Anda di halaman 1dari 39

Indonesia, sebagai sebuah bangsa, terbangun di atas aneka budaya yang berbeda-beda tetapi diasumsikan tetap satu : Bhinneka

Tunggal Ika. Berbeda dengan Jepang ataupun Korea, Indonesia tidak terbangun atas kultur yang homogen. Bahkan, untuk wilayah Papua saja terdapat kurang lebih 132 suku bangsa dan bahasa yang berlainan. Itu belum lagi budaya yang terdapat di pulau-pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa, dan lainnya. Lalu, bagaimana dapat seseorang memutuskan bahwa ia tengah mengamati atau mempelajari budaya Indonesia? Tentu saja, Indonesia tadinya merupakan sebuah konsep abstrak. Indonesia merupakan sebuah ide yang dibentuk oleh para founding fathers guna mempersatukan wilayah-wilayah nusantara ke dalam ikatan nation yang lebih besar secara politik mengatasi sekat-sekat regional dan etnis. Secara politik, tatkala seseorang mempelajari budaya Sekaten di Keraton Yogyakarta, dapat saja dikatakan bahwa ia tengah mempelajari budaya Indonesia. Atau, dikala seorang peneliti mempelajari budaya pemeliharaan tanaman hutan pada Suku Kubu di Jambi, ia juga dikatakan tengah mempelajari budaya Indonesia. Yogyakarta dan Jambi merupakan dua wilayah yang terikat ke dalam sebuah nation yang bernama Indonesia. Atau, budaya nasional Indonesia tampak tatkala publik di luar Indonesia mengklaim salah satu budaya daerah yang masuk wilayah Indonesia. Tatkala Malaysia memuat Tari Pendet dalam brosur pariwisatanya, publik Indonesia menganggapnya sebagai penyerobotan budaya. Ini juga terjadi tatkala Batik, yang dianggap sebagai produk budaya Indonesia, dipatenkan oleh negaranegara lain. Publik Indonesia yang marah terhadap sikap negara lain tersebut, misalnya dalam kasus Tari Pendet, bukan hanya orang Bali saja melainkan lintas primordial suku di Indonesia. Ini membuktikan signifikansi kajian mengenai budaya Indonesia: Kendati terbelah menjadi aneka suku dengan produk budaya sendiri-sendiri, seluruh budaya berbeda tersebut telah diberi trademark sebagai budaya Indonesia. Masalah yang kerap muncul dalam negara dengan multikultur adalah masalah primordial. Suku, agama, golongan, ataupun ras yang berbeda-beda kerap bersitegang satu dengan lainnya guna mempertahankan eksistensi mereka. Manifestasi dari hal tersebut adalah maraknya konflik antar masyarakat Indonesia seperti di Poso, Papua, Sampit, Maluku, atau kerusuhan antara golongan pribumi versus etnis Cina. Integrasi nasional merupakan pekerjaan rumah yang rumit dan berat tetapi harus diselesaikan oleh seluruh elemen yang mengaku bagian dari nation Indonesia.

Definisi Budaya
Dalam mendekati permasalahan budaya Indonesia, akan digunakan sejumlah teori guna mendekatinya. Teori ini bermanfaat selaku penjelasan seputar konsep budaya yang digunakan dalam tulisan ini. Lewat teori-teori budaya, kita juga akan lebih memahami aspek-aspek apa saja yang patut dikaji seputar Sistem Budaya Indonesia. Menurut Kathy S. Stolley, budaya adalah seluruh gagasan (ide), keyakinan, perilaku, dan produk-produk yang dihasilkan secara bersama, dan menentukan cara hidup suatu kelompok. Budaya meliputi semua yang dikreasi dan dimiliki manusia tatkala mereka saling berinteraksi. Stolley menjelaskan bahwa budaya meliputi aspek material dan nonmaterial yang dihasilkan masyarakat tertentu. Budaya merupakan produk masyarakat yang muncul dari interaksi antar

individu di dalam masyarakat. Budaya juga turut menentukan cara hidup suatu masyarakat. Definisi budaya lainnya diajukan oleh A.L. Kroeber and Clyde Kluckhorn. Menurut Kroeber and Kluckhorn, ... culture consists of patterns, explicit and implisit, of and for behavior acquired and transmitted by symbols, constituting the distinctive achievement of human groups, including their embodiments in artifacts; the essential core of culture consists of traditional (i.e., historically derived and selected) ideas and especially their attached values; culture systems may on the one hand, be considered as products of action, on the other as conditioning elements of further action. Kroeber dan Kluckhorn menjelaskan bahwa budaya tidak hanya terdiri atas obyek-obyek fisik. Budaya melibatkan representasi fisik dan mental secara simbolik dalam melukiskan dunia. Hanya representasi-representasi yang relatif stabil dan membentuk sistem hubungan antar anggota dari suatu kelompok sosial yang dapat dikatakan sebagai bersifat budaya. Sebab itu, budaya mampu membedakan suatu kelompok sosial satu dengan kelompok sosial lainnya. Penulis lain yang cukup awal dalam meretas jalan ke arah studi budaya adalah Robert L. Sutherland dan Julian L. Woodward dalam karyanya Introductory Sociology. Dalam bahasannya mengenai suku-suku di Amerika, Sutherland dan Woodward berupaya menjelaskan apa itu budaya jika dikontraskan dengan ras. Menurut mereka, ras adalah bersifat genetik-fisik berupa warna kulit, bentuk hidung, warna rambut dan ekspresi-ekspresi tubuh lain yang tampak. Ras diturunkan dari generasi ke generasi lewat mekanisme pewarisan biologis. Budaya, menurut Sutherland and Woodward meliputi seluruh cara berbuat di mana seseorang mempelajarinya selaku anggota masyarakat. Termasuk ke dalam budaya adalah pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, peralatan, dan tata cara berkomunikasi. Budaya diwariskan dari satu generasi ke generasi lain lewat mekanisme sosial berupa instruksi dan pemberian teladan dari anggota masyarakat senior kepada junior. Peneliti lain seperti David Matsumoto dan Linda Juang kemudian membedah budaya secara lebih mendetail dalam bukunya Culture and Psychology. Menurut Matsumoto and Juang, budaya adalah ... a dynamic system of rules, explicit and implicit, established by groups in order to ensure their survival, involving attitudes, values, beliefs, norms, and behaviors, shared by a group but harbored differently by each specific unit within the group, communicated accross generations, relatively stable but with the potential to change accross time. Budaya bersifat dinamis oleh sebab budaya menggambarkan rata-rata kecenderungan perilaku. Budaya tidak bisa menggambarkan seluruh perilaku individu dalam masyarakat yang mempraktekkan budaya tertentu. Selalu akan ada perbedaan perilaku antar individu kendatipun kecil. Perbedaan ini menciptakan ketegangan dinamis (dynamic tension) berupa gap budaya antara satu individu dengan individu lain atau antara junior dengan seniornya. Atas dasar ini, budaya kemudian secara perlahan tetapi pasti mengalami perubahan. Budaya juga merupakan seperangkat sistem aturan. Budaya tidak mengacu pada satu perilaku,

aturan, sikap, ataupun nilai saja. Budaya mengacu pada keseluruhan dari paduan dari aspekaspek tersebut. Sebagai sebuah sistem, budaya mengkaitkan perilaku, aturan, sikap, dan nilai secara harmonis satu sama lain. Budaya merujuk pada kelompok dan unit-unit sosial. Budaya hadir di setiap tingkatan --antarindividu dalam kelompok atau antarkelompok dalam suatu kelompok besar (misalnya korporasi bisnis). Pendapat ini menyatakan suatu relativitas budaya, bahwa dalam suatu budaya besar sesungguhnya terdapat budaya-budaya yang lebih kecil yang merupakan bagian di dalamnya dan terkadang mengalami ketegangan dengan budaya yang lebih besar tadi. Budaya memastikan kelangsungan hidup suatu kelompok. Sistem aturan yang membentuk budaya secara esensial memastikan kelangsungan hidup suatu kelompok. Aturan-aturan ini memungkinkan tiap-tiap unit dalam kelompok hidup bersama satu sama lain, memungkinkan keteraturan sosial (social order) tinimbang situasi kacau atau kebebasan mutlak. Secara umum, budaya merupakan cara manusia untuk memenjarakan, mengendalikan, dan menghidari chaos. Budaya juga berpotensi untuk berubah. Budaya adalah entitas dinamis yang merupakan hasil interaksi ketat antara perilaku, sikap, nilai, keyakinan, dan norma. Tiap unit dalam masyarakat (individu) selalu berubah setiap saat. Perubahan dari unit-unit ini kemudian terjadi dalam skala yang dapat saja stagnan atau semakin besar lewat efek bola salju dan akhirnya, mengubah warna budaya secara keseluruhan. Selanjutnya, Matsumoto and Juang menjelaskan serangkaian faktor yang mampu mempengaruhi suatu budaya. Pertama adalah faktor lingkungan. Lingkungan sebagai lokasi dipraktekkannya suatu kebudayaan mempengaruhi sifat dari budaya itu sendiri. Wilayah yang miskin sumber daya alam penduduknya cenderung mengembangkan semangat kerja tim dan spirit kelompok seraya berhubungan dengan kelompok lain yang berlimpah sumber dayanya demi bertahan hidup. Kebutuhan dan hubungan ini memicu karakteristik dan atribut psikologis tertentu yang membantu kerja tim, semangat kelompok, dan kesalingbergantungan. Sebaliknya, di wilayah yang kaya sumber daya alam, masyarakat cenderung tidak memilikinya seperti contoh pertama. Kedua, faktor kepadatan penduduk. Masyarakat dengan kepadatan populasi yang tinggi butuh perangkat keteraturan sosial yang lebih besar dalam menjamin keberfungsiannya. Masyarakat seperti ini lalu menciptakan pengelompokan dan hirarki masyarakat yang lebih rumit tinimbang masyarakat dengan kepadatan yang lebih rendah. Ketiga, faktor teknologi. Teknologi semisal teknologi komunikasi (contohnya telepon seluler dan surat elektronik), mengakibatkan interaksi personal berubah secara cepat. Komputer memungkinkan orang bekerja secara lebih mandiri, jadi kurang bergantung pada orang lain. Ini berakibat pada perubahan perilaku dan fungsi-fungsi psikologis seseorang dan lebih jauhnya, perubahan pada budaya. Keempat, faktor iklim. Masyarakat yang tingga di dengan khatulistiwa, iklim panas, area tropis, akan mengembangkan gaya hidup yang sangat berbeda dengan masyarakat yang tinggal di zona artik atau zona bertemperatur rendah. Perbedaan iklim membentuk pakaian berbeda, makanan yang dimakan, jenis penyakit, dan alat transportasi.

