Anda di halaman 1dari 18

II.

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kinerja Usahatani Padi Hingga saat ini beras masih menduduki peringkat pertama dalam konsumsi pangan rumahtangga. Selama beras masih menjadi makanan pokok penduduk Indonesia maka pemerintah sangat berkepentingan terhadap perberasan nasional baik dari sisi produksi, distribusi maupun kestabilan harga. Berbagai kebijakan telah dirumuskan untuk memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan proses produksi, perdagangan dan konsumsi beras di dalam negeri dimulai dari

kebijakan harga gabah, subsidi input produksi dan kebijakan harga beras. Produksi padi di Indonesia dewasa ini ditandai dengan : (1) luas penguasaan lahan usahatani padi relatif sempit yaitu rata-rata seluas 0.3 ha per petani, (2) sekitar 70 persen petani padi termasuk golongan masyarakat miskin atau berpendapatan rendah, (3) sekitar 60 persen petani padi net consumer beras, dan (4) rata-rata pendapatan rumahtangga petani dari usahatani padi hanya sekitar 30 persen dari total pendapatan keluarga (Suryana et al., 2001). Dari sisi

konsumsi, beras merupakan sumber utama intake energi masyarakat Indonesia. Harianto (2001) menyatakan bahwa konsumsi energi per kapita beras sebesar 54.3 persen, sedangkan Rosegrant et al. (1998) menyatakan bahwa konsumsi kalori dan protein pangsa beras masing-masing mencapai 60 persen dan 50 persen. Hasil Susenas tahun 1993 menunjukkan bahwa beras mempunyai pangsa terbesar (24.30 persen) dari total pengeluaran masyarakat untuk konsumsi makanan. Mengingat pentingnya peran beras bagi kehidupan individu, rumahtangga dan negara sehingga dibutuhkan basis produksi padi yang tangguh dan

berkesinambungan. Perluasan produksi padi telah diarahkan ke luar Pulau Jawa karena lahan di Pulau Jawa telah mengalami konversi, salah satunya di Sulawesi Tenggara. Sulawesi Tenggara mempunyai potensi sumberdaya alam untuk mendukung program perberasan nasional. Lahan sawah di Sulawesi Tenggara seluas 110 498 ha terdiri dari sawah irigasi seluas 95 005 ha atau 85.98 persen dan sisanya (14.02 persen) merupakan lahan sawah tadah hujan. Produktivitas padi sawah irigasi mencapai 4.06 ton/ha, sedangkan produksi padi ladang atau padi sawah tadah hujan mencapai 2.43 ton/ha (BPS Sulawesi Tenggara, 2008). Produktivitas padi yang diperoleh tergolong masih rendah mengingat

potensi hasil yang diberikan bisa mencapai 6-8 ton/ha (Sunantra, 2002). Peningkatan produktivitas padi dapat ditingkatkan dengan menerapkan teknologi spesifik lokasi yang sekaligus dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Berbagai teknologi untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani telah banyak dilakukan oleh pemerintah dimulai dari Bimas dan Inmas hingga saat ini melalui Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani) dan Sekolah Lanjutan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT). Teknologi pada kedua program tersebut dengan melakukan perbaikan komponen teknologi yang disesuaikan dengan kondisi agroklimat wilayah setempat sehingga diperoleh teknologi spesifik lokasi dengan harapan agar petani mendapatkan output maksimal dengan biaya input yang lebih sedikit. Hasil

produksi dengan menerapkan komponen teknologi spesifik lokasi disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Pencapaian Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Petani Peserta Prima Tani di Sulawesi Tenggara, Tahun 2008 Jenis Sawah/ Produktivitas Musim Tanam (ton/ha) 1. Lahan sawah irigasi1) : a. MT I/2007 3.50 b. MT II/2007 5.20 c. MT I/2008 2.50 2. Lahan sawah tadah hujan2) : a. MT I/2007 2.03 b. MT II/2007 3.66 c. MT I/2008 2.50
Sumber : Abidin, 2008 dan Hilman, 2008
1) 2)

