Anda di halaman 1dari 12

PENDAHULUAN

Sejarah membuktikan bahwa perkembangan filsafat di dunia Islam terinspirasi dari


pemikiran para filosof Yunani yang telah mendominasi ranah intelektual manusia jauh sebelum
agama Islam diturunkan. Secara umum, pemikiran para filosof muslim merupakan sintesa
sistematis antara ajaran-ajaran Islam, Aristotelianisme, dan Neo-Platonisme baik yang
berkembang di Athena maupun di Alexandria. Sintesa yang dilakukan pada dasarnya bertujuan
untuk mengharmoniskan hubungan antara filsafat dengan ajaran Islam.
Upaya untuk mengharmoniskan hubungan filsafat dengan agama diawali oleh al-Kindi.
Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan yang benar (knowledge of truth) dan agama juga
diwahyukan untuk menyampaikan kebenaran. Oleh karena filsafat dan agama menjadikan
kebenaran sebagai tujuan, maka keduanya tidak mungkin bertentangan antara satu dengan
lainnya. Dalam aspek metafisika, pemikiran al-Kindi dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Aristoteles.
Sebagaimana halnya dengan Aristoteles, ia juga menjuluki metafisikanya dengan nama filsafat
pertama. Dalam salah satu pokok pemikirannya dinyatakan bahwa filsafat yang termulia adalah
filsafat pertama yaitu ilmu tentang Yang Benar Pertama yang menjadi sebab bagi segala yang
benar. Dalam bahasa al-Kindi, yang dimaksud dengan Yang Benar Pertama adalah al-h{aqq
(Tuhan). Konsep al-h{aqq yang dikemukakan al-Kindi tersebut merupakan gagasan orisinil
aristoteles tentang penggerak pertama yang tidak digerakkan.
Harmonisasi antara filsafat dan agama selanjutnya diteruskan oleh al-Farabi dan Ibn
Sina. Lain halnya dengan al-Kindi, kedua filosof tersebut cenderung mengikuti aliran Neo-
Platonisme yang banyak diminati pada waktu itu. Pemikiran Neo-Platonisme yang mewarnai
pemikiran kedua filosof ini adalah mengenai teori emanasi. Teori emanasi yang mereka
kemukakan pada dasarnya mencoba menjelaskan proses terjadinya alam materi dari Yang
Maha Satu. Sebagaimana halnya dalam Neo-Platonisme, mereka juga menyatakan bahwa
sumber dari alam materi ini adalah dari pancaran Yang Maha Satu (Tuhan). Tuhan sebagai
wujud pertama berpikir tentang diri-Nya dan dari pemikiran tersebut muncul wujud kedua yang
mempunyai substansi yang disebut dengan akal pertama. Wujud kedua berpikir tentang wujud
pertama dan dari pemikiran ini muncul wujud ketiga yang disebut akal kedua. Proses ini
berlanjut hingga mencapai akal kesepuluh di mana pada tahap tersebut muncullah alam
shahadat (alam materi) sebagaimana yang dapat disaksikan oleh manusia.

