Anda di halaman 1dari 3

Aroma Kapitalisasi Pendidikan dari RUU Perguruan Tinggi

- Demam RUU sepertinya sedang melanda negeri ini. Belum hilang riuh rendah RUU KKG, publik sudah dikejutkan lagi dengan RUU PKS. Dan teranyar, RUU Perguruan Tinggi (PT) juga kabarnya akan menuai banyak pro kontra. Mengenang kembali terkait RUU PT sebelumnya, sebenarnya sudah di-judicial review oleh MK.Tak dapat dihindari, kembali mengudaranya RUU ini pun menuai spekulasi. Dalam UU BHMN yang telah lalu, terdengus anyirnya aroma kapitalisasi. Bahwa sektor pendidikan pun akan diperdagangkan sangat telanjang dalam semangat undang-undang tersebut.Menilik draft terbaru RUU PT yang saat ini sedang digodok DPR, sangat disayangkan semangat itu ternyata tidak memudar. Semangat kapitalisasi dan liberalisasi pendidikan hanya dibungkus dalam permainan kata. Adapun tentang penolakan akan RUU PT ini, akhirnya juga setali tiga uang dengan alasan-alasan sebelumnya. Bahwa arus globalisasi bukan sekedar semakin deras, namun akan menjadi tidak terbendung oleh kekuatan kita saat ini. Liberalisasi pendidikan tinggi hanya akan bermakna pembiayaan pendidikan tinggi akan dilepaskan dari tanggung jawab negara. Dan ini akan membentuk rantai makanan yang akan saling memangsa. Negara lepas tangan berarti memaksa masing-masing perguruan tinggi untuk memeras otak mencari cara menemukan jalan pendapatan lain agar operasional pendidikan tetap mampu berjalan. Cara yang paling lazim digunakan adalah memangsa mahasiswa yang berada di tingkatan rantai makanan terbawah. Kenaikan biaya masuk pendidikan tinggi menjadi tak terhindarkan. Sudah menjadi pemahaman bersama bahwa pada hakikatnya pendidikan bukanlah semata-mata usaha seorang warga negara untuk mendapatkan kehidupan yang lebih bermartabat di masa yang akan datang, namun pendidikan menyentuh ranah yang jauh lebih luas dari itu. Lewat pendidikan seseorang belajar tentang karakter dan kepribadian. Lewat pendidikan juga seseorang belajar bagaimana bergaul di tengah-tengah masyarakat. Lewat pendidikan juga seseorang belajar tentang benar salah, tentang kewajiban membela yang benar dan kewajiban mengingatkan yang salah, semuanya dipelajari lewat pendidikan. Ketika akses menuju pendidikan itu sedemikian berat, apakah ini serupa dengan sengaja melakukan pembodohan bagi masyarakat? Babak selanjutnya yang layak sedikit membuat gerah para aktivis pergerakan mahasiswa adalah adanya aroma rezim represif dalam rancangan undang-undang ini. Meski tak secara eksplisit, namun jika kita meletakkan RUU intelejen sebagai awalan, kemudian RUU PKS yang bias, selanjutnya sekarang RUU PT yang menyinggung-nyinggung tentang menteri dan mahasiswa, maka rasanya tampak bahwa semua ini berada dalam satu garis yang saling terkait. Akan semakin spekulatif jika pangkal garis ini kita mundurkan sedikit lagi ke peristiwa kerjasama komprehensif antara Indonesia dengan Amerika yang salah satu poin kerjasama itu adalah di sector pendidikan. Apakah kita sedang menjelma menjadi wayang-wayang dengan biang kapitalis sebagai dalangnya? Akhirnya RUU PT yang kembali mengudara ini, jangan pernah berikan kesempatan untuk kembali membumi.

