Anda di halaman 1dari 24

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin sehari seakan-akan berlari menuju modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentukbentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih dan

beranekaragam. Kejahatan dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan senantiasa turut mengikutinya. Kejahatan masa kini memang tidak lagi selalu menggunakan cara-cara lama yang telah terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa kita lihat contohnya seperti, kejahatan dunia maya (cybercrime), tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya. Dari sekian banyaknya kejahatan pada masa sekarang, masalah korupsi merupakan masalah yang paling disoroti oleh masyarakat dan media di Indonesia. Mendengar kata korupsi bias jadi sudah menjadi sebuah sampah di telinga masyarakat. Hampir setiap warta berita baik pagi, siang, sore ataupun malam selalu diwarnai dengan kehadiran berita korupsi. Pada dasarnya korupsi adalah sebuah pelanggaran HAM terbesar yang ada di dunia, karena banyak orang yang dirugikan akibat tindak pidana korupsi ini. Namun, pejabat hokum juga beranggapan, bahwa hukuman mati bagi koruptor tidaklah pantas, karena dianggap melanggar HAM. Sungguh

aneh memang, merugikan banyak orang tidak berarti apa-apa dari pada hanya merugikan satu orang. Wajah peradilan di Indonesiapun sepertinya hanya hiasan sebuah Negara saja. Hokum di Negara ini bukanlah apa-apa, sekuat apapun hukumannya, namun masih banyak celah yang dapat dilalui koruptor, maka sama dengan bohong. Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi dimata masyarakat. Korupsi sudah berlangsung lama, sejak zaman Mesir Kuno, Babilonia, Roma sampai abad pertengahan dan sampai sekarang. Korupsi terjadi diberbagai negara, tak terkecuali di negara-negara maju sekalipun. Korupsi merupakan perilaku pejabat publik, baik politikus ataupun politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Jauh di balik definisi tersebut ternyata terdapat makna korupsi yang bisa jadi lebih berbahaya jika terjadi. Kondisi berbahaya itu muncul ketika seorang pejabat publik yang telah dipercayakan untuk membuat kebijakan terbaik bagi rakyat, ternyata malah menghasilkan kebijakan-kebijakan semu yang tidak berdampak positif bagi masyarakat. Hal inilah yang mulai perlu diperhatikan dengan

seksama oleh masyarakat juga pemerintah yang ingin menjalankan good governence dengan lurus. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apa itu pengertian korupsi dan bagaimana awal mula korupsi di indonesia? 2. Apa yang menjadi faktor penyebab korupsi? 3. Apa dampak yang ditimbulkan dari korupsi? 4. Bagaimana solusi dalam menangani tindak pidana korupsi? C. Pembahasan 1. Pengertian Korupsi dan Awal Mulanya di Indonesia Korupsi menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus ataupun politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Sedangkan menurut Subekti, korupsi adalah suatu tindak pidana yang memperkaya diri sendiri yang secara langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara. Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini. Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah ada

sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat. Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut. Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di akhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi. Realitas sosial praktek korupsi dan monopoli kekuasaan

merupakan anak kandung lahirnya gerakan reformasi yang bergulir pada tahun 1998. Gerakan reformasi secara gramatikal diartikan sebagai upaya dalam membentuk, menyusun, dan mempersatukan kembali. Secara lebih sederhana reformasi berarti perubahan format, baik pada struktur maupun aturan main (rule of the game) ke arah yang lebih baik. Pada kata reformasi terkandung pula dimensi dinamik berupa upaya perombakan dan penataan yakni perombakan tatanan lama yang korup dan tidak efisien (dismantling the old regime) menjadi penataan suatu tatanan baru yang lebih demokratis, efisien, dan berkeadilan sosial (reconstructing the new