Biaya Produksi (Rp.000/ha) 3 100 3 585 3 152 3 222 3 697 2 796

Penerimaan (Rp.000/ha) 5 950 8 840 5 000 3 654 6 588 4 875

R/C

1.92 2.47 1.59 1.13 1.78 1.74

Berdasarkan analisis usahatani pada Tabel 3 terlihat bahwa biaya maupun penerimaan dari usahatani padi pada Musim Tanam kedua (MT II/2007) meningkat relatif tinggi dari MT sebelumnya yang dicerminkan oleh nilai R/C ratio karena pada MT II petani mulai menerapkan komponen teknologi Prima Tani. Pada lahan sawah irigasi pendapatan petani meningkat sebesar Rp 2 405 000 dan pada lahan sawah tadah hujan meningkat sebesar Rp 432 000, namun pada tahun kedua Prima Tani (MT I/2008) produksi dan pendapatan yang diperoleh petani menurun dibanding MT sebelumnya baik di lahan sawah irigasi maupun lahan sawah tadah hujan. Hal ini disebabkan adanya serangan Organisma Pengganggu Tanaman (OPT) terutama hama tikus yang menyerang tanaman pada stadium vegetatif yang menyebabkan kehilangan hasil. Di sisi lain produksi padi pada lahan sawah irigasi menurun selain disebabkan oleh serangan hama tikus juga disebabkan oleh terjadinya bencana banjir. Oleh karena itu produktivitas yang dicapai pada MT I/2008 rata-rata hanya sebesar 2.5 ton/ha. Lepas dari masalah faktor eksternal diluar kendali petani, dari hasil analisis tersebut terlihat bahwa dengan menerapkan komponen teknologi pada Prima Tani dapat memperbaiki tingkat pendapatan petani. Hal ini disebabkan

dengan mengikuti kegiatan Prima Tani dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petani sehingga petani dapat mengetahui dan mengambil sikap atas perubahan teknis selama proses produksi. Syam dan Sahara (2007) menyatakan bahwa inovasi teknologi merupakan kunci sukses dan strategis dalam memacu produksi padi mengingat lahan di Sulawesi Tenggara tergolong lahan yang kurang subur dengan dominasi jenis tanah Podsolik Merah Kuning (PMK) sehingga dengan memperbaiki kesuburan lahan menjadi faktor penting untuk meningkatkan produksi. 2.2. Produksi Tanaman Pangan Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air yang diolah menjadi makanan atau minuman yang dikonsumsi oleh manusia, termasuk didalamnya bahan tambahan, bahan baku dan bahan lainnya yang digunakan selama proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan dan minuman. Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap individu untuk

mempertahankan hidup dan kehidupan, dalam arti setiap individu memerlukan pangan untuk melakukan aktivitas guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu pangan merupakan kebutuhan dasar yang perlu dipenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan lainnya. Hingga saat ini masalah pangan utama tidak dapat dilepaskan dari komoditi beras karena dominasi beras dalam pola pangan pokok tidak tergantikan oleh jenis pangan pokok lain yang disebabkan oleh cita rasa beras lebih enak dan gizinya lebih baik jika dibandingkan dengan bahan pangan pokok lain seperti jagung dan umbi-umbian, serta beras lebih mudah untuk diolah. Konsumsi beras

sangat tinggi, yaitu sebesar 91.18 persen dan memenuhi hingga 45 persen dari total food intake dari pola konsumsi masyarakat (Nurmalina, 2007). Kebutuhan bahan pangan terutama beras akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita. Di sisi lain upaya peningkatan produksi dihadapkan pada berbagai kendala dan tantangan, seperti konversi lahan sawah subur yang semakin sempit,

penyimpangan iklim, gejala kelelahan teknologi dan penurunan kualitas tanah yang menyebabkan pelandaian produksi. Hal senada dikemukakan oleh Allen dan Dusen (1988) bahwa pertanian modern dengan bahan-bahan kimiawi yang diaplikasikan pada proses produksi selama beberapa tahun seperti pupuk dan pestisida telah menyebabkan kemerosotan sifat-sifat tanah, percepatan erosi tanah dan penurunan kualitas tanah. Kenyataan ini menginterpretasikan bahwa upaya peningkatan produksi pertanian tidak cukup hanya dengan menambahkan input produksi, namun diperlukan upaya yang menyeluruh sesuai dengan kondisi wilayah setempat. Perkembangan produksi dan konsumsi padi selama sembilan tahun terakhir (2000 2008) menunjukkan kecenderungan meningkat relatif lambat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 1.93 persen per tahun (Tabel 6). Persediaan beras dalam negeri dicukupi dari produksi domestik dan impor. Selama periode tersebut impor meningkat rata-rata sebesar 19.46 persen per tahun. Impor