Filsafat emanasi yang dikembangkan oleh kedua filosof muslim tersebut memberikan
dampak yang cukup luas di kalangan filosof muslim yang muncul kemudian. Sebagai bentuk
sintesis terhadap pemikiran ini, sebagian filosof muslim mencoba memperkenalkan wacana
teosofi (gabungan filsafat dan tasawuf). Wacana teosofi klasik dalam dunia Islam pertama sekali
diperkenalkan oleh Abu Yazid al-Busthami. Nuansa filsafat yang mewarnai pemikiran sufistiknya
terlihat dari gagasannya mengenai konsep ittihad (penyatuan). Menurutnya, sufi akan sampai
pada penyatuan dengan Tuhan melalui fana al-nafs (penghancuran diri) dan baqa (hidup
terus menerus) yaitu kesadaran diri terhadap hilangnya wujud jasmani, namun tetap disadari
kekalnya wujud ruhani.
Wacana teosofi berikutnya diperkenalkan oleh Husein ibn Manshur al-Hallaj dengan
konsep hulul-nya. Munculnya paham ini didasarkan atas pemikiran yang menyatakan bahwa
dalam diri manusia terdapat sifat ke-Tuhan-an (lahut), dan dalam diri Tuhan terdapat sifat
kemanusiaan (nasut). Dengan demikian, penyatuan antara Tuhan dan manusia bisa terjadi
dalam bentuk hulul. Untuk dapat memperoleh penyatuan tersebut, manusia terlebih dahulu
menghilangkan sifat-sifat kemanusiannya dan menghadirkan sifat-sifat ketuhanan yang ada
dalam dirinya.
Konsep hulul yang diprakarsai oleh al-Hallaj kemudian disistematisasikan oleh Ibn Arabi dengan
kosep wahdat al-wujud (unity of existence). Dalam terminologi Ibn Arabi, nasut diubah menjadi
al-khalq (makhluk) dan lahut menjadi al-haqq (Tuhan). Pemikiran ini timbul dari paham yang
menyatakan bahwa Tuhan ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya dan oleh karena itu ia
menciptakan alam. Di kala Ia ingin melihat diri-Nya, maka ia melihat alam karena tiap-tiap
makhluk hidup yang ada di alam terdapat sifat ketuhanan. Dengan demikian, alam merupakan
cermin bagi Tuhan. Dalam cermin itu diri-Nya kelihatan banyak, tetapi sebenarnya hanya satu.
Di sinilah muncul paham kesatuan.
Usaha untuk mencari relasi filsafat dengan tasawuf ternyata tidak hanya didominasi
oleh Ibn Arabi dan para pengikutnya. Tetapi, usaha tersebut juga dirintis oleh para filosof lain
dengan metode dan pendekatan yang berbeda. Salah satu di antara para filosof itu adalah
Suhrawardi. Ia memperkenalkan filsafat iluminasi (al-ishraqiyat) yang bersumber dari hasil
dialog spritual dan intelektual dengan tradisi-tradisi dan agama-agama lain. Suhrawardi
memperkenalkan diri sebagai penyatu kembali apa yang disebutnya sebagai h{ikmat al-
ladunniyat (kebijaksanaan ilahi) dan al-h{ikmat al-atiqat (kebijaksanaan kuno). Ia yakin bahwa
kebijaksanaan ini adalah perenial (abadi) dan universal yang terdapat dalam berbagai bentuk di
antara orang-orang Hindu, Persia, Babilonia, Mesir Kuno dan orang-orang Yunani sampai masa
Aristoteles.





















PEMBAHASAN

A. BIOGRAFI SUHRAWARDI
Nama lengkapnya Abu al-Futuh Yahya ibn Habash ibn Amirak, bergelar Syihab al-Din al-
Suhrawardi. Dilahirkan di Suhraward, Iran Barat laut, dekat Zanjzn pada tahun 548 H/1153 M
dan dibunuh di halb (Aleppo) atas perintah Shalahuddin al-Ayyubi tahun 578 H. karena itu,
beliau digelari Al-Maqtul, sebagai pembeda dengan dua sufi lainnya, yaitu Abu Najib al-
Suhrawardi (w.563 H) dan Abu Hafsh Syihbuddin al-Suhrawardi al-Bagdadi (w.633 H), penyusun
kitab Awarif Al-Maarif.
Beliau belajar kepada seorang faqih dan teolog terkenal, Majduddin al-Jilli, guru
Fakhruddin al-Razzi. Di Isfahan, beliau belajar logika kepada Ibn Sahlan Al-Sawi dan dia juga
bergabung dengan para sufi dan hidup secara asketis. Ia kemudian pergi ke Halb. Di kota inilah
ia memulai karir dan pengabdiannya pada Pangeran Al-Zahir, putera Salahuddin Al-Ayyubi yang
ketika itu menjadi penguasa Halb. Kebrilian dalam berpikir mengangkatnya pada posisi penting
yang setara dengan penasehat raja, dan sederajat dengan para mentri dan hakim-hakim agung
kerajaan. Kesibukannya di istana tidak membuatnya lalai pada proyek yang dimilikinya, malah
saat-saat itulah ia berhasil menyempurnakan konsep Iluminasinya dengan kehadiran buku
monumentalnya yang dikenal dengan H{ikmah Al-Ishraq.
Adanya buku tersebut membawanya unggul di atas para fuqaha, astronom dan teolog
Istana. Bahkan terpercik keinginan sang pangeran untuk mendirikan sekolah-sekolah yang
mengajarkan filsafatnya pada khalayak publik. Dan tak pelak lagi, istimewanya posisi
Suhrawardi di hadapan pangeran bersinggungan dengan intrik-intrik politik yang melahirkan
kecemburuan para hakim, mentri, fuqaha, serta para pembesar-pembesar Halb lainya. Orang-
orang yang dengki terhadapnya melaporkan kepada Shalahuddin al-Ayyubi, yang
memperingatkan bahaya terhadap akidah Al-Zahir seandainya terus bersahabat dengan
Suhrawardi. Shalahuddin al-Ayyubi yang terpengaruh terhadap laporan tersebut segera
memerintahkan kepada puteranya untuk segera membunuh Suhrawardi. Maka setelah
meminta pendapat para fuqaha Halb, Al-Zahir pun memutuskan agar Suhrawardi segera
dihukum gantung.
Ia dikenal dengan Shaykh al-Ishraq atau master of illumination (Bapak Pencerahan), Al-H{akim
(Sang Bijak), al-Shahid (Sang Martir). Keberhasilan Suhrawardi melahirkan aliran Illuminationist
ini berkat penguasaannya yang mendalam tentang filsafat dan tasawwuf ditambah
kecerdasannya yang tinggi. Pengaruhnya membawa dampak kepada kematiannya di usia 38
tahun.

