Anda di halaman 1dari 22

Achmad Risaryo M.

P 1102011002

L.I. 1. Memahami dan mempelajari hipersensitivitas L.O.1.1 Menjelaskan definisi hipersensitivitas Hipersensitivitas adalah keadaan perubahan reaktivitas saat tubuh bereaksi terhadap respons imun yang berlebihan atau tidak tepat terhadap sesuatu yang dianggap benda asing. Hasil reaksi ini dapat berupa sutu lesi yang berbentuk ringan sebagai inflamasi lokal sampai syok menyuluruh. Hipersensitivitas terhadap antigen tubuh sendiri disebut penyakit autoimun. Dorland W.A.N. 2010. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta : EGC. Underwood J.C.E. 1999. Patologi Umum dan Sistematik. Vol 1. Jakarta : EGC.

L.O. 1.2. Menjelaskan klasifikasi hipersensitivitas Reaksi hipersensitiftas menurut waktu timbulnya reaksi terdiri dari 3 bagian yaitu : 1. Reaksi Cepat Reaksi yang terjadi dalam hitungan detik,menghilang dalam waktu 2 jam. Ikatan silang antara alergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi pelepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis lokal. 2. Reaksi Intermediet Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan akan menghilang dalam 24 jam. Reaksi ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan melalui aktifitas komplemen dan atau sel NK/ADCC. Manifestasi reaksi intermediet dapat berupa : i.Reaksi transfusi darah,eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik autoimun. ii.Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskuilitis\ nekrotis, glomerulonefritis,artritis reumatoid dan LES. 3. Reaksi Lambat Reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah pajanan dengan antigen yang terjadi oleh aktifitas sel Th. Pada DTH, sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan sel efektor makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan

Sumber: http://id.shvoong.com/exact-sciences/veterinary/2243110hipersensitifitas/#ixzz1uTRg4FBE

Reaksi menurut Gell dan Coombs dibagi menjadi 4 bagian berdasarkan tipe mekanisme imunologi yaitu : 1. Hipersensitifitas tipe I 2. Hipersensitifitas tipe II 3. Hipersensitifitas tipe III 4. Hipersensitifitas tipe IV

Sumber gambar 1: nerdyna.blogspot.com L.O. 1.3 Menejelaskan etiologi hipersensitivitas. Faktor penyebab hipersensitivitas yaitu : 1. Secara internal : herediter, sistem imun, makanan, sensitivitas obat 2. Secara eksternal : debu, suhu, tekanan, lingkungan.

L.I. 2. Memahami dan menjelaskan hipersensitivitas tipe I. L.O. 2.1 Menjelaksan definisi hipersensitivitas tipe I. Reaksi tipe I disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi, timbul segera sesudah terpajan dengan alergen. Istilah alergen pertama kali digunakan Von Pirquet tahun 1906, yang diartikan sebgai reaksi pejamu yang berubah bila terpajan dengan bahan yang sama kedua kalinya atau lebih. Pada reaksi ini alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respons imun dengan dibentuknya IgE.

L.O. 2.2. Menjelaskan mekanisme hipersensitivitas tipe I. Mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe I, antigen (alergen) yang masuk ke dalam tubuh melalui membran mukosa diproses dan dipresentasikan oleh sel penyaji antigen (APC) pada sel T-helper. Sel T-helper2 mensekresi sitokin yang menginduksi poliferasi sel B dan mengarahkan ke dihasilkannya respons IgE spesifik alergen. IgE melalui reseptornya FcR1, berikatan dan mensensitisasi sel mast. Bila alergen bertemu dengan sel mast, maka 1. alergen akan membuat ikatan silang antar IgE pada permukaan sel mast 2. menimbulkan influks ion kalsium ke intraseluler yang kemudian akan memicu degranulasi sel mast dan pelepasan mediator, seperti histamin dan golongan protease 3. menginduksi pembentukan dan pelepasan mediator dari asam arakhidonat, seperti golongan leukotrien dan prostaglandin. Mediator-mediator inilah yang akan menimbulkan gejala klinis alergi. Sitokin yang juga dilepaskan pada saat degranulasi sel mast akan memperberat respons radang dan IgE yang terjadi. Urutan kejadian reaksi hipersensitivitas tipe 1 adalah sebagai berikut: 1. Fase sensitasi Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE samapi diikatnya oleh reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan sel mast dan basofil 2. Fase aktivasi Yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mastmelepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. 3. Fase efektor Yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediatormediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik.