regime). Selain itu, kata reformasi memuat nilai-nilai utama yang menjadi landasan dan harapan proses bernegara dan bermasyarakat. Sejarah mencatat bahwa agenda reformasi yang bergulir pada tahun 1998 yaitu hendak menciptakan tatanan pemerintahan yang demokratis serta bersih dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Bergulirnya gelombang reformasi menuntut adanya sebuah perbaikan kondisi dan struktur ketatanegaraan pasca orde baru. Adapun agenda reformasi yang bergulir menghendaki adanya: a. Amandemen UUD 1945; b. Penghapusan dwi fungsi ABRI; c. Penegakan supremasi hukum, penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM), dan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); d. Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah); e. Mewujudkan kebebasan pers; f. Mewujudkan kehidupan demokratis. 2. Faktor Penyebab Korupsi di Indonesia Amin Rais, dalam sebuah makalah berjudul Suksesi sebagai suatu Keharusan, tahun 1993, membagi jenis korupsi menjadi empat tipe. Pertama, korupsi ekstortif (extortive corruption), yaitu korupsi yang merujuk pada situasi di mana seseorang terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi atas hak dan

kebutuhannya. Misalnya, seorang pengusaha dengan sengaja memberikan

sogokan pada pejabat tertentu agar bisa mendapat ijin usaha, perlindungan terhadap usaha sang penyogok, yang bisa bergerak dari ribuan sampai miliaran rupiah. Kedua, korupsi manipulatif (manipulative corruption), yaitu korupsi yang merujuk pada usaha kotor seseorang untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan setinggi-tingginya. Misalnya pemberian uang kepada bupati, gubernur, menteri dan sebagainya agar peraturan yang dibuat dapat menguntungkan pihak tertentu yang memberikan uang tersebut Peraturan ini umumnya dapat merugikan masyarakat banyak. Ketiga, korupsi nepotistik (nepotistic corruption), yaitu perlakuan istimewa yang diberikan pada keluarga: anak-anak, keponakan atau saudara dekat para pejabat dalam setiap eselon. Dengan perlakuan istimewa itu para anak, menantu, keponakan dan istri sang pejabat juga mendapatkan keuntungan. Keempat, korupsi subversif (subversive cossuption), yaitu berupa pencurian terhadap kekayaan negara yang dilakukan oleh para pejabat negara dengan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Dari penjelasan tipe korupsi tersebut makan dapat disimpulkan bahwa factor yang menyebabkan korupsi di Indonesia antara lain kurangnya gaji pegawai, terjadi karena kultur, buruknya manajemen keuangan, arus modernisasi dan faktor ekonomi. Selain itu, masih banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, antara lain adalah korporatisme. Korporatisme, dalam khasanah

literature ekonomi-politik, sering disepadankan dengan praktek politik di mana pemerintah atau penguasa berinteraksi secara tertutup (idak diketahui oleh masyarakat) dengan sektor swasta besar (pengusaha kelas kakap). Dalam ketertutupan tersebut, transaksi ekonomi mapun politik terjadi hanya untuk kepentingan segelintir kelompok kepentingan (interest group) yang terlibat di dalamnya. Biasanya transaksi politik maupun eknomi yang seperti ini terjadi secara informal dalam tatanan hukum yang kabur atau tatanan hukum yang memihak kepentingan kelompok kecil tersebut. Adanya persengkongkolan seperti ini membuka peluang besar bagi hukum untuk dipermainkan (mafia hukum) sehingga hukum seoraholah telah dipegang oleh tangan-tangan tertentu. Sistem korporatisme akan menimbulkan ketidakstabilan dan rakyat menjadi pihak yang dirugikan. Dalam prakteknya, korporatisme biasanya berbarengan dengan praktek-praktek haram lainnya yang disebut dengan rent seeking (memburu rente) yang dilakukan oleh para elite penguasa atau pun keluarga di lingkup elite. Rent seeking dalam prakteknya adalah menjualbelikan jabatan publik yang dimiliki oleh pejabat publik guna memperoleh kekuntungan ekonomi, yang prakteknya berwatak koruptif. Praktek-praktek seperti ini dapat dilihat jelas pada masa Orde Baru, yang pada saat itu terjadi distribusi modal yang hanya dinikmati segelintir orang atau pengusaha (yang umumnya adalah keluarga Soeharto) dan terdapat praktek monopoli dalam produksi.

