Anda di halaman 1dari 13

Buruh + pendidikan = Kebangkitan Nasional Kamis, 10 Mei 2012, oleh : Ir. H.

Isran Noor Msi Jakarta (ANTARA News) - Buruh itu adalah pahlawan, baik bagi diri sendiri maupun bagi keluarga dan negaranya. Sehari saja buruh mogok, perekonomian bisa bangkrut. Tidak ada alat produksi yang bekerja dan tidak ada layanan antar hubungan ekonomi, berarti dunia berhenti dalam satu hari. Buruh itu vital bagi pergerakan ekonomi. Pergerakan ekonomi vital bagi kehidupan masyarakat dalam bersosialisasi dan menjalani hidup. Satu negeri disebut mati kalau tidak ada pergerakan ekonomi. Ketika ini terjadi, berbondong-bondonglah warga bermigrasi ke tempat lain yang ekonominya berputar. Mengapa semua orang Indonesia ingin ke Jakarta? Karena di Jakarta ekonomi bergerak cepat Pergerakan itu dimotori para buruh yang tanpa lelah memproduksi segala barang dan jasa yang dibutuhkan warga Jakarta. Hal sama juga terjadi pada sentra-sentra ekonomi lain di setiap kota dan kabupaten. Maka, sangatlah bijak kalau kita menaruh respek pada buruh. Mereka memiliki hari besar di setiap tanggal 1 Mei.Tidak adil rasanya kalau tidak meliburkan mereka pada hari yang spesial itu. Saya melakukannya di daerah saya, Kutai Timur. Tanggal 1 Mei, semua buruh di Kutai Timur libur.Sebagai tanda terima kasih dan hormat, kami beri mereka hiburan di hari libur itu. Fantastis Setiap orang yang bekerja dan diupah dari pekerjaannya itu pada dasarnya adalah buruh. Yang bukan buruh adalah direksi karena mereka wakil atau perpanjangan tangan owner (pemilik perusahaan). Namun buruh selalu diidentikkan dengan pekerja kasar dan berpendidikan rendah. Itu stempel umum buruh.Ada strata gelar untuk sebutan, meskipun rancu tapi bisa dibedakan. Kalau buruh berarti pendidikan rendah, maka pekerja diartikan berpendidikan di atas buruh.Di luar negeri, mereka di sebut TKI. Perannya tak tanggung-tanggung, sebagai pahlawan devisa. Para TKI ini sedikitnya menyumbang devisa 4,37 miliar dolar AS atau Rp39,3 triliun per tahun (data tahun 2011) ke kas negara.Jumlah yang fantastis. Hebatnya jumlahnya terus meningkat setiap tahun.Mei adalah bulan luar biasa. Pada 1 Mei kita merayakan Hari Buruh, lalu pada 2 Mei kita rayakan Hari Pendidikan. Kemudian 20 Mei kita rayakan Hari Kebangkitan Nasional.Tiga hari besar di bulan Mei yang sangat bermakna.