Wahab, A.Samik. 2002. Sistem imun, imunisasi, dan penyakit imun. Jakarta : Widya Medika. L.O 2.3 Menjelaskan manifestasi klinis hipersensitivitas tipe I. Reaksi tipe 1 dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi local. Seringkali halini ditentukan oleh rute pajanan antigen. Pemberian antigen protein atau obat (misalnya biaslebah atau penisilin) secara sistemik (parenteral) menimbulkan anafilaksis. Dalam beberapa menit stelah pajanan pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritema kulit, diikuti kesulitan bernapas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mucus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernapasan bagian atas. Selain itu, semua otot saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaksis),dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit. Reaksi local biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai dengan jalur gastrointestinal pemajannya, (ingesti, seperti kulit (kontak, diare), menyebabkan atau urtikaria), traktus

menyebabkan

paru (inhalasi,

menyebabkan

bronkokonstriksi). Kerentanan terhadap reaksi tipe 1 yang terlokalisasi dikendalikan secara genetic, dan istilah atopi digunakan untuk menunjukkan kecenderungan familial terhadap reaksi terlokalisasi tersebut. Pasien yang menderita alergi nasobronkial (seperti asma) seringkali mempunyai riwayat keluarga yang menderita kondisi serupa. Kumar. Cotran. Robbins. Buku ajar patologi. Ed 7. Jakarta: EGC. 2007 Baratawidjaja KG. imunologi dasar. Ed 6. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2004

L.I.3. Memahami dan mempelajari hipersensitivitas tipe II L.O.3.1. Menjelaskan definisi hipersensitivitas tipe II Reaksi tipe II disebut juga reaksi sitotoksik, terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu, antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel Killer yang memiliki reseptor Fc sebagai efektor Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity (ADCC). Selanjutnya ikatan antigen-antibodi dapat mengaktifkan komplemen yang melalui reseptor C3b memudahakan fagositosis dan menimbulkan lisis. L.O.3.2. Menjelaskan mekanisme hipersensitivitas tipe II Antibodi yang diarahkan pada antigen permukaan sel atau jaringan berinteraksi dengan komplemen dan berbagai sel efektor untuk menimbulkan kerusakan sel target. Setelah antibodi melekat pada permukaan sel atau jaringan, maka akan diaktifkan komponen komplemen C1. Akibat dari aktivitas ini : a. C3a dan C5a yang dihasilkan oleh aktivasi komplemen akan menarik makrofag dan sel-sel PMN ke lokasi reaksi dan merangsang sel mast dan basofil untuk mengahasilkan molekul-molekul yang dapat menarik dan mengaktifkan sel efektor lain. b. Jalur komplemen klasik dan lengkung aktivasi mengakibatkan pengendapan C3B, C3bi dan C3d pada membran sel target. c. Jalur komplemen klasik memproduksi kompleks serangan membran C5b-9 dan menyelipkan kompleks tersebut ke dalam mebran sel target. Sel efektor seperti makrofag, neutrofil, eosinofil dan sel K mengikat kompleks antibodi melalui reseptor Fc-nya atau fragmen komplemen C3 yang terikat membran melalui reseptor C3-nya. Antibodi yang melekat pada reseptor Fc merangsang fagosit untuk menghasilkan lebih banyak leukotrien dan prostaglandin. Molekul khemokin dan khemotaktik termasuk C5a mengaktifkan sel yang baru. Sel efktor yang terikat kuat pada sel target dan diaktifkan penuh dapat mengakibatkan kerusakan. Pada berbagai isotip antibodi yang memiliki kemampuan merangsang reaksi ini tergantung pada kemampuan mengikat C1q. Fragmen-fragmen komplemen atau IgG berperan sebagai opsonin yang melekat pada jaringan hospes. Kemudaian fagosit akan mengambil partikel yang teropsonisasi. Dengan meningkatkan aktivitas lisosom fagosit dan memperkuat kapasitas menghasilkan oksigen reaktif, opsonin tidak hanya dapat meningkatkan kemampuan fagosit menghancurkan patogen tetapi juga menimbulkan kerusakan imunopatologis.

Bila tidak resisten terhadap serangan fagosit maka patogen akan terbunug di dalam fagolisosom, jika ptogen terlalu besar untuk difagositosis, isi granula dan lisosom dilepaskan menuju sasaran yang telah tersensitisasi dakam suatu proses yang disebut eksositosis. L.O. 3.3 Menjelaskan manifestasi klinis hipersensitivitas tipe II. a. Destruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran sel darah merah disandi oleh berbagai gen. Bila darah individu golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi reaksi transfusi, oleh karena anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang menimbulkan kerusakan darah direk oleh hemolisis masif intravaskular. Reaksi dapat cepat atau lambat. Reaksi cepat biasanya disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu oleh IgM. Dalam beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam plasma dan disaring melalui ginjal dan menimbulkan hemoglobinuria. Beberapa hemoglobin diubah menjadi bilirubin yang pada kadar tinggi bersifat oksik. Gejala khasnya berupa demam, menggigil, nausea, bekuan dalam pembuluh darah, nyeri pinggang bawah dan hemoglobinuria. Reaksi transfusi darah yang lambat terjadi pada mereka yang pernah mendapat transfusi berulang dengan darah yang kompatibel ABO namun inkompatibel dengan golongan darah lainnya. Reaksi terjadi 2 sampai 6 hari setelah transfusi. Darah yang ditransfusikan memacu pembentukan IgG terhadap berbagai antigen membran golongan darah, tersering adalah golongan Rhesus, Kidd, Kell, dan Duffy.

a. Anemia hemolitik Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat diabsorpsi nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks molekul hapten pembawa. Pada beberapa penderita, kompleks membentuk antibodi yang selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif.

b.