Ratusan mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas) yang tergabung dalam Sekretariat Bersama (Sekber) Perjuangan Rakyat Sulawesi Selatan, dijadwalkan menggelar aksi demonstrasi di jalan protokol di Makassar hari ini, Selasa (10/4/2012). Rencana tersebut disampaikan salah seorang anggota Sekber Unhas Hasrul Ekaputra, yang juga mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional FISIP Unhas kepada Tribun Timur, Senin (9/4/2012). "Jangan biarkan adik-adik, masyarakat kita semakin sulit menjangkau pendidikan karena biaya mahal. Untuk itu, kami sudah konsolidasi, besok pagi (hari ini) kita turun aksi menolak RUU Pendidikan Tinggi," kata Hasrul Menurut Hasrul, aksi mahasiswa menolak pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Pendidikan Tinggi dimulai dari Tugu Juang (Tugu Phinisi) Unhas, Tamalanrea, Makassar pukul 08.00 WITA. Titik aksi ratusan mahasiswa dari berbagai fakultas di Unhas ini rencananya digelar di fly over dan Kantor DPRD Sulsel, Jalan Urip Sumihardjo, Makassar. "Mari bung, berjuang, jangan tunggu SPP naik ditambah uang kuliah mahal baru mengeluh," ajak Hasru

Mahasiswa Protes RUU Pendidikan Tinggi


Puluhan anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI), Rabu, 11 April 2012 siang, menggelar demonstrasi di depan gerbang gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Unjuk rasa dilakukan sebagai bentuk protes atas draft terbaru Rancangan Undang-undang Pendidikan Tinggi. Salah satu pasal dalam RUU Pendidikan Tinggi yang diprotes mahasiswa anggota BEM UI adalah sumber pendanaan perguruan tinggi. Ketua BEM UI Faldo Maldini menilai dalam RUU tersebut pemerintah terkesan lepas tangan mendanai biaya operasional perguruan tinggi. Kampus disuruh cari uang sendiri, kata Faldo di sela-sela demonstrasi. Mahasiswa berharap UU Pendidikan Tinggi nanti justru dapat mengalokasikan dana yang lebih besar kepada perguruan tinggi agar biaya kuliah tidak membengkak. Dengan demikian pendidikan tinggi bisa dicapai juga oleh masyarakat miskin. Kami minta subsidi yang lebih besar, katanya. Dalam RUU versi 4 April 2012, dalam Pasal 89 ayat 3 disebutkan bahwa pemerintah mengalokasikan dana bantuan operasional perguruan tinggi negeri paling sedikit 2,5 persen dari anggaran fungsi pendidikan. Dana tersebut diambil dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) maupun anggaran pebdapatan dan belanja daerah (APBD). Adapun dasar pemerintah mengalokasikan dana bagi perguruan tinggi adalah standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi. Ada tiga variabel yang menentukan besaran satuan biaya operasional itu, yaitu standar nasional pendidikan tinggi, jenis program studi, dan indeks kemahalan wilayah perguruan tinggi. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 88 RUU Pendidikan Tinggi versi 4 April 2012. Standar serupa juga dijadikan acuan untuk menentukan besar biaya kuliah yang harus ditanggung oleh mahasiswa yang akan diatur lebih rinci dalam peraturan menteri. BEM UI juga memprotes otonomisasi perguruan tinggi, khususnya otonomi non-akademik yang mencakup pengelolaan keuangan. Menurut Faldo, poin otonomisasi pengelolaan keuangan ini sama saja mengkomersialisasikan pendidikan tinggi. Tidak ada peran negara. Negara lepas tanggung jawab, katanya.