Senjata Buruh sebagai simbol dinamika pergerakan ekonomi. Maknanya luar biasa, mereka bisa menentukan ekonomi bergerak atau tidak.Negeri ini akan semakin produktif kalau buruh sejahtera. Di Indonesia, porsi upah buruh dibanding biaya produksi masih berkisar 20:80 (%). Sangat kecil bila dibanding rata-rata upah buruh dunia terhadap produksi berkisar 35 - 40 %.Untuk mencapai angka sebesar itu membutuhkan banyak faktor, bukan semata melalui tekanan seperti demonstrasi.Tentu untuk meningkatkan porsi upah buruh, kualitas buruh sendiri harus diperbaiki. Di sinilah butuh peran pendidikan.Tidak ada kata terlambat untuk belajar. Seharusnya buruh yang ingin menempuh pendidikan diberi peluang dan kemudahan, karena pada dasarnya pilihan menjadi buruh disebabkan terbatasnya pendidikan yang dimiliki.Di tanah air ada 46 juta buruh. Kalau 10 persennya saja berminat menyelesaikan pendidikan lebih tinggi sembari bekerja, itu artinya 4,6 juta jiwa buruh memiliki pendidikan lebih tinggi. Ini juga berarti kualitas pendidikan yang dimiliki buruh meningkat. Akan ada perubahan intelektual yang masif. Kemudian akan terjadi perubahan nasib karena mereka menjadi berpendidikan lebih baik. Saya yakin makna hari pendidikan yang kita rayakan akan jauh lebih berarti. Akibat sentuhan pendidikan itu mahadahsyat. Pendidikan itu indikator sekaligus simbol kecerdasan. Pendidikan juga layaknya senjata serba guna. Spesial Bagaimana kalau senjata itu kita berikan kepada buruh, kaum yang terhenti pendidikannya karena ketiadaan biaya. Setahun, dua tahun, tiga tahun, kita bisa saksikan perubahannya. Kemudian, baru kita akan memperoleh makna selanjutnya, yakni Kebangkitan Nasional. Dulu, kebangkitan nasional berangkat dari semangat membangkitkan rasa persatuan dan kesatuan serta nasionalisme yang ditularkan para pendiri bangsa seperti Boedi Oetomo, Ir. Soekarno, Dr. Ciptomangunkusumo, Dr. Dowes Dekker, Ki Hajar Dewantoro, dan lain-lain.Untuk memelihara semangat itu, sekali lagi peran pendidikan sebagai jembatan penghantar jauh lebih efektif. Pendidikan sifatnya rutin, tidak seremonial. Berperan merangkai logika-logika berpikir positif dalammemahami beragam fenomena kehidupan. Tersimpan lama dalam memori otak manusia. Begitu spesialnya bulan ini dengan tiga hari besar yang penuh makna, makanya saya terpanggil untuk memberikan komentar. Tiga hari besar itu terangkai satu sama lain. Kalau disatukan dapat menjadi buruh cerdas karena pendidikan memberi semangat kebangkitan nasional yang semakin baik untuk nusa dan bangsa. Mungkin ini kebetulan, tetapi benar adanya. Selamat Hari Buruh. Selamat Hari Pendidikan. Kita songsong Hari Kebangkitan Nasional.

(*) Ketua Umum APKASI COPYRIGHT 2012 http://www.antaranews.com/berita/309969/buruh--pendidikan--kebangkitan-nasional

Kisah guru besar yang berangkat dari pabrik Kamis, 3 Mei 2012, oleh : Diah Novianti Bandung (ANTARA News) - Seorang buruh bernama Ahmad Tohir tercatat sebagai A. Tohir untuk bekerja pada shift pagi pukul 07.00 WIB hingga pukul 15.00 WIB di satu pabrik. Namun, pada shift sore, sosok sama tercatat sebagai Ahmad T untuk menyambung kerja lagi dari pukul 15.00 WIB hingga pukul 22.00 WIB. Sehingga, Ahmad Tohir terpaksa bekerja 15 jam selama sehari, enam hari dalam sepekan. Pihak perusahaan sengaja mengubah-ubah nama Ahmad Tohir sebagai akal-akalan agar tidak ketahuan memeras tenaga seorang buruh untuk bekerja dua shift. Namun bagi Ahmad Tohir, terpaksa bekerja dua shift merupakan cara untuk mendapatkan penghasilan lebih karena upahnya tidak pernah cukup untuk hidup layak. Cerita tentang Ahmad Tohir itu adalah nyata terjadi pada 1970an. Dituturkan oleh Guru Besar Ilmu Hubungan Industrial Universitas Padjadjaran (Unpad) Soeganda Priyatna. Soeganda tahu betul buruknya fasilitas yang diberikan perusahaan kepada buruh pada era itu. "Tempat minum untuk para buruh itu berbentuk drum berkapasitas 200 liter yang diisi air teh. Gelasnya dirantai ke drum itu dan dipakai beramai-ramai oleh buruh," ujarnya. Pada masa itu, kata Soeganda, pabrik juga kerap memperkerjakan tenaga pembersih dari desa-desa yang