Reaksi obat Obat dapat berfungsi sebagai hapten (molekul kecil yang bila bergabung dengan molekul besar seperti protein serum akan berubah menjadi imunogenik) dan diikat pada permukaan eritrosit yang menimbulkan pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik. Sedormid (sedatif) (obat-obat yang memberikan efek tidur) dapat mengikat trombosit dan Ig yang dibentuk terhadapnya akan menghancurkan trombosit dan menimbulkan purpura. Chloramphenicol dapat mengikat sel darah putih, phenacetin dan chloropromazin (tranguilizer) mengikat sel darah merah. Akibatnya ialah agranulositosis dan anemia hemolitik. Kerusakn sel terjadi oleh karena sitolisis melalui komplemen atau fagositosis melalui reseptor Fc atau C3b.

c. Kerusakan jaringan pada penyakit autoimun. Akibat suatu infeksi. Terjadi pembentukan Ig terhadap sel darah merah sendiri. Melalui fagositosis via reseptor untuk Fc dan C3b, terjadi anemia yang progesif. d. Hemolytic diseases of the newborn (HDN) / antigen rhesus Terjadi ketidaksesuaian faktor Rhesus (Rhesus incompatibility) dimana anti-D IgG yang berasal dari ibu menembus plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi darah

janin dan melapisi permukaan eritrosi janin kemudian mencetuskan reaksi hipersensitivitas tipe II. HDN terjadi apabila seorang ibu memiliki Rhesus negatif dan mempunyai janin dengan Rhesus positif. Sensitisasi pada ibu umumnya terjadi pada saat persalinan pertama, karena itu HDN umumnya tidak timbul pada bayi pertama. Baru pada kehamilan berikutnya, limfosit ibu akan membentuk antiD IgG yang dapat menembus placenta dan mengadakan interaksi dengan faktor rhesus pada permukaan eritrosit janin (eritroblastosis fetalis). e. Sindrom Goodpasture Pada sindrom ini serum ditemukan antibodi yang bereaksi dengan membran basal glomerulus dan paru. Antibodi tersebut mengendap di ginjal dan paru yang menunjukkan endapan linier yang terlihat pada imunoflouresen. Jadi, sindrom Goodpasture merupakan penyakit autoimun yang membentukantibodi terhadap membran basal. f. Myasthenia gravis Penyakit dengan kelemahan otot yang disebabkan oleh gangguan transmisi neuromuskuler, dan disebabkan oleh autoantibodi terhadap reseptor asetilkolin. http://www.medicinesia.com/kedokteran-dasar/imunologi/hipersensitivitas-tipe-2sitotoksik/

L.O 4. Memahami dan menejalskan hipersensitivitas tipe III L.O. 4.1. Menjelaskan definisi hipersensitivitas tipe III. Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun. Antibodi untuk hipersensitivitas III menggunakan jenis IgM atau IgG. Terjadinya reaksi kompleks imun dirangsang oleh pengendapan kompleks antigen-antibodi dalam sirkulasi jaringan dan pembuluh darah. Reaksi ini mengakibatkan aktivasi komplemen, respons radang polimorfonuklear dan kerusakan jaringan. Tipe hipersensitivitas ini ditemukan pada infeksi bakteri persisten tertentu. L.O. 4.2. Menejlaskan mekanisme hipersensitivitas tipe III. Kompleks imun dapat memacu berbagai proses radang sebagai berikut : a. Kompleks imun berinteraksi dengan sistem komplemen menghasilkan C3a dan C5a (anafilatoksin). Fragmen komplemen ini menstimulasi pelepasan amin vasoaktif. b. Makrofag dirangsang untuk melepaskan sitokin, terutama TNF dan IL-1 c. Kompleks imun berinteraksi secara langsung dengan basofil dan trombosit untuk menginduksi pelepasan amin vasoaktif.

Amin vasoaktif yang dilepaskan oleh trombosit, basofil, dan sel mast mengakibatkan retraksi sel endotel sehingga meningkatkan permeabilitas vaskular dan pengendapan kompleks imun pda dinding pembuluh darah. Kompleks imun yang mengendap terus membentuk C3a dan C5a. Trombosit juga beragregasi pada kolagen membran basalis pembuluh darah yang terpajan serta berinteraksi dengan daerah Fc kompleks imun yang diendapkan untuk membentuk mikrotrombi. Trombosit yang telah teragregat menghasilkan amin vasoaktif dan merangsang produksi C3a dan C5a. Berperan dalam penyakit glomerulonefritis dam arthiritis reumatoid. Leukosit polimorfonuklear secara khemotaktik ditarik ke tempat terjadinya pengendapan oleh C5a. Leukosit polimorfonuklear tidak mampu memfagositosis endapan kompleks karena kompleks melekat pada dinding pembuluh darah. Oleh karena itu, leukosit mengeksositosis enzim lisosomnya pada tempat endapan. Jika enzim lisosom ini dilepaskan ke dalam darah atau jaringan, maka tidak akan timbul radang yang luas karena enzim ini dengan cepat akan dinetralisasi oleh inhibitor enzim serum. Jika fagosit, melalui ikatan Fc berada sangat dekat denagan kompleks yang tertangkap jaringan, inhibitor serum tidak akan berfungsi sehingga enzim daoat merusak jaringan.