3. Dampak yang Ditimbulkan dari Korupsi Banyak dampak negative yang ditimbulkan dari korupsi ini, diantaranya menurut Nye menyatakan bahwa akibat-akibat korupsi adalah: a. Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap. b. ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya. c. pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasita administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi. Selanjutnya Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibatakibat korupsi diatas adalah sebagai berikut : a. Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal. b. Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial. c. Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik. d. Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara,

keterbatasan

kebijaksanaan

pemerintah,

pengambilan

tindakan-

tindakan represif. Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendisendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Selain itu masih ada dampak lain yang ditorehkan korupsi ini diantaranya kerugian besar bagi Negara, memicu korupsi lain jika tidak diberi sanksi, citra badan hukum menjadi buruk, pemerintah krisis kepercayaan dan perlawanan langsung dari rakyat. 4. Solusi Dalam Menangani Tindak Pidana Korupsi Selama ini masyarakatb Indonesia berharap solusi untuk kasus tindak pidana korupsi adalah dengan cara hokum mati bagi para pelakunya. Selain itu ada juga statemen untuk memiskinkan keluarga koruptor, selagi masih ada hubungan keluarga, maka mereka akan dimiskinkan, dengan alasan bahwa keluarga tersebut pasti menerima hasil korupsi dari koruptor tersebut. Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu negara ingin mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab. Ada beberapa upaya penggulangan korupsi yang ditawarkan para ahli yang masing-

masing memandang dari berbagai segi dan pandangan. Caiden memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi korupsi sebagai berikut : a. Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah pembayaran tertentu. b. Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat. c. Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi. d. Korupsi dapat dikurangi dengan jalan meningkatkan ancaman. e. Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin

keseluruhan korupsi dibatasi, tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar beban korupsi organisasional maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu pembaharuan struktural, barangkali mungkin untuk mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan adanya perubahan organisasi. Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized) tindakan yang semula dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal dengan adanya pungutan resmi. Di lain pihak, celah-

celah yang membuka untuk kesempatan korupsi harus segera ditutup, begitu halnya dengan struktur organisasi haruslah membantu kearah pencegahan korupsi, misalnya tanggung jawab pimpinan dalam

pelaksanaan pengawasan melekat, dengan tidak lupa meningkatkan ancaman hukuman kepada pelaku-pelakunya. Dalam menanggulangi korupsi, perlu sanksi malu bagi koruptor yaitu dengan menayangkan wajah para koruptor di televisi karena menurutnya masuk penjara tidak dianggap sebagai hal yang memalukan lagi. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya penanggulangan korupsi adalah sebagai berikut : a. eventif. 1) Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara. 2) mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya. 3) Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka

terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara. 4) Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan. 5) menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan. 6) hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan sense of belongingness dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa peruasahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang terbaik. b. Represif. 1) Perlu penayangan wajah koruptor di televisi. 2) Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan pejabat.

BAB II KEBIJAKAN TENTANG KORUPSI

A. Peraturan Perundang-undangan Tentang Korupsi Berikut ini adalah naskah Peraturan, undang-undang, Peraturan Pemerintah (PP), Instruksi Presiden (Inpres), yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi.

1. TAP MPR:

TAP MPR No. XI Tahun 1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bebas KKN 2. Undang-Undang: a. UU 20/2001 Pemberantasan Tidak pidana Korupsi b. UU 30/2002 Komisi Anti Korupsi c. UU 31/1999 Pemberantasan Korupsi. Telah diperbaharui menjadi UU No 20 Tahun 2001 d. UU 11/1980 tentang Antisuap e. UU 15/2002 tentang tindak pidana anti pencucian uang. UU ini telah dirubah menjadi UU No 25 tahun 2003 f. UU 25/2003 tentang perubahan UU No 15/2002 tentang tindak pidana anti pencucian uang g. UU No 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih Bebas dari KKN

h. UU No 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003 i. UU No 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Masalah pidana 10.UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (termasuk versi bahasa Inggrisnya) 3. Peraturan Pemerintah: a. PP 71/2000 tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi b. Peraturan Pemerintah No.110 tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD c. Penjelasan Peraturan Pemerintah No.110 tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD d. PP No 24 Tahun 2004 tentang Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD e. PP No 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD f. PP No 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 4. INPRES: a. Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi b. Inpres No. 4 Tahun 1971, Tentang Pengawasan Tertib Administrasi di Lembaga Pemerintah c. Inpres No. 9 Tahun 1977, Tentang Operasi Tertib

d. Instruksi Presiden No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah e. Inpres No 1 Tahun 1971, tentang Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu 5. Keppres: a. Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2005 Tentang Timtastipikor b. Keppres No. 12 Tahun 1970 tentang "Komisi 4" c. Keppres No 80 Tahun 2003, tentang Pedoman Pengadaan Barang Jasa di Instansi Pemerintah d. Keppres No 16 Tahun 2004, tentang perubahan keppres 80/2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang Jasa di Instansi Pemerintah e. Keppres No. 7 tahun 2007 tentang Pembentukan Panitia Seleksi dan Pemilihan Calon Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

