Anda di halaman 1dari 4

Aku Tak Ingin Beranjak

Seperti menghirup udara segar di tengah polusi, saat kupunya beberapa jam untuk kembali bersamamu. Berjalan jauh lagi, padahal dulu kita sangat sering melakukannya. Dulu, ah rasanya baru kemarin, ketika setiap pagi kau ketuk pintu kamarku saat aku masih sibuk mengunyah sarapanku. Kau berdiri tegak di pintu, dan membuatku cepatcepat meneguk susu yang sering masih sangat panas sehingga membuat lidahku terasa aneh. Sayang sekali, kebiasaan setiap pagi itu berakhir ketika kita resmi menjadi sophomore. Saat tak memungkinkan lagi kau menghampiriku karena kamar kita bukan lagi dipisahkan oleh koridor antar gedung. Ruang pribadi kita dipisahkan oleh puluhan bahkan mungkin ratusan rumah. Sekalipun masih dalam kawasan yang sama, akan tetapi intensitas kebersamaan kita pun tak lagi sama. Saat ketika aku berjuang menyambut pagi tanpamu, aku baru sadar akan satu hal. Hadirmu, tanpa kusadari dan kuyakin kau pun tak menyadarinya juga, menggelorakan semangatku. Jika kau bilang aku penuh semangat, itu karenamu yang membagikannya padaku tanpa sadar. Jika kau bilang aku tekun, itu pun karena inspirasi dari sikap positifmu. Kini sejak tak ada kamu, semangatku untuk menaklukan dunia tak sepanas sebelumnya. Entah karena terlalu muak pada banyak hal, atau memang karena tak ada lagi hembusan aura positif darimu. Singkatnya, aku berbeda tanpamu. Senyumku nyinyir menguak setiap memori tentang kita. Antara bahagia yang mengambang manis di udara dan sesak karena rasa kehilangan akan hal-hal itu. Ya, dulu ketika setiap akhir pekan kita pasti menghabiskan waktu di dua tempat. Hanya dua tempat. Supermarket tempat kita membeli kebutuhan sehari-hari dan

perpustakaan tempat kita menenggelamkan diri mencari berbagai referensi. Betapa aku merindukan keteraturan seperti itu. Sejak tak bersamamu, akhir pekanku selalu berakhir di tempat-tempat yang tak pernah kuprediksi. Kepentingan organisasi, ke sana

dan kemari. Akhir pekan kita hanya dua kali berakhir di tempat berbeda. Satu di Mangga Dua, di salah satu lembaga beasiswa Cina dan di kawasan Senen yang menjual banyak sekali buku itu. Aku sangat ingin kembali ke masa itu. Sekalipun sangat menyadari juga, betapapun kuatnya keinginanku tak akan pernah mengembalikan kita. Maka, setidaknya aku hanya ingin bersyukur karena diberi kesempatan melewatkan masa akhir remaja bersamamu. Masa yang penuh krisis itu kita lewati dengan cara berbeda. Bukan di arena penuh kesenangan, bukan di tempat penuh kenyamanan. Kita melewati saat-saat genting itu di tempat yang mengajarkan kita kemandirian, yang menempa kita memaknai perjuangan. Aku bahagia Tuhan mengirimkan kawan seperjuangan sepertimu. Kawan yang bisa menghargai aku sebagai aku, tak peduli pada apapun selain diriku. Kau perlakukan aku sebagaimana seharusnya, tak bermanis kata ketika aku keliru. Di sampingmu, aku sungguh merasakan being smart is not a crime, being different is cool, dan bersamamu aku bisa berkata be your self is the best way ever. Kamu yang menguatkanku memegang erat sikapku yang sering tidak sama dengan orangorang lain. Tanpa sadar, kau membantu banyak dalam upayaku membangun identitas diri. Seperti yang pernah kukatakan, bagiku kau bukan teman biasa yang kata-katanya hanya kudengar sambil lalu. Namun, setelah kuat kucitrakan identitas yang kubangun bersamamu kita tak lagi bisa sering bersama. Betapa aku mau tetap menjadi seperti dulu. Ketika kita hanya meributkan soal tugas kelompok yang belum diprint dan rencana pulang serta tiket kereta yang belum ada kepastian. Tapi duniaku menuntunku ke tempat-tempat lain. Mungkin juga, kini arah perjuangan kita telah berbeda. Bagaimana pun aku sangat yakin, kita akan tetap samasama menorehkan prestasi di jalan kita masing-masing. Ah tidak seharusnya perbedaan itu merenggut waktu kebersamaan kita ya? Tapi, mau bagaimana lagi? Kita sama-sama