Dari definisi budaya Stolley di atas, dapat kita peroleh konsep-konsep seperti gagasan, keyakinan, perilaku, produk, sementara dari pendapat Kroeber and Kluckhorn konsep-konsep seperti pola perilaku yang diwariskan antargenerasi secara simbolik. Selain itu, masih menurut Kroeber and Kluckhorn, budaya juga dapat memunculkan tindakan dan mengkondisikan tindakan-tindakan yang akan diambil di masa kemudian. Budaya membentuk cara bagaimana orang melihat dunia. Ia berpengaruh atas bagaimana kita berpikir, bertindak, yang dijunjung tinggi, berbicara, organisasi-organisasi yang dibentuk, ritual yang diselenggarakan, hukum yang dibuat, apa dan bagaimana yang kita sembah, apa yang kita makan, apa yang kita pakai, dan apa yang kita sebut sebagai buruk atau baik. Budaya di dunia sangat bervariasi. Budaya, bagi penganutnya, adalah normal ataupun lebih baik ketimbang budaya yang dianut pihak lain. Terkadang seseorang yang memasuki budaya berbeda akan mengalami culture shock atau kejutan budaya. Culture shock adalah kebingungan yang muncul tatkala seseorang memasuki situasi atau cara hidup yang tidak dikenal. Seorang suku Sunda mungkin saja terkejut melihat tata cara berpakaian, tatkala ia diberi kesempatan berkunjung ke kediaman seorang Suku Dani di pedalaman Papua yang masih menggunakan koteka. Keterasingan yang ia alami tatkala mengalami itu dapat disebut sebagai cultural shock.

Komponen-komponen Budaya
Budaya masyarakat satu berbeda dengan budaya masyarakat lainnya. Sebab itu budaya sangat bervariasi bergantung pada serangkaian faktor yang mempengaruhinya seperti dijelaskan Matsumoto dan Juang di atas. Namun, kendati satu sama lain berbeda, budaya memiliki serangkaian komponen yang terdapat di setiap jenis kebudayaan. Kita bisa secara mudah mengenali suatu budaya lewat manifestasi dari komponen-komponen ini. Komponen-komponen tersebut terdiri atas komponen Material dan Normaterial. Komponen nonmaterial misalnya adalah: (1) Simbol; (2) Bahasa; (3) Nilai; dan (4) Norma. Sementara komponen Material budaya adalah : (1) Perkakas; (2) Makanan; (3) Pakaian; (4) Arsitektur.

Simbol
Simbol adalah segala sesuatu yang mewakili makna suatu lainnya. Budaya mustahil eksis tanpa simbol karena dengan begitu para anggota masyarakat tidak bisa saling berbagi makna. Simbol dapat menciptakan loyalitas, kegairahan, cinta, dan benci. Simbol mampu mengkomunikasikan obyek abstrak ke dalam suatu yang visible atau bisa dicerap panca indera. Misalnya bendera adalah simbol nasionalisme, patriotisme, semangat partai, atau komunitas keagamaan. Misal simbol lainnya adalah merpati (damai), cinta (hati), atau letter P (boleh parkir). Suatu gambar yang sederhana, mudah dimengerti, tetapi memiliki penafsiran yang sangat luas. Manifestasi simbol lain termasuk pakaian. Dapat kita lihat misalnya baret prajurit angkatan laut berbeda dengan angkatan darat, termasuk warna dan pernak-pernik lainnya. Dengan menggunakan seragam tertentu, yang menggunakan secara mudah langsung dapat diidentifikasi asal-usul komunitasnya. Budaya masyarakat apapun dapat secara mudah diidentifikasi lewat simbol-simbolnya.

Bahasa
Bahasa adalah seperangkat simbol yang mengekspresikan gagasan dan memungkinkan orang

untuk berpikir dan berkomunikasi satu sama lain. Bahasa terdiri atas bahasa verbal dan bahasa nonverbal (tulisan, gerak-gerik). Bahasa ini juga dimiliki oleh hewan dan kelompoknya semisal suara, sentuhan, penciuman, dan gerak-gerik guna berkomunikasi satu sama lain. Namun, bahasa hewan berlangsung secara fix meaning atau makna yang tetap dan turun-temurun tanpa perubahan. Sementara beda manusia adalah mampu memanipulasi simbol-simbol secara lebih rumit.

Nilai
Nilai adalah gagasan tentang apa yang baik, adil, layak, atau benar. Nilai dalam budaya masyarakat yang satu cenderung berbeda dengan nilai dalam masyarakat yang lain. Nilai berfungsi selaku pengatur agar individu-individu di dalam suatu masyarakat saling bekerja sama guna mencapai tujuan masyarakat secara keseluruhan. Atau, nilai memainkan peran penting akibat ia merupakan representasi kognitif (pengetahuan) seputar hasrat dan kebutuhan individual di satu sisi dengan tuntutan masyarakat di sisi lain. Nilai budaya yang membuat masyarakat satu berbeda dengan masyarakat lain seputar isu-isu hukuman mati, pernikahan sesama jenis, aborsi, euthanasia, penodaan agama, prostitusi, konsumsi alkohol, dan sejenisnya. Lebih lanjut, nilai merupakan suatu konsep yang luas dan multidefinisi. Sebab itu, kini akan dirangkum beberapa pengertian nilai sebagai berikut : 1. Nilai adalah keyakinan. Namun, nilai bukanlah tujuan atau gagasan yang kaku. Lebih dari itu, tatkala nilai telah diaktifkan ia kemudian dipengaruhi oleh perasaan.

2. Nilai mengacu pada tujuan yang diinginkan (misalnya kesetaraan) dan tata cara bagaimana mencapai tujuan tersebut (misalnya saling bantu, fairplay).

3. Nilai mentransendensikan situasi dan tindakan tertentu. Kepatuhan, misalnya, adalah relevan tatkala ada di tempat kerja atau sekolah, ataupun keluarga. 4. Nilai memberikan standar guna mengarahkan pilihan atau evaluasi atas perilaku, orang, atau peristiwa.

5. Nilai diurutkan dari yang relatif penting dan seterusnya. Urutan perangkat nilai ini kemudian membentuk sistem prioritas nilai. Budaya dan individu dikarakteristikkan oleh sistem prioritas nilainya.

Salah satu kajian menarik diberikan Shalom H. Schwartz mengenai nilai-nilai yang bersifat lintas

budaya. Nilai-nilai yang yang dipergunakan tampak pada diagram di bawah ini :

Keterangan: 1. Universalism : pemahaman, apresiasi, toleransi, dan perlindungan bagi kesejahteraan untuk orang ataupun lingkungan.

2. Benevolence : preservasi dan penguatan kesejahteraan orang lain dengan mana ini dilakukan dalam aneka kontak personal.

3. Conformity: pengendali tindakan-tindakan, inklinasi, dan impuls yang mampu mengecewakan atau membuat marah orang lain serta melanggar ekspektasi (harapan) sosial atau norma.

4. Tradition : respek, komitmen, dan penerimaan atas kebiasaan serta gagasan bahwa suatu budaya atau agama berhak mengatur individu.

5. Security: keamanan, harmoni, dan stabilitas yang berhubungan dengan masyarakat, hubungan antarindividu, dan kedirian.

6. Power: penguasaan status sosial dan prestise, serta kendali atau dominasi atas orang maupun sumber daya.

7. Achievement: keberhasilan personal lewat unjuk kompetensi menurut suatu standar sosial.

8. Hedonism: kesenangan atau pemberian sensasi bagi diri sendiri.

9. Stimulation: daya tarik, novelty, dan tantangan dalam hidup.

10. Self-direction: pikiran dan tindakan bebas dalam memilih, mengkreasi, dan menjelajah.

Pertama, menurut Schwartz, di setiap kebudayaan nilai-nilai individual terletak di sepanjang dimensi self-enhancement hingga self-transcendence. Dimensi-dimensi ini merefleksikan penjarakan antara nilai yang diorientasikan pada pengejaran self-interest (kepentingan pribadi) dan nilai yang diorientasikan demi kesejahteraan orang lain. Kedua, dimensi-dimensi mengkontraskan openess to change (keterbukaan untuk berubah) dengan conservation (kecenderungan memelihara yang ada). Openess to change adalah apa yang memotivasi orang untuk mengejar kepentingan emosional dan intelektual dalam jalur-jalur yang tidak menentu dan tidak bisa dipastikan. Sementara conservation adalah kecenderungan memelihara status quo (kondisi saat ini) dan kemenentuan yang disediakan oleh status quo dalam berhubungan secara erat dengan individu, organisi, dan tradisi lain. Temuan yang dihasilkan Schwartz misalnya, bangsa-bangsa di Asia Timur lebih menekankan pada nilai hirarki dan konservatisme. Bangsa-bangsa Eropa lebih menekankan pada otonomi individual dan egalitarianisme. Bangsa-bangsa yang bermoyang Anglo-Saxon (Inggris, Amerika Serikat, Australia) jatuh di antara ekstrimitas berikut: pada satu sisi menekankan pada penguasaan dan otonomi tetapi juga hirarki dalam mana ini bisa menjelaskan besarnya toleransi orang-orang Anglo-Saxon akan perbedaan penghasilan di negara semisal Amerika Serikat.

