bahasa arab yang tersusun dari bunyi-bunyi huruf arab yang dibelakangnya menunjukkan satu arti saja yang sangat ketat (kalau artinya tidak itu maka tidak bermakna) atau bahasa arab yang dibelakangnya ada sebuah kultur arab yang luas, struktur masyarakat arab, dan apapun hal yang telah dipahami orang arab sebelum al quran turun, atau bagaimana? Artinya dibalik pertanyaan ini ada sebuah dialektika komunikasi antara tuhan dan manusia, tuhan turun kepada manusia, berbicara dengan bahasa manusia dengan aturan bahasa yang dipahami manusia, sehingga manusia bisa memahami apa yang dimaksud dengan inti ajaran tuhan yang sebenarnya. Seperti disebut ayat: .4`4 4LUEcO }g` OcO ) p=O)U) gOg`O~ -))-4lN1g +O W O_N1 +.- }4` +7.4=EC Og;_4C4 }4` +7.4=EC _ 4O-4 +OCjOE^- OOE^- ^j ;4 4LUEcO _E<ON` .E4g4C4*) ] @Ou= El4`O~ ;g` geEUe- O) jOO4- -O]O4 ++C) *.- _ ]) O) CgO e4CE ]7g O*l= OO7E- ^) 4. Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya[779], supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan[780] siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. 5. Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat kami, (dan kami perintahkan kepadanya): "Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah[781]". Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur. Hal ini bisa dibuktikan dengan turunnya al quran (walaupun sudah dengan bahasa manusia, arab) tapi tidak diturunkan secara langsung 30 juz, tapi sedikit demi sedikit selama 23 tahun. Hal ini tuhan sangat memperhatikan kemanusiaan manusia itu sendiri. Sehingga al quran itu turun tidak langsung, tapi mengikuti atau berdialektika dengan kehidupan masyarakat pada waktu itu 15 . Supaya ajaran itu bisa benar-benar dihayati. Penurunan Al quran dengan cara seperti itu paling tidak, menggambarkan bahwa tuhan berbicara dengan manusia dengan hokum-hukum bahasa yang dipahami baik secara structural maupun cultural oleh manusia, artinya dalam teori Wittgenstein tuhan berbicara
15 http://pesantren.or.id. Akhmad Muzakki Dialektika Gaya Bahasa Al-Qur'an dan Budaya Arab Pra- Islam,
dengan manusia dengan language game yang dipahami atau yang sudah ada pada manusia, nanti akan kami contohkan bukti kongkrit tentang hal ini. Masih berkaitan dengan yang penulis singgung dipendahuluan, bahwa bangsa arab adalah bangsa pedagang dan bangsa yang hidup digurun, maka akan sangat terbukti dengan jelas bagaimana bahasa yang dipakai oleh al quran berbicara dengan masyarakat pedagang dan bangsa yang hidup digurun dan nomaden. Kita sering menemukan dalam ungkapan- ungkapan yang ada dalam al quran menggunakan istilah ekonomi untuk menggambarkan tentang nilai-nilai. Seperti ungkapan pada surah al ikhlas 16 , al quran menggunakan bahasa rugi untuk mengkategorikan orang yang ada diposisi kurang baik. Dalam bahasa gurun juga ada ungkapan pada surah 17 . Ungkapan bahwa ada hewan unta untuk mengingat kebesaran tuhan tidak akan terfikirkan dan tidak akan dalam pengertiannya jika seandainya al quran turun ditanah jawa. Melihat realitas yang ada dalam al quran, bagaimana cara al quran berdialog dengan manusia, maka penulis mencoba mengkaitkan dengan teori Wittgenstein dalam penafsirannya setelah al quran turun satu setengah abad yang lalu. Al quran yang turun itu pada waktu lalu sangat bermakna bahkan bisa mengubah kehidupan masyarakat arab dengan waktu yang relative singkat yaitu 23 tahun, Dalam kajian bahasa disebutkan, terpisahnya teks dari pengarangnya dan dari situasi sosial yang melahirkannya, maka berimplikasi sebuah teks bisa tidak komunikatif lagi dengan realitas sosial yang melingkupi pihak pembaca. Sebab, sebuah karya tulis pada umumnya merupakan respon terhadap situasi yang dihadapi oleh penulis dalam ruang dan waktu tertentu. Karena itu, dalam tradisi tafsir, terutama di kalangan Sunni, permasalahan di atas dapat dikembalikan dan dibatasi pada analisa asbab al-nuzul atau konteks sosio-historis di seputar turunnya al-Qur'an 18 . dalam bahasa bahasa Wittgenstein, al quran jika dibaca begitu saja seperti apa adanya dulu, maka akan kehilangan maknanya, bahwa arti suatu kata bergantung pada penggunaannya dalam kalimat, sedangkan arti suatu kalimat bergantung pada penggunaannya dalam bahasa. Karena language game al quran pada waktu itu tentunya berbeda dengan language game manusia sekarang yang lebih spesifik di Indonesia yang mempunyai struktur masyarakat yang bukan gurun dan tidak hanya pedagang.
16
Ep) =}=Oee"- O> O;O7= ^g ) 4g~-.- W-ONL4`-47 W-OUg4N4 geE)UO- W-O=-4O>4 --E^) W-O=-4O>4 )OO) ^@ 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
17
E 4pNOO44C O) )e"- E-^O ;e)U7= ^_ 17. Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan,
18 http://pesantren.or.id. Akhmad Muzakki Dialektika Gaya Bahasa Al-Qur'an
Maka menurut hemat penulis, idealnya dalam pendekatan penafsiran al quran yang sesuai dengan cara al quran turun kepada manusia harus lah pula mempertimbangkan banyak hal supaya seorang mufassir mampu membaca language game masyarakat yang dihadapinya. Bisa-bisa al quran kehilangan maknanya kalau tidak mempertimbangkan hal yang sangat penting ini. Sehingga perlu penelitian panjang untuk menafsirkan sebuah karya tafsir yang berkualitas dan bermakna.
D. Kesimpulan Penulis mempunyai keyakinan yang dalam pada ajaran-ajaran al quran yang turun dengan bahasa arab itu, al quran turun dalam masyarakat arab dengan sebuah pengamatan yang jeli pada language game masyarakat arab, maka begitu juga dalam menafsir al quran sebaiknya para mufassir memperhatikan language game pada masyarakatnya, sehingga untuk menyuntikkan ajaran itu tidak harus dengan bahasa arab lengkap dengan kultur arabnya, tapi harus dengan strategi-strategi baru supaya ajaran itu bisa diterima dengan baik Kita bisa belajar dari para wali sanga yang sangat tolerah dengan ajaran islamnya, sehingga islam bisa diterima dengan baik dan meluas sampai seluruh masyarakat jawa. Keberadaan makna al quran bukan pada arti literer dibalik huruf-huruf arab itu, tapi keberadaan makna al quran berada pada diimplementasikannya nilai-nilai itu pada kehidupan masyarakat dunia.