tak berdaya dibuatnya. Waktu itu, aktivitas itu, dan berbagai kepentingan sampah itu. Melindas habis kesempatan kita melewatkan hari tanpa tendensi apa-apa. Saat tertimpa masalah ini, aku merasa ditegur oleh-Nya, IA yang menghadiahimu untuk hidupku. Telah lama kita tak bersapa, tak mencoba sedikit meluangkan waktu untuk bercengkerama. Kau ternyata masih selalu menjadi orang yang selalu bisa kuandalkan. Kau tetap lah yang mengerakkan tangan dan kaki paling cepat jika kuminta bantuan meskipun kita tak berangkat kuliah bersama lagi, tak lagi belanja atau ke perpus setiap hari Sabtu. Kau tetap orang yang sabar menunggu lambannya makanku. Tak pernah berubah sejak kita masih berseragam putih abu-abu. Dan jika kau perhatikan betapa tak bisa diartikannya sorot mataku selama kita makan itu. Aku sedang berpikir tentang banyaknya perubahan sejak kita tanggalkan seragam putih abu-abu kita dulu. Betapa silih bergantinya peristiwa dan orang-orang yang hadir dalam hidup kita. Betapa mungkin kita berdua pun berubah entah sejauh apa. Binar matamu saat kau ceritakan tentang seseorang itu, indikasi paling nyata yang membuatku berkesimpulan kita semakin bertumbuh dewasa. Dulu, kita hanya tertawa saat bicara tentang makhluk adam yang menggoda perhatian kita. Dulu, kita bicara soal luka tapi dengan membakar namanya, semua pun turut sirna. Tapi kini, sorot bahagiamu sekalipun diiringi kata tidak dan penolakan, jelas menunjukkan bahwa virus merah jambu itu benar-benar menghampirimu. Sedikit banyak, kutengok diriku sendiri. Sama saja, ingatanku yang sering melayang pada satu orang mungkin juga tanda bahwa virus itu pun menjangkitiku. Tapi kita tetaplah kita, masa apapun yang kita lalui tidak mengubah identitas yang kita bangun. Tidak menyamarkan karakter kita yang anti follower. Aku bangga dengan caramu mengatasi setiap kegalauan yang menyapamu. Aku sangat bangga ketika logikamu masih bisa memenangkan segala perasaan yang efeknya entah bagaimana

bagi diri kita. Lalu aku? Entahlah, tapi sejauh ini, kurasa aku pun masih bisa cukup mengatasinya. Yah, sekali lagi. Aku hanya ingin bersyukur pada-Nya yang menghadirkanmu dalam hidupku. Kamu yang mengumpat bersamaku dengan sangat kompak mengutuki segala hal-hal di sekitar kita yang bagi kita tidak logis dan sangat tidak manusiawi. Kamu yang bersamaku tergelak-gelak tertawa menciptakan lelucon-lelucon kita sendiri. Kadang kita buat tragedi menjadi komedi. Dan aku senang kita melewati setiap pertengkaran kita dengan cara paling bijak. Ah tak akan habis jika kubicara tentangmu. Bersama atau tidak, aku yakin kita akan selalu bertaut dalam doa. Jika aku pernah mengatakan soal kehilangan rasa percaya, tentulah kau tahu kalimatku yang selanjutnya. Aku percaya persahabatan dan cinta atas nama Tuhan. Aku percaya pada orang-orang yang mempercayai Tuhan dengan sepenuh hatinya, bukan hanya mengenal Tuhan melalui dogma-dogma. Kalaupun kita punya cara yang berbeda dalam menyembah Tuhan kita yang satu itu, yang entah kenapa menciptakan berbagai perbedaan di dunia, bukan berarti kita tak boleh mengikatkan hati dalam rasa tulus atas nama-Nya. Sepanjang kita memang tidak pernah melanggar apa yang dilarang-Nya. Jadi jika lah kau masih menghayati setiap renungan yang kau baca dan masih menjadikan kitab suci sebagai pelipur lara, tentu kau juga tahu aku meletakkan rasa percaya itu padamu. Semoga selalu begitu.

menjelang dini hari di kamar kos tercinta, dalam luapan kerinduan _Rina Noviyanti_

Anda mungkin juga menyukai