6. Peraturan Presiden: a. Perpres No. 13 tahun 2007 tentang Susunan Panitia Seleksi, Tata Cara Pelaksanaan Seleksi dan Militancies Calon Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban b. Perpres No. 1 tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-Undangan

7. Surat Edaran: a. Surat edaran Jaksa Agung tentang Percepatan Penanganan Kasus Korupsi tahun 2004

b. Surat

edaran

Dirtipikor

Mabes

Polri,

tentang

Pengutamaan

Penanganana Kasus Korupsi c. Surat Keputusan Jaksa Agung tentang Pembentukan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tahun 2000 d. Keputusan Bersama KPK-Kejaksaan Agung dalam Kerjasama Pemberantasan Korupsi 8. Konvensi Internasional: a. United Nations Conventions Agains Corruption 9. Rancangan Undang-Undang/Draf a. RUU Layanan Publik b. RUU Rahasia Negara c. Rancangan Inpres Pemberdayaan Instansi Terkait Dalam Sistem Penanganan Laporan Korupsi d. Draft UU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik versi DPR e. Draft UU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik versi Koalisi LSM 10. Naskah uji material UU Korupsi yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi: a. Perkara No. 003/PUU-IV/2006 yang menguji UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) dengan pemohon Dawud Djatmijko.

b. Perkara No. 10/PUU-IV/2006 yang menguji UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dengan pemohon MHI dengan putusan tidak dapat diterima c. Putusan Judicial Review MA Terhadap PP No.19 Tahun 2000 tentang TGPTPK Tahun 2001 d. Putusan Judicial Review MA Terhadap PP No.19 Tahun 2000 tentang TGPTPK

B. Tindakan dan Solusi Kesadaran bahwa korupsi merupakan tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime) dimulai bersamaan pada kurun waktu lahirnya era reformasi. Kesadaran ini lahir karena korupsi terjadi secara meluas yang tidak hanya merugikan keuangan Negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial ekonomi masyarakat secara luas. Sebagai extra ordinary crime, korupsi telah berkembang begitu canggih baik dari sisi pelakunya maupun modus operandinya, maka pemberantasan korupsi akan kurang memadai jika hanya dilakukan dengan cara-cara biasa, sehingga karenanya pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.

Pemberantasan korupsi memerlukan peningkatan transparansi serta akuntabilitas sektor publik dan dunia usaha. Pada gilirannya hal ini memerlukan upaya terpadu perbaikan sistem akuntansi dan sistem hukum guna meningkatkan mutu kerja serta memadukan pekerjaan lembaga pemeriksa dan pengawas keuangan (seperti BPK, Irjen, Bawasda dan PPATK)

dengan penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, KPK maupun Kehakiman). Sebagaimana sudah kita alami sendiri, kelemahan dan korupsi dalam satu mata rantai kelembagaan itu telah membuat negara kita dewasa ini sebagai salah satu negara yang terkorup di dunia dan telah menyengsarakan rakyat sendiri. Akibat dari kelemahan dan ulah sendiri tersebut, perekonomian dan seluruh sendi-sendi kehidupan sosial kita telah runtuh sendiri pada tahun 1997-1998 itu. Timor Timur memisahkan diri dari NKRI dan Indonesia dianggap the sick man of Asia hingga saat sekarang ini.