Norma
Nilai menyediakan gagasan atau keyakinan tentang suatu perilaku, tetapi tidak menyatakan secara tegas bagaimana kita harus berperilaku. Norma, di sisi lain, punya fungsi seputar bagaimana satu individu harus berperilaku. Norma adalah aturan-aturan mapan tentang standar perilaku atau standar bertindak. Norma terdiri atas Prescriptive Norm dan Proscriptive Norm. Prescriptive Norm mengatur perilaku apa saja yang dianggap memang semestinya dan diterima. Contoh, orang yang berhasil menghasilkan sejumlah uang diharapkan menghitung pajak dan membayarkannya. Norma-norma yang didasarkan pada kebiasaan mengharuskan kita segera membantu membukakan pintu bagi orang yang membawa beban berat. Proscriptive Norm menyatakan apa perilaku yang tidak semestinya atau tidak diterima. Hukum yang melarang kita untuk tidak melampaui batas kecepatan mengemudi atau menyatakan tidak pantas berbicara di telepon genggam tatkala tengah belajar di kelas. Baik norma preskriptif maupun proskriptif beroperasi di setiap tingkatan masyarakat, baik dalam tindakan sehari-hari ataupun formulasi undang-undang di tingkat parlemen. Tingkat pentingnya norma-norma yang ada tidak pula selalu sama. Norma-norma yang dianggap penting dikodifikasi masyarakat secara tertulis (written). Sebab itu, menurut tingkat pentingnya, norma terbagi atas : Norma Formal dan Norma Informal. Norma Formal adalah norma yang dikodifikasi dalam kitab hukum resmi serta melibatkan sanksi tertentu bagi pelanggarnya. Hukum dan undang-undang adalah jenis umum dari Norma Tertulis ini. Sanksi adalah ganjaran bagi perilaku yang selaras keinginan masyarakat atau hukuman bagi perilaku yang melanggarnya. Sanksi terdiri atas Sanksi Positif dan Sanksi Negatif. Contoh sanksi positif adalah pujian, penghormatan, atau medali bagi konformitas atas suatu norma. Sementara Sanksi Negatif berkisar dari ketidaksetujuan yang halus hingga hukuman mati. Norma Informal adalah norma yang dianggap tidak terlalu penting, bersifat tidak tertulis, dan merupakan standar perilaku yang dipahami orang-orang yang saling berbagi identitas yang sama. Tatkala seseorang melanggar norma informal, orang lain kemungkinan hanya akan menimpakan sanksi informal. Misalnya, seseorang yang lupa bersalaman di dalam komunitas yang biasa bersalaman tatkala bertemu, seorang yang buang angin di dalam ruangan hening dan penuh, membiarkan wanita hamil berdiri sementara seorang lelaki perkasa asik duduk terkantuk-kantuk dalam bis yang penuh sesak, dan seterusnya dan seterusnya. Folkways adalah norma informal atau kebiasaan sehari-hari yang mungkin dilanggar tanpa konsekuensi serius dalam satu budaya tertentu. Folkways menyediakan aturan untuk bertindak tetapi tidak dianggap esensial bagi kelangsungan hidup suatu masyarakat. Di Amerika Serikat, folkways termasuk menggunakan deodoran untuk mencegah bau ketiak, menyikat gigi agar tidak kuning dan bau, serta menggunakan pakaian yang semestinya bagi suatu acara. Folkways tidak berusaha ditegakkan secara serius oleh masyarakat, tatkala terjadi pelanggaran (misalnya bau ketiak seseorang yang menyebar di suatu ruangan), sanksi yang diberikan adalah halus semisal menghindari bicara, menunjukkan gerak-gerik tidak betah dan sejenisnya dan sejenisnya.

Termasuk ke dalam folkways adalah kebiasaan mengetuk pintu sebelum masuk ke suatu ruangan. Mores adalah norma yang dianggap lebih tinggi dan penting bagi stabilitas suatu masyarakat. Mores adalah suatu budaya tertentu yang diidentikan dengan masalah moral dan etika yang pelanggarnya akan menghadapi sanksi yang cukup serius. Mores dibangun berdasar nilai-nilai budaya suatu masyarakat, pelanggarnya menghadapi Sanksi Negatif yang cukup keras semisal pemecatan dan pemenjaraan. Masuk ke dalam kategori Mores ini adalah Tabu. Tabu adalah Mores yang sangat kuat yang pelanggarnya dianggap melakukan penyerangan dan tidak boleh dibicarakan. Pelanggaran Tabu menghadapi hukuman tidak hanya oleh masyarakat tetapi juga, pada budaya tertentu, oleh kekuatan Supernatural. Misal dari Tabu ini adalah inses (perkawinan sedarah) dan cukup bersifat universal. Law (hukum) adalah norma formal yang distandardisasi serta dibuat oleh legislatif suatu masyarakat dan dijalankan dengan sanksi-sanksi formal. Hukum terdiri atas hukum perdata dan hukum pidana. Hukum perdata bicara tentang pertikaian orang atau antar kelompok. Sanksi bagi hukum perdata biasanya adalah pembayaran denda kepada pihak pemenang pertikaian. Sebaliknya hukum pidana bicara tentang keamanan dan kehidupan masyarakat. Tatkala hukum pidana dilanggar, denda, penjara, dan hukuman mati biasanya merupakan Sanksi Negatifnya.

Folk Culture, High Culture, Popular Culture, dan Mass Culture


Studi Sistem Budaya Indonesia memerlukan sebuah peta guna meletakkan kajiannya. Peta tersebut berguna untuk meletakkan konteks suatu pembicaraa. Kajian Sistem Budaya Indonesia nantinya akan mengarah pada budaya-budaya spesifik yang berkembang di seantero wilayah Indonesia. Namun, kini pun budaya Indonesia tengah mengalami perubahan. Perubahanperubahan tersebut terjadi selaras dengan teori faktor pengaruh budaya yang telah disebut oleh Matsumoto dan Juang di bagian awal tulisan. Peta Budaya dimaksudkan untuk memilah bahwa konsep Budaya (Culture) telah berkembang semakin canggih dan bervariasi. Budaya, jika kita pahami sebagai warisan turun-temurun nenek moyang adalah tetap ada. Namun, kini pun berkembang budaya-budaya baru seiring tumbuhnya inovasi teknologi dan industrialisasi di seluruh penjuru dunia, utamanya teknologi produksi massal dan perkembangan media massa. Banyak istilah-istilah yang muncul sehubungan dengan budaya semisal : berbudaya, tidak berbudaya, budaya tinggi, budaya rendah, folk art, budaya populer (popular culture), budaya massa (mass culture), dan sebagainya. Tulisan kemudian dilanjutkan guna menelusuri konsep-konsep ini. Namun, untuk keperluan tulisan ini, penulis akan mempertentangkan 4 buah konsep budaya saja yaitu : (1) Folk Culture; (2) High Culture; (3) Popular Culture; dan (4) Mass Culture. Kathy S. Stolley menyebutkan bahwa tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan. Masyarakat pasti

memiliki budaya. Namun, dalam benak sejumlah orang terkadang ada pertentangan antara apa yang dimaksud dengan budaya tinggi (high culture) dengan budaya rendah (low culture). Istilah low culture ini kurang pula tepat secara etika karena berkonotasi buruk sehingga istilah yang lebih tepat adalah Popular Culture (budaya populer). Bagi Stolley, High Culture adalah manifestasi komponen material dan non material budaya yang dikaitkan dengan elit sosial. Jadi, dapat dikatakan jika kita membicarakan mengenai budaya tinggi (high culture) asosiasi kita tertuju pada manifestasi budaya yang dilakukan kalangan elit masyarakat. Misal dari manifestasi tersebut adalah musik klasik, galeri seni, pertunjukkan opera, literatur filsafat atau ilmiah, produksi anggur, atau jamuan-jamuan makan. Aktivitas dalam budaya tinggi tidak terbuka bagi seluruh anggota masyarakat akibat beberapa alasan. Tingginya harga tiket yang dibayarkan untuk menonton pertujukan konser musik klasik mustahil terjangkau oleh warga dengan kelas ekonomi menengah ke bawah. Demikian pula, literatur filsafat dan ilmiah, kendati banyak tersedia di toko-toko buku, tetapi kerumitas isi dan ketidakfamiliaran bahasa membuat warga awam emoh mengkonsumsinya. Budaya tinggi disebut elit akibat hanya segelintir individu di dalam masyarakat yang dapat mengecapnya. Lawan dari high culture adalah popular culture (budaya populer). Budaya populer terdiri atas segala aktivitas yang tersebar luas di dalam sebuah kebudayaan, dengan daya tarik dan tersedianya akses bagi seluruh orang, dan digandrungi oleh sejumlah besar orang lintas kelas sosial. Contoh dari budaya populer ini adalah restoran fast-food (Kentucky Fried Chicken, Pizza Hut, Warung Tegal, Rumah Makan Padang, McDonald, komedi-komedi situasi di televisi, novelnovel best seller (Davinci Code, Malaikat dan Iblis, atau novel-novel karya Mira W.), konser musik pop dan rock, dan sejenisnya. Dalam konteks budaya populer ini, salah satu varian konsep yang berhasil dikembangkan adalah McDonalization. Istilah McDonalization dipopulerkan oleh George Ritzer tahun 1993 lewat tulisannya The McDonalization of Society. Ritzer mendefinisikan McDonalization sebagai ... the process by which the principles of the fast-food restaurant are coming to dominate more and more sectors of American society as well as of the rest of the world. Fenomena McDonalization tidak hanya berlangsung di Amerika Serikat, melainkan juga di seluruh belahan dunia lain dalam mana beroperasi franchise-franchise McDonald, Pizza Hut, Hoka-hoka Bento, dan sejenisnya, termasuk Indonesia. Ritzer berargumentasi bahwa McDonalization tidak hanya berpusar di aspek jual-beli makanan cepat saji belaka, melainkan juga merambah ke aspek pendidikan (training pekerja, koki, manajemen penjualan), work (aturan kerja, manajemen pekerjaan harian), kesehatan (dampak makanan cepat saji atas kesehatan), travel (perjalanan dari satu franchise ke franchise lain, termasuk transportasi dan masalahnya), pemanfaatan waktu luang (pertemuan antarorang di restoran cepat saji), dieting (obesitas anak-anak, kolesterol, diabetes), politics (imperialisme ekonomi Amerika lewat salah satu MNC-nya), keluarga (pola kegiatan memasak dan keakraban keluarga di sela pengaruh restoran cepat saji), dan kegiatan-kegiatan orang lainnya di seputar McDonald. Samakah budaya populer (popular culture) dengan budaya massa (mass culture) ? Pertama-tama