Umumnya kerusakan terjadi karena ada pengendapan kompleks imun yang berlangsung melalui 4 tahap yaitu: a. Ikatan antibodi dengan antigen membentuk kompleks imun Pengenalan antigen protein memicu respon imun yang membuat dilakukannya produksi antibodi, sekitar satu minggu sesudah injeksi protein. Antibodi tersebut

disekresikan ke dalam darah, di mana mereka dapat bereaksi dengan antigen yang masih ada di sirkulasi dan membentuk kompleks antigen-antibodi. b. Kompleks imun akan mengendap pada jaringan tertentu seperti endotel, kulit, ginjal dan persendian. Faktor yang menentukan apakah pembentukan kompleks imun akan memicu deposisi jaringan dan penyakit belum begitu dimengerti. Secara umum, kompleks imun yang berukuran medium merupakan yang paling patogenik. Organ yang darahnya tersaring pada tekanan tinggi untuk membentuk cairan lain seperti urin dan cairan sinovial lebih sering terserang sehingga meningkatkan kejadian kompleks imun pada glomerulus dan sendi. c. Faktor humoral seperti komplemen dan enzim fagosit dan faktor seluler akan berkumpul di daerah pengendapan d. Berlangsung kerusakan jaringan oleh faktor humoral dan selular. Reaksi tipe III mempunyai 2 bentuk : a. Reaksi Arthus Pada reaksi bentuk arthus, ditemukan eritema ringan dan edema dalam 2-4 jam sesduah suntikan. Reaksi tersebut menghilang keesokan harinya. Suntikan selanjutnya menimbulkan edema yang lebih besar dan suntikan yang ke 5-6 menimbulkan perdarahan dan nekrosis. Hal tersebut disebut fenomena arthus yang merupakan bentuk reaksi dari kompleks imun. Reaksi arthus membutuhkan antigan dan antibodi dalam jumlah besar. Antigen yang disuntikkan akan membentuk kompleks yang tidak larut dalam sirkulasi dan mengalami pengendapan. C3a dan C5a yang terbentuk meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan terjadi edema. Neutrofil dan trombosit mulai menimbun di tempat reaksi dan menimbulkan satsis dan obstruksi aliran darah. Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama dengan trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan seperti protease, kolagenase, dan bahan vasoaktif. b. Reaksi serum sickness Reaksi serum sickness ditemukan sebagai konsekuensi imunasi pasif pada pengobatan infeksi seperti difteri dan tetanus. Kerusakan patologis pada infeksi disebabkan eksotoksin yang dilepas. Sekitar 1-2 minggu stelah serum diberikan, timbul panas dan gatal, bengkak-bengkak, kemerahan dan rasa sakit di badanm sneid dan kelenjar limfoid. L.O. 4.3 Menjelaskan manifestasi klinis hipersensitivitas III.

Manifestasi klinis hipersensitivitas III yaitu : a. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme b. Demam c. Kelaianan sendi d. Limfadenopati e. Sindrom lupus eritematosus sistemik f. Glomerulonefritis

L.O. 5. Memahami dan mempelajari hipersensitivitas IV. L.O.5.1 Menjelaskan definisi hipersensitivitas tipe IV. Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediated imunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH). Reaksi terjadi karena respons sel T yang sudah disensitasi terhadap antigen tertentu. Tidak ada pernan antibodi. Antigen yang dapat menimbulkan reaksi tersebut berupa jaringan asing, mikroorganisme intraseluler, protein atau bahan kimia yang dapat menembus kulit. L.O. Menjelaskan mekanisme hipersensitivitas tipe III. Reaksi terjadi karena respons sel T yang sudah disensitasi terhadap antigen tertentu. Akibat sensitasi tersebut, sel T ,melepaskan limfokin, anatara lain macrophage inhibitin factor (MIF) dan macrophage activation factor (MAF). Makrofag yang diaktifkan dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Mekanisme yang terjadi mula-mula antigen dipresentasikan oleh sel APC tertentu ke sel T4. IL-1 yang dilepas sel APC akan mengaktifkan sel T dan yang akhir melepas berbagai limfokin seperti IL-2, MIF, MAF, TNF (Tumor Necrosis Factor) .