cuma digaji setahun sekali. Tempat tidur bagi tenaga pembersih itu berupa lantai dalam bedeng. Cerita-cerita Soeganda tentang dunia perburuhan adalah nyata, bukan sekadar teori-teori yang dilontarkan seorang guru besar. Soeganda pun tidak kikuk berbicara di hadapan para buruh pada sarasehan membahas sejarah hari buruh di Kantor Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Jalan Pecinan lama, Bandung, pada peringatan Hari Buruh sedunia 1 Mei 2012. Gaya bicaranya lebih mirip mendongeng. Kalimat-kalimatnya mudah dicerna. Untuk menjelaskan betapa kebijakan outsourcing atau tenaga alih daya tidak layak diterapkan kepada para buruh, Soeganda mengambil perumpamaan pesebakbola Ronaldo yang dibayar mahal karena kelihaiannya beraksi di lapangan hijau. "Kalau Ronaldo memang pantas cuma dikontrak, bukan pekerja tetap, karena sekali main bayarannya sampai Rp2 miliar," ujarnya. Tenaga alih daya, menurut Soeganda, hanya layak diterapkan kepada pekerja berkeahlian atau berpengetahuan tertentu sehingga pekerja itu bisa menuntut bayaran tinggi. Namun, sama sekali tidak pantas diberlakukan pada pekerja biasa, apalagi buruh yang risiko kecelakaan dalam pekerjaannya tinggi. Soeganda menaruh hati pada perbaikan nasib para buruh. Perburuhan bukanlah planet asing bagi Soeganda yang kini menggeluti dunia akademik. Perjalanannya menjadi seorang guru besar berangkat dari sebuah pabrik. Pabrik Es Soeganda awalnya kuliah di Fakultas Ilmu Publisistik dan Jurnalistik Unpad. Pada 1966, ia lulus sarjana muda dan diterima bekerja sebagai kepala seksi umum dan personalia di pabrik es balok Parahyangan, Bandung. Menangani urusan personalia, ia bersentuhan langsung dengan para pekerja di pabrik itu dan banyak mendengar tentang masalah yang dialami para buruh. Soeganda pun mencetuskan ide untuk membentuk

serikat buruh di perusahaan es yang sahamnya dimiliki Pemerintah Provinsi Jawa Barat tersebut. Padahal tahun 1966 sulit sekali untuk mendirikan serikat buruh karena citra serikat buruh itu dilekatkan pada komunisme. "Untungnya, ada peraturan bahwa setiap perusahaan daerah wajib membentuk serikat pekerja. Jadi kami menggunakan peraturan itu. Tapi pada masa itu, jangan harap perusahaan swasta bisa membentuk serikat buruh," tuturnya. Soeganda bersyukur direktur utama pabrik es itu mendukung pembentukan serikat buruh. Bahkan, direktur pabrik itu membela kepentingan buruh dengan menunjuk serikat pekerja sebagai agen penjualan es. Ketika pengelolaan pabrik es itu akhirnya dialihkan ke perusahaan swasta oleh pemerintah provinsi, para pekerja pun tidak ribut kebingungan dan tak perlu mengkhawatirkan masa depan mereka. Keuntungan yang diperoleh sebagai agen penjualan es ternyata malah cukup sebagai modal membentuk perusahaan baru. "Penghasilan dari agen penjualan es digunakan untuk membeli perusahaan daging Badranaya yang terkenal di Bandung. Sampai sekarang saham perusahaan itu dimiliki oleh serikat pekerja pabrik es Parahyangan," ujar Soeganda. Peristiwa itu kemudian membukakan mata Soeganda bahwa perjuangan buruh untuk memperoleh hak hidup layak tidak bisa dipisahkan dari unsur lain, yaitu kesadaran pemerintah untuk membela kepentingan buruh. "Dalam kasus saya dulu, ada direktur utama saya yang `gila' karena `ngotot' membela kepentingan buruh di hadapan pemerintah provinsi. Harus selalu ada orang-orang seperti itu yang mau membela kaum buruh," katanya. Soeganda tidak berurusan dengan buruh di satu pabrik saja. Ia kemudian terpilih sebagai ketua serikat pekerja perusahaan makanan dan minuman di Kota Bandung. Pada 1973, dia menjabat Ketua Federasi

Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) Kota Bandung. Pada 1975, ia mendapatkan panggilan tidak disangka-sangka dari Unpad untuk mengajar karena kekosongan posisi dosen ilmu perburuhan. "Seorang kawan merekomendasikan saya karena dianggap tahu seluk-beluk dunia perburuhan. Saya dijemput langsung ke pabrik dan diminta untuk mengajar," tuturnya. Awalnya, Soeganda kerepotan karena tidak memiliki basis pendidikan perburuhan. Materi yang disampaikan dalam kuliahnya terbatas pada undang-undang dan peraturan pemerintah yang ia ketahui. Ia tidak menyerah, lalu belajar secara otodikdak. Ia pun menempuh pendidikan lagi, sampai gelar Prof. Dr. kini mengawali penulisan namanya. Dia dianugerahi gelar guru besar di bidang Ilmu Hubungan Industrial oleh Unpad pada 2010. Tidak Tega Soeganda mengundurkan diri dari pabrik es setelah diangkat Pegawai Negeri Sipil sebagai dosen Unpad pada 1975. Namun, jabatan Ketua FBSI tetap disandangnya selama dua periode hingga 1983. "Saya tidak tega meninggalkan teman-teman buruh. Mereka sering mendatangi rumah saya, menunggu saya pulang sampai malam hanya untuk menceritakan masalah mereka. Masalahnya kadang-kadang memang sepele, tapi siapa lagi yang mau mendengarkan mereka," tutur Soeganda. Hatinya terlanjur terlilit oleh permasalahan buruh sehingga ia tidak tega meninggalkan mereka dan sampai saat ini selalu menyumbangkan pemikiran demi perbaikan nasib kaum pekerja. Ia mengingatkan bahwa perjuangan buruh memerlukan kekuatan dari persatuan. Karena itu ia menyayangkan perjuangan buruh yang saat ini terkotak-kotak dalam banyak perserikatan namun tidak memiliki kesamaan visi. Ia pun menilai saat ini serikat buruh banyak dirasuki oleh kepentingan pribadi dan politis.

"Ini salah satu kelemahan kita sekarang, serikat pekerja digunakan untuk kepentingan tertentu," ujarnya. Soeganda juga mengingatkan bahwa perjuangan buruh jangan diidentikan dengan aksi unjuk rasa, apalagi yang berujung anarki. "Kalau merusak pagar, menutup jalan tol, kita dapat apa?" katanya. Buruh, katanya, boleh aksi mogok apabila sebuah perusahaan melanggar ketentuan dalam perundangundangan. Namun, apabila buruh menolak pemberlakukan suatu undang-undang yang bersifat nasional lebih baik mereka menunjukkan perlawanan dengan mengajukan undang-undang tandingan. Soeganda selalu merunut sejarah hubungan kerja antara pengusaha dan buruh pada kelamnya perbudakan dan kerja paksa pada masa lalu. Karena, menurut dia, dari sanalah bermula sejarah seseorang bekerja untuk orang lain. "Konflik kepentingan antara pengusaha dan pekerja memang selalu ada. Pengusaha mengikuti pola kekuasaan karena bagaimana pun menganggap dirinya di atas pekerja, sedangkan pekerja perlu untuk menuntut hak-haknya. Tinggal bagaimana menemukan jalan tengah melalui konsensus di antara keduaduanya," ujarnya. Namun, Soeganda tidak mengikuti jalan pikiran Karl Marx yang mengusulkan revolusi fisik kaum buruh untuk merebut alat-alat modal dari kaum kapitalis sebagai satu-satunya cara memecahkan konflik kepentingan abadi antara pengusaha dan pekerja. Soeganda berharap revolusi itu cukup terjadi dalam alam pikiran para wakil rakyat dan penguasa yang memerintah. "Harus ada orang-orang di atas sana, di DPR dan di pemerintah, yang punya kasihan kepada kaum buruh, yang mau memikirkan dan memperjuangkan perbaikan nasib buruh," kata kakek dari lima cucu itu.