akan kita bahas terlebih dahulu masalah budaya populer. Marcel Danesi dalam bukunya Popular Culture : Introductory Perspective menyatakan bahwa konsep budaya populer muncul di Amerika Serikat sejak 1950-an tatkala negara tersebut diterpa oleh wabah hippie, disco, punk, hip-hop, dan sejenisnya. Sama seperti Stolley, Danesi mengkontraskan pemahaman tentang Budaya Populer dengan High Culture (budaya tinggi) dengan sebelumnya membuat peringkat budaya (levels of culture). Budaya populer adalah budaya yang meminimalkan sekat perbedaan kelas sosial, edukasi, atau variabel masyarakat lainnya yang membatasi kesempatan orang dalam mempraktekkan suatu budaya. Seorang sosiolog yang termasuk paling awal mempermasalahkan konsep popular culture dan mass culture ini adalah Dwight Macdonald dalam tulisannya Masscult & Midcult yang terbit tahun 1960. Macdonald melihat terdapat 4 kategori budaya yaitu folk culture, mass culture (popular culture), midcult, dan high culture. Selanjutnya, Macdonald menulis : Up to then, there was only High Culture and Folk Art. To some extent, Masscult is a continuation of Folk Art, but the differences are more striking than te similarities. Folk Art grew mainly from below, an autochthonous product shaped by the people to fit their own needs, even though it often took its cue from High Culture. Masscult comes from above. It is fabricated by technicians hired by businessmen. They try this and try that and if something clicks at the box office, they try to cash in with similar products .... Folk Art was the peoples own institution, their private little kitchen-garden walled off from the great formal park of their masters. But Masscult breaks down the wall, integrating te masses into a debased form of High Culture and tus becoming an instrument of domination. If one had no other data to go on. Masscult would expose capitalism as a class society rather than the harmonious commonwealth that in election year, both parties tell us it is ... Dalam hal ini, Macdonald mempersamakan antara Popular Culture dengan Mass Culture. Namun, pandangan ini belum-lah fixed oleh sebab pada perkembangan selanjut, bermunculan tulisan-tulisan yang mengkrisinya. Popular Culture tidaklah identik dengan Mass Culture, kendati Mass Culture dapat menghegemoni popular culture menjadi sekadar komoditas dagangan. Lewat pendapat Macdonald yang dicuplik di atas, Mass Culture adalah dirancang dari atas oleh kaum bisnisindustrialis yang mengkomersialisasi budaya ----baik folk culture, high culture--- guna menghasilkan uang dan dapat dipasarkan secara luas. Salah satu penafsiran atas tulisan Macdonald salah satunya dibuat oleh Dominic Strinati. Strinati membahas konsep popular culture dan mass culture sebagai berikut : ... we can say that mass culture refers to popular culture which is produced by the industrial techniques of mass production, and marketed for profit to a mass public of consumers. It is commercial culture, mass produced for a mass market. Its growth means there is less room for any culture which cannot make money, and which cannot be mass produced for a mass market, such as art and folk culture. This also indicated how mass culture theory can be understood as a response to the industrialisation and commercialisation of popular culture ....

Dari pendapat Strinati di atas, ternyata popular culture dan mass culture adalah 2 entitas yang berbeda. Seperti telah diungkap Stolley di bagian awal tulisan, popular culture merupakan lawan dari High Culture yang elitis. Peluang komersialisasi High Culture adalah lebih kecil tinimbang popular culture. Sebab itu kaum bisnis-industrialis lebih melirik komersialisasi popular culture karena pendukung dan penikmat budaya ini jauh lebih besar dan luas melintasi segala sekat sosial. Tiba kini kita berpindah ke pendapat dari John G. Nachbar. Nachbar mendefinisikan popular culture sebagai berikut : If we combine our previous definition of popular with the cameras view of culture then we have a popular culture which refers to the products of human work and thought which are (or have been) accepted and approved of by a large community of population. This definition ignores notions of quality in the culture ... Popular culture forms the vast majority of the artifacts and events which compose our daily lives but it does no consist of our entire culture. Nachbar and Klause kemudian menjelaskan ke konsep budaya yang telah disebut oleh Macdonald sebagai Folk Culture. Menurut keduanya, folk culture : ... refers to the products of human work and thought (culture) that have developed within a limited community and that are communicated directly from generation to generation, between folk who are familiar to each other. The means of communication usually oral, the author or creator of the artifact of event is often unknown ... and is typically simple both thematically and technologically. Kita bicara soal folk culture tatkala membahas resep kue dari nenek, bagaimana merawat bayi dengan membedong, menaruh gunting dan bangle di bawah bantal bayi (termasuk sapu lidi), dan sejenisnya. Folk culture berkembang turun-temurun hampir tanpa nuansa komersialisasi. Selain folk culture, Nachbar dan Klause juga bicara tentang High Culture yang mereka sebut sebagai Elite Culture. Menurut keduanya High Culture adalah : ... refers to the products of human work and thought produced by and for a limited number of people who haave specialized interest, training or knowledge ... The elite artist is known by the audience, and his identity is vital to understanding and appreciating his work the artist is using his art to express his unique interpretaion of the world (of society of all of reality) and the more we know about him the more meaningful his work becomes ... Selanjutnya, Nachbar and Klause mempresentasikan taksonomi yang membedakan antara Popular Culture, Folk Culture, dan High Culture :

Dari pandangan di atas, tampak bahwa popular culture adalah konsep budaya yang paling potensial untuk menjadi Mass Culture (budaya massa). Sebab itu, banyak penulis kerap melakukan pergantian kata mass dengan popular untuk mengapresiasi perkembangan budaya-budaya kontemporer. Tatkala kita bicara tentang produk-produk mass culture, maka sesungguhnya kita bicara tentang popular culture yang dieksploitasi dan dikomersialisasi.

Konsep-konsep Budaya dan Sistem Budaya Indonesia


Jelaslah bahwa kajian sistem budaya Indonesia berlangsung dalam aras Folk Culture. Telah umum diketahui, bahwa budaya Indonesia tumbuh di wilayah-wilayah yang tersekat oleh perairan dan pegunungan. Bangsa Indonesia terkotak-kotak dalam sekat-sekat lingkungan sehingga masing-masing mengembangkan budaya mereka sendiri yang berbeda satu sama lain. Pengakuan perbedaan ini ada dalam slogan Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda tetapi tetap satu jua. Budaya di masing-masing wilayah Indonesia bertahan secara turun-temurun. Dari orang tua kepada anak, yang bahkan diperkuat dengan pembentukan dewan-dewan budaya daerah. Namun, berkembangnya ekonomi kapitalis lewat proses industrialisasi dan peralihan dari masyarakat agrikultural ke arah masyarakat industri, membuat folk-folk culture tersebut menghadapi persaingan. Audiens dari suatu folk culture Indonesia adalah warga primordial wilayah. Misalnya, mereka yang mempraktekkan tari pendet biasanya adalah orang Bali karena unsurunsur di dalam Tari Pendet kental nuansa ajaran dan tatakrama Bali. Namun, kini audiens dari Tari Pendet memiliki pilihan akibat berkembangnya teknologi media massa. Audiens Tari Pendet kemungkin mengalihkan perhatiannya menganut seni pop, rock, ataupun disco yang disebar lewat media. Tari Pendet kehilangan daya tarik dan kemudian menjadi sekadar High Culture karena kerumitan berpakaian dan gerakan tinimbang musik rock, disco atau pop. Terlebih, musik rock, disco, dan pop didukung oleh industrialis rekaman yang menyebarkan VCD/DVD musik-musik tersebut dengan harga murah (karena bajakan biasanya).

Akibatnya, pemuda-pemudi Bali lebih paham musik-musik mass culture tersebut tinimbang Tari Pendet yang asli Bali sendiri. Sebab itu, kajian sistem budaya Indonesia selain yang terpokok mengeksplorasi folk culture di Indonesia, juga akan membahas aneka budaya populer yang mengalami massifikasi menjadi mass culture yang pelan tetapi pasti menghegemoni folk-folk culture di Indonesia.