Ada tiga jenis reaksi hipersensitivitas tipe IV yaitu : a. Reaksi hipersensitivitas kontak Fase sensitasi : Hipersensitivitas kontak ditandai dengan reaksi ekzematosa pada titik kontak dengan antigen. Hipersensitivitas kontak merupakan reaksi utama yang terjadi di epidermis dengan sel dendritik Langerhans yang terletak di epidermis suprabasal berfungsi sebagai sel penyaji utama. Pada mausia, fase sensitasi ini memerlukan waktu 10-14 hari. Stelah terserap, hapten akan bergabung dengan suatu protein dan diinternalisasi oleh sel Langerhans epidermis. Sel Langerhans tersebut kemudian meninggalkan epidermis dan bermigrasi sebagai sel selubung melalui limfatik aferen ke daerah parakorteks limfonodi regional. Di sini, langerhans akan menyajikan konjugat haptenprotein yang sudah diproses ke limfosit CD4+ untuk menghasilkan populasi sel-T CD4+ memori. Fase elistasi : Sel langerhans membawa hapten-protein bergerak dari epidermis menuju dermis untuk mempersentasikan kompleks hapten-protein ke sel T-CD4+ memori. sel T-CD4+ aktif akan melepaskan IFN yang akan menginduksi ICAM-1 (intracellular adhesion molecules) dan ekspresi molekul MHC kelas II pada permukaan keratinosit dan sel endotelkapiler kulit. Serta melepaskan sitokin inflamasi. Pelepasan sitokin ini menarik sel mononuklear ke daerah sambungan dermoepidermal dan epidermis. b. Reaksi hipersensitivitas tipe tuberkulin Uji kulit tuberkulin merupakan contoh respons recall terhadap antigen yang pernah dijumpai pada infeksi sebelumnya. Pasca suntikan, sel T spesifik antigen akan aktif dan mensekresi sitokin yang menengahi reaksi hipersensitivitas. TNF dan limfotoksin yang berasal dari sel T bekerja pada sel endotel pembuluh darah dermis untuk merangsang ekspresi molekul adhesi selektin-E, ICAM-1 (Intracellular adhesion molecules) dan VCAM-1 (Vascular Cell Adhesion Molecule). Molekul ini mengikat reseptor pada leukosit dan menariknya ke tempat reaksi. Influks neutrofil terjadi pada 4 jam pertama, tetapi setelah 12 jam diganti oleh monosit dan sel T. Infiltrat, yang meluasa keluar dan mengacaukan berkas kolagen dermis, meningkat pada puncaknya setelah 48 jam. c. Hipersensitivitas Granulomatosa

Hipersensitivitas ini disebabkan oleh persistensi mikroorganisme atau partikel intraseluler dalam makrofag karena sel tersebut tidak dapat mengahancurkannya. Reaksi ini dapat mengakibatkan pembentukan granuloma sel epiteloid. Beberapa penyakit yang termasuk dalam hipersensitivitas IV yaitu : i. Lepra ii. Tuberkulosis iii. Skistosomasis iv. Sarkoidosis v. Penyakit Crohn Persamaan antara penyakit-penyakit tersebut adalah adanya patogen yang

menyediakan stimulus antigenik kronis yang terus menerus. Aktivasi makrofag oleh limfosit dapat membatasi infeksi, tetapi stimulus yang terus-menerus ditimbulkan dapat mengakibatkan kerusakan jaringan melalui pelepasan produk makrofag seperti oksigen reaktif dan hidrolase. Walaupun hipersensitivitas lambat merupakan ukuran aktivasi sel T, infeksi tidak selalu terkendali sehingga tidak selalu ada korelasi antara imunitas protektif dengan hipersensitivitas lambat. Jadi, penderita hipersensitivtas lambat tidak selalu terlindungi dari penyakit yang sama di masa yang akan datang.

Sumber : http://www.medicinesia.com Wahab, A.S. 2002. Sistem Imun , Imunisasi, dan Penyakit imun. Jakarta : Widya Medika.

L.O. 5.3 Menejelaskan manifestasi hipersensitivitas IV. a. Demam b. Sesak c. Batuk d. Infiltrat paru e. Efusi pleura f. Dermatitis Alwi I.,Aru W.S., Bambang S., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing.

L.O. 6. Memahami dan mempelajari peran Antihistamin dan Kortikosteroid Antihistamin Antihistamin misalnya antergan, neoantergan, difenhidramin, dan tripelenamin dalam dosis terapi efektif untuk mengobati edema, eritem, dan pruritus tetapi tidak dapat melawan efek hipersekresi asam lambung akibat histamin. Antihistamin tersebut digolongkan dalam antihistamin penghambat reseptor H1 (AH1). Sesudah tahun 1972, ditemukan kelompok antihistamin baru, yaitu burimamid, metiamid, dan simetidin yang dapat menghambat sekresi asam lambung akibat histamin. Kedua jenis antihistamin ini bekerja secara kompetitif, yaitu dengan menghambat antihistamin dan reseptor histamin H1 atau H2. Antagonis Reseptor H1 (AH1) 6.1.a Farmakokinetik Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi secara baik. Efeknya timbul 15-30 menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 generasi I setelah pemberian dosis tunggal umumnya 4-6 jam. Difenhidramin yang diberikan secara oral akan mencapai kadar maksimal dalam darah setelah kira-kira 2 jam, dan menetap pada kadar tersebut untuk 2 jam berikutnya, kemudian dieliminasi dengan masa paruh kira-kira 4 jam. Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru, sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit kadarnya lebih rendah. Tempat utama biotransformasi AH1ialah hati, tetapi dapat juga pada paru-paru dan ginjal. AH1 diseksresi melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.