(D013/H-KWR) Editor: Jafar M Sidik COPYRIGHT 2012 http://www.antaranews.com/berita/308864/kisah-guru-besar-yang-berangkat-dari-pabrik

POTRET BURUK ANAK INDONESIA indosiar.com, Jakarta - Evoria tentang anak kembali riuh ketika menjelang hari keberadaanya diperingati. Momen sekedar selebration itu kembali berkumandang tiada bosan. Menjadi lebih riuh ketimbang suara nasib anak anak itu sendiri ketika kepentingan berbicara. Momen hari anak yang tiap tahun diperingati, seakan hanya sebagai simbul, bahwa negara itu memiliki satu hari untuk memperhatikan kaum anak anaknya. Lantas bagaimana dengan nasib hidup di hari hari berikutnya. Pada kenyataan, tidak lebih penting dari egoisme dan kepentingan pribadi semata orang dewasa. Ya..posisi mereka bahkan hanya sampai layaknya barang yang diperjual belikan. International Labour Organisation mencatat, sekitar 166 juta anak di seluruh dunia kini telah menjadi pekerja (buruh). Bahkan tak kurang dari 74,4 juta di antaranya terlibat dalam bentuk-bentuk pekerjaan berbahaya, seperti prostitusi dan peredaran narkoba. Laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO), yang baru-baru ini dirilis sungguh mencengangkan, karena tren jumlah anak yang menjadi pekerja di sektor berbahaya terus meningkat. Pemerintah Republik Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi No. 182 tentang Penghapusan Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, telah menyatakan niat untuk segera mengambil tindakan agar praktik buruh anak segera dihapuskan. Melalui Kepres no. 12 tahun 2001, telah disiapkan rencana aksi pelaksanaannya melalui Komite Aksi Nasional. Namun pada kenyataanya kondisi ekonomi keluarga yang buruk membuat anak terpaksa ikut mencari penghasilan untuk keluarga, bahkan tak jarang mereka terpaksa menempuh pekerjaan di sektor tergolong sangat berbahaya, "Anak, yakni mereka yang berusia di bawah 15 tahun, pada prinsipnya tidak boleh bekerja layaknya orang dewasa," kata Arum Ratnawati, Kepala Penasehat Teknis Program Pekerja Anak ILO.