B. KARYA-KARYA SUHRAWARDI
Karya beliau berkisar 50 buah. Sayyed Husein Nasr mengelompokkan karya Suhrawardi
ke dalam 5 bagian, yaitu:
1. Pengajaran dan kaedah teosofi yang merupakan penafsiran dan modifikasi terhadap filsafat
peripatetik. Ada empat buku tentang hal ini yang ditulis dalam bahasa Arab, yaitu, al-
Muqawamat (The Book of Oppositions), al-Mashari wa al-Mutarahat (The Book of
Conversations), dan Hikmah al-Ishraq (The Theosophy of the Orient of Light). Karya-karya yang
menjelaskan pergerakan dari hikmah bahtiyyah menuju hikmah zauqiyyah, dari yang sifatnya
diskursif menuju yang lebih intuitif. Khusus Hikmat Al-Ishraq merupakan karya pamungkas dan
paling penting serta paling lengkap dalam menguraikan alirannya, yang berisi pendapatnya
tentang filsafat ishraqiyah (iluminasi).
2. Karangan pendek tentang filsafat, ditulis dalam bahasa Arab dan Persia yaitu: Hayakil al-Nur,
al-Wah al-Imadiyyah, Partaw nammah, Fi Itiqadi al-Hukama, al-Lamahat, Yazdan Shinakat dan
Bustan al-Qulub.
3. Karangan pendek yang bermuatan dan berlambang mistis (kisah-kisah simbolik), pada
umumnya ditulis dalam bahasa Persia yaitu: Aql-I Surkh, Awaz-I Par-I Jabrail, al-Ghurbat al-
Gharbiyah, Lughat-I Muran, Risalah fi Halat al-Thifuliyyah, Ruzi ba Jamaat Sufiyan, Risalat filah
al-Thair (karya Ibn Sina diterjemahkan ke dalam Bahasa Persia), komentar terhadap Isharaq
karya Ibn Sina serta sejumlah tafsir Al-Quran dan hadis Nabi saw.
5. Doa-doa yang lebih terkenal dengan al-Waridat wa al-Taqsidat (Doa dan Penyucian)



C. Pokok-pokok Pemikiran Filsafat Suhrawardi
Penggunaan kata al-Ishraq (timur) dalam filsafat Suhrawardi mengandung pengertian
bahwa secara empiris cahaya pertama muncul dari matahari yang terbit dari timur, sedangkan
dalam dunia akal (nonempiris) kata al-ishraq dimaksudkan sebagai saat munculnya
pengetahuan sejati (makrifat) atau munculnya cahaya akal yang menembus jiwa, yang
dirasakan ketika jiwa benar-benar terbebas dari pengaruih indrawi. dengan demikian kata al-
ishraq dipergunakan sebagai simbol al-kashf (pancaran batin) dan al-mushahadah (penglihatan
secara mistik). Dalam hal ini Suhrawardi menggabungkan filsafat yang bersifat rasional dengan
tasawuf yang dilakukan melalui latihan kejiwaan dan kontemplasi. Dengan kata lain, Suhrawardi
memadukan daya rasio (filsafat) dan rasa (tasawuf).