Makna Penundaan RUU Perguruan Tinggi *)


Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat, akhirnya menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi, yang rencananya akan disahkan pada masa sidang paripurna, 10 April 2012. Usul penundaan justru datang dari pemerintah pada hari terakhir. Adapun alasan yang dikemukakan Menteri M. Nuh kepada publik mengenai permintaan penundaan pengesahan RUU PT itu adalah perlu penambahan atas tiga hal, yaitu peran pendidikan tinggi untuk menyiapkan pemimpin bangsa ke depan, melakukan transformasi demokrasi, serta menjawab konvergensi budaya dan peradaban. Bagi mereka yang mengikuti perdebatan RUU PT sejak awal, ketiga hal tersebut tidak pernah muncul dalam perdebatan. Artinya, secara substansial sejak awal pembahasan bukan masalah. Saya pribadi berpendapat hal tersebut tidak harus muncul dalam bentuk pasal, tapi menjadi roh RUU PT itu sendiri. Artinya, lahirnya RUU PT itu sendiri semestinya didasari pemikiran dan semangat untuk menyiapkan pemimpin bangsa ke depan, melakukan transformasi demokrasi, serta menjawab konvergensi budaya dan peradaban. Karena semangatnya seperti itu, konsekuensi logisnya adalah pasal-pasal yang ada di dalamnya harus mengeksplorasi semangat tersebut. Jadi bukan harus ada pasal tertentu yang secara eksplisit berbunyi seperti itu. India salah satu contoh negara miskin dengan penduduk di atas 1 miliar jiwa, tapi memberikan pendidikan yang terbaik dan murah bagi warganya. Kuliah di fakultas kedokteran di sana saat ini, bila dikurskan ke rupiah, hanya Rp 2 juta selama lima tahun atau rata-rata hanya Rp 400 ribu per tahun. Dan ini tidak aneh karena, pada masa Orde Baru dulu, kuliah di fakultas kedokteran perguruan tinggi negeri terkemuka juga hanya sebesar itu. Wajar bila pada saat ini India merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi dan sekaligus menjadi pusat baru pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia. Warga India pun bangga menjadi bangsa India karena diperhitungkan oleh dunia; 30 persen dokter dan ahli information technology di Amerika Serikat adalah orang-orang India. Pada masa Orde Baru, meskipun sistem politiknya amat otoriter dan menindas, akses terhadap pendidikan tinggi jauh lebih mudah, murah, serta tidak diskriminatif. Seleksi penerimaan mahasiswa baru pun tidak beraneka ragam, tapi hanya dua cara, yaitu melalui program Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) dan ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN). PMDK hanya khusus bagi mereka yang memiliki prestasi akademik bagus dan stabil di kelas I-III, sedangkan UMPTN terbuka bagi semua lulusan sekolah menengah atas dengan usia ijazah maksimal tiga tahun dari kelulusan. Sistem penerimaan mahasiswa baru, baik melalui jalur PMDK maupun UMPTN, tersebut diterima masyarakat dan masyarakat selalu mengapresiasi lulusan SMA yang lolos seleksi PMDK ataupun UMPTN, karena dianggap sebagai orang-orang terpilih. Apresiasi dan tidak adanya protes tersebut menunjukkan sistem penerimaan mahasiswa baru di PTN pada saat itu sudah bagus, adil, dan tidak diskriminatif. Hal-hal yang sudah bagus tersebut semestinya tidak diubah. Yang diubah hal-hal yang kurang sesuai dengan semangat zaman saja. Bila RUU PT tersebut menjamin akses pendidikan tinggi yang mudah, murah, adil, dan tidak diskriminatif seperti di India atau pada masa Orde Baru, meskipun tidak terdapat pasal yang secara eksplisit merumuskan seperti apa yang diharapkan oleh Menteri Pendidikan, RUU itu bila disahkan akan dapat memenuhi harapan tersebut, yaitu berperan