Buruh anak di Indonesia sebenarnya merupakan persoalan yang klasik. Pada tahun 1976, buruh anak di Indonesia diperkirakan hanya 13,9 persen anak. Tapi, seiring dengan krisis ekonomi dan angka kemiskinan yang terus naik, maka jumlah buruh anak pun melonjak. Peta di Indonesia sendiri menunjukkan bahwa pada tahun 2004 diperkirakan 1,4 juta anak berusia 10-14 tahun menjadi pekerja. Sebagian besar dari mereka tidak mendapat peluang untuk bersekolah. Mulai dari sinilah kemudian potret masa depan suram mereka mulai terekam. Semakin besarnya kebutuhan akan hidup yang harus mereka tunjang, dan semakin terhimpitnya kesempatan mereka dalam berkompetisi dalam memperoleh penghasilan mengharuskan anak-anak berada pada posisi yang tidak pada tempatnya. Menjadi Pembantu Rumah Tangga (PRT), terlibat dalam perdagangan anak dan eksploitasi seksual komersial, bekerja di sektor pertanian/perkebunan, anak jalanan dan terlibat dalam peredaran narkoba. Berdasarkan riset ILO dan Universitas Indonesia antara tahun 2002-2003 menunjukkan, bahwa jumlah anak yang bekerja di sektor PRT jauh lebih tinggi dibandingkan sektor lain. Sedikitnya 700.000 anak di bawah usia 18 tahun telah bekerja sebagai PRT, dengan lebih dari 90 persen di antaranya adalah anak perempuan. Anak perempuan yang datang dari daerah pedesaan, umumnya memasuki dunia kerja sebagai PRT saat usia mereka baru 12-15 tahun. "Anak-anak yang menjadi PRT kerap kali tergiur dengan janji-janji manis nan palsu akan mendapat gaji yang besar di kota, tanpa kejelasan soal jam kerja, jenis pekerjaan, dan kondisi tempat kerja," kata Arum menjelaskan. Yang lazim menimpa PRT anak ini adalah bekerja 14-18 jam sehari, tujuh hari dalam sepekan, tanpa istirahat ataupun libur. Para majikan juga di banyak kasus menahan gaji mereka sebelum pulang kampung agar mereka tetap bekerja selama libur lebaran. "Tak jarang kasus kekerasan dan penganiayaan pun dialami oleh PRT anak, karena mereka diisolasi dari dunia luar," kata dia. Sektor prostitusi pun tak kalah menyesakkan hati. Kajian ILO di tahun 2003 menunjukkan, bahwa sekitar 21.552 anak bekerja sebagai pelacur di pulau Jawa. Data mengenai prostitusi anak dan orang dewasa dari Departemen Sosial memperlihatkan, peningkatan 34 persen dalam kurun waktu 10 tahun, dari 65.059 di tahun 1994 menjadi 87.536 di tahun 2004 di seluruh Indonesia. Di tahun 2001 Kementerian Pemberdayaan Perempuan memperkirakan, bahwa 20-30 persen dari jumlah mereka yang ada di dunia prostitusi masih berusia di bawah 18 tahun. Wilayah-wilayah asal para pelacur anak ini biasanya dari desa-desa, dan minim fasilitas pendidikan, yang kemudian menyebabkan tingkat pendidikan mereka sangat terbatas.