6.2.a Farmakodinamik Antagonisme terhadap histamin. AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus, dan bermacam-macam otot polos ; selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai pelepasan histamine endogen berlebihan. Permeabilitas kapiler. Peningkatan permeabilitas kapiler dan edema akibat histamin, dapat dihambat dengan efektif oleh AH1. Reaksi anafilaksis dan alergi. Reaksi anafilaksis dan beberapa reaksi alergi refrakter terhadap pemberian AH1, karena disini bukan histamin saja yang berperan, tetapi autacoid lain yang dilepaskan. Efektivitas AH1 melawan beratnya reaksi hipersensitivitas berbedabeda, tergantung beratnya gejala akibat histamin. Susunan saraf pusat. AH1 dapat merangsang atau menghambat SSP. Anestetik lokal. Beberapa AH1 bersifat anestetik local dengan intensitas berbeda. 6.3.a Indikasi dan Kontraindikasi - Indikasi : AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit alergi dan mencegah atau mengobati mabuk perjalanan. - Kontraindikasi :

6.4.a Efek Samping Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifat serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Efek samping yang paling sering adalah sedasi, yang justru menguntungkan pasien yang dirawat di RS atau pasien yang perlu banyak tidur. Tetapi efek ini mengganggu bagi pasien yang memerlukan kewaspadaan tinggi sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya kecelakaan. Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 adalah vertigo, tinnitus, lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euphoria, gelisah, insomnia, dan tremor. Efek samping yang juga sering ditemukan ialah nafsu makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare. Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan. AH1 dapat menimbulkan alergi pada pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi akibat penggunaan local berupa dermatitis alergik. Demam dan fotosensitivitas juga pernah

dilaporkan terjadi. AH1 sangat jarang menimbulkan komplikasi berupa leukopenia dan agranulositosis. Antagonis Reseptor H2 (AH2) Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam lambung. Burinamid dan metiamid merupakan antagonis reseptor H2 yang pertama kali ditemukan, namun karena toksik tidak digunakan di klinik. Antagonis reseptor H2 yang ada dewasa ini adalah simetidin, ranitidine, famotidine, dan nizatidin. - Simetidin dan Ranitidin 6.1.b Farmakokinetik Bioavailabilitas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan setelah pemberian IV atau IM. Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absorpsi simetidin diperlambat oleh makanan. Absorpsi simetidin terutama terjadi pada menit ke 60-90. Simetidin masuk ke dalam SSP dan kadarnya dalam cairan spinal 10-20% dari kadar serum. Sekitar 50-80% dari dosis IV dan 40% dari dosis oral simetidin diekskresi dalam bentuk asal dalam urin. Masa paruh eliminasinya sekitar 2 jam. Bioavailabilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7 - 3 jam pada orang dewasa, dan memanjang pada orangtua dan pada pasien gagal ginjal. Kadar puncak pada plasma dicapai dalam 1 3 jam setelah penggunaan 150 mg ranitidin secara oral, dan yang terikat protein plasma hanya 15%. 6.2.b Farmakodinamik Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversible. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi asam lambung, sehingga pemberian simetidin dan ranitidin sekresi asam lambung dihambat. Selain itu, simetidin dan ranitidin juga mengganggu volume dan kadar pepsin cairan lambung. 6.3.b Indikasi dan Kontraindikasi - Indikasi : Simetidin, ranitidin, dan antagonis reseptor H2 lainnya efektif untuk mengatasi gejala akut tukak duodenum, dan mempercepat penyembuhannya. Dengan dosis kecil, dapat mencegah kambuhnya tukak duodenum. Selain untuk tukak duodenum, dengan dosis yang sama, simetidin, ranitidin, dan antagonis reseptor H2 lainnya efektif untuk mengatasi gejala dan mempercepat penyembuhan tukak lambung.