A. GLOBALISASI DAN BUDAYA Gaung globalisasi, yang sudah mulai terasa sejak akhir abad ke-20, telah membuat masyarakat dunia, termasuk bangsa Indonesia harus bersiap-siap menerima kenyataan masuknya pengaruh luar terhadap seluruh aspek kehidupan bangsa. Salah satu aspek yang terpengaruh adalah kebudayaan. Terkait dengan kebudayaan, kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Atau kebudayaan juga dapat didefinisikan sebagai wujudnya, yang mencakup gagasan atau ide, kelakuan dan hasil kelakuan (Koentjaraningrat), dimana hal-hal tersebut terwujud dalam kesenian tradisional kita. Oleh karena itu nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan atau psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem dari kebudayaan Bagi bangsa Indonesia aspek kebudayaan merupakan salah satu kekuatan bangsa yang memiliki kekayaan nilai yang beragam, termasuk keseniannya. Kesenian rakyat, salah satu bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia tidak luput dari pengaruh globalisasi. Globalisasi dalam kebudayaan dapat berkembang dengan cepat, hal ini tentunya dipengaruhi oleh adanya kecepatan dan kemudahan dalam memperoleh akses komunikasi dan berita namun hal ini justru menjadi bumerang tersendiri dan menjadi suatu masalah yang paling krusial atau penting dalam globalisasi, yaitu kenyataan bahwa perkembangan ilmu pengertahuan dikuasai oleh negara-negara maju, bukan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Mereka yang memiliki dan mampu menggerakkan komunikasi internasional justru negara-negara maju. Akibatnya, negara-negara berkembang, seperti Indonesia selalu khawatir akan tertinggal dalam arus globalisai dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, termasuk kesenian kita. Wacana globalisasi sebagai sebuah proses ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga ia mampu mengubah dunia secara mendasar. Komunikasi dan transportasi internasional telah menghilangkan batas-batas budaya setiap bangsa. Kebudayaan setiap bangsa cenderung mengarah kepada globalisasi dan menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh. Simon Kemoni, sosiolog asal Kenya mengatakan bahwa globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Dalam proses alami ini, setiap bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka dengan perkembangan baru sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan menghindari kehancuran. Tetapi, menurut Simon Kimoni, dalam proses ini, negara-negara harus memperkokoh dimensi budaya mereka dan memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya asing. Dalam rangka ini, berbagai bangsa haruslah mendapatkan informasi ilmiah yang bermanfaat dan menambah pengalaman mereka. Terkait dengan seni dan budaya, Seorang penulis asal Kenya bernama Ngugi Wa Thiongo menyebutkan bahwa perilaku dunia Barat, khususnya Amerika seolah-olah sedang melemparkan bom budaya terhadap rakyat dunia. Mereka berusaha untuk menghancurkan tradisi dan bahasa pribumi sehingga bangsa-bangsa tersebut kebingungan dalam upaya mencari indentitas budaya nasionalnya. Penulis Kenya ini meyakini bahwa budaya asing yang

berkuasa di berbagai bangsa, yang dahulu dipaksakan melalui imperialisme, kini dilakukan dalam bentuk yang lebih luas dengan nama globalisasi. B. GLOBALISASI DALAM KEBUDAYAAN TRADISIONAL DI INDONESIA Proses saling mempengaruhi adalah gejala yang wajar dalam interaksi antar masyarakat. Melalui interaksi dengan berbagai masyarakat lain, bangsa Indonesia ataupun kelompokkelompok masyarakat yang mendiami nusantara (sebelum Indonesia terbentuk) telah mengalami proses dipengaruhi dan mempengaruhi. Kemampuan berubah merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa itu kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang senantiasa berubah. Perubahan yang terjadi saat ini berlangsung begitu cepat. Hanya dalam jangka waktu satu generasi banyak negaranegara berkembang telah berusaha melaksanakan perubahan kebudayaan, padahal di negara-negara maju perubahan demikian berlangsung selama beberapa generasi. Pada hakekatnya bangsa Indonesia, juga bangsa-bangsa lain, berkembang karena adanya pengaruh-pengaruh luar. Kemajuan bisa dihasilkan oleh interaksi dengan pihak luar, hal inilah yang terjadi dalam proses globalisasi. Oleh karena itu, globalisasi bukan hanya soal ekonomi namun juga terkait dengan masalah atau isu makna budaya dimana nilai dan makna yang terlekat di dalamnya masih tetap berarti.. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dalam berbagai hal, seperti anekaragaman budaya, lingkungan alam, dan wilayah geografisnya. Keanekaragaman masyarakat Indonesia ini dapat dicerminkan pula dalam berbagai ekspresi keseniannya. Dengan perkataan lain, dapat dikatakan pula bahwa berbagai kelompok masyarakat di Indonesia dapat mengembangkan keseniannya yang sangat khas. Kesenian yang dikembangkannya itu menjadi model-model pengetahuan dalam masyarakat. C. PERUBAHAN BUDAYA DALAM GLOBALISASI ; KESENIAN YANG BERTAHAN DAN YANG TERSISIHKAN Perubahan budaya yang terjadi di dalam masyarakat tradisional, yakni perubahan dari masyarakat tertutup menjadi masyarakat yang lebih terbuka, dari nilai-nilai yang bersifat homogen menuju pluralisme nilai dan norma social merupakan salh satu dampak dari adanya globalisasi. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah dunia secara mendasar. Komunikasi dan sarana transportasi internasional telah menghilangkan batasbatas budaya setiap bangsa. Kebudayaan setiap bangsa cenderung mengarah kepada globalisasi dan menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh. Misalnya saja khusus dalam bidang hiburan massa atau hiburan yang bersifat masal, makna globalisasi itu sudah sedemikian terasa. Sekarang ini setiap hari kita bisa menyimak tayangan film di tv yang bermuara dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea, dll melalui stasiun televisi di tanah air. Belum lagi siaran tv internasional yang bisa ditangkap melalui parabola yang kini makin banyak dimiliki masyarakat Indonesia. Sementara itu, kesenian-kesenian populer lain yang tersaji melalui kaset, vcd, dan dvd yang berasal dari manca negara pun makin marak kehadirannya di tengah-tengah kita. Fakta yang demikian memberikan bukti tentang betapa negara-negara penguasa teknologi mutakhir telah berhasil memegang kendali dalam globalisasi budaya khususnya di negara ke tiga. Peristiwa transkultural seperti itu mau tidak mau akan

berpengaruh terhadap keberadaan kesenian kita. Padahal kesenian tradisional kita merupakan bagian dari khasanah kebudayaan nasional yang perlu dijaga kelestariannya. Di saat yang lain dengan teknologi informasi yang semakin canggih seperti saat ini, kita disuguhi oleh banyak alternatif tawaran hiburan dan informasi yang lebih beragam, yang mungkin lebih menarik jika dibandingkan dengan kesenian tradisional kita. Dengan parabola masyarakat bisa menyaksikan berbagai tayangan hiburan yang bersifat mendunia yang berasal dari berbagai belahan bumi. Kondisi yang demikian mau tidak mau membuat semakin tersisihnya kesenian tradisional Indonesia dari kehidupan masyarakat Indonesia yang sarat akan pemaknaan dalam masyarakat Indonesia. Misalnya saja bentuk-bentuk ekspresi kesenian etnis Indonesia, baik yang rakyat maupun istana, selalu berkaitan erat dengan perilaku ritual masyarakat pertanian. Dengan datangnya perubahan sosial yang hadir sebagai akibat proses industrialisasi dan sistem ekonomi pasar, dan globalisasi informasi, maka kesenian kita pun mulai bergeser ke arah kesenian yang berdimensi komersial. Kesenian-kesenian yang bersifat ritual mulai tersingkir dan kehilangan fungsinya. Sekalipun demikian, bukan berarti semua kesenian tradisional kita lenyap begitu saja. Ada berbagai kesenian yang masih menunjukkan eksistensinya, bahkan secara kreatif terus berkembang tanpa harus tertindas proses modernisasi. Pesatnya laju teknologi informasi atau teknologi komunikasi telah menjadi sarana difusi budaya yang ampuh, sekaligus juga alternatif pilihan hiburan yang lebih beragam bagi masyarakat luas. Akibatnya masyarakat tidak tertarik lagi menikmati berbagai seni pertunjukan tradisional yang sebelumnya akrab dengan kehidupan mereka. Misalnya saja kesenian tradisional wayang orang Bharata, yang terdapat di Gedung Wayang Orang Bharata Jakarta kini tampak sepi seolah-olah tak ada pengunjungnya. Hal ini sangat disayangkan mengingat wayang merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional Indonesia yang sarat dan kaya akan pesan-pesan moral, dan merupakan salah satu agen penanaman nilai-nilai moral yang baik, menurut saya. Contoh lainnya adalah kesenian Ludruk yang sampai pada tahun 1980-an masih berjaya di Jawa Timur sekarang ini tengah mengalami mati suri. Wayang orang dan ludruk merupakan contoh kecil dari mulai terdepaknya kesenian tradisional akibat globalisasi. Bisa jadi fenomena demikian tidak hanya dialami oleh kesenian Jawa tradisional, melainkan juga dalam berbagai ekspresi kesenian tradisional di berbagai tempat di Indonesia. Sekalipun demikian bukan berarti semua kesenian tradisional mati begitu saja dengan merebaknya globalisasi. Di sisi lain, ada beberapa seni pertunjukan yang tetap eksis tetapi telah mengalami perubahan fungsi. Ada pula kesenian yang mampu beradaptasi dan mentransformasikan diri dengan teknologi komunikasi yang telah menyatu dengan kehidupan masyarakat, misalnya saja kesenian tradisional Ketoprak yang dipopulerkan ke layar kaca oleh kelompok Srimulat. Kenyataan di atas menunjukkan kesenian ketoprak sesungguhnya memiliki penggemar tersendiri, terutama ketoprak yang disajikan dalam bentuk siaran televisi, bukan ketoprak panggung. Dari segi bentuk pementasan atau penyajian, ketoprak termasuk kesenian tradisional yang telah terbukti mampu beradaptasi dengan perubahan zaman. Selain ketoprak masih ada kesenian lain yang tetap bertahan dan mampu beradaptasi dengan teknologi mutakhir yaitu wayang kulit. Beberapa dalang wayang kulit terkenal seperti Ki Manteb Sudarsono dan Ki Anom Suroto tetap diminati masyarakat, baik itu kaset rekaman pementasannya, maupun pertunjukan secara langsung. Keberanian stasiun televisi Indosiar yang sejak beberapa tahun lalu menayangkan wayang kulit setiap malam minggu cukup sebagai bukti akan besarnya minat masyarakat terhadap salah satu khasanah kebudayaan nasional kita.

