digunakan saat ingin melaksanakan aqiqah. Disini kami mencoba ingin menjelaskan jenis kambing, umur kambing yang layak untuk aqiqah. Semoga dengan diberikannya informasi ini, bisa membuat anda lebih mengerti lagi seputar urusan aqiqah. 1. Jenis kambing untuk aqiqah boleh menggunakan kambing yang berjenis kelamin laki-laki atau kambing dengan jenis kelamin perempuan sama saja berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam dari jalan Ummu Kurz, .tidak mudharat bagi kamu apakah kambing laki-laki atau kambing perempuan 2. Tentang umur dari kambing itu sendiri mereka mengkiaskan dengan umur kambing dhahaayaa (kambing qurban), yaitu : Untuk domba atau biri-biri cukup satu tahun atau kurang sedikit. Untuk kambing biasa umurnya cukup dua tahun dan masuk tahun ketiga. 3. Adapun tentang sifatnya pun dikiaskan dengan dhahaayaa yaitu kambing yang sehat dan bagus bukan kambing yang cacat dan sakit sebagaimana yang telah diterangkan oleh Imam Malik. Semoga informasi yang kami berikan diatas bisa bermanfaat bagi anda yang membacanya sehingga tidak ada lagi keraguan saat anda ingin melaksanakan aqiqah.
Untuk permasalahan ini, para ulama kembali terbagi menjadi dua bagian ; Pertama : Bahwa hewan kurban jika digabungkan dengan aqiqah, karena bertepatan dengan bulan haji, maka tidak menjadi masalah bagi ulama hambali, dan Muhammad bin Sirin serta Hasan Bashri. Diceritakan dalam satu riwayat bahwa ayah dari imam Ahmad, yaitu Hambal pernah membeli hewan kurban dan menyembelihnya di bulan haji dengan niat kurban sekaigus aqiqah. Dengan alasan inilah ulama di atas memeprbolehkan kurban dan aqiqah dilaksanakan pada satu waktu dan satu niat, yaitu ketika iedul adha. Kedua : Yaitu pendapat ulama Maliki, yang berpendapat bahwa kurban dan aqiqah adalah hal yang berbeda. Dalam segi syariat keduanya sudah berbeda, sebab disyariatkan keduanya juga berbeda. Maka kurban dan aqiqah tidak bisa digabungkan satu sama yang lainnya.
Ketiga : Yang berhak mengaqiqahkan anak, adalah mereka yang bertanggungjawab dalam memberi nafkah atas kehidupan sehari harinya ( wali ). Tidak mesti orang tua. Seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw, yang mengaqiqahkan cucu beliau Hasan dan Husein. Karena menurut beberapa pendapat bahwa Ali kala itu sedang dalam keadaan terhimpit. Ada yang mengatakan bahwa Ali sebelumhya memberikan hewan aqiqah kepada Rasul untuk kedua puteranya. Yang jelas, ini merupakan pendapat Imam Syafii, bahwa kewajiban aqiqah atas anak, kembali kepada orang yang memelihara dan memberi nafkah padanya. Keempat :
Yang bertanggungj awab atas aqiqah seorang anak, bukan orang sana ayah, bukan ibu dan bukan orang yang member nafkah hidupnya. Melainkan tidak ada orang yang tertentu yang diberikan kewajiban khusus untuk melaksanakan aqiqah. Sebagaimana di hadits hadits yang telah disebutkan tidak ada qayid yang jelas bahwa kewajibannya khusus sang ayah, ibu, ataupun wali. Oleh karena itu sah sah saja jika yang malaksanakannya orang lain selain mereka, seperti paman, sanak saudara atau bahkan orang asing sekalipun. Ini pendapat imam Ibnu Hajar dan Syaukani. Dari berbagai macam pendapat diatas, kita dapat menarik kesimpulan tidak ada pendapat yang sepakat ditentukan oleh ulama mengenai siapa yang bertanggungjawab dalam hal mengaqiqahkan sang anak. Maka menurut penusli, yang berhak pertama kali adalah sang ayah, kemudian wali atau orang yang mengasuhnya, kemudian jika ada dari sanak saudaranya yang ingin mengaqiqahkannya maka itu juga diperbolehkan. Wallahu alam
Disunahkan bagi mereka yang belum sempat diaqiqahkan oleh orang tuanya, untuk melaksanakan aqiqah sendiri. Sebagaimana pendapat Atho , Hasan, Muhammad bin Sirin, dan sebagian kalangan Syafii. Mereka menjadikan haditsyang menjelaskan bahwa nabi saw pernah melakukan aqiqah untuk
dirinya sendiri setelah pelantikan nubuwwah. Akan tetapi terdapat pertentangan yang sangat panjang dari hadits yang dijadikan landasan mereka. Pada intinya hadits itu tidak ada nash yang menunjukkan kesahihannya. Baihaqi mengatakan hadits itu munkar, Nawawi melihat bahwa hadits ini bathil, karena terdapat Abdullah bin Muharrar yang disepakati kedhoifannya.
Kedua : Tidak diwajibkan pada seorang anak yang belum sempat diaqiqahkan oleh orang tuanya untuk melakukan aqiqah sendiri. Karena aqiqah pada asalnya disyariatkan kepada orang tua atau wali yang memeliharanya. Maka tidak ada perintah untuk melakukannya sendiri. Pendapat ini yang dijadikan landasan kalangan Syafii dan Ahmad bin Hambal. Setelah jelas dua pendapat diatas, dan lemahnya dalil yang dijadikan landasan pendapat pertama. Terdapat beberapa keterangan dari para ulama terdahulu yang menjelaskan bahwa mereka melakukan aqiqah secara sendiri. Seperti keterangan yang didapatkan dari Imam Hasan al Bashri : jika belum sempat diaqiqahkan, maka lakukanlah aqiqah sendiri bagi anak laki laki . Sepertimana ungkapan Muhammad bin Sirin : aku melakukan aqiqahqu sendiri dengan seekor kambing . Dari keterangan berikut dapat disimpulkan bahwa ulama tidak melarang untuk melakukannya secara sendiri. Maka bagi yang belum sempat diaqiqahkan oleh kedua orangtuanya, tidak mengapa jika ingin melakukannya sendiri. Sebagaimana tidak ada larangan untuk tidak melaksanakannya. Alhamdulillah, semoga dapat berguna dan menambah wawasan kita. Tulisan ini secara khusus dibuat atas pertanyaan dan permintaan jamaah. Mudah mudahan jamaah tidak puas dan dapat melengkapi wawasannya dari sumber lain.