Antagonis reseptor H2 juga diindikasikan untuk gangguan refluks lambung-esofagus (Gastroesophageal Reflux Disorder = GERD), dan untuk profilaksis tukak stres (stress ulcer). - Kontraindikasi : 6.4. b. Efek Samping Insidens efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya berhubungan dengan penghambatan terhadap reseptor H2. Efek samping ini antara lain nyeri kepala, pusing, malaise, myalgia, mual, diare, konstipasi, ruam kulit, pruritus, kehilangan libido, dan impoten. Famotidin

6.1.c Farmakokinetik Famotidin mencapai kadar puncak di plasma kira-kira dalam 2 jam setelah penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam, dan bioavailabilitas 40-50%. Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Setelah dosis oral tunggal, sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam bentuk asal di urin. Pada pasien gagal ginjal berat, masa paruh eliminasi dapat melebihi 20 jam. 6.2.c Farmakodinamik Famotidin merupakan AH2, sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung pada keadaan basal, malam, dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin 3 kali lebih poten daripada ranitidin dan 20 kali lebih poten daripada simetidin. 6.3.c Indikasi dan Kontraindikasi - Indikasi : Efektivitas obat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung setelah 8 minggu pengobatan. Famotidin kira-kira sama efektif dengan AH2 lainnya pada pasien sindrom Zollinger-Ellison, meskipun untuk keadaan ini omeprazole merupakan obat terpilih. - Kontraindikasi : Ketokonazol membutuhkan pH asam untuk bekerja, sehingga kurang efektif bila diberikan bersama AH2. 6.4.c Efek Samping Efek samping obat ini biasanya ringan dan jarang terjadi, misalnya sakit kepala, pusing, konstipasi, dan diare. Sama halnya dengan ranitidin, famotidin tampaknya lebih baik dari simetidin, karena tidak menimbulkan efek antiandrogenik. Nizatidin

6.1.d Farmakokinetik Bioavailabilitas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak dipengaruhi oleh makanan atau antikolinergik. Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1 jam, masa paruh plasma sekitar 1,5 jam dan lama kerja sampai dengan 10 jam. Nizatidin disekresi terutama melalui ginjal ; 90% dari dosis yang digunakan ditemukan di urin dalam 16 jam. 6.2.d Farmakodinamik Potensi nizatidin dalam menghambat sekresi asam lambung kurang lebih sama dengan ranitidin. 6.3.d Indikasi dan Kontraindikasi - Indikasi : Efektivitas untuk pengobatan gangguan asam lambung sebanding dengan rinitidin dan simetidin. Dapat menyembuhkan dan mencegah kekambuhan tukak duodenum. Meskipun data nizatidin masih terbatas, efektivitasnya pada tukak lambung tampaknya sama dengan AH2 lainnya. - Kontraindikasi : Ketokonazol yang membutuhkan pH asam menjadi kurang efektif bila pH lambung lebih tinggi pada pasien yang mendapat AH2. 6.4.d Efek Samping Nizatidin umumnya jarang menimbulkan efek samping. Efek samping ringan saluran cerna dapat terjadi. Peningkatan kadar asam urat dan transaminase serum ditemukan pada beberapa pasien yang nampaknya tidak menimbulkan gejala klinik yang bermakna. Seperti halnya dengan AH2 lainnya, potensi nizatidin untuk menimbulkan hepatotoksisitas rendah. Nizatidin tidak memiliki efek antiandrogenik. Kortikosteroid Kortikosterioid adalah hormon yang dihasilkan oleh korteks adrenal. Hormon ini dapat mempengaruhi volume dan tekanan darah, kadar gula darah, otot dan resistensi tubuh. Kelompok obat ini memiliki aktifitas glukokortikoid dan mineralokortikoid sehingga memperlihatkan efek yang sangat beragam meliputi efek terhadap metabolisme karbohidrat, protein, dan lipid, efek terhadap keseimbangan air dan elektrolit dan efek terhadap pemeliharaan fungsi berbagai system dalam tubuh.(1) Kerja obat ini sangat rumit dan bergantung pada kondisi hormonal seseorang. Namun secara umum efeknya dibedakan atas efek resistensi Na, efek terhadap metabolisme karbohidrat (glukoneogenesis) dan efek antiinflamasinya. Umumnya efek antiinflamasi sejalan dengan efek terhadap metabolisme karbohidrat sehingga pengelompokan kortikosteroid didasarkan atas potensi untuk menimbulkan retensi Na (efek mineralokortikoid) dan efek antiinflamasi (efek glukokortikoid). Khasiat retensi Na diperlihatkan kuat oleh mineralokortikoid, sedangkan khasiat antiinflamasi dan glukoneogenesis merupakan ciri glukokortikoid

KONTRAINDIKASI

Infeksi sistemik, kecuali bila diberika antibiotika sistemik; hindari vaksinasi dengan virus aktif pada pasien yang menerima dosis imunosupresive. Penderita hipersensitif terhadap kortikosteroid dapat menimbulkan dermatitis kontak alergi. Rosasea, jerawat dan dermatitis perioral. Infeksi pada kulit karena virus (misalnya herpes simpleks, cacar air). Dermatosis pada anak-anak dibawah satu tahun termasuk dermatitis dan ruam popok.