menyiapkan pemimpin bangsa, melakukan transformasi demokrasi, serta menjawab konvergensi budaya dan peradaban. Sebaliknya, meskipun dirumuskan secara eksplisit peran tersebut, kalau tidak ada jaminan atas akses pendidikan tinggi yang mudah, murah, adil, dan tidak diskriminatif, tetap saja praksisnya tidak melahirkan apa-apa. Jadi kuncinya bukan pasal, melainkan rohnya. Beban pembiayaan Sebagai orang yang turut mengawal perdebatan RUU PT ini sejak awal, saya menduga inti persoalannya bukan di sana, tapi pada besarnya beban pembiayaan yang harus ditanggung oleh pemerintah untuk membiayai pendidikan tinggi yang didirikan oleh pemerintah, dulu cukup disebut PTN, tapi sekarang ada PTN dan perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN). Dengan dihapuskannya pasal yang mengatur soal dikotomi antara PT otonom, semi-otonom, dan otonomi terbatas, pemerintah harus memperlakukan kebijakan yang sama untuk semua pendidikan tinggi yang didirikannya. Konsekuensinya, tidak ada lagi PTN/PT BHMN yang memiliki keleluasaan untuk menghimpun dana dari masyarakat. Implikasi dari kebijakan tersebut adalah dana PTN sebagian besar dari pemerintah dan mungkin PT BHMN tidak ada lagi karena telah berubah menjadi badan layanan umum, yaitu bentuknya satuan kerja tapi memiliki fleksibilitas yang lebih tinggi dalam pengelolaan keuangannya. Di sisi lain, pemerintah menuntut agar PTN meningkatkan kualitas, produktivitas, dan jaringan internasionalnya. Tentu saja pemerintah tidak ingin dikatakan tidak bertanggung jawab karena menuntut yang tinggi-tinggi, tapi dukungan dananya terbatas. Salah satu pasal yang tampaknya menjadi keberatan pemerintah adalah pasal 93 ayat 3, yang menyatakan, Pemerintah mengalokasikan dana bantuan operasional PTN paling sedikit 2,5 persen dari anggaran fungsi pendidikan. Ayat 4 menyatakan, Dana bantuan operasional PTN sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dialokasikan paling sedikit 30 persen untuk penelitian di perguruan Tinggi. Munculnya pasal tersebut untuk menghindari terjadinya komersialisasi pendidikan tinggi negeri. Namun pasal ini memaksa pemerintah mengalokasikan dana yang pasti untuk pendidikan tinggi dan juga untuk penelitian, yang proses pengalokasian dananya itu tidak sederhana, karena tentu akan menimbulkan perdebatan internal di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu sendiri, terutama antar-direktorat. Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah tentu akan memprotes, mengapa pendidikan tinggi yang sifatnya bukan wajib justru mendapat prioritas, sedangkan pendidikan dasar tidak. Apalagi jumlah murid di pendidikan dasar dan menengah jauh lebih banyak daripada mahasiswa di perguruan tinggi. Belum lagi soal pengalokasian 30 persen dari anggaran untuk PT tersebut diperuntukkan bagi kegiatan penelitian. Kedua ayat itu akan menimbulkan problem internal bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sehingga wajar bila kemudian mereka yang justru minta ditunda. Pasal krusial Adapun beberapa pasal krusial dalam RUU PT versi 4 April 2012 yang masih berpotensi menimbulkan penolakan adalah pasal 69 ayat 1-4 mengenai kemungkinan PTN membentuk badan hukum, serta pasal 72 ayat 2 mengenai pengangkatan tenaga dosen dan kependidikan, yang selain dari pemerintah, dari penyelenggara. Ayat ini akan menjadi problematik bagi tenaga dosen dan kependidikan di PTN berbentuk badan hukum. Juga pasal 76 ayat 1 mengenai penerimaan mahasiswa baru yang, selain melalui pola penerimaan mahasiswa secara nasional, melalui bentuk lain. Kata-kata bentuk lain dikhawatirkan dimaksudkan untuk tetap mengakomodasi jalur mandiri yang mahal itu. Di samping itu, pasal 94, yang mengatur PT negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah Indonesia. Adapun bagi perguruan tinggi swasta, ada atau tidak ada UU PT sebetulnya tidak ada pengaruhnya. Secara umum, RUU PT tersebut sudah mengalami perbaikan signifikan dengan mengakomodasi usulusul yang masuk.

Anda mungkin juga menyukai