Anda di halaman 1dari 4

NAMA : ARI SUSANTI NRP : 2310100069 WACANA (2) BENCANA, musibah, petaka, tragedi, bencana lagi, musibah lagi,

lalu disusul tragedi lagi. Heran, kenapa kejadian-kejadian itu seperti terangkai tanpa jeda. Dan, mengapa hanya kita yang harus merasakannya. Ya, hanya Indonesia. Brunai yang tanah rumputnya menjadi satu dengan pulau kita dan seolah hanya perlu melompat pagar untuk sampai ke sana, nyaris tak terdengar kabar tangis deritanya. Singapura yang hanya beberapa menit menyeberang menggunakan feri seperti dua keluarga yang tinggal berdampingan dengan kita, tapi beda suasana. Juga, Sabah dan Serawak, Malaysia. Kita seperti tinggal di sebuah rumah besar dengan pekarangan yang begitu luas, tapi tak terawat dan terus-menerus dirundung duka. Ingin tahu suasana didalamnya? Kompor minyakknya sering njebluk, persediaan beras sering terancam, WC-nya mampet, bapak-ibunya berantem, lampunya sering padam karena suplai listrik buruk dan rekeningnya sering telat dibayar, kasur basah karena genting bocor, anak-anak kebanyakan nonton sinetron, ogah belajar, bangun kesiangan, dan seterusnya. Sementara itu, tetangga kita adalah keluarga-keluarga yang tidak berisik,mandi pagi dengan air hangat, duduk manis di meja makan yang rapi untuk menyantap roti bakar, omelet, dan minum susu bersama. Tapi, belakangan ini, selera makan pagi mereka harus terganggu karena berita-berita menyedihhkan dari tetangga sebelah rumahnya. Berita tentang Profesor Koesnadi dan penumpang Garuda lainnya yang hangus menjadi arang; kabar tentang bapak, ibu, anak, dan kakek yang tertimbun tanah longsor di Manggarai; para pengungsi yang marah karena luapan lumpur yang menenggelamkan rumahnya akibat penambang ngawur yang mengebor daerah pemukiman di Porong; hilangnya ratusan penumpang Adam Air, tenggelamnya Kapal Senopati; terbakarnya Kapal Levina, longsor di mana-mana; dan seterusnya dan lain-lain. Musibah, tragedi, bencana, malapetaka, neraka! Jangan-jangan, sekarang Tuhan sedang marah dan menghukum kita. Jangan-jangan. Setidaknya, itulah kalimat curigaaaaaa yang sering kita dengan belakangan ini. Agamawan, sopir angkot, tukang becak, intelektual putus asa dan presiden mengucapkan kalimat yang kurang lebih berisi sama. Mungkin Tuhan benar-benar marah kepada kita. Mungkin saja. Mungkin Tuhan marah, tapi mungkin juga tidak. Begitu yakinnya kita pada kemarahan Tuhan kali ini. Bahkan, SBY dan Ebiet G. Ade pun bernyanyi bersama dan meminta kita untuk mencoba bertanya pada rumput yang bergoyang kalau tak percaya akan kemarahan Tuhan yang berupa bencana dan bencana....

NAMA : ARI SUSANTI NRP : 2310100069 Kita memang berhak berprasanghka, tapi selebihnya, tidak. Sebab, benar tidaknya tentang kemarahan Tuhan, kita semua tak bisa memaksa-Nya untuk menjawab: tidak atau iya. Dan, seperti kebiasaan Tuhan, Dia tak akan memberikan jawaban seketika terhadap jenis prasangka seperti itu. Maka, sembari menunggu, tak ada salahnya kita mau mencoba curiga terhadap dir kita sendiri. Misalnya, Tahu bahwa mengebor minyak di tengan pemukiman itu riskan, tapi kenapa Lapindo melakukannya? Yang lebih pentingg, mengapa pula Lapindo diberi izin? Tahu bahwaa memuati kapal melebihi kapasitas itu rawan tenggelam, tapi kenapa kita menganggapnya tak apa-apa sepanjang kapal belum benar-benar tenggelam? Tahu bahwa rongsokan Levina yang terapung-apung tersebut bisa karam setiap saat, kenapa kita menaikinya tanpa baju pelampung, sedangkan kemampuan berenang tak kita punya? Tahu ban pesawat sudah tipis itu berarti perlu diganti, kenapa bagian maintenance memilih memvulkanisirnya? Daftar kenapa oh kenapa itu bisa terus memanjang hingga begitu panjang. Sama panjangnya dengan daftar bencana, musibah, tragedi dan petaka yang kita alami. Tapi, sudahlah, tak ada gunanya meanjang-manjangkan tulisan seperti ini. Toh, kita lebih memilih menyebut semua malapetaka ini sebagai bentuk kemarahan Tuhan semata. Sebab ddengan berusaha menyebut semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo sebagai ebuah bencana alam, dan bencana alam itu Tuhan yang bikin, maka warga perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera cukup berurusan dengan Tuhan saja, bukan Bakrie, untuk persoalan cash and carry. Itulah bentuk sikap paling mutakhir kita. Menggeser logika sebab-akibat yang semestinya sangat manusiawi dan logis menjadi sesuatu yang seolah-olah wewenang Tuhan saja. Tapi, tak apalah. Tuhan tak akan gampang marah hanya karena kelakuan dan prasangka buruk kita terhadap-Nya, yakinlah. (Tuhan Marah, Salah Siapa? Leak Koestiya, Jawa Pos, 113-07). Komentar : Wacana ini sebenarnya menggambarkan beberapa fakta yang merupakan kondisi real dari negara Indonesia yang sering kali tertimpa bencana dan musibah. Hanya saja terlihat jelas di sini kekecewaan dari penulis terhadap keadaan yang terjadi.Hal ini diungkapkan dengan kata-katanya yang lebih banyak berupa sindiran-sindiran halus pada masyarakat. Dengan menyatakan bahwa manusia lebih banyak pasrah dan menganggap bahwa bencana yang ada adalah bentuk kemarahan Tuhan,manusia dianggap tidak sadar diri bahwa yang terjadi adalah karena perbuatan manusia. Opini penulis sangat