EFEK SAMPING Efek-efek yang merugikan seringkali muncul oleh karena penggunaan yang kurang tepat. Kemungkinan efek samping yang ditimbulkan tergantung pada : 1. 2. 3. 4. Jenis kortikosteroid dan vehikulum Cara penggunaannya : frekuensi, lama dan pemakaian dengan oklusi Keadaan dan luasnya lesi Faktor-faktor penderita : usia, lokasi lesi

Efek samping terjadi bila : 1. Penggunaan kortikosteroid yang lama dan berlebihan 2. Penggunaan kortikosteroid dengan potensi kuat atau sangat kuat atau pengguanaan secara oklusif Harus diingat bahwa makin tinggi potensi kortikosteroid makin cepat terjadinya efek samping.(5) Gejala efek samping : 1. Efek samping lokal : o Atrofi Kerusakan kulit akibat kortikosteroid topikal disebabkan oleh khasiat anti mitosis yang kuat, dan akibat terbentuknya reservoir pada dermis dan epidermis karena penyempitan pembuluh darah sehingga menyebabkan penurunan sintesis kolagen, perubahan jaringan ikat dan jaringan penyangga pembuluh darah menyebabkan atrofi dermis, telengiektasis, purpura, striae, hambatan penyembuhan luka, papula, pustula dan peningkatan penetrasi kortikosteroid sehingga menambah kerusakan kulit.

Dermatitis perioral

Dermatitis perioral merupakan papul eksematosa dengan skuama sekitar bibir yang gatal dan panas, terutama akibat pemakaian kortikosteroid potensi kuat. Superinfeksi dengan candida albicans akan mempererat penyakitnya. Patogenesisnya sampai sekarang belum diketahui pasti.

Rosasea

Berupa lesi eritematosa dimuka yang menetap disertai dengan telangiektasis, papul dan pustula akibat pemakaian kortikosteroid kuat topikal untuk waktu yang lama. Penetrasi dari pemakaian kortikosteroid topikal pada daerah muka atau kepala akan meningkatkan akibat adanya folikel kelenjar sebasea sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya efek samping.

Infeksi Pemakaian kortikosteroid topikal memudahkan timbulnya infeksi bakteri, jamur dan virus karena turunnya mekanisme pertahanan tubuh setempat, dan bila sudah ada infeksi jamur sebelumnya, pemberian kortikosteroid topikal menyebabkan gambaran klinis tidak jelas sehingga menyukarkan diagnosis disebut Tinea Inkognito. Pemakaian sediaan kombinasi kortikosteroid dan antibiotik sebaiknya hanya digunakan dalam jumlah sedikit dan waktu singkat. Gangguan penyembuhan luka

Pemakaian kortikosteroid topikal dapat menghambat penyembuhan luka yang sudah ada karena khasiat antiinflamasinya melalui efek vasokonstriksi pembuluh darah kecil yang menghambat ekstravasasi leukosit dan eksudasi plasma, menurunkan jumlah leukosit di tempat radang, penurunan reaktivitas jaringan ikat dan terjadi hambatan pada pembentukan fibroblas dan granulasi

LI 7. Memahami dan menjelaskan obat alergi dalam pandang sudut islam


Setiap penyakit itu ada obatnya, jika tepat obatnya maka penyakit akan sembuh dengan izin Allah Azza wa Jalla.(HR.Muslim). Allah tidak akan menurunkan suatu penyakit melainkan Allah juga menurunkan obatnya.(HR.Abu Hurairah). Shuhaib Ar-Rumi RA berkata : Rasulullah SAW bersabda : Sungguh mengagumkan perkara seorang muslim, sehingga seluruh perkaranya adalah kebaikan. Yang demikian itu tidaklah dimiliki oleh seorangpun kecuali seorang mukmin. Jika ia mendapat kelapangan, ia bersyukur maka yang demikian itu baik baginya, dan jika ia ditimpa kesusahan, ia bersabar. Maka yang demikian itu baik baginya. (HR.Muslim no.2999). Termasuk keutamaan Allah SWT yang diberikan kepada kaum mukminin. Dia menjadikan sakit yang menimpa seorang mukmin sebagai penghapus dosa dan kesalahan mereka. Sebagaimana tersebut dalam hadist : Abdullah bin Masud RA berkata : Rasulullah SAW bersabda : Tidaklah seorang muslim ditimpa gangguan berupa sakit atau lainnya, melainkan Allah menggugurkan kesalahankesalahannya sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya.(HR.Bukhari no.5661 dan Muslim no.5678). Ketika memungkinkan mengkonsumsi obat yang sederhana maka jangan beralih memakai obat yang kompleks. Setiap penyakit yang bisa ditolak dengan makanan-makanan tertentu dan pencegahan, janganlah mencoba menolaknya dengan obat-obatan. Ibnul Qayyim berkata : berpalingnya manusia dari pengobatan nubuwwah seperti halnya berpalingnya mereka dari pengobatan dengan Al-Quran, yang merupakan obat bermanfaat.(Ath-thibbun Nabawi hal.6, 29). (http://binmuhsinhabbatussauda.blogspot.com/2009/11/pengobatan-menurut-pandanganislam.html)

Anda mungkin juga menyukai