Anda di halaman 1dari 4

Di saran : Ini sebuah ironi. Anggaran pendidikan dinaikkan, tetapi biaya untuk mengakses pendidikan semakin mahal.

Saya secara pribadi menyedihkan kejadian ini. Tulisan ini diilhami kejadian nyata yang terjadi di negeri ini. Semoga dapat menjadi pemikiran bagi pemimpin bangsa yang sebentar lagi kita pilih. Mendapatkan kesempatan pendidikan adalah hak semua warga negara. Bukankah negara ini didirikan untuk mencerdaskan dan menyejahterakan rakyatnya?

Solusi untuk mahalnya pendidikan, (tapi nda nggak suka) : rasanya tidak berdampak apa-apa, selain masih mahalnya pendidikan Indonesia dan hanya segelintir orang yang daoat menikmati pendidikan. kalau para calon pejabat kampanye tentang pendidikan gratis, itu ujung2nya Cuma dua. Yang pertama, dia menipu konstutuennya. Yang kedua, pendidikan yang diberikan kualitasnya rendah. Ungkap Sosiolg UI paulus wirotomo ketika di hibungi SiNDO. Dia berpendapat, jia ingin mendapatkan pendidika dnegan kualitas waid, masyatakat tentu saja harus merogoh kocek lebih dalam. Pasalnya, guna menghasikan pendidikan bagus, menutuynya pihak penyelenggara pendiidkan haruslah merogok kocok lebih dalam juga. Dana tersebut akan dimanhaatkan penyelengara pendidikan guna melengkapi fasilitas pendidikannya, meningkatkan kualitas pengajanya, hingga memperbaiki kurikulum pembelajarannya. lah, gimana kulitas pengajarnya baik jika tiap hari ngojek kemana2 karena kecilnya gaji ungkapnya. Memang perlu diakui, untuk menghasilkan pendidika yang baik, diperlukan sarana penunjang pendidikan yang leih baik juga. Image pendidikan mahal, muncul akrena daya beli masyaraata yang semakin menurun.sebetulnya, dala menentukan tariff, pihak penyelenggara pendidika itu sudah mempertimbangkan berbagai hal. Namun, karena daya beli masyarrakat yag rendah, kondidi ekonomi yang jelek, ini terlihat mahal.

Dekripsi mahanya pendidikan BIaya pendidikan Indonesia masih terhitung mahal. Pendidikan gratis yang selalu terngiang-ngiang melenakan mimpi-mimpi para rakyat Indonesia yang tidak mampu, masih sangta sulit untuk diwujudkan. Dana apbn yang dikelurkan untuk pendidikan sebesar 20%,

Bagus, tapi bingungm mau ditaro dimana,

Parahnya, pada saat hasil pendidikan ada anak sekolah yang tercermin dari pelaksanaan Ujian Akhir Nasional (UAN) dalam kondisi yang memprihatinkan, maka semua pihak menuding guru sebagai biang dari kegagalan pendidikan. Guru yang tidak becus dalam memberikan pengajaran. Bila kita sepakat pendidikan adalah kebutuhan bersama yang mutlak diwujudkan oleh bangsa ini, ada beberapa pertanyaan yang pantas untuk kita sisipkan untuk menjawab permasalahan ini. Sebesar apa kepentingan bangsa ini terhadap dunia pendidikan? Lalu, usaha apa saja yang kita lakukan untuk mencapai kondisi itu. Adakah karena kesalahan pemerintah sehingga sebagian besar generasi kita menjadi terbelakang ataukah memang karena masyarakat kita yang malas menuntut karena pengaruh dimanja alam? Membicarakan kebutuhan pendidikan sama halnya membedah samudera kebutuhan manusia sebagai individu dan sebagai bangsa. Idealnya, secara abstrak bangsa ini membutuhkan generasi yang lebih cerdas untuk membentuk karakter bangsa yang lebih baik. Sayangnya, gambaran itu sangat abstrak. Sehingga sulit untuk membayangkan secara objektif untuk mewujudkannya. Usaha yang jelas-jelas sudah menjadi acuan adalah pemberantasan angka buta huruf yang pernah dijalankan dalam beberapa tahun. Kemudian, kondisi ini diperbaiki dengan mengembangkan menjadi pendidikan dasar 9 tahun. Pendidikan dasar 9 tahun sepertinya hanya untuk generasi di pedesaan. Tidak berarti berarti lebih besar dari peningkatan pengetahuan yang secara menyeluruh pada masyarakat umum. Akibatnya, yang muncul adalah anggapan kebutuhan pendidikan yang lebih baik hanya pada perkotaan. Sementara masyarakat di pedesaan hanya cukup untuk menjadi pelengkap dalam kerangka pendidikan 9 tahun itu tadi. Kalau kita jujur, kita tidak pernah serius untuk melakukan pemerataan pendidikan. Perlakuan berlebihan pada sekolah-sekolah unggulan adalah bukti yang sangat emperis. Sementara sekolah-sekolah di pinggiran tidak memiliki daya tawar yang sama baik dalam jumlah penyediaan tenaga pengajar yang lebih baik, fasilitas pengajaran yang lebih maju, serta kesempatan untuk mendapatkan kemudahan dalam proses belajar mengajar. Sungguh, inilah proyek pembangunan pendidikan yang masih menggunakan istilah anak tiri.

