Anda di halaman 1dari 12

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan selama ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan oleh tingginya pertumbuhan ekonomi. Dalam kenyataannya peningkatan pertumbuhan ekonomi tidak saja membawa dampak posistif bagi sebuah perekonomian namun juga memberikan dampak negative bagi lingkungan. Proses produksi dan konsumsi telah menimbulkan adanya limbah yang kemudian akhirnya dikembalikan ke lingkungan. Kerusakan lingkungan tidak saja terjadi di Negara-Negara yang mengalami perekonomian yang tumbuh pesat seperti China, misalnya namun juga terjadi di Negara-negara yang pertumbuhan ekonominya lambat seperti di Negara-negara Amerika

Tengah. Kondisi ini terjadi karena banyak Negara yang memilih pendekatan grow first, clean up later seperti dinyatakan oleh Thomas (2001). Namun ternyata pendekatan grow first, clean up later merupakan

strategi yang berbiaya tinggi secara social dan ekologi dan mengancam keberlanjutan pertumbuhan itu sendiri. Beberapa kerugian terhadap lingkungan seperti keanekaan hayati dan kesehatan manusia adalah contohnya. Dalam ilmu ekonomi terjadinya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan manusia secara spesifik disebut sebagai eksternalitas. Makalah ini bertujuan membahas eksternalitas lingkungan dari sudut pandang teori ekonomi, mulai dari konsep dasar, dampaknya bagi masyarakat dan perekonomian, serta kebijakan untuk mengurangi eksternalitas lingkungan.

1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah ancaman bencana ekologis akibat kegiatan penambangan di kawasan hutan? 2. Bagaimanakah alternatif solusi kerusakan lingkungan?

1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui ancaman bencana ekologis akibat kegiatan penambangan di kawasan hutan 2. Untuk mengetahui alternatif solusi kerusakan lingkungan.

1.4 Manfaat Sebagai bahan pertimbangan dalam mengantisipasi bencana akibat kegiatan penambangan di kawasan hutan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Konsumsi terhadap barang publik sering menimbulkan apa yang disebut sebagai eksternalitas atau dampak eksternal. Secara umum eksternalitas didefinisikan sebagai dampak positif atau negatif atau dalam bahasa formal ekonomi sebagai net cost dan benefit, dari tindakan satu pihak terhadap pihak lain. Lebih spesifik lagi eksternalitas terjadi jika kegiatan produksi atau konsumsi dari satu pihak memengaruhi utilitas (kegunaan) dari pihak lain secara tidak diinginkan dan pihak pembuat eksternalitas tidak menyediakan kompensasi terhadap pihak yang terkena dampak. Eksternalitas dalam kaitannya dengan sumberdaya alam sangat penting diketahui karena eksternalitas akan

menyebabkan alokasi sumberdaya alam yang tidak efisien (Fauzi, 2006). Adanya eksternalitas menyebabkan terjadinya perbedaan antara manfaat (biaya) sosial dengan manfaat (biaya) individu. Timbulnya perbedaan antara manfaat (biaya ) sosial dengan manfaat (biaya) individu sebagai hasil dari alokasi sumberdaya yang tidak efisien. Pihak yang menyebabkan eksternalitas tidak memiliki dorongan untuk menanggung dampak dari kegiatannya terhadap pihak lain. Dalam perekonomian yang berdasarkan pasar persaingan sempurna, output individu optimal terjadi saat biaya individu marginal sama dengan harganya. Eksternalitas positif terjadi saat manfaat social marginal lebih besar dari biaya individu marginal (harga), oleh karena itu output individu optimal lebih kecil dari output sosial optimal. Adapun eksternalitas negatif terjadi, saat biaya sosial

marginal lebih besar dari biaya individu marginal, oleh karena itu tingkat output individu optimal lebih besar dari output sosial optimal. (Sankar, 2008) Manajemen sumber daya alam yang kolaboratif merupakan proses politik dimana pihak yang berlatarbelakang plural berunding dan bereksperimen untuk mendefinisikan prioritas mengembangkan solusi termasuk termasuk hubungan masing-masing pihak terhadap pengelolaan sumber daya alam, hasil yang bisa diperoleh dan sesuai tidak dapat didefinisikan lebih lanjut, dalam hal ini

identifikasi masalah dan pengembangan solusi nampaknya, tidak hanya sekedar menjadi hasil tetapi juga seharusnya merupakan tujuan utama dari eksperimentasi dan perundingan yang kolaboratif (Pokja Kebijakan Konservasi, 2008).