Bahkan Museum Nasional pun tetap mempertahankan eksistensi dari kesenian tradisonal seperti wayang kulit dengan mengadakan pagelaran wayang kulit tiap beberapa bulan sekali dan pagelaran musik gamelan tiap satu minggu atau satu bulan sekali yang diadakan di aula Kertarajasa, Museum Nasional. D. PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP BUDAYA BANGSA Arus globalisasi saat ini telah menimbulkan pengaruh terhadap perkembangan budaya bangsa Indonesia . Derasnya arus informasi dan telekomunikasi ternyata menimbulkan sebuah kecenderungan yang mengarah terhadap memudarnya nilai-nilai pelestarian budaya. Perkembangan 3T (Transportasi, Telekomunikasi, dan Teknologi) mengkibatkan berkurangnya keinginan untuk melestarikan budaya negeri sendiri . Budaya Indonesia yang dulunya ramah-tamah, gotong royong dan sopan berganti dengan budaya barat, misalnya pergaulan bebas. Di Tapanuli (Sumatera Utara) misalnya, duapuluh tahun yang lalu, anak-anak remajanya masih banyak yang berminat untuk belajar tari tor-tor dan tagading (alat musik batak). Hampir setiap minggu dan dalam acara ritual kehidupan, remaja di sana selalu diundang pentas sebagai hiburan budaya yang meriah. Saat ini, ketika teknologi semakin maju, ironisnya kebudayaan-kebudayaan daerah tersebut semakin lenyap di masyarakat, bahkan hanya dapat disaksikan di televisi dan Taman Mini Indonesi Indah (TMII). Padahal kebudayaan-kebudayaan daerah tersebut, bila dikelola dengan baik selain dapat menjadi pariwisata budaya yang menghasilkan pendapatan untuk pemerintah baik pusat maupun daerah, juga dapat menjadi lahan pekerjaan yang menjanjikan bagi masyarakat sekitarnya. Hal lain yang merupakan pengaruh globalisasi adalah dalam pemakaian bahasa indonesia yang baik dan benar (bahasa juga salah satu budaya bangsa). Sudah lazim di Indonesia untuk menyebut orang kedua tunggal dengan Bapak, Ibu, Pak, Bu, Saudara, Anda dibandingkan dengan kau atau kamu sebagai pertimbangan nilai rasa. Sekarang ada kecenderungan di kalangan anak muda yang lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dialek Jakarta seperti penyebutan kata gue (saya) dan lu (kamu). Selain itu kita sering dengar anak muda mengunakan bahasa Indonesia dengan dicampur-campur bahasa inggris seperti OK, No problem dan Yes, bahkan katakata makian (umpatan) sekalipun yang sering kita dengar di film-film barat, sering diucapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata ini disebarkan melalui media TV dalam film-film, iklan dan sinetron bersamaan dengan disebarkannya gaya hidup dan fashion . Gaya berpakaian remaja Indonesia yang dulunya menjunjung tinggi norma kesopanan telah berubah mengikuti perkembangan jaman. Ada kecenderungan bagi remaja putri di kota-kota besar memakai pakaian minim dan ketat yang memamerkan bagian tubuh tertentu. Budaya perpakaian minim ini dianut dari film-film dan majalahmajalah luar negeri yang ditransformasikan kedalam sinetron-sinetron Indonesia . Derasnya arus informasi, yang juga ditandai dengan hadirnya internet, turut serta `menyumbang` bagi perubahan cara berpakaian. Pakaian mini dan ketat telah menjadi trend dilingkungan anak muda. Salah satu keberhasilan penyebaran kebudayaan Barat ialah meluasnya anggapan bahwa ilmu dan teknologi yang berkembang di Barat merupakan suatu yang universal. Masuknya budaya barat (dalam kemasan ilmu dan teknologi) diterima dengan `baik`. Pada sisi inilah globalisasi telah merasuki berbagai sistem nilai sosial dan budaya Timur (termasuk Indonesia ) sehingga terbuka pula konflik nilai antara teknologi dan nilai-nilai ketimuran.

E. TINDAKAN YANG MENDORONG TIMBULNYA GLOBALISASI KEBUDAYAAN DAN CARA MENGANTISIPASI ADANYA GLOBALISASI KEBUDAYAAN Peran kebijaksanaan pemerintah yang lebih mengarah kepada pertimbanganpertimbangan ekonomi daripada cultural atau budaya dapat dikatakan merugikan suatu perkembangan kebudayaan. Jennifer Lindsay (1995) dalam bukunya yang berjudul Cultural Policy And The Performing Arts In South-East Asia, mengungkapkan kebijakan kultural di Asia Tenggara saat ini secara efektif mengubah dan merusak seniseni pertunjukan tradisional, baik melalui campur tangan, penanganan yang berlebihan, kebijakan-kebijakan tanpa arah, dan tidak ada perhatian yang diberikan pemerintah kepada kebijakan kultural atau konteks kultural. Dalam pengamatan yang lebih sempit dapat kita melihat tingkah laku aparat pemerintah dalam menangani perkembangan kesenian rakyat, di mana banyaknya campur tangan dalam menentukan objek dan berusaha merubah agar sesuai dengan tuntutan pembangunan. Dalam kondisi seperti ini arti dari kesenian rakyat itu sendiri menjadi hambar dan tidak ada rasa seninya lagi. Melihat kecenderungan tersebut, aparat pemerintah telah menjadikan para seniman dipandang sebagai objek pembangunan dan diminta untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan simbol-simbol pembangunan. Hal ini tentu saja mengabaikan masalah pemeliharaan dan pengembangan kesenian secara murni, dalam arti benar-benar didukung oleh nilai seni yang mendalam dan bukan sekedar hanya dijadikan model saja dalam pembangunan. Dengan demikian, kesenian rakyat semakin lama tidak dapat mempunyai ruang yang cukup memadai untuk perkembangan secara alami atau natural, karena itu, secara tidak langsung kesenian rakyat akhirnya menjadi sangat tergantung oleh model-model pembangunan yang cenderung lebih modern dan rasional. Sebagai contoh dari permasalahan ini dapat kita lihat, misalnya kesenian asli daerah Betawi yaitu, tari cokek, tari lenong, dan sebagainya sudah diatur dan disesuaikan oleh aparat pemerintah untuk memenuhi tuntutan dan tujuan kebijakan-kebijakan politik pemerintah. Aparat pemerintah di sini turut mengatur secara normatif, sehingga kesenian Betawi tersebut tidak lagi terlihat keasliannya dan cenderung dapat membosankan. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak dikehendaki terhadap keaslian dan perkembangan yang murni bagi kesenian rakyat tersebut, maka pemerintah perlu mengembalikan fungsi pemerintah sebagai pelindung dan pengayom kesenian-kesenian tradisional tanpa harus turut campur dalam proses estetikanya. Memang diakui bahwa kesenian rakyat saat ini membutuhkan dana dan bantuan pemerintah sehingga sulit untuk menghindari keterlibatan pemerintah dan bagi para seniman rakyat ini merupakan sesuatu yang sulit pula membuat keputusan sendiri untuk sesuai dengan keaslian (oroginalitas) yang diinginkan para seniman rakyat tersebut. Oleh karena itu pemerintah harus melakoni dengan benar-benar peranannya sebagai pengayom yang melindungi keaslian dan perkembangan secara estetis kesenian rakyat tersebut tanpa harus merubah dan menyesuaikan dengan kebijakan-kebijakan politik. Globalisasi informasi dan budaya yang terjadi menjelang millenium baru seperti saat ini adalah sesuatu yang tak dapat dielakkan. Kita harus beradaptasi dengannya karena banyak manfaat yang bisa diperoleh. Harus diakui bahwa teknologi komunikasi sebagai salah produk dari modernisasi bermanfaat besar bagi terciptanya dialog dan demokratisasi budaya secara masal dan merata. Globalisasi mempunyai dampak yang besar terhadap budaya. Kontak budaya melalui media massa menyadarkan dan memberikan informasi tentang keberadaan nilai-nilai