Lalu, bagaimana kita meraih tingkat pendidikan yang lebih baik secara merata? Inilah pertanyaan yang semestinya harus dijawab oleh semua komponen bangsa atau bagi orang yang biasanya menyebut sebagai pemerhati pendidikan.

Solusi (UAN) Terlepas dari kontroversi pengadaan UAN, sebenarnya, sedikit banyaknya kualitas pendidikan kita tercermin dari hasil UAN, dan diharapkan pemerintah tidak saja memaksa siswa untuk kerja rodi menggampai angka kelulusan minimal yang semakin tinggi saja, tapi pemerintah juga harusnya mengoreksi diri mengapa hasil dari UAN bisa menciptakan angka ketidaklulusan yang cukup tinggi.

Solusi akhir: Usaha melakukan pendidikan ilmu harus digalakkan. Selain itu, yang lebih penting lagi ialah menggalakkan pendidikan jiwa dan semangat berdikari dalam berfikir, berani bebas berfikir.

Bangsa ini memerlukan garis pendidikan nasional yang memberlakukan falsafah Pancasila, seperti diuraikan dalam Pidato Bung Karno, 1 Juni 1945: "Nasion ini memerlukan kebijakan pendidikan yang sesuai dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, Sekularisme dan Multi-Kulturisme!"

elain itu, manajemen sekolah dan kepala sekolah yang masih lemah sebagai akibat terbatasnya pendidikan dan latihan kepala sekolah serta pendidikan dan latihan manajemen kepala sekolah. Implementasi manajemen berbasis sekolah (MBS) juga belum berjalan baik. Kepala sekolah masih terpaku pada kebijakan- kebijakan birokrasi. Akibatnya, para kepala sekolah tidak kreatif dan inovatif dalam menerapkan model pembelajaran yang cocok untuk anak didik di sekolahnya. Partisipasi masyarakat dalam pendidikan juga masih sangat minim khususnya di desa-desa dan daerah terpencil.

Faktor-faktor lain yang menurunkan kualitas pendidikan adalah disiplin dalam keluarga yang semakin kendor. Para orangtua/wali murid terlalu mempercayakan anak-anak mereka kepada sekolah, padahal sebagian besar waktu anak-anak di rumah bersama orangtua.

Berbagai persoalan dalam pendidikan NTT ini pun langsung melahirkan berbagai ide program untuk mengatasinya, antara lain pemerintah kabupaten/kota perlu membangun komitmen dan bersinergi dengan Pemerintah Propinsi NTT dan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) melalui langkahlangkah konkret, baik dalam mengalokasikan anggaran, memperbaiki dan menyediakan saranaprasarana secara bertahap maupun pengawasan terhadap manajemen pengelolaan pendidikan, menghidupkan kegiatan musyawarah guru mata pelajaran (MGMP), kelompok kerja guru (KKG), kelompok kerja kepala sekolah (K3S) serta pengembangan program center MIPA, Bahasa dan IPS serta berbagai kelompok mata pelajaran.

Kinerja kepala sekolah dan guru pun perlu di evaluasi. Yang berhasil perlu diberikan reward, namun yang gagal harus diberi punishment.

. "Untuk kemajuan pendidikan, kita memerlukan tenaga pemikir yang dapat mengarahkan politik pendidikan yang tepat. Jangan lagi keluar berbagai kebijakan kontroversial yang tidak relevan dengan kebutuhan bangsa dan pendidikan, seperti UU Badan Hukum Pendidikan dan Ujian Nasional," kata Sulistiyo.

Masyarakat pun dituntut untuk lebih peduli terhadap dunia pendidikan. Dengan cara medirikan sekolahsekolah gratis bagi mereka yang tidak mempu merupakan salah satu upaya untuk menuntaskan permasalahan di tingkat dasar.

Anda mungkin juga menyukai