Di sektor pertanian dan perkebunan peta buram masih marak, karena diperkirakan sekitar 1,5 juta anak usia 10-17 tahun bekerja di sektor pertanian dan perkebunan. Tiga provinsi dengan angka pekerja anak di sektor pertanian dan perkebunan terbesar adalah Sumatera Utara (155.196 anak), Jawa Tengah (204.406), dan Jawa Timur (224.075). Pekerjaan di sektor ini sangat berbahaya bila mengingat potensi pencemaran pestisida, temperatur ekstrim, dan debu organik yang membahayakan kesehatan. Sebuah studi di Jawa Timur baru-baru ini mendapati bahwa 85 persen pekerja anak sektor pertanian dan perkebunan telah lulus Sekolah Dasar, namun hanya 13 persen yang melanjutkan pendidikan ke SMP. Sektor ke-4 yang dijadikan target penghapusan segera adalah, anak jalanan yang sangat rentan perdagangan manusia dan peredaran narkoba. Departemen Sosial pada tahun 2005 memperkirakan 46.800 anak Indonesia telah menjadi anak jalanan di 21 provinsi. Bahaya yang dihadapi oleh anak jalanan sungguh serius, mulai dari tindak kekerasan, eksploitasi oleh preman, polusi, kecelakaan lalu lintas, perdagangan anak, dan perdagangan obat terlarang. Riset ILO tahun 2004 menunjukkan, 133 dari 255 anak jalanan adalah pemakai obat-obatan, penghirup lem, dan peminum alkohol. Perkiraan ini diperkuat oleh kajian Universitas Atmajaya, yang simpulannya 464 dari 500 anak jalanan adalah pengguna obat-obatan terlarang, yang kemudian mendorong mereka menjadi pengedar narkoba. Direktur ILO di Jakarta, Alan Boulton, menengarai biaya pendidikan yang lebih murah akan menekan angka pekerja anak. Dan kebijakan penurunan biaya pendidikan ini tentu harus mendapat dukungan penuh dari pemerintah, ujar Alan Boulton. Melalui perwakilannya di Indonesia, ILO bahkan telah melakukan intervensi dengan mencegah dan menarik anak yang bekerja di sektor terburuk agar tidak lagi bekerja di sana. Setidaknya 22.000 anak yang akan masuk dan menarik keluar dari sektor terburuk telah dilakukan. Namun keyakinan rencana tulus ILO itu menjadi mungkin akan menjadi angan angan jutaan anak-anak yang berada di bawah garis kemiskinan ke depan. Setelah pemerintah menarik kembali program dukungannya terhadap pendidikan gratis yakni penghentian program Dana Bantuan Operasional Sekolah di 2010 mendatang. Sepertinya anak anak Iindonesia harus kembali memilih apakah tetap bekerja dalam lingkungan berbahaya atau dibayangi pungutan biaya tinggi ketika duduk belajar dalam ruang sekolah.(Her) http://www.indosiar.com/kolom/potret-buruk-anak-indonesia_81455.html

NURYATI DARI TKI MENGGAPAI GELAR PROFESOR Sabtu, 12 Mei 2012 Serang (ANTARA News) - "Janganlah berpikiran menjadi TKI selama-lamanya, tetapi berusahalah untuk punya target kapan mulai berhenti menjadi TKI, dan mempunyai target lain untuk memikirkan masa depan setelah kembali ke tanah air," kata Nuryati Solapati, mantan tenaga kerja Indonesia (TKI yang kini menjadi dosen di Universitas Tirtayasa Serang, Banten. Ia mengaku prihatin karena banyak TKI setelah pulang ke kampung halamannya hanya beberapa tahun saja hidup sejahtera, setelah itu kembali mengalami hidup susah. Namun sebagian kecil ada yang mempunyai perencanaan matang sehingga hasil tabungannya bisa digunakan untuk berusaha di tanah air. Berbeda dengan TKI lain yang menginvestasikan uangnya untuk membeli rumah, sawah dan berbisnis, Nuryati merupakan salah satu TKI yang menginvestasikan masa depan di bidang pendidikan karena yakin kecerdasannya bisa meraih jenjang tertinggi di bidang pendidikan. "Karena itulah, suatu saat nanti saya ingin menjadi Profesor TKI, untuk membantu mengatasi masalah TKI ," kata Nuryati yang saat ini sedang mengambil pendidikan S3 di Universitas Padjajaran Bandung setelah menggondol S2 bidang Ilmu Hukum di Universitas Jayabaya, Jakarta. Nuryati yang menjadi babysitter di Arab Saudi sejak Tahun 1998 sampai Tahun 2000 mengungkapkan, umumnya para TKI itu sangat susah mengubah mindsetnya (pola pikir) , apalagi dikaitkan dengan kegiatan usaha yang butuh kesabaran, karena membuka usaha itu perlu proses. Ia mengaku, tidak sedikit mantan TKI yang meminta kepadanya sebuah usaha, namun setelah diberi masukan mereka malah bingung karena tidak memiliki konsep usaha. Anak pertama dari enam bersaudara dari pasangan suami istri Syarif Hidayat dan Omah ini berharap pemerintah lebih peduli dan memperhatikan nasib TKI, jangan hanya dijadikan sebagai pahlawan devisa saja, tetapi perlu menyikapi lebih serius jika mereka tidak lagi menjadi TKI. Butuh Uang