berfluktuasi antar tahun dan mencapai angka tertinggi pada tahun 2002 yaitu sebesar 3.71 juta ton beras dan setelah itu kembali menurun. Peningkatan produksi beras tidak setinggi peningkatan produksi padi disebabkan oleh adanya tingkat kehilangan hasil selama proses pengolahan yang

bisa mencapai 2.5 persen (Darwanto, 2009). Di samping itu juga digunakan untuk memenuhi permintaan antara atau permintaan industri pengolahan tepung, pakan dan benih serta cadangan pangan. Dengan melihat data Tabel 6 maka kebutuhan konsumsi lebih besar dari ketersediaan beras sehingga untuk memenuhi konsumsi dilakukan dengan mengimpor beras. Impor beras menjadi dilema bagi pemegang kebijakan antara kepentingan produsen dan konsumen, oleh karena itu impor beras dapat dieliminir dengan melakukan efisiensi baik dari proses produksi (onfarm activities) maupun pada kegiatan pasca panen sehingga dapat mengurangi tingkat kehilangan hasil (waste) yang cukup besar (Darwanto, 2003). Tabel 6. Perkembangan Produksi dan Ketersediaan Beras di Indonesia, Tahun 2000-2008 Tahun Produksi Padi (000 ton GKG) 51 899 50 461 51 490 52 138 54 088 54 151 54 455 57 157 60 326 1.93 Produksi Beras (000 ton) 32 779 31 891 32 542 32 951 34 184 34 830 34 959 35 300 35 800 1.12 Tersedia untuk Konsumsi (000 ton) 29 393 28 579 29 161 29 528 30 633 30 574 31 463 31 770 32 220 1.17 Kebutuhan Konsumsi (000 ton) 30 903 29 985 32 871 32 288 31 265 30 879 32 243 32 370 32 970 0.89 Impor (000 ton) 1 510 1 406 3 710 2 760 0 976 0 305 0 780 0 600 0 750 19.46

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 r (%/tahun)

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010b dan Departemen Pertanian, 2010.

Komoditas pangan sebagai sumber karbohidrat lainnya seperti jagung, kedelai dan ubi kayu tingkat konsumsinya masih dapat dipenuhi dari produksi domestik dimana rata-rata pertumbuhan jagung dan ubi kayu masing-masing sebesar 7.16 persen per tahun dan 3.92 persen per tahun (Tabel 7). Data tersebut menunjukkan bahwa konsumsi pangan masyarakat Indonesia pada daerah-daerah

tertentu masih mengkonsumsi pangan non beras walau sebagian besar konsumsi pangan pokok masyarakat sudah beralih ke beras. Di sisi lain komoditas kedelai mengalami penurunan baik dari luas panen maupun produksi. Penurunan luas panen disebabkan oleh berkurangnya areal tanam yang disebabkan oleh biaya produksi kedelai relatif lebih mahal dan harga kedele dalam negeri relatif rendah sehingga tidak menutup biaya produksi. Tabel 7. Perkembangan Produksi Bahan Pangan Utama di Indonesia, Tahun 2000-2008
Luas Panen (ha) Jagung Produksi (ton) Kedelai Luas Produksi Panen (ton) (ha)
824 484 678 848 544 522 526 796 565 155 621 541 580 534 459 116 590 956 -2.78 1 017 634 826 932 673 056 671 600 723 483 808 353 747 611 592 534 775 710 -1.93

Tahun

Ubi Kayu Luas Produksi Panen (ton) (ha)


1 284 040 1 317 912 1 276 533 1 244 543 1 255 805 1 213 460 1 227 459 1 201 481 1 204 933 -0.77 16 089 020 17 054 648 16 913 104 18 523 810 19 424 707 19 321 183 19 986 640 19 988 058 21 756 991 3.92