1. METAFISIKA DAN CAHAYA
Inti filsafat Illuminasionis adalah sifat dan penyebaran cahaya. Karena Allah sendiri
menyebutkan dirinya pada QS: an-Nur ayat 35 sebagai cahaya langit dan bumi:

+.- +OO+^ V4OEOO-
^O-4 _ N14` jjOO+^
E_O;=gE OgOg NE4:g` W
E4:g^- O) OE_~E}Ne W
OE_~E}O- OgE+WE _UEOE
OjO1 ~ONC }g` E4OEE- lO4O4:G`
lO4^O+-uCEe lOOg~uO= 4 lOE1)OEN
1~4C Og+uCEe +7//NC O4
+OO=O;> EO4^ _ NOO-^ _O>4N OO+^
Ogg4 +.- jjOONLg }4` +7.4=EC _
C)O;EC4 +.- 1^`- +EE4Ug
+.-4 ]7) 7/E* _1)U4 ^@)




Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah
seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada Pelita besar. Pelita itu di dalam
kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan
dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah
timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir
menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Ketika Ibn Sina ditanya tentang makna ayat tersebut, ia menjawab bahwa cahaya mengandung
makna essensial dan makna metaforikal. Yang essensial, cahaya berarti kesempurnaan
kebeningan, lantaran cahaya pada dirinya memang bersifat bening. Sedangkan makna secara
metaforikal harus dipahami dalam dua makna, yaitu cahaya sebagai sesuatu yang bersifat baik
atau sebagai sebab yang mengarahkan kepada yang baik. Al-Ghazali mengembangkan
pemahaman makna cahaya tersebut dalam bukunya Mishkatul Anwa>r. Dimana beliau
mengatakan bahwa Nur yang sebenarnya hanyalah Allah yang dinamakan Nu>r ala Nu>r
(Cahaya dari Cahaya-cahaya), sedangkan Suhrawardi menyebutnya Nu>r al-anwa>r (Cahaya
mutlak atau Cahaya segala Cahaya).
Cahaya yang dimaksud Suhrawardi bersifat immaterial dan tidak bisa didefinisikan
karena sesuatu yang terang tidak memerlukan definisi dan cahaya adalah entitas yang paling
terang di dunia ini. Yang bukan cahaya (kegelapan) bukanlah sesuatu yang khusus yang datang
dari suatu sumber yang mandiri. Segala sesuatu yang bukan dari Cahaya Murni, terdiri dari
sesuatu yang tidak membutuhkan substratum yang merupakan substansi gelap. Sejauh benda-
benda itu dapat menerima baik cahaya maupun kegelapan, bisa dinamakan ismus-ismus.
Dipandang dari dirinya sendiri, setiap ismus adalah gelap. Cahaya apapun yang dimilikinya
mestilah berasal dari sumber luar.
Substansi gelap ini memiliki sifat yang berasal dari sifat gelap yang inhern dalam
substansi gelap. Sedangkan Cahaya Murni, bebas dari kegelapan. Hubungan Cahaya dan Gelap
bukan merupakan hubungan pertentangan, tetapi hubungan antara eksistensi dan non
eksistensi. Menegaskan Cahaya, niscaya menerima peniadaannya sebagai kenyataan, yaitu
Kegelapan, yang harus diteranginya supaya ia menjadi dirinya sendiri.
Penerangan Cahaya orisinil dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Cahaya Abstrak (misalnya Intelek, universal maupun individual). Ia tidak terbentuk dan tidak
pernah menjadi atribut dari sesuatu selain dirinya sendiri (substansi). Cahaya Abstrak
mengetahui dirinya melalui dirinya sendiri dan tidak memerlukan suatu non-ego untuk
mengungkapkan eksistensinya kepada dirinya sendiri. Esensi Cahaya Abstrak terkenali sebagai
peniadaan cahaya.
2. Cahaya Aksiden (Atribut), yaitu suatu refleksi jauh Cahaya Abstak, yang disebabkan oleh
jaraknya atau kehilangan cirri substansi induknya.
Rentetan Cahaya itu haruslah berujung pada Cahaya Pertama atau Niscaya, sebab tidak
mungkin ada suatu gerak mundur yang tidak terbatas. Cahaya Niscaya ini disebut oleh
Suhrawardi sebagai Cahaya Segala Cahaya, Cahaya Yang Mandiri, Cahaya Suci dan sebagainya.
Sifat pertama Cahaya Segala Cahaya ini adalah Esa yang menimbulkan suatu proses emanasi,
yang berbeda dengan sumbernya dalam tingkat kesempurnaannya.
Berbeda dengan teori emanasi Ibn Sina dan al-Farabi yang berhenti pada akal aktual
(akal kesepuluh), menurut Suhrawardi emanasi tidak terbatas pada akal aktual, tetapi terus
beremanasi pada akal yang lebih banyak dan tidak bisa terhitung, selama cahaya dari cahaya-
cahaya (nur al-anwar) terus menerus memancarkan cahaya murni kepada segala sesuatu yang
ada dibawahnya.