Tidak jauh beda dengan TKI-TKI lainnya, Nuryati Solapati nekad menjadi pembantu rumah tangga di Arab Saudi karena butuh uang yang banyak untuk menggapai cita-citanya untuk dapat kuliah di sebuah perguruan tinggi. "Bedanya dengan TKI lain, saya mengiinginkan uang banyak tidak hanya untuk membantu biaya hidup orang tua dan adik-adik, tetapi juga disisihkan untuk bekal kuliah yang menjadi cita-cita saya sebelumnya," kata perempuan kelahiran 2 Juni 1979 yang merupakan lulusan terbaik SMA Prisma, Serang, Banten. Nuryati yang sejak kelas satu SMA selalu menjadi juara dan mendapatkan beasiswa, mengaku banyak mendapatkan masukan dari guru-gurunya agar melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, namun karena ayahnya yang merupakan pegawai rendahan di Pemerintah Kota Cilegon tak mampu membiayai kuliahnya. "Saya punya empat adik yang juga harus bersekolah, tak mungkinlah bapak yang hanya pegawai rendahan mampu membiayai kuliah saya," kata Nuryati yang sebelum menikah dengan Agus Setiawan tinggal di rumah orang tuanya di Kampung Keletak Lot, Desa Samparwadi, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang . Teman-teman sebaya di kampungnya juga tidak begitu mendukung niatnya untuk kuliah kembali. "Maklum di kampung saya memang warganya tidak mampu sehingga tidak satupun warga yang sampai memiliki gelar sarjana," kata Nuryati. Namun Nuryati yang tak menghiraukan sindiran teman-temannya di kampung itu. Sesuai dengan tekadnya mendapatkan uang banyak dengan target menjadi TKI selama dua tahun di Arab Saudi dicapainya. Iapun mencoba merealisasikan apa yang dicita-citakannya itu dengan ikut tes masuk Fakultas Hukum Universitas Ageng Tirtayasa. Diapun lulus. Hanya butuh tiga tahun ia pun menyandang gelar sarjana hukum dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,7 dan meraih predikat cum laude. Judul skripsi yang diajukan juga tidak jauh beda dengan perjalanan hidupnya, "Perlindungan TKI". Selama kuliah, Nuryati yang sudah memiliki tiga anak masing-masing Bintang Hafizh Setiawan, Bunga

Qarita Litahayu dan Nafeeza Mutiara Hajj itu mengaku bekal dari TKI itu masih kurang cukup untuk kuliah, sehingga sambil kuliah ia bekerja di sebuah restoran waralaba dan menjajakan makanan katering. Perjuangannnya itu juga ditiru oleh adik-adiknya meski tidak harus menjadi TKI. Satu orang adiknya sudah lulus menjadi sarjana, dua adiknya lain sedang kuiah di Universitas Tirtayasa sambil bekerja di sebuah restoran warala asing, adik lainnya masih duduk di STM dan SMP. "Selama kuliah saya juga mendapatkan beasiswa, tetapi saya berikan kepada adik saya yang juga sedang kuliah di perguruan yang sama," kata Nuryati yang kini hidup berbahagia dengan suaminya yang juga seorang dosen di Kota Serang. Walau sudah meraih kesuksesan di jenjang akademis, ia mengakui perjuangannya belum selesai yaitu memotivasi sebanyak mungkin TKI agar mereka bisa memprogram masa depan mereka. "Saya berkeinginan sekali, setelah tidak lagi menjadi TKI, mereka mampu berkarya baik di pendidikan atau menjadi pengusaha sukses," katanya yang sering diundang untuk memotivasi TKI sebelum berangkat ke luar negeri. (R010) Editor: Aditia Maruli COPYRIGHT 2012 http://www.antaranews.com/berita/310343/nuryati-dari-tki-menggapai-gelar-profesor

Anda mungkin juga menyukai