BAB 3. PEMBAHASAN

3.1 Ancaman Bencana Ekologis Akibat Kegiatan Penambangan Di Kawasan Hutan Berdasarkan fungsinya, hutan dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 6 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Salah satu penyebab berkurangnya luas hutan kita adalah karena adanya usaha penambangan. Berbagai dampak dan permasalahan yang ada pada sektor kehutanan, dalam hubungannya dengan kegiatan pertambangan di kawasan berhutan membuat kondisi hutan kita semakin buruk. Hal ini akibat dari nilai-nilai dalam prinsip-prinsip lingkungan dilanggar. UU No.41/1999 Pasal 38 ayat 4 menjelaskan bahwa pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka, kenyataannya pada saat UU tersebut dikeluarkan terdapat 150 proyek penambangan yang menguasai 11,4 juta hektare berada di kawasan hutan lindung dengan pola penambangan terbuka. Sedangkan aturan peralihan UU No.41/1999 tidak mengatur bagaimana aturan transisi perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut. Metode penambangan dengan sistem terbuka (open pit) adalah dengan menggali lapisan tanah atau batuan yang mengandung mineral berupa emas, tembaga, timah, mangan dan lain-lain termasuk batu bara, metode ini dilakukan karena tanah yang mengandung mineral letaknya berada pada lapisan yang tidak terlalu dalam. Selain metode ini dalam dunia pertambangan dikenal juga sistem terowongan (tertutup), namun metode ini berisiko tinggi dan mahal. Metode pertambangan terbuka lebih murah dan risikonya rendah sehingga lebih banyak dipilih oleh investor pertambangan. Pada metode open pit dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan cukup serius.

Bila pertambangan dengan metode open pit dilakukan maka akan meninggalkan, pertama, lubang raksasa berbentuk danau akibat menggali tanah atau batuan sesuai dengan postur geologi batuan yang mengandung mineral, sehingga akan merubah bentang alam secara permanen. Jika di kemudian hari lubang raksasa itu

tergenang air, maka danau tersebut tidak serta-merta dapat digunakan untuk perikanan karena sifatnya beracun akibat air asam tambang, diperlukan waktu sekitar 150 tahun lagi agar air asam tambang dapat netral kembali. Untuk kasus proyek batu hijau PT. Newmont Nusa Tenggara di Kabupaten Sumbawa Barat, akibat penambangan dengan sistem open pit akan meninggalkan lubang raksasa dengan diameter 2 km dan kedalaman 1 km di akhir usia tambang. Kedua, hilangnya lahan berhutan seluas diameter lubang yang digunakan untuk menggali bahan tambang, juga areal hutan yang digunakan untuk menimbun tanah penutup tambang (top soil) serta hilangnya berbagai spesies satwa (binatang) dan flora (tumbuhan). Ketiga, limbah pertambangan yang berupa pasir halus yang disebut tailing biasanya mencemari daratan, sungai atau laut. Adapun jika dilakukan penambangan dengan sistem tertutup, tetap saja akan berdampak terhadap permukaan tanah kawasan berhutan berupa, terjadinya kelangkaan air tanah, perusakan daya topang tanah terhadap vegetasi hutan, pencemaran air dan udara. Untuk mendapatkan izin usaha, perusahaan-perusahaan tambang melakukan lobbi kepada pemerintah agar mengamandemen pasal 38 tersebut. Sehingga keluarlah PP No. 2 Tahun 2008 yang mengizinkan penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan khususnya pertambangan, dengan imbalan kompensasi. Dengan adanya PP ini maka perusahaan tambang memiliki legalitas (izin sah) untuk melakukan pertambangan di kawasan berhutan. Kondisi tersebut jika dibiarkan, pada akhirnya tentu akan terus merusak fungsi ekologis dari hutan itu sendiri. Jika dilihat dari sisi kebijakan, maka keputusan itu kontraproduktif dengan inisiatif kerja sama internasional dan perubahan iklim (REDD=Reducing Emission from Deforestation dan Degradation) terkait dengan sektor kehutanan. Sesuai PP tersebut, penggunaan kawasan hutan, baik hutan lindung maupun produksi, dikenai kompensasi Rp1,2 juta - Rp3 juta per hektare per tahun. Kegiatan non-kehutanan yang dimaksud mencakup pertambangan dan

pembangunan infrastruktur. Sedangkan kegiatan non-komersial tidak dikenai kewajiban kompensasi. Dengan mudah dapat dihitung bahwa nilai kompensasi tersebut sangat kecil, kira-kira hanya sekitar Rp120 Rp300 per meter. Lebih

murah dari pisang goreng, istilah WALHI sedangkan nilai hutan, baik yang bersifat tangible maupun intangible jauh lebih berharga dari itu.

3.2 Alternatif Solusi Kerusakan Lingkungan Penggunaan menimbulkan lahan (hutan) sebagai area pertambangan itu pengusaha tentunya tambang

konsekuensi

lingkungan.