2. Epistimologi
Suhrawardi mengkritik logika Aristoteles, dimana definisi menurutnya harus terdiri dari
genus plus differensia. Menurut Suhrawardi, atribut khusus hal yang terdefinisikan tidak dapat
dipredikatkan kepada hal lain, mengakibatkan kita tidak memiliki pengetahuan tentang hal itu.
Sebagai contoh takkala kita mendefinisikan kuda dengan ringkikannya, maka orang yang sama
sekali tidak mengetahui tentang kuda akan tidak mengerti sama sekali tentang kuda tersebut.
Menurut Suhrawardi, nalar tanpa intuisi dan iluminasi adalah kekanak-kanakan dan tidak akan
bisa mencapai sumber transeden dari segala kebenaran dan penalaran sedangkan intuisi tanpa
logika serta latihan dan pengembangan kemampuan rasional bisa tersesat dan tidak akan dapat
mengungkapkan dirinya secara ringkas dan metodis. Untuk dapat memahami secara lengkap
sisi intelektual murni filsafat transcendental, menurutnya harus mengenal secara dalam filsafat
Aristoteles, logika, matematika dan sufisme. Akal yang tanpa bantuan zauq tidak dapat
dipercaya karena zauq berfungsi menyerap misterius atas segala esensi dan membuang
skeptisisme. Sisi spekulatif murni pengalaman spiritual perlu dirumuskan dan disistematisasikan
oleh fikiran yang logis. Tujuan akhir segala ilmu pengetahuan adalah iluminasi dan marifat
(gnosis).
Tentang apa yang tampak oleh Ahli Badayah (para Pemula), kilat pertama yang
menerangi jiwa para pencari dari hadirat Ilahi adalah kejadian-kejadian tak terduga dan Cahaya
itu menerangi jiwa sang pengembara (mistik) dari dunia Ilahi dan ini sangat nikmat sekali.
Pencerahan itu seperti tiba-tiba saja datang suatu Cahaya yang menyilaukan, lalu menghilang
dan Dialah yang memperlihatkan kilat kepadamu. Jika ia melewati tahap ini, ia akan menjadi
sedemikian sehingga ia tidak melihat dirinya lagi dan tidak ada pengetahuanna tentang
eksistensi dirinya (fana>-i-akbar), dan jika orang melupakan dirinya dan juga lupa kepada
kelupaaannya itu, hal itu dikatakan fana> dar fana>.
Menurut Suhrawardi, ada 5 derajat Tauhid, yaitu:
1. Tiada Tuhan kecuali Allah, hal ini disebut tauhid rakyat jelata (awam)
2. Tiada Tuhan kecuali Engkau
3. Tiada Engkau kecuali Engkau
4. Tiada Aku selain Aku
5. Semuanya akan musnah selain wajahNya