2000 3 500 318 9 676 899 2001 3 285 866 9 347 192 2002 3 126 833 9 654 105 2003 3 358 511 10 886 442 2004 3 356 914 11 225 243 2005 3 625 987 12 523 894 2006 3 345 805 11 609 463 2007 3 630 324 13 287 527 2008 4 001 724 16 317 252 Pertumbuhan 1.94 7.16 (%/tahun) Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010b

Produksi padi di Indonesia sebagian besar atau 56 persen dihasilkan dari Pulau Jawa, 22 persen dari Pulau Sumatera, 10 persen dari Pulau Sulawesi dan 7 persen tersebar di berbagai pulau lainnya. Produksi padi di Sulawesi Tenggara, didominasi oleh lahan sawah irigasi dan sebagian kecil dari lahan sawah tadah hujan. Bagi petani tanaman pangan di Sulawesi Tenggara padi merupakan

komoditas primadona sebagai sumber pendapatan rumahtangga. Perkembangan produksi padi selama periode 2000-2008 cenderung meningkat dengan rata-rata 4.02 persen per tahun yang disebabkan oleh peningkatan luas panen sebesar 2.90 persen per tahun (Tabel 8).

Tabel 8. Perkembangan Produksi Bahan Pangan Utama di Sulawesi Tenggara, Tahun 2000-2008
Tahun Padi Luas Produksi Panen (ha) (ton) Jagung Luas Produksi Panen (ha) (ton)
41 882 28 771 33 789 37 927 37 927 32 665 33 343 40 975 37 249 0.05 87 141 60 385 68 148 87 650 78 147 73 153 74 672 97 037 93 064 2.68

Ubi Kayu Luas Produksi Panen (ha) (ton)


18 023 13 430 15 293 15 174 15 569 14 820 14 825 14 933 12 190 -4.03 203 222 152 817 181 851 210 742 263 972 256 467 238 039 239 271 217 727 2.10

2000 85 799 314 955 2001 71 497 263 477 2002 79 251 298 813 2003 91 230 334 307 2004 84 888 320 115 2005 91 585 339 847 2006 93 826 349 430 2007 110 498 423 316 2008 102 520 405 256 r (%/tahun) 2.90 4.02 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010

Walaupun produksi padi menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi, namun hal ini belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi pangan utama di Provinsi Sulawesi Tenggara. Dengan memperhitungkan jumlah produksi dan

kebutuhan konsumsi beras per kapita per tahun, maka Provinsi Sulawesi Tenggara masih mengalami defisit beras sebesar 40 384 ton pada tahun 2008 (Darwanto, 2009). Meskipun defisit beras, tingkat pertumbuhan bahan pangan yang lain juga mengalami peningkatan, yaitu produksi jagung meningkat rata-rata 2.68 persen per tahun dan produksi ubi kayu meningkat 2.10 persen per tahun. Hal ini

menyiratkan bahwa kedua komoditas tersebut masih menjadi bahan pangan alternatif bagi sebagian penduduk Sulawesi Tenggara. 2.3. Penelitian Terdahulu 2.3.1. Penelitian tentang Efisiensi Efisiensi merupakan permasalahan utama dalam proses produksi sehingga banyak peneliti yang melakukan penelitian tentang efisiensi usahatani. Terdapat dua pendekatan yang digunakan oleh peneliti untuk mengetahui tingkat efisiensi

usahatani yaitu dengan menggunakan fungsi produksi Cobb Douglas dan fungsi keuntungan stokastik. Efisiensi produksi dengan pendekatan fungsi produksi telah dilakukan oleh Ahmad et al. (2002) untuk menganalisis efisiensi produksi gandum di Pakistan. Hasil penelitian usahatani gandum di Pakistan menunjukkan bahwa petani mencapai efisiensi teknis sebesar 68 persen dan 32 persen merupakan inefisiensi. Faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi diantaranya adalah jumlah anggota keluarga, pendidikan, pendapatan dan ukuran lahan yang mempunyai hubungan negatif dengan inefisiensi, artinya bila faktor-faktor tersebut dapat dikurangi maka usahatani gandum akan semakin efisien. Ogundari dan Ojo (2006) menganalisis efisiensi teknis, efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi pada usahatani ubi kayu (cassava) di Osun State Nigeria dengan menggunakan data dari 200 petani ubi kayu. Fungsi produksi stokastik dan fungsi biaya diaplikasikan untuk mengetahui efisiensi produksi dan efisiensi alokatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa usahatani ubi kayu di Osun State Nigeria dalam skala pengembalian yang menurun dengan nilai return to scale sebesar 0.84 yang berarti petani ubi kayu sudah efisien di dalam mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki. Selain itu nilai efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi yang diperoleh rata-rata sebesar 0.90, 0.89 dan 0.81. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitiannya adalah bahwa usahatani ubi kayu skala kecil sudah efisien di dalam mengalokasikan sumberdaya dengan keterbatasan yang dimiliki. Penelitian efisiensi produksi dengan menggunakan fungsi keuntungan stokastik frontir telah dilakukan oleh Rahman (2003) yang menganalisis efisiensi produksi padi di Bangladesh. Studi tersebut mengestimasi efisiensi keuntungan

dengan metode maximum likelihood.

Faktor-faktor yang mempengaruhi dan pupuk dimana

keuntungan usahatani adalah biaya tenaga kerja, ternak

proporsi biaya tenaga kerja mendominasi biaya usahatani. Elastisitas keuntungan menunjukkan bahwa petani padi responsif terhadap perubahan harga padi dan lahan yang ditunjukkan oleh nilai elastisitas 1.92 dan 0.97. Petani padi beroperasi pada tingkat efisiensi 0.77 mengindikasikan bahwa petani masih dapat meningkatkan keuntungan dengan memperbaiki efisiensi teknis dan efisiensi alokatif. Dengan tidak efisiennya petani berusahatani maka petani mengalami kehilangan keuntungan dari faktor-faktor yang menyebabkan inefisiensi, yaitu status kepemilikan lahan, tingkat pendidikan, pengalaman usahatani, kontak dengan penyuluh, tingkat infrastruktur, tingkat kesuburan tanah dan tingkat pendapatan dari luar pertanian. Implikasi kebijakan yang disarankan adalah

dengan memperbaiki infrastruktur pedesaan dan meningkatkan jasa penyuluhan. Di bidang peternakan, Nganga et al. (2010) menganalisis efisiensi usaha ternak kecil di Kenya dengan mengaplikasikan fungsi keuntungan stokastik frontier. Dengan asumsi bahwa petani konsisten dengan keputusan untuk

memaksimalkan keuntungan dan inefisiensi keuntungan berbeda antar petani dengan adanya perbedaan sosial ekonomi maka analisis fungsi keuntungan stokastik frontir menunjukkan bahwa biaya pakan dan biaya obat-obatan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap keuntungan sedangkan inefisiensi disebabkan oleh pengaruh dari umur, pendidikan, pengalaman dan ukuran usaha. Dengan hasil seperti itu maka peternak sapi baru mencapai efisiensi sebesar 0.60 sehingga implikasi penting dari penelitian tersebut adalah untuk mereduksi inefisiensi dilakukan dengan memperbaiki tingkat pendidikan petani.

2.3.2. Penelitian tentang Penawaran Output dan Permintaan Input Studi penawaran dan permintaan komoditi pangan telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti di Indonesia maupun di luar Indonesia baik dengan menganalisis penawaran dan permintaan secara terpisah maupun secara agregat. Diantara peneliti-peneliti tersebut adalah Sitepu (2002) yang menganalisis penawaran dan permintaan beras dengan menggunakan data time series tahun 1971-2000. Dengan menggunakan persamaan simultan diperoleh hasil bahwa permintaan beras untuk konsumsi dipengaruhi oleh perubahan harga di tingkat konsumen dengan respon yang inelastis artinya perubahan harga beras hanya berdampak kecil terhadap perubahan permintaan beras. Selain itu permintaan beras untuk konsumsi juga dipengaruhi oleh jumlah penduduk walau dalam jangka pendek bersifat inelastis dan dalam jangka panjang bersifat elastis. Mulyana (1998) dengan penelitian penawaran dan permintaan beras di Indonesia menyatakan bahwa perubahan permintaan beras dipengaruhi oleh perubahan jumlah penduduk dan pendapatan. Dari sisi penawaran terlihat bahwa produktivitas padi sawah dipengaruhi oleh harga gabah dan harga pupuk dengan respon perubahan yang inelastis, sedangkan perubahan luas areal lebih responsif daripada perubahan produktivitas. Hartoyo (1993) menggunakan pendekatan multi input dan multi output untuk mengetahui pengaruh infrastruktur terhadap penawaran tanaman pangan. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa rumahtangga petani menghasilkan lebih dari satu jenis produk pertanian dengan menggunakan sejumlah input tertentu sehingga diduga bahwa terdapat keterkaitan teknologi produksi antar tanaman. Untuk mengetahui pangsa penerimaan dan pangsa biaya dengan menggunakan fungsi

keuntungan translog. Salah satu hasil analisis menyatakan bahwa terjadi bias perubahan teknologi yang netral artinya peningkatan teknologi produksi tanaman pangan menyebabkan peningkatan input dengan proporsi yang sama. Implikasi kebijakan menyarankan untuk meningkatkan penawaran dan pendapatan rumahtangga petani dilakukan dengan menaikkan harga komoditas pertanian dan merealokasikan dana pemerintah dari investasi yang sudah tidak memadai seperti pembangunan jaringan irigasi baru ke investasi yang dapat memberikan nilai tambah seperti pembangunan jalan dan pengembangan riset. Penelitian penawaran output dan permintaan input telah dilakukan oleh Chaudary et al. (1998) dengan dua pendekatan yaitu dengan fungsi produksi Cobb-Douglas dan pendekatan fungsi keuntungan translog. Metode analisis

fungsi produksi dengan OLS atau 2SLS, sedangkan analisis fungsi keuntungan dengan metode Zellners Efficient Estimation. Nilai elastisitas harga dari fungsi produksi lebih besar dari fungsi keuntungan. Secara umum hasil analisis

menunjukkan bahwa : (1) elastisitas input terhadap harga output lebih besar dari satu, (2) elastistas harga silang memberikan tanda negatif yang menunjukkan hubungan antar input adalah komplemen, dan (3) elastisitas output terhadap faktor tetap yaitu kapital, ternak, lahan dan pendidikan adalah positif yang mengimplikasikan peningkatan faktor tetap akan meningkatkan efektivitas, efisiensi dan marginal produktivitas tenaga kerja, pupuk dan input lainnya. Implikasi kebijakan yang diberikan adalah pemerintah memberikan insentif harga bagi petani yang berproduksi tinggi, kenaikan harga output yang konsisten dengan harga input dan pemerintah mengeliminir ketidaksempurnaan formasi upah di perdesaan.

Nur (1999) melakukan analisis penawaran output dan permintaan input tanaman pangan lahan kering di provinsi Lampung dengan membedakan antara tanaman padi ladang, jagung, kedelai, kacang tanah dan ubi kayu. Analisis

dengan menggunakan pangsa output dan pangsa input yang diturunkan dari fungsi keuntungan translog untuk menganalisis setiap komoditas tanaman (single output) secara terpisah. Hasil analisis menunjukkan bahwa : (1) keputusan berproduksi antara tanaman bersifat saling tergantung (jointness) dengan indikasi

menggunakan input secara bersama, (2) penawaran output dan permintaan input dipengaruhi oleh harganya sendiri dan oleh harga input atau output yang lain, dan (3) kenaikan harga output dan input secara bersama akan meningkatkan

penawaran padi ladang, jagung dan ubi kayu, serta meningkatkan permintaan pupuk tetapi menurunkan penawaran jagung. Implikasi kebijakan yang diberikan adalah kebijakan harga masih diperlukan untuk meningkatkan produksi tanaman pangan dan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian. Siregar (2007) menganalisis penawaran output dan permintaan input tanaman pangan di Indonesia dengan pendekatan multi input dan multi output. Menggunakan bentuk fungsi yang fleksibel yaitu fungsi keuntungan translog model diestimasi dengan metode Seemingly Unrelated Regression (SUR) dengan restriksi homogen dan simetri. Dugaan elastisitas harga silang dan harga output menunjukkan berbedanya efek silang harga input dan harga output terhadap permintaan input dan penawaran output. Implikasi penting yang diperoleh dari hasil penelitian adalah kebijakan harga input dan output tidak efektif diterapkan, namun jika secara politis harus diterapkan maka pilihan pada harga input karena

mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap permintaan input daripada penawaran output. 2.3.2. Penelitian tentang Konsumsi Pangan Rumahtangga Penelitian konsumsi pangan juga telah banyak dilakukan oleh penelitipeneliti sebelumnya. Pada umumnya penelitian masalah konsumsi pangan Penelitian

menggunakan sasaran rumahtangga sebagai unit konsumen murni.

tersebut diantaranya telah dilakukan oleh Harianto (1994) yang menganalisis permintaan pangan di Indonesia dengan menggunakan data Susenas 1984, 1987 dan 1990, bertujuan untuk mempelajari pengaruh perubahan harga relatif dan tingkat pendapatan konsumen terhadap permintaan berbagai komoditi yang dikonsumsi oleh rumahtangga. Model yang digunakan pada persamaan tunggal adalah model semi log sedangkan untuk sistem persamaan terpilih model AIDS. Hasil penelitian yang diperoleh adalah : (1) permintaan pangan responsif terhadap perubahan harga, tingkat pengeluaran total dan jumlah anggota rumahtangga, (2) model AIDS secara teoritis lebih superior dibanding model persamaan tunggal, tetapi persamaan tunggal secara statistik tidak inferior dibanding model AIDS, dan (3) beberapa isu konseptual dan praktikal yang berkaitan dengan konsumsi pangan adalah aspek mutu pangan yang dibuktikan melalui persamaan tunggal yang bernilai positif. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan meningkatnya pendapatan maka rumahtangga cenderung membeli berbagai pangan yang lebih mahal, namun dari elastisitas harga berkaitan dengan tingkat substitusi kuantitatif kualitatif dimana rumahtangga mengkonsumsi barang yang lebih mahal dengan kuantitas yang lebih sedikit daripada mengkonsumsi barang yang tidak mahal. Perubahan konsumsi barang yang lebih

mahal terkait dengan preferensi rumahtangga, kenyamanan berbelanja, kemasan, penyimpanan dan sebagainya. Kemalawaty (1999) menggunakan data Susenas untuk permintaan pangan sumber protein hewani di Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa : (1) penggunaan model AIDS dengan metode OLS dan SUR menghasilkan koefisien dugaan yang sama kecuali untuk penerapan restriksi simetri dengan menggunakan metode SUR, (2) ikan memiliki proporsi pengeluaran pangan hewani terbesar, dan (3) konsumsi protein asal ikan terbesar dibanding kelompok pangan sumber protein hewani lainnya. Penelitian pola konsumsi dan permintaan pangan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) dilakukan oleh Rachman (2001) menggunakan data Susenas tahun 1996. Model konsumsi pangan yang dibangun menggunakan model AIDS dan untuk keperluan analisis distribusi rumahtangga contoh dikelompokkan menurut daerah dan pendapatan. Analisis dengan metode SUR dan hasil estimasi menyimpulkan bahwa : (1) pola konsumsi dan pengeluaran rata-rata rumahtangga di KTI mempunyai struktur yang searah dengan pola yang terjadi secara nasional, yaitu pangsa pengeluaran pangan masih lebih besar dari pangsa pengeluaran non pangan, demikian pula pangsa pengeluaran beras masih dominan terhadap pangsa pengeluaran pangan, (2) tingkat konsumsi pangan sumber karbohidrat lebih besar di perdesaan daripada di perkotaan, (3) pola konsumsi pangan pokok non beras mulai tergeser dengan beras, (4) terdapat kecenderungan hubungan yang positip antara potensi wilayah dengan pola konsumsi penduduk, (5) permintaan pangan di perdesaan lebih responsif terhadap perubahan harga, (6) terjadi substitusi antara

beras dengan serealia lain, dan (7) semua komoditas pangan yang dianalisis bersifat barang normal. Akbay et al. (2007) juga melakukan penelitian pola konsumsi pangan rumahtangga dengan menggunakan data survey pengeluaran rumahtangga yang dikategorikan menjadi 11 kelompok, yaitu roti, sereal, daging dan produk daging, minyak dan lemak, sayuran, buah-buahan, produk susu, coklat dan gula, kopi dan teh, minuman non alkohol, dan lainnya dengan asumsi weak separability. Pola konsumsi pangan rumahtangga tidak hanya dipengaruhi oleh pendapatan dan harga produk tetapi juga dipengaruhi oleh selera (preferensi) dan karakteristik sosial demografi. Dari studi yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa : (1)

perbedaan pola konsumsi rumahtangga disebabkan oleh faktor sosial ekonomi dan demografi, (2) alokasi pengeluaran pangan ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya jumlah dan komposisi anggota keluarga, pendidikan, umur dan gender kepala keluarga, perbedaan musim dan daerah, (3) semua kelompok pangan mempunyai nilai elastisitas harga negatif antara 0.7 1.0 mengimplikasikan bahwa kelompok pangan mempunyai respon yang tinggi terhadap perubahan harga, dan (4) elastisitas pengeluaran lebih besar dari elastisitas harga sendiri mengisyaratkan kebijakan pendapatan lebih mempengaruhi pola konsumsi dibandingkan dengan kebijakan harga. Penelitian masalah konsumsi pangan dengan menggunakan rumahtangga sebagai konsumen dan produsen telah dilakukan oleh Strauss (1986) yang melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang menentukan konsumsi pangan di Sierra Leone dengan menggunakan model rumahtangga pertanian yang diestimasi

dengan metode Quadratic Expenditure System.

Analisis dibedakan antara

kelompok rumahtangga dengan pengeluaran rendah, sedang dan tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pangsa pengeluaran semakin menurun dengan meningkatnya total pengeluaran kecuali untuk kelompok permintaan minyak dan lemak, ikan dan produk hewani. Pangsa pengeluaran terbesar untuk semua kelompok pengeluaran adalah pangsa pengeluaran non pangan, yaitu 0.39. Respon rumahtangga terhadap perubahan harga dilihat dari elastisitas harga sendiri dengan membandingkan antara keuntungan tetap (model secara umum) dan keuntungan berubah (model rumahtangga pertanian) secara absolut lebih kecil pada model rumahtangga pertanian, seperti elastisitas harga sendiri beras dari -0.74 menjadi -0.66, elastisitas harga sendiri minyak dan lemak dari -0.97 menjadi -0.73. Perubahan nilai elastisitas juga terjadi pada elastisitas harga padi terhadap permintaan minyak dan lemak dari -0.29 menjadi 0.17. Hal ini mengindikasikan bahwa efek keuntungan mempengaruhi respon rumahtangga terhadap permintaan pangan dan efek keuntungan menurun pada tingkat pengeluaran yang meningkat karena konsumsi meningkat. Sawit (1993) membangun model rumahtangga pertanian dengan

menganalisis multi output dan multi input pada rumahtangga pertanian di Jawa Barat. Penelitian Sawit lebih menyoroti bukti empiris teori rumahtangga

pertanian terhadap penawaran output dan permintaan input, serta permintaan komoditi rumahtangga. Dengan membedakan multi output antara tanaman padi dan palawija analisis penawaran output dan permintaan input dilakukan dengan menggunakan fungsi keuntungan translog dan fungsi permintaan komoditas rumahtangga didekati dengan model AIDS. Model analisis yang digunakan

dengan model rumahtangga pertanian sehingga dapat menangkap efek keuntungan. Efek keuntungan diperoleh dengan membedakan analisis permintaan komoditas antara model permintaan konvensional dan model permintaan rumahtangga. Hasil analisis menunjukkan bahwa : (1) peningkatan keuntungan diperoleh melalui peningkatan harga padi, (2) peningkatan harga palawija mempunyai dampak yang kecil terhadap peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja, (3) di tingkat mikroekonomi peningkatan keuntungan padi meningkatkan permintaan barang pasar sehingga akan mendorong peningkatan aktivitas kegiatan non pertanian di daerah perdesaan, dan (4) peningkatan harga pupuk mempunyai dampak yang sangat kecil terhadap produksi padi dan palawija serta konsumsi pangan rumahtangga.

Anda mungkin juga menyukai