Untuk

berkewajiban mengembalikan lahan pasca-tambang menjadi area yang produktif atau berhutan (bervegetasi) kembali, melalui upaya reklamasi. Saat ini telah ada bebagai teknologi yang mendukung reklamasi di daerah tropis, salah satunya untuk meningkatkan kembali kadar keasaman dari area bekas tambang dengan pH 2 menjadi pH 4 atau pH5 yang baik untuk tanaman perkebunan maupun kehutanan. Sehingga tidak ada alasan bagi pengusaha tambang untuk mengelak dari reklamasi dan rehabilitasi dengan alasan teknologi yang belum memadai. Adapun beberapa alternatif solusi yang bisa ditawarkan untuk berbagai jenis kerusakan lingkungan yang sudah terjadi akibat tambang terbuka adalah: Pertama, perlu dilakukan rehabilitasi lahan melalui program reboisasi dan reklamasi untuk melakukan pemulihan dan penanaman kembali pada tanah penutup tambang (top soil) dengan jenis tanaman asli hutan setempat. Kedua, tempat pembuangan limbah pertambangan (tailing) apabila dilakukan di daerah yang berhutan harus dilokalisir, diupayakan tidak membuang tailing pada badan air (sungai) dan apabila dibuang di laut, pastikan bahwa tailing tersebut ditempatkan di dasar laut pada daerah termoklin sehingga tidak naik ke atas permukaan. Ketiga, mempersiapkan tenaga kerja lokal agar dapat terserap pada sektor pertambangan dengan memfasilitasi putra daerah untuk menempuh pendidikan pada perguruan tinggi dengan memasuki jurusanjurusan yang relevan dengan kebutuhan sektor pertambangan seperti jurusan pertambangan, geologi, teknik mesin, teknik sipil, lingkungan, teknik elektro, akuntansi, informatika dan sebagainya. Keempat, Menyiapkan sektor pertanian, peternakan, perikanan, industri dan lain sebagainya agar sektor-sektor tersebut memiliki keterkaitan dengan sektor pertambangan, strategi ini dijalankan agar manfaat ekonomi lebih besar berputar didaerah tersebut dan hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat

setempat. Kelima, lubang raksasa bekas open pit dapat difungsikan sebagai tempat wisata untuk turis domestik maupun mancanegara seperti yang telah dilakukan oleh Malaysia, sehingga dapat memberikan nilai tambah ekonomi dan memperbesar pendapatan asli daerah (PAD), namun harus didahului dan dilengkapi dengan suatu kajian ilmiah. Keenam, mewujudkan good governance pada pemerintah, membangun institusi birokrasi yang efisien, bebas dari KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) serta dapat menyusun dan mengalokasikan anggaran secara benar dan yang lebih penting adalah adanya kepemimpinan efektif di daerah penghasil tambang. Ketujuh, pengawasan secara ketat terhadap implementasi Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), khususnya dokumen RKL (Rencana Kelola Lingkungan) dan RPL (Rencana Pantau Lingkungan). Kedelapan, memperbesar peran pihak swasta dan pengusaha lokal untuk terlibat secara aktif memanfaatkan peluang ekonomi atas sektor pertambangan. Kesembilan, meningkatkan peran LSM, pers dan masyarakat untuk memberikan check and balances atas jalannya operasi penambangan di suatu daerah, untuk menghindari adanya mal praktek, pelanggaran HAM, perampasan hak masyarakat dan sebagainya. Sudah saatnya bangsa ini menyadari ancaman jangka panjang bencana penambangan di kawasan hutan, khususnya kawasan hutan lindung. Jangan hanya mementingkan keuntungan sesaat yang didapat dari kompensasi dan hasil tambang melainkan fungsi ekologis dari hutan itu sendiri juga harus diperhatikan. Bila fungsi ekologis hutan sudah rusak, sangat sulit dan hampir tidak mungkin dikembalikan ke kondisi semula, karena memerlukan waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Ini merupakan bencana untuk generasi yang akan datang. Oleh karena itu, solusi yang terbaik untuk menyelamatkan hutan kita yang masih tersisa adalah dengan menghentikan segera konversi kawasan hutan melalui percabutan PP Nomor 2 Tahun 2008, agar kita tidak menuai bencana ekologis yang lebih besar lagi dikemudian hari.

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 1. Ancaman bencana ekologis akibat kegiatan penambangan di kawasan hutan antara lain, kerusakan bentang alam akibat penggalian lubang yang besar yang apabila terisi air, maka air tersebut beracun. Selain itu, dampak kerusakan yaitu mulai punahnya spesies flora dan fauna endemik. 2. Alternatif solusi kerusakan lingkungan yaitu, pengusaha tambang harus mengembalikan lahan pasca-tambang menjadi area yang produktif atau berhutan (bervegetasi) kembali, melalui upaya reklamasi. Selain itu, harus dilakukan pengawasan secara ketat terhadap implementasi Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), khususnya dokumen RKL (Rencana Kelola Lingkungan) dan RPL (Rencana Pantau Lingkungan).

5.2 Saran Bagi Pemerintah harus menegakkan hukum dibidang pengelolaan hutan.

DAFTAR PUSTAKA

Fauzi, Akhmad. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Pokja Kebijakan Konservasi. 2008. Konservasi Indonesia Sebuah Potret Pengelolaan dan Kebijakan Sankar, U. 2008. Environmental Externalities. Didapat http://coe.mse.ac.in/dp/envt-ext-sankar.pdf Online :

BENTUK EKSTERNALITAS HUTAN AKIBAT PENAMBANGAN

TUGAS INHALN

diajukan guna memenuhi salah satu syarat menyelesaikan t u ga s m a t a p r a k t i k um M a n a j e m e n S u m be r D a ya pada Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Jember

Oleh: Rr. Kartika Ratnasari NIM. 101510601049

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS JEMBER 2012

Anda mungkin juga menyukai