3. KOSMOLOGI
Landasan mutlak semua benda dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
1. Yang diluar ruang atom-atom atau substansi tidak terang (esensi-esensi menurut kaum
Asyari)
2. Yang mesti di dalam ruang bentuk-bentuk kegelapan, misalnya berat, bau, rasa dan
sebagainya
Semua yang bukan Cahaya dibagi menjadi:
a) Kekal abadi, misalnya; intelek, jiwa dari benda-benda angkasa, langit, unsur-unsur tunggal,
waktu dan gerak.
b) Tergantung, misalnya: senyawa-senyawa dari berbagai unsur.
Lebih lanjut Suhrawardi mengelompokkan alam kepada 4 tingkatan, yaitu:
1. Alam Akal-akal (Alam al-Uqul). Di dalamnya berisi Cahaya-cahaya dominator yang
jumlahnya tergantung dari intensitas Cahaya Pertama. Termasuk dalam Alam Akal ini adalah
Ruh Kudus yang darinya jiwa-jiwa kita berasal, dan Rabb Thilsam. Filsuf Peripatesis menyebut
alam ini sebagai al-Aql al-Faal. Dalam terminologi lain Suhrawardi menyebutnya Arbab al-
Anwa.
2. Alam jiwa-jiwa (Alam al-Nufus). Di dalamnya terdapat jiwa-jiwa pengatur planet-planet
langit dan tubuh-tubuh manusia. Dalam hal ini Suhrawardi berbeda dengan Peripatetis yang
mengatakan bahwa jiwa-jiwa planet muncul secara langsung dari akal-akal yang tinggi
sementara menurut pendapat Suhrawardi, jiwa-jiwa planet tersebut muncul dari Arbab al-
Anwa al-Samawi yang berasal dari hierarki cahaya atau akal-akal horizontal.
3. Alam Bentuk (Alam Ajsam). Menurutnya, ada dua macam Alam Bentuk: Alam Bentuk unsur
yang berada di bawah planet bulan dan Alam Bentuk Zat yang sangat luas yaitu bentuk-bentuk
planet(benda) langit.
4. Alam Mithal, suatu alam kelepasan jiwa menuju kesempurnaan.










PENUTUP

Dari uraian-uraian yang telah dibahas di atas , maka penulis dapat menyimpulkan
beberapa hal :
1. Kematian Suhrawardi disebabkan karena corak pemikirannya yang cenderung liberal
sehingga mengundang reaksi dari beberapa ulama fiqh pada waktu itu untuk membunuhnya
dengan alasan agar pemikirannya tersebut tidak mempengaruhi terhadap orang lain yang
belajar padanya.
2. Inti dari filsafat Ishra>qiyah (iluminasi) adalah tentang sifat dan penyebaran cahaya
(emanasi). Dimana menurut Suhrawardi, emanasi tidak terbatas pada akal actual (akal
kesepuluh), tetapi terus beremanasi pada akal yang lebih banyak dan tidak bisa terhitung,
selama cahaya dari cahaya-cahaya (nur al-anwar) terus menerus memancarkan cahaya murni
kepada segala sesuatu yang ada dibawahnya.
3. Konsep filsafat Ishraq yang digagasnya memberikan kesimpulan akhir bahwa semua makhluk
merupakan bagian dari cahaya tuhan yang melimpah yang menembus semua celah segala yang
ada. Sehingga menimbulkan persepsi bahwa tuhan dengan segala makhluk itu satu













DAFTAR PUSTAKA


1. Bagir, Haidar Buku Saku Filsafat Islam,Bandung, Mizan,2005,Cet 1

2. Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis , terj. Zainul AM, Bandung,
Mizan,2006

3. Hossein Nasr, Sayyed, Oliver Leaman,Ensiklopedis Tematis Filsafat Islam, Buku Ke 1,terj.tim
penerjemah mizan,bandung, mizan, 2003

4. Soleh, A Khudori, Wacana Baru filsafat Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,2004, Cet 1.

Anda mungkin juga menyukai