NAMA : ARI SUSANTI NRP : 2310100069 berpengaruh di sini. Dia menggunakan fakta-fakta yang ada untuk menyatakan pendapatnya.Wacana ini adalah non-ilmiah dan cenderung merupakan paragraph argumentasi.

WACANA (9). Iman dalam bahasa awam kita anggap sebagai rantai yang menghubungkan kita dengan banyak hal, terutama Tuhan. Rantai itu tak tampak, tapi hasilnya nyata. Dari situ dihasilkan ibadah yang banyak sekali bentuknya, bisa dilakukan ratusan orang, dan terkadang berupa ritus tahu. Komentar : Dalam wacana 9 di atas terdapat opini, ada pada kalimat pertama yang ditunjukkan dengan kata anggapan, kata tersebut menunjukkan sebuah pendapat tentang deskripsi iman. Bahasa yang digunakan lebih ke arah sastra karena kata-kata yang digunakan tidak baku dan banyak menggunakan majas serta pengandaian. Dari segi tata kalimat, kalimatnya koheren satu sama lain. Kalimatnya berkelanjutan juga. Pengembangannya ialah deduksi yakni dari umum ke khusus. Bisa dilihat bahwa pada kalimat awal menjelaskan tentang iman dan pada kalimat-kalimat selanjutnya menjelaskan dari wujud iman tersebut berupa ibadah dan cara-cara ibadah. Ditinjau secara keseluruhan maka wacana ini adalah non-ilmiah, yakni paragraph argumentasi.

WACANA (10) Tak ada ombak yang bergulung-gulung, yang tampak adalah alunan permukaan laut yang tenang. Dalam suasana tenang dan damai, yang terdengar adalah pekik dan teriakan anak-anak yang bermain dengan suka di hamparan laut dangkal. Mereka berlari berkejaran, sesekali berhenti dan mulai mencari-cari sesuatu di pasir. Komentar : Dari wacana 10 termasuk dalam satu kesatuan beberapa fakta yang tampak pada keadaaan yang menggambarkan adanya aktivitas anak-anak bermain di tepi pantai serta keadaan di sekitar tempat yang dibicarakan. Kata-kata yang disampaikan menggunakan bahasa sastra yang lebih menekankan keindahan berbahasa sehingga lebih cenderung pada penekanan tata kalimat dan pemilihan diksi serta majas. Dari wacana tersebut dapat disimpulkan bahwa wacana tersebut merupakan wacana non-ilmiah dan cenderung apada paragraf deskripsi. WACANA (11)

NAMA : ARI SUSANTI NRP : 2310100069 Kampung beton yang menjulang diselingi taman-taman, dilengkapi beragam sarana olahraga dan tempat bermain anak. Tak perlu mengkhawatirkan ruang parkir kendaraan. Keamanan kawasan hunian sudah diurus pengelola kampung. Lebih penting lagi, kampungini berlokasi di pusat kota, dapat menjangkau tempat kerja, sekolah, pusat belanja, dan fasilitas kesehatan tanpa bergulat dengan masalah klasik Ibu Kota-pengurasan waktu dan energi di jalan. (Kompas, 14 Agustus 2004). Komentar : Wacana ini memperlihatkan tata kalimat yang sudah cukup tertata. Dilihat dari kalimatnya, wacana tersebut telah koheren anatar kalimat. Lebih cenderung pada pemaparan fakta-fakata yang ada pada lingkungan tempat sekitar pada tempat tersebut. Selain itu, penulis terlihat seakan mencoba mempengaruhi pembaca untuk yakin terhadap apa yang disampaikan penulis. Dilihat secara keseluruhan maka wacana ini merupakan karya non-ilmiah dan lebih cenderung kepada paragraf persuasif.

Anda mungkin juga menyukai