Dilihat dari upaya-upaya pemerintah dalam memberantas praktek korupsi di atas sepertinya sudah cukup memadai baik dilihat dari segi hukum dan peraturan perundang-undangan, komisi-komisi, lembaga pemeriksa baik internal maupun eksternal, bahkan keterlibatan LSM. Namun, kenyataannya praktek korupsi bukannya berkurang malah meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan Indonesia kembali dinilai sebagai negara paling terkorup di Asia pada awal tahun 2004 dan 2005 berdasarkan hasil survei dikalangan para pengusaha dan pebisnis oleh lembaga konsultan Political and Economic Risk Consultancy (PERC). Hasil survei lembaga konsultan PERC yang berbasis di Hong Kong menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang paling korup di antara 12 negara Asia. Predikat negara terkorup diberikan karena nilai Indonesia hampir menyentuh angka mutlak 10 dengan skor 9,25 (nilai 10 merupakan nilai tertinggi atau terkorup). Pada tahun 2005, Indonesia masih termasuk dalam tiga teratas negara terkorup di Asia. Peringkat negara terkorup setelah Indonesia, berdasarkan hasil survei yang dilakukan PERC, yaitu India

(8,9), Vietnam (8,67), Thailand, Malaysia dan China berada pada posisi sejajar di peringkat keempat yang terbersih. Sebaliknya, negara yang terbersih tingkat korupsinya adalah Singapura (0,5) disusul Jepang (3,5), Hong Kong, Taiwan dan Korea Selatan

Gambar 1: Peringkat Korupsi Beberapa Negara Asia Tahun 2006

Dalam konteks pencegahan dan pemberantasan korupsi baik melalui penyusunan dan pelaksanaan kebijakan maupun aktivitas penindakan melalui penegakkan hukum, dapatlah direkomendasikan beberapa langkah: 1. Memaksimalkan penegakaan hukum aturan tentang Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) serta aturan tentang gratifikasi dalam rangka tindakan pengawasan dan prevensi terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik utamanya para penegak hukum;

2. Meski sampai kini Pengadilan (khusus) Tindak Pidana Korupsi masih berjalan, namun pada dasarnya pasca putusan Mahkamah Konstitusi eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terancam, karena batas waktu yang diberikan Mahkamah Konstitusi hanya sampai tiga tahun sejak diputuskan yaitu Desember 2009. Pengadilan TIPIKOR

merupakan bagian dari penanganan tindak pidana korupsi yang bersifat luar biasa (extra ordinary), maka kehadiran Undang-undang yang menjadi dasar keberadaannya sangatlah signifikan untuk segera disahkan, karenanya direkomendassikan untuk sesegera mungkin pernyusunan, perumusan dan pengesahan Undang-undang Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai dasar dari kehadiran Pengadilan TiPIKOR sebagai satusatunya lembaga yang berwenang mengadili perkara tindak pidana korupsi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari upaya pemberantasan Korupsi di Indonesia. 3. Dalam penyusunan undang-undang Tentang Tindak Pidana Korupsi yang akan datang hendaknya ketentuan-ketentuan yang ada dapat

mengakomodasi paradigma dan kecenderungan korupsi yang tidak hanya sebagai kejahatan yang bersifat nasional, regional, tetapi juga internasional. Oleh karenanya semaksimal mungkin ketentuan-ketentuan tersebut disesuaikan dengan hasil Konvensi PBB Anti Korupsi (UNCAC), antara lain: a. Pengaturan korupsi di bidang swasta; Hal ini didasarkan meruaknya beberapa kasus penyuapan pejabat publik asing oleh pelaku sektor swasta. Kolaborasi sektor publik dan sektor swasta telah memperkuat keterlibatan swasta yang lebih dalam, sistematik dan meluas dalam tindak pidana korupsi; b. Pengaturan sistim pengembalian asset; Dalam konteks pengembalian asset dapat dibedakan menjadi dua, yaitu langsung dan tidak langsung. Sistim pengembalian asset secara langsung dapat dilakukan dengan cara:

1) Adanya pengurangan hukuman bagi Terdakwa yang mengakui kesalahannya sekaligus Negara; 2) Penerapan ketentuan Pembuktian terbalik yang bersifat tidak terbatas (premium remedium); Strategi pemberantasan korupsi harus bersifat menyeluruh dan seimbang. Ini berarti bahwa strategi pemberantasan yang parsial dan tidak komprehensif tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas. Strategi pemberantasan korupsi harus dilakukan secara adil, dan tidak ada istilah tebang pilih dalam memberantas korupsi. Selain itu, upaya pencegahan harus lebih digalakkan, antara lain melalui penumbuhkan kesadaran masyarakat (public awareness) mengenai dampak destruktif dari korupsi, khususnya bagi PNS; 1. Pendidikan anti korupsi; 2. Sosialisasi tindak pidana korupsi melalui media cetak & elektronik; 3. Perbaikan remunerasi PNS. Adapun upaya penindakan harus memberikan efek jera, baik secara hukum, maupun sosial. Selama ini pelaku korupsi, walaupun dapat dijerat dengan hukum dan dipidana penjara ataupun denda, namun tidak pernah mendapatkan sanksi sosial. Efek jera seperti: 1. Hukuman yang berat ditambah dengan denda yang jumlahnya signifikan; 2. Pengembalian hasil korupsi kepada negara; dan 3. Tidak menutup kemungkinan, penyidikan dilakukan kepada keluarga atau kerabat pelaku korupsi. Strategi pemberantasan korupsi harus sesuai kebutuhan, target, dan berkesinambungan. Strategi yang berlebihan akan menghadirkan inefisiensi sistem dan pemborosan sumber daya. Dengan penetapan target, maka strategi pemberantasan korupsi akan lebih terarah, dan dapat dijaga mengembalikan seluruh kerugian

kesinambungannya. Dalam hal ini perlu adanya komisi anti korupsi di daerah (misalnya KPK berdasarkan wilayah) yang independen dan permanen (bukan

ad hoc). Selain itu strategi pemberansasan korupsi haruslah berdasarkan sumber daya dan kapasitas. Dengan mengabaikan sumber daya dan kapasitas yang tersedia, maka strategi ini akan sulit untuk diimplementasikan, karena daya dukung yang tidak seimbang. Dalam hal ini kualitas SDM dan kapasitasnya harus dapat ditingkatkan, terutama di bidang penegakan hukum dalam hal penanganan korupsi. Peningkatan kapasitas ini juga dilakukan melalui jalan membuka kerjasama internasional.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian yang telah penulis uraikan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa korupsi adalah sebuah tindakan pelanggaran HAM tingkat tinggi di dunia. Banyak dampak negative yang telah diakibatkan oleh tindak pidana korupsi ini. Korupsi tidak bias diberantas, namun hanya bias diminimalisir. Karena kemampuan untuk melakukan korupsi juga diikuti oleh perkembangan zaman dengan teknologinya yang juga semakin canggih. Kasus korupsi juga merupakan masalah pelik bagi suatu Negara, hamper setiap Negara di dunia ada pelaku korupsinya, baik skala besar maupun skala kecil.Namun seringkali korupsi dengan sekali kecil tidak mendapatkan respon besar dari masyarakat. Tindak pidana korupsi harus mendapatkan tuntutan hokum yang jelas, di Indonesia UU tipikor hanyalah sebatas penghias sebuah Negara, tidak ada hukuman yang sebenar hokum ditegakkan, pasalnya peradilan di indonesiapun tidak luput dari KKN ini. B. Saran Banyak masyarakat berharap, tindak pidana korupsi di Indonesia harus diberikan sanksi yang sangat tegas, mulai dari pemiskinan koruptor dan keluarganya hingga hukuman mati bagi keluarga koruptor. Sebuah harapan besar dari rakyat yang menginginkan kesejahteraan bagi kehidupan berbangsa dan berbegara.

REFERENSI Ali Said Damanik. 2004-2005. Evaluasi Kebijakan Pemberantasan Korupsi Pemerintahan SBY-Kalla. http://www.theindonesianinstitute.com Dhaniel Simamora. 2009. Kebijakan Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Hasyim Muzadi, Benediktus. 2004. Menuju Indonesia Baru. Malang: Bayu Media Publishing IGM. Nurdjana, dkk. 2005. Korupsi dan Illegal Logging dalam Sistem Desentralisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mahfud MD. 2010. Keniscayaan Reformasi Hukum, Upaya Menjaga Jati Diri da Martabat Bangsa. http://www.mahfudmd.com Manshur Zikri. 2010. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Korupsi Mengacu Kepada Kasus Korupsi Gayus Tambunan.

www.manshursikri.wordpress.com

Anda mungkin juga menyukai