budaya lain yang berbeda dari yang dimiliki dan dikenal selama ini. Kontak budaya ini memberikan masukan yang penting bagi perubahan-perubahan dan pengembanganpengembangan nilai-nilai dan persepsi dikalangan masyarakat yang terlibat dalam proses ini. Kesenian bangsa Indonesia yang memiliki kekuatan etnis dari berbagai macam daerah juga tidak dapat lepas dari pengaruh kontak budaya ini. Sehingga untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap perubahan-perubahan diperlukan pengembanganpengembangan yang bersifat global namun tetap bercirikan kekuatan lokal atau etnis. Globalisasi budaya yang begitu pesat harus diantisipasi dengan memperkuat identitas kebudayaan nasional. Berbagai kesenian tradisional yang sesungguhnya menjadi aset kekayaan kebudayaan nasional jangan sampai hanya menjadi alat atau slogan para pemegang kebijaksanaan, khususnya pemerintah, dalam rangka keperluan turisme, politik dsb. Selama ini pembinaan dan pengembangan kesenian tradisional yang dilakukan lembaga pemerintah masih sebatas pada unsur formalitas belaka, tanpa menyentuh esensi kehidupan kesenian yang bersangkutan. Akibatnya, kesenian tradisional tersebut bukannya berkembang dan lestari, namun justru semakin dijauhi masyarakat. Dengan demikian, tantangan yang dihadapi oleh kesenian rakyat cukup berat. Karena pada era teknologi dan komunikasi yang sangat canggih dan modern ini masyarakat dihadapkan kepada banyaknya alternatif sebagai pilihan, baik dalam menentukan kualitas maupun selera. Hal ini sangat memungkinkan keberadaan dan eksistensi kesenian rakyat dapat dipandang dengan sebelah mata oleh masyarakat, jika dibandingkan dengan kesenian modern yang merupakan imbas dari budaya pop. Untuk menghadapi hal-hal tersebut di atas ada beberapa alternatif untuk mengatasinya, yaitu meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM ) bagi para seniman rakyat. Selain itu, mengembalikan peran aparat pemerintah sebagai pengayom dan pelindung, dan bukan sebaliknya justru menghancurkannya demi kekuasaan dan pembangunan yang berorientasi pada dana-dana proyek atau dana-dana untuk pembangunan dalam bidang ekonomi saja BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN Pengaruh globalisasi disatu sisi ternyata menimbulkan pengaruh yang negatif bagi kebudayaan bangsa Indonesia . Norma-norma yang terkandung dalam kebudayaan bangsa Indonesia perlahan-lahan mulai pudar. Gencarnya serbuan teknologi disertai nilainilai interinsik yang diberlakukan di dalamnya, telah menimbulkan isu mengenai globalisasi dan pada akhirnya menimbulkan nilai baru tentang kesatuan dunia. Radhakrishnan dalam bukunya Eastern Religion and Western Though (1924) menyatakan untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, kesadaran akan kesatuan dunia telah menghentakkan kita, entah suka atau tidak, Timur dan Barat telah menyatu dan tidak pernah lagi terpisah. Artinya adalah bahwa antara barat dan timur tidak ada lagi perbedaan. Atau dengan kata lain kebudayaan kita dilebur dengan kebudayaan asing. Apabila timur dan barat bersatu, masihkah ada ciri khas kebudayaan kita? Ataukah kita larut dalam budaya bangsa lain tanpa meninggalkan sedikitpun sistem nilai kita? Oleh karena itu perlu dipertahanan aspek sosial budaya Indonesia sebagai identitas bangsa. Caranya adalah dengan penyaringan budaya yang masuk ke Indonesia dan pelestarian budaya bangsa. Bagi masyarakat yang mencoba mengembangkan seni tradisional menjadi

bagian dari kehidupan modern, tentu akan terus berupaya memodifikasi bentuk-bentuk seni yang masih berpolakan masa lalu untuk dijadikan komoditi yang dapat dikonsumsi masyarakat modern. Karena sebenarnya seni itu indah dan mahal. Kesenian adalah kekayaan bangsa Indonesia yang tidak ternilai harganya dan tidak dimiliki bangsa-bangsa asing. Oleh sebab itu, sebagai generasi muda, yang merupakan pewaris budaya bangsa, hendaknya memelihara seni budaya kita demi masa depan anak cucu. B. SARAN SARAN Dari hasil pembahasan diatas, dapat dilakukan beberapa tindakan untuk mencegah terjadinya pergeseran kebudayaan yaitu : 1. Pemerintah perlu mengkaji ulang perturanperaturan yang dapat menyebabkan pergeseran budaya bangsa 2. Masyarakat perlu berperan aktif dalam pelestarian budaya daerah masing-masing khususnya dan budaya bangsa pada umumnya 3. Para pelaku usaha media massa perlu mengadakan seleksi terhadap berbagai berita, hiburan dan informasi yang diberikan agar tidak menimbulkan pergeseran budaya 4. Masyarakat perlu menyeleksi kemunculan globalisasi kebudayaan baru, sehingga budaya yang masuk tidak merugikan dan berdampak negative. 5. Masyarakat harus berati-hati dalam meniru atau menerima kebudayaan baru, sehingga pengaruh globalisasi di negara kita tidak terlalu berpengaruh pada kebudayaan yang merupakan jati diri bangsa kita.

Kelompok Etnik Sebagai Unit Kebudayaan Menurut Barth, kelompok etnik dapat disebut sebagai suatu unit kebudayaan karena kelompok etnik mempunyai ciri utama yang penting yaitu adalah kemampuan untuk berbagi sifat budaya yang sama. Dan ia berasumsi bahwa tiap kelompok etnik mempunyai ciri budayanya sendiri. Ada 2 hal pokok yang dapat dibahas dalam mengamati kelompok-kelompok etnik dengan ciriciri unit budayanya yang khusus ini, yaitu: kelanggengan unit-unit budaya ini dan faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya unit budaya itu Ada beberapa implikasi ketika melihat kelompok etnik sebagai unit kebudayaan, yaitu (1) Klasifikasi individu atau kelompok tertentu, dinyatakan sebagai anggota suatu kelompok etnik tertentu tergantung dari kemampuannya untuk memperlihatkan sifat budaya kelompok etnik tersebut. (2) Bentuk-bentuk budaya yang tampak menunjukan adanya pengaruh ekologi, tetapi bukan berarti ini menunjukan bahwa semua itu hanya merupakan bentuk penyesuaian diri tehadap lingkungan semata-mata. Namun lebih tepat dikatakan bahwa bentuk budaya ini merupakan hasil penyesuaian para anggota kelompok etnik ketika berhadapan berbagai faktor luar. Seperti ketika suatu kelompok etnik yang tinggal tersebar di daerah yang mempunyai lingkungan ekologi bervariasi, akan memperlihatkan perilaku yang berbeda sesuai dengan daerah tinggalnya, tetapi tidak mencerminkan orientasi nilai budaya yang berbeda. Hal ini juga dapat memperlihatkan bahwa menentukan sifat budaya suatu kelompok jangan hanya dilihat dari bentuk tatanan budaya yang nampak saja, sebab yang nampak tersebut ditentukan juga oleh ekologi selain oleh budaya yang dibawanya. Sehingga tidak tepat pula untuk mengatakan bahwa setiap diversifikasi dalam kelompok etnik merupakan awal terjadinya perpecahan dari kelompok etnik yang ada. Kelompok Etnik Sebagai suatu Tatanan Barth melihat kelompok etnik lebih sebagai suatu tatanan sosial. Diungkapkannya bahwa selain ke 4 ciri yang diungkapkan oleh Narroll diatas yaitu: (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, (4) dan menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain, ada ciri khas lain yang sifatnya lebih mendasar yaitu ciri asal yang sifatnya kategoris (categorical ascription) ciri khas askriptif atau ciri asal yang didapatkan sejak lahir. Kelompok suku bangsa sebagai tatanan sosial akan terbentuk apabila seseorang menggunakan identitas suku bangsa dalam mengkategorikan dirinya dan orang lain demi tujuan interaksi. Dalam kategorisasi etnik yang mempertimbangkan perbedaan budaya, kita tidak dapat membuat suatu asumsi interaksi antar kelompok etnik dengan membuat kesamaan dan perbedaan yang ada dalam kebudayaan masing kelompok-kelompok etnik tersebut secara sederhana. Sebenarnya titik perhatiannya bukanlah pada seberapa besar perbedaan kebudayaan kelompok etnik yang dinilai obyektif, tetapi lebih kepada perbedaan mana yang dinilai penting oleh si pelaku. Sehingga kadang dalam menandai perbedaan kelompok etnik tersebut, ada bentuk budaya yang ditonjolkan oleh si pelaku tetapi tak jarang pula ada bentuk budaya yang diabaikan oleh si pelaku secara radikal. Kadar (bentuk) budaya dari dikotomi etnik dapat dibedakan atas 2 macam, yaitu; tanda

atau gejala yang nampak, seperti pakaian, bahasa, bentuk rumah, gaya hidup dll dan nilai-nilai dasar yang mengacu kepada standart moral dalam menilai dirinya sendiri dan kelompok lain. Menurut Barth, kategorisasi kelompok etnik merupakan sarana pengelompokan yang mungkin mengandung kadar atau bentuk yang berbeda untuk berbagai sistem sosial-budaya yang berbeda. Batas Kelompok Etnik Perhatian utama dari penelitian dari sudut pandang batas kelompok etnik ini, merujuk kepada batas etnik yang mengacu kepada suatu batas kelompok, bukan pada sifat-sifat budaya yang ada di dalamnya. Batas-batas itu adalah batas-batas kelompok etnik yang ditekankan kepada batasbatas yang sifatnya sosial, walaupun tidak menutup pula untuk mengkaitkannya dengan batas wilayah. Batas sosial muncul ketika dalam interaksi sebuah kelompok etnik ingin mempertahankan identitasnya, sehingga memerlukan batas-batas dimana batas-batas tersebut berfungsi untuk membuat kriteria bagi penentuan keanggotaan seseorang atau kelompok dalam kelompok etniknya. Jadi kelompok etnik bukan semata-mata ditentukan oleh wilayah yang menjadi posisinya, tetapi oleh berbagai macam cara yang digunakan untuk mempertahankannya, dan dilakukan dengan cara pengungkapan dan pengukuhan yang sifatnya terus-menerus, dan dapat dipelajari. Atau semacam nilai yang menjadi aturan kesepakatan permainan yang diakui dan dilaksanakan bersama anggota kelompok etnik tersebut. Usaha pelestarian batas etnik ada dalam situasi kontak sosial diantara orang-orang yang mempunyai budaya yang berbeda karena kelompok etnik yang dikenal sebagai unit kebudayaan memperlihatkan perilaku yang berbeda sehingga menimbulkan suatu perbedaan budaya. Dalam situasi kontak sosial tersebut, diharapkan perbedaan-perbedaan budaya itu dapat dikurangi karena interaksi memerlukan kesatuan tanda dan nilai, atau budaya umum yang menjadi kesepakatan bersama diantara mereka. Sehingga kemudian selain kelompok-kelompok etnik tersebut menetapkan kriteria untuk mengidentifikasikan batas-batas etnik, dalam interaksi terbentuk suatu struktur yang juga menetapkan perbedaan-perbedaan budaya. Menurut Barth, sifat tatanan struktur ini haruslah bersifat umum bagi semua hubungan etnik, dan merupakan seperangkat aturan yang sistematis untuk mengatur kontak sosial antar etnik. Pada akhirnya struktur interaksi yang ada dalam hubungan etnik akan menghasilkan suatu pola hubungan antar etnik yang bersifat mapan atau stabil. Struktur interaksi diartikan Barth sebagai perangkat ketentuan yang mengatur cara berhubungan dan memungkinkan adanya hubungan di beberapa bidang kegiatan, serta perangkat ketentuan tentang situasi sosial yang melarang adanya interaksi antar etnik di sektor lain. Dan semua kondisi ini akan mencegah terjadinya konfrontasi dan modifikasi budaya yang telah ada. Sistem Sosial Polietnik Sistem sosial polietnik adalah suatu konsep yang dikemukakan oleh Furnivall (1944) tentang masyarakat dari berbagai etnik yang terintegrasi dalam suatu tempat dan diatur oleh suatu sistem pemerintahan yang didominasi oleh satu kelompok etnik saja. Walaupun demikian, nampak adanya keragaman budaya dalam berbagai kegiatan keagamaan dan kegiatan rumah. Para antropolog tidak begitu dapat menerima pendefinisian ini dalam hal kemungkinan adanya berbagai macam hubungan, pemisahan, dan adanya sistem polietnik di dalamnya. Ternyata sistem polietnik seperti ini berpengaruh pula dalam bidang ekonomi (contohnya di Melanesia), terintegrasi dalam lingkungan perdagangan dan struktur politik feodal (contohnya di Asia

Tenggara), atau menjadi sistem ekonomi pasar yang berciri politik integrasi yang polisentris (Asia Barat Daya), dan berpengaruh dalam bentuk ritual dan kerja sama produktif serta terintegrasi dalam sistem politik kasta yang pada akhirnya membentuk suatu keseragaman budaya (Misal di India). Ketika kita memasukan semua kondisi sosial yang diatas tersebut dalam suatu masyarakat yang majemuk, maka kita tidak akan dapat menemukan banyak hal. Sebab artikulasi dan pemisahan etnik dalam tingkat makro akan selalu berhubungan dengan hambatan/kendala yang ada dalam tingkat mikro. Dalam sistem polietnik seperti ini, terdapat prinsip bahwa seperangkat kendala dalam setiap peran akan dapat dipertimbangkan dan seseorang berhak memilih mitranya sendiri sesuai dengan kepentingannya dalam suatu transaksi. Dalam sistem polietnik seperti ini, seseorang dapat memilih sendiri mitranya dalam setiap transaksi yang dibuatnya, tetapi dalam melakukan transaksi itu ia selalu terliputi oleh kondisi pemisahan dan artikulasi etnik dimana akan selalu dikaitkan dengan peran seseorang dalam masyarakat. Sehingga dengan demikian status, sebagai posisi atau kedudukan seseorang berdasarkan perannya dalam suatu struktur sosial, dianggap sebagai ciri etnik yang bernilai. Dengan demikian pula, status sesorang sebagai ciri etnik ini mampu mengatur konstelasi status yang dapat diakui sebagai kepribadian sosial yang ditemukan dalam diri seseorang dengan identitasnya. Identitas etnik seperti ini mirip dengan identitas seks dan kepangkatan, yang mempunyai pembatasan dalam setiap kegiatan yang dilakukan. Pembatasan ini bersifat imperatif atau penting, maksudnya adalah pembatasan yang ada tidak boleh dilanggar. Hambatan pada perilaku seseorang yang timbul dari identitas etnik seperti ini akan bersifat absolut, dan dalam masyarakat poetnik yang kompleks, hambatan ini lebih bersifat menyeluruh. Hubungan Antara Identitas dan Standart Nilai Barth melihat ada 2 syarat utama yang diperlukan agar perbedaan etnik dalam suatu daerah dapat terjadi, yaitu kategorisasi sektor populasi dalam kondisi yang eksklusif dan imperatif, dan adanya pemahaman bahwa ada standart nilai dari suatu kategori yang mungkin berbeda dengan standart nilai kategori yang lain. Makin besar perbedaan antara nilai standar ini, maka tingkat pembatasan hubungan antar kelompok etnik akan semakin tegas. Dengan demikian seseorang akan ditandai identitas etniknya berdasarkan perilaku yang mencirikan kategori yang menjadi nilai standar seseorang dalam menilai anggota kelompok etniknya dan kelompok etnik lain. Seorang anggota kelompok etnik akan selalu berusaha berperilaku sesuai dengan nilai standart yang menjadi identitas kelompok etniknya. Ia akan selalu berusaha untuk menghindari berperilaku menyimpang, sebab kuatir perilakunya akan merusak citra identitas yang dibangun bersama. Apabila seseorang melakukan penyimpangan atau melanggar nilai-nilai yang dipedomani bersama oleh anggota etnik, maka ia akan mendapatkan hukuman yang diterimanya tidak saja dari anggota kelompok etniknya tetapi juga dari kelompok etnik lain. Ketergantungan Antar Kelompok-kelompok Etnik Hubungan antar kelompok etnik diatur oleh sistem sosial yang luas dan tergantung pada sifat budaya masing-masing kelompok etnik yang saling melengkapi sehingga terwujud suatu ikatan yang positif diantara mereka. Kondisi sifat budaya yang saling melengkapi tersebut kemudian akan memunculkan suatu hubungan yang saling ketergantungan atau membentuk suatu kondisi yang simbiosis. Dalam kondisi saling ketergantungan ini, batas etnik kemudian diatur oleh kelompok etnik yang bersangkutan. Apabila nilai-nilai yang berhubungan dengan identitas etnik tidak begitu sesuai dengan kegiatannya, maka tatanan sosial yang terbentuk juga menjadi

terbatas. Dalam sistem polietnik yang kompleks selalu mengikuti perbedaan nilai yang ada dan relevan, ditambah lagi dengan adanya batasan-batasan akibat kombinasi status dan partisipasi sosialnya. Dalam sistem yang demikian, mekanisme dalam mempertahankan batas etnik menjadi sangat efisien, sebab; (1) kompleksitas timbul berdasarkan adanya perbedaan budaya yang penting dan saling melengkapi, (2) perbedaan ini harus dibakukan secara umum dalam kelompok etnik yang bersangkutan, yaitu status sosial setiap anggota kelompok umumnya sama, sehingga interaksi antar etnik berlangsung atas dasar identitas masing-masing etnik, (3) ciri budaya tiap kelompok harus benar-benar stabil, sehingga perbedaan yang saling melengkapi yang menjadi dasar sistem itu dapat bertahan selama berlangsungnya kontak antar etnik. Apabila kondisikondisi ini dapat dipenuhi, maka kelompok-kelompok etnik dapat melakukan adaptasi yang stabil dan bersifat simbiosis. Hubungan saling ketergantungan dapat pula dianalisis dari 2 sudut pandang, yaitu sudut pandang ekologi budaya (prespektif ekologi) dan prespektif demografi. Dari sudut pandang ekologi budaya, ada ketergantungan ekologi dalam suatu hubungan antar etnik yang pada umumnya mengikuti bentuk-bentuk: (a) masing-masing kelompok etnik menempati daerah dengan lingkungan alam yang tertentu, sehingga persaingan memperebutkan sumber daya terjadi secara minimal. Ketergantungan antara mereka tidak maksimal dan hubungan mereka biasanya berbentuk hubungan dagang, ritual dll, (b) masing-masing etnik menguasai daerah yang terpisah, dengan persaiangan dalam mendapatkan sumber daya, dan (c) masing-masing kelompok etnik tersebut saling menyediakan barang atau jasa serta tinggal di daerah yang berbeda dan saling menunjang. Ketiga bentuk kemungkinan tersebut diatas hanya berlaku pada kondisi dan suasana yang stabil. Ada kemungkinan bentuk ke 4, yaitu: dua kelompok atau berselang-seling bersaing dalam suatu daerah. Dalam variabel prespektif demografi, bagi Barth merupakan sebagian dari cara memerikan adaptasi kelompok etnik. Selain memperhatikan pada struktur kualitatif dari daerah yang dihuni oleh suatu kelompok, kita juga memperhatikan jumlah dan keseimbangan dalam tingkat adaptasi. Karena suatu populasi sangat tergantung pada caranya memanfaatkan alam yang mereka tempati, maka tingkat adaptasinya dibatasi oleh kemampuan alam dimana populasi itu hidup (daya tampung), sehingga adaptasi yang stabil akan mengendalikan jumlah besarnya populasi. Ketika kemudian ada 2 etnik yang hidup secara simbiosis tergantung secara ekologi, maka variasi dari besarnya populasi salah satu kelompok etnik akan mempengaruhi populasi etnik yang lain. Oleh sebab itu dalam menganalisa sistem polietnik , kita harus dapat menjelasakan proses apakah yang mengakibatkan besar populasi masing-masing menjadi seimbang. Disebutkan olehnya bahwa selain ada faktor fertilitas dan moralitas, ternyata ada faktor perpindahan invidu atau kelompok ke kelompok lain, yang mempengaruhi keseimbangan jumlah populasi. Sehingga ketika dalam berbicara perpindahan individu atau kelompok ke kelompok lain, kita kan berbicara tentang serangkaian proses yang menyebabkