Sejarah membuktikan bahwa perkembangan filsafat di dunia Islam terinspirasi dari
pemikiran para filosof Yunani yang telah mendominasi ranah intelektual manusia jauh sebelum agama Islam diturunkan. Secara umum, pemikiran para filosof muslim merupakan sintesa sistematis antara ajaran-ajaran Islam, Aristotelianisme, dan Neo-Platonisme baik yang berkembang di Athena maupun di Alexandria. Sintesa yang dilakukan pada dasarnya bertujuan untuk mengharmoniskan hubungan antara filsafat dengan ajaran Islam. Upaya untuk mengharmoniskan hubungan filsafat dengan agama diawali oleh al-Kindi. Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan yang benar (knowledge of truth) dan agama juga diwahyukan untuk menyampaikan kebenaran. Oleh karena filsafat dan agama menjadikan kebenaran sebagai tujuan, maka keduanya tidak mungkin bertentangan antara satu dengan lainnya. Dalam aspek metafisika, pemikiran al-Kindi dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Aristoteles. Sebagaimana halnya dengan Aristoteles, ia juga menjuluki metafisikanya dengan nama filsafat pertama. Dalam salah satu pokok pemikirannya dinyatakan bahwa filsafat yang termulia adalah filsafat pertama yaitu ilmu tentang Yang Benar Pertama yang menjadi sebab bagi segala yang benar. Dalam bahasa al-Kindi, yang dimaksud dengan Yang Benar Pertama adalah al-h{aqq (Tuhan). Konsep al-h{aqq yang dikemukakan al-Kindi tersebut merupakan gagasan orisinil aristoteles tentang penggerak pertama yang tidak digerakkan. Harmonisasi antara filsafat dan agama selanjutnya diteruskan oleh al-Farabi dan Ibn Sina. Lain halnya dengan al-Kindi, kedua filosof tersebut cenderung mengikuti aliran Neo- Platonisme yang banyak diminati pada waktu itu. Pemikiran Neo-Platonisme yang mewarnai pemikiran kedua filosof ini adalah mengenai teori emanasi. Teori emanasi yang mereka kemukakan pada dasarnya mencoba menjelaskan proses terjadinya alam materi dari Yang Maha Satu. Sebagaimana halnya dalam Neo-Platonisme, mereka juga menyatakan bahwa sumber dari alam materi ini adalah dari pancaran Yang Maha Satu (Tuhan). Tuhan sebagai wujud pertama berpikir tentang diri-Nya dan dari pemikiran tersebut muncul wujud kedua yang mempunyai substansi yang disebut dengan akal pertama. Wujud kedua berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini muncul wujud ketiga yang disebut akal kedua. Proses ini berlanjut hingga mencapai akal kesepuluh di mana pada tahap tersebut muncullah alam shahadat (alam materi) sebagaimana yang dapat disaksikan oleh manusia.
Filsafat emanasi yang dikembangkan oleh kedua filosof muslim tersebut memberikan dampak yang cukup luas di kalangan filosof muslim yang muncul kemudian. Sebagai bentuk sintesis terhadap pemikiran ini, sebagian filosof muslim mencoba memperkenalkan wacana teosofi (gabungan filsafat dan tasawuf). Wacana teosofi klasik dalam dunia Islam pertama sekali diperkenalkan oleh Abu Yazid al-Busthami. Nuansa filsafat yang mewarnai pemikiran sufistiknya terlihat dari gagasannya mengenai konsep ittihad (penyatuan). Menurutnya, sufi akan sampai pada penyatuan dengan Tuhan melalui fana al-nafs (penghancuran diri) dan baqa (hidup terus menerus) yaitu kesadaran diri terhadap hilangnya wujud jasmani, namun tetap disadari kekalnya wujud ruhani. Wacana teosofi berikutnya diperkenalkan oleh Husein ibn Manshur al-Hallaj dengan konsep hulul-nya. Munculnya paham ini didasarkan atas pemikiran yang menyatakan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ke-Tuhan-an (lahut), dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan (nasut). Dengan demikian, penyatuan antara Tuhan dan manusia bisa terjadi dalam bentuk hulul. Untuk dapat memperoleh penyatuan tersebut, manusia terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiannya dan menghadirkan sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya. Konsep hulul yang diprakarsai oleh al-Hallaj kemudian disistematisasikan oleh Ibn Arabi dengan kosep wahdat al-wujud (unity of existence). Dalam terminologi Ibn Arabi, nasut diubah menjadi al-khalq (makhluk) dan lahut menjadi al-haqq (Tuhan). Pemikiran ini timbul dari paham yang menyatakan bahwa Tuhan ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya dan oleh karena itu ia menciptakan alam. Di kala Ia ingin melihat diri-Nya, maka ia melihat alam karena tiap-tiap makhluk hidup yang ada di alam terdapat sifat ketuhanan. Dengan demikian, alam merupakan cermin bagi Tuhan. Dalam cermin itu diri-Nya kelihatan banyak, tetapi sebenarnya hanya satu. Di sinilah muncul paham kesatuan. Usaha untuk mencari relasi filsafat dengan tasawuf ternyata tidak hanya didominasi oleh Ibn Arabi dan para pengikutnya. Tetapi, usaha tersebut juga dirintis oleh para filosof lain dengan metode dan pendekatan yang berbeda. Salah satu di antara para filosof itu adalah Suhrawardi. Ia memperkenalkan filsafat iluminasi (al-ishraqiyat) yang bersumber dari hasil dialog spritual dan intelektual dengan tradisi-tradisi dan agama-agama lain. Suhrawardi memperkenalkan diri sebagai penyatu kembali apa yang disebutnya sebagai h{ikmat al- ladunniyat (kebijaksanaan ilahi) dan al-h{ikmat al-atiqat (kebijaksanaan kuno). Ia yakin bahwa kebijaksanaan ini adalah perenial (abadi) dan universal yang terdapat dalam berbagai bentuk di antara orang-orang Hindu, Persia, Babilonia, Mesir Kuno dan orang-orang Yunani sampai masa Aristoteles.
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI SUHRAWARDI Nama lengkapnya Abu al-Futuh Yahya ibn Habash ibn Amirak, bergelar Syihab al-Din al- Suhrawardi. Dilahirkan di Suhraward, Iran Barat laut, dekat Zanjzn pada tahun 548 H/1153 M dan dibunuh di halb (Aleppo) atas perintah Shalahuddin al-Ayyubi tahun 578 H. karena itu, beliau digelari Al-Maqtul, sebagai pembeda dengan dua sufi lainnya, yaitu Abu Najib al- Suhrawardi (w.563 H) dan Abu Hafsh Syihbuddin al-Suhrawardi al-Bagdadi (w.633 H), penyusun kitab Awarif Al-Maarif. Beliau belajar kepada seorang faqih dan teolog terkenal, Majduddin al-Jilli, guru Fakhruddin al-Razzi. Di Isfahan, beliau belajar logika kepada Ibn Sahlan Al-Sawi dan dia juga bergabung dengan para sufi dan hidup secara asketis. Ia kemudian pergi ke Halb. Di kota inilah ia memulai karir dan pengabdiannya pada Pangeran Al-Zahir, putera Salahuddin Al-Ayyubi yang ketika itu menjadi penguasa Halb. Kebrilian dalam berpikir mengangkatnya pada posisi penting yang setara dengan penasehat raja, dan sederajat dengan para mentri dan hakim-hakim agung kerajaan. Kesibukannya di istana tidak membuatnya lalai pada proyek yang dimilikinya, malah saat-saat itulah ia berhasil menyempurnakan konsep Iluminasinya dengan kehadiran buku monumentalnya yang dikenal dengan H{ikmah Al-Ishraq. Adanya buku tersebut membawanya unggul di atas para fuqaha, astronom dan teolog Istana. Bahkan terpercik keinginan sang pangeran untuk mendirikan sekolah-sekolah yang mengajarkan filsafatnya pada khalayak publik. Dan tak pelak lagi, istimewanya posisi Suhrawardi di hadapan pangeran bersinggungan dengan intrik-intrik politik yang melahirkan kecemburuan para hakim, mentri, fuqaha, serta para pembesar-pembesar Halb lainya. Orang- orang yang dengki terhadapnya melaporkan kepada Shalahuddin al-Ayyubi, yang memperingatkan bahaya terhadap akidah Al-Zahir seandainya terus bersahabat dengan Suhrawardi. Shalahuddin al-Ayyubi yang terpengaruh terhadap laporan tersebut segera memerintahkan kepada puteranya untuk segera membunuh Suhrawardi. Maka setelah meminta pendapat para fuqaha Halb, Al-Zahir pun memutuskan agar Suhrawardi segera dihukum gantung. Ia dikenal dengan Shaykh al-Ishraq atau master of illumination (Bapak Pencerahan), Al-H{akim (Sang Bijak), al-Shahid (Sang Martir). Keberhasilan Suhrawardi melahirkan aliran Illuminationist ini berkat penguasaannya yang mendalam tentang filsafat dan tasawwuf ditambah kecerdasannya yang tinggi. Pengaruhnya membawa dampak kepada kematiannya di usia 38 tahun.
B. KARYA-KARYA SUHRAWARDI Karya beliau berkisar 50 buah. Sayyed Husein Nasr mengelompokkan karya Suhrawardi ke dalam 5 bagian, yaitu: 1. Pengajaran dan kaedah teosofi yang merupakan penafsiran dan modifikasi terhadap filsafat peripatetik. Ada empat buku tentang hal ini yang ditulis dalam bahasa Arab, yaitu, al- Muqawamat (The Book of Oppositions), al-Mashari wa al-Mutarahat (The Book of Conversations), dan Hikmah al-Ishraq (The Theosophy of the Orient of Light). Karya-karya yang menjelaskan pergerakan dari hikmah bahtiyyah menuju hikmah zauqiyyah, dari yang sifatnya diskursif menuju yang lebih intuitif. Khusus Hikmat Al-Ishraq merupakan karya pamungkas dan paling penting serta paling lengkap dalam menguraikan alirannya, yang berisi pendapatnya tentang filsafat ishraqiyah (iluminasi). 2. Karangan pendek tentang filsafat, ditulis dalam bahasa Arab dan Persia yaitu: Hayakil al-Nur, al-Wah al-Imadiyyah, Partaw nammah, Fi Itiqadi al-Hukama, al-Lamahat, Yazdan Shinakat dan Bustan al-Qulub. 3. Karangan pendek yang bermuatan dan berlambang mistis (kisah-kisah simbolik), pada umumnya ditulis dalam bahasa Persia yaitu: Aql-I Surkh, Awaz-I Par-I Jabrail, al-Ghurbat al- Gharbiyah, Lughat-I Muran, Risalah fi Halat al-Thifuliyyah, Ruzi ba Jamaat Sufiyan, Risalat filah al-Thair (karya Ibn Sina diterjemahkan ke dalam Bahasa Persia), komentar terhadap Isharaq karya Ibn Sina serta sejumlah tafsir Al-Quran dan hadis Nabi saw. 5. Doa-doa yang lebih terkenal dengan al-Waridat wa al-Taqsidat (Doa dan Penyucian)
C. Pokok-pokok Pemikiran Filsafat Suhrawardi Penggunaan kata al-Ishraq (timur) dalam filsafat Suhrawardi mengandung pengertian bahwa secara empiris cahaya pertama muncul dari matahari yang terbit dari timur, sedangkan dalam dunia akal (nonempiris) kata al-ishraq dimaksudkan sebagai saat munculnya pengetahuan sejati (makrifat) atau munculnya cahaya akal yang menembus jiwa, yang dirasakan ketika jiwa benar-benar terbebas dari pengaruih indrawi. dengan demikian kata al- ishraq dipergunakan sebagai simbol al-kashf (pancaran batin) dan al-mushahadah (penglihatan secara mistik). Dalam hal ini Suhrawardi menggabungkan filsafat yang bersifat rasional dengan tasawuf yang dilakukan melalui latihan kejiwaan dan kontemplasi. Dengan kata lain, Suhrawardi memadukan daya rasio (filsafat) dan rasa (tasawuf).
1. METAFISIKA DAN CAHAYA Inti filsafat Illuminasionis adalah sifat dan penyebaran cahaya. Karena Allah sendiri menyebutkan dirinya pada QS: an-Nur ayat 35 sebagai cahaya langit dan bumi:
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada Pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Ketika Ibn Sina ditanya tentang makna ayat tersebut, ia menjawab bahwa cahaya mengandung makna essensial dan makna metaforikal. Yang essensial, cahaya berarti kesempurnaan kebeningan, lantaran cahaya pada dirinya memang bersifat bening. Sedangkan makna secara metaforikal harus dipahami dalam dua makna, yaitu cahaya sebagai sesuatu yang bersifat baik atau sebagai sebab yang mengarahkan kepada yang baik. Al-Ghazali mengembangkan pemahaman makna cahaya tersebut dalam bukunya Mishkatul Anwa>r. Dimana beliau mengatakan bahwa Nur yang sebenarnya hanyalah Allah yang dinamakan Nu>r ala Nu>r (Cahaya dari Cahaya-cahaya), sedangkan Suhrawardi menyebutnya Nu>r al-anwa>r (Cahaya mutlak atau Cahaya segala Cahaya). Cahaya yang dimaksud Suhrawardi bersifat immaterial dan tidak bisa didefinisikan karena sesuatu yang terang tidak memerlukan definisi dan cahaya adalah entitas yang paling terang di dunia ini. Yang bukan cahaya (kegelapan) bukanlah sesuatu yang khusus yang datang dari suatu sumber yang mandiri. Segala sesuatu yang bukan dari Cahaya Murni, terdiri dari sesuatu yang tidak membutuhkan substratum yang merupakan substansi gelap. Sejauh benda- benda itu dapat menerima baik cahaya maupun kegelapan, bisa dinamakan ismus-ismus. Dipandang dari dirinya sendiri, setiap ismus adalah gelap. Cahaya apapun yang dimilikinya mestilah berasal dari sumber luar. Substansi gelap ini memiliki sifat yang berasal dari sifat gelap yang inhern dalam substansi gelap. Sedangkan Cahaya Murni, bebas dari kegelapan. Hubungan Cahaya dan Gelap bukan merupakan hubungan pertentangan, tetapi hubungan antara eksistensi dan non eksistensi. Menegaskan Cahaya, niscaya menerima peniadaannya sebagai kenyataan, yaitu Kegelapan, yang harus diteranginya supaya ia menjadi dirinya sendiri. Penerangan Cahaya orisinil dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Cahaya Abstrak (misalnya Intelek, universal maupun individual). Ia tidak terbentuk dan tidak pernah menjadi atribut dari sesuatu selain dirinya sendiri (substansi). Cahaya Abstrak mengetahui dirinya melalui dirinya sendiri dan tidak memerlukan suatu non-ego untuk mengungkapkan eksistensinya kepada dirinya sendiri. Esensi Cahaya Abstrak terkenali sebagai peniadaan cahaya. 2. Cahaya Aksiden (Atribut), yaitu suatu refleksi jauh Cahaya Abstak, yang disebabkan oleh jaraknya atau kehilangan cirri substansi induknya. Rentetan Cahaya itu haruslah berujung pada Cahaya Pertama atau Niscaya, sebab tidak mungkin ada suatu gerak mundur yang tidak terbatas. Cahaya Niscaya ini disebut oleh Suhrawardi sebagai Cahaya Segala Cahaya, Cahaya Yang Mandiri, Cahaya Suci dan sebagainya. Sifat pertama Cahaya Segala Cahaya ini adalah Esa yang menimbulkan suatu proses emanasi, yang berbeda dengan sumbernya dalam tingkat kesempurnaannya. Berbeda dengan teori emanasi Ibn Sina dan al-Farabi yang berhenti pada akal aktual (akal kesepuluh), menurut Suhrawardi emanasi tidak terbatas pada akal aktual, tetapi terus beremanasi pada akal yang lebih banyak dan tidak bisa terhitung, selama cahaya dari cahaya- cahaya (nur al-anwar) terus menerus memancarkan cahaya murni kepada segala sesuatu yang ada dibawahnya.
2. Epistimologi Suhrawardi mengkritik logika Aristoteles, dimana definisi menurutnya harus terdiri dari genus plus differensia. Menurut Suhrawardi, atribut khusus hal yang terdefinisikan tidak dapat dipredikatkan kepada hal lain, mengakibatkan kita tidak memiliki pengetahuan tentang hal itu. Sebagai contoh takkala kita mendefinisikan kuda dengan ringkikannya, maka orang yang sama sekali tidak mengetahui tentang kuda akan tidak mengerti sama sekali tentang kuda tersebut. Menurut Suhrawardi, nalar tanpa intuisi dan iluminasi adalah kekanak-kanakan dan tidak akan bisa mencapai sumber transeden dari segala kebenaran dan penalaran sedangkan intuisi tanpa logika serta latihan dan pengembangan kemampuan rasional bisa tersesat dan tidak akan dapat mengungkapkan dirinya secara ringkas dan metodis. Untuk dapat memahami secara lengkap sisi intelektual murni filsafat transcendental, menurutnya harus mengenal secara dalam filsafat Aristoteles, logika, matematika dan sufisme. Akal yang tanpa bantuan zauq tidak dapat dipercaya karena zauq berfungsi menyerap misterius atas segala esensi dan membuang skeptisisme. Sisi spekulatif murni pengalaman spiritual perlu dirumuskan dan disistematisasikan oleh fikiran yang logis. Tujuan akhir segala ilmu pengetahuan adalah iluminasi dan marifat (gnosis). Tentang apa yang tampak oleh Ahli Badayah (para Pemula), kilat pertama yang menerangi jiwa para pencari dari hadirat Ilahi adalah kejadian-kejadian tak terduga dan Cahaya itu menerangi jiwa sang pengembara (mistik) dari dunia Ilahi dan ini sangat nikmat sekali. Pencerahan itu seperti tiba-tiba saja datang suatu Cahaya yang menyilaukan, lalu menghilang dan Dialah yang memperlihatkan kilat kepadamu. Jika ia melewati tahap ini, ia akan menjadi sedemikian sehingga ia tidak melihat dirinya lagi dan tidak ada pengetahuanna tentang eksistensi dirinya (fana>-i-akbar), dan jika orang melupakan dirinya dan juga lupa kepada kelupaaannya itu, hal itu dikatakan fana> dar fana>. Menurut Suhrawardi, ada 5 derajat Tauhid, yaitu: 1. Tiada Tuhan kecuali Allah, hal ini disebut tauhid rakyat jelata (awam) 2. Tiada Tuhan kecuali Engkau 3. Tiada Engkau kecuali Engkau 4. Tiada Aku selain Aku 5. Semuanya akan musnah selain wajahNya
3. KOSMOLOGI Landasan mutlak semua benda dibagi menjadi dua jenis, yaitu: 1. Yang diluar ruang atom-atom atau substansi tidak terang (esensi-esensi menurut kaum Asyari) 2. Yang mesti di dalam ruang bentuk-bentuk kegelapan, misalnya berat, bau, rasa dan sebagainya Semua yang bukan Cahaya dibagi menjadi: a) Kekal abadi, misalnya; intelek, jiwa dari benda-benda angkasa, langit, unsur-unsur tunggal, waktu dan gerak. b) Tergantung, misalnya: senyawa-senyawa dari berbagai unsur. Lebih lanjut Suhrawardi mengelompokkan alam kepada 4 tingkatan, yaitu: 1. Alam Akal-akal (Alam al-Uqul). Di dalamnya berisi Cahaya-cahaya dominator yang jumlahnya tergantung dari intensitas Cahaya Pertama. Termasuk dalam Alam Akal ini adalah Ruh Kudus yang darinya jiwa-jiwa kita berasal, dan Rabb Thilsam. Filsuf Peripatesis menyebut alam ini sebagai al-Aql al-Faal. Dalam terminologi lain Suhrawardi menyebutnya Arbab al- Anwa. 2. Alam jiwa-jiwa (Alam al-Nufus). Di dalamnya terdapat jiwa-jiwa pengatur planet-planet langit dan tubuh-tubuh manusia. Dalam hal ini Suhrawardi berbeda dengan Peripatetis yang mengatakan bahwa jiwa-jiwa planet muncul secara langsung dari akal-akal yang tinggi sementara menurut pendapat Suhrawardi, jiwa-jiwa planet tersebut muncul dari Arbab al- Anwa al-Samawi yang berasal dari hierarki cahaya atau akal-akal horizontal. 3. Alam Bentuk (Alam Ajsam). Menurutnya, ada dua macam Alam Bentuk: Alam Bentuk unsur yang berada di bawah planet bulan dan Alam Bentuk Zat yang sangat luas yaitu bentuk-bentuk planet(benda) langit. 4. Alam Mithal, suatu alam kelepasan jiwa menuju kesempurnaan.
PENUTUP
Dari uraian-uraian yang telah dibahas di atas , maka penulis dapat menyimpulkan beberapa hal : 1. Kematian Suhrawardi disebabkan karena corak pemikirannya yang cenderung liberal sehingga mengundang reaksi dari beberapa ulama fiqh pada waktu itu untuk membunuhnya dengan alasan agar pemikirannya tersebut tidak mempengaruhi terhadap orang lain yang belajar padanya. 2. Inti dari filsafat Ishra>qiyah (iluminasi) adalah tentang sifat dan penyebaran cahaya (emanasi). Dimana menurut Suhrawardi, emanasi tidak terbatas pada akal actual (akal kesepuluh), tetapi terus beremanasi pada akal yang lebih banyak dan tidak bisa terhitung, selama cahaya dari cahaya-cahaya (nur al-anwar) terus menerus memancarkan cahaya murni kepada segala sesuatu yang ada dibawahnya. 3. Konsep filsafat Ishraq yang digagasnya memberikan kesimpulan akhir bahwa semua makhluk merupakan bagian dari cahaya tuhan yang melimpah yang menembus semua celah segala yang ada. Sehingga menimbulkan persepsi bahwa tuhan dengan segala makhluk itu satu
DAFTAR PUSTAKA
1. Bagir, Haidar Buku Saku Filsafat Islam,Bandung, Mizan,2005,Cet 1
2. Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis , terj. Zainul AM, Bandung, Mizan,2006
3. Hossein Nasr, Sayyed, Oliver Leaman,Ensiklopedis Tematis Filsafat Islam, Buku Ke 1,terj.tim penerjemah mizan,bandung, mizan, 2003
4. Soleh, A Khudori, Wacana Baru filsafat Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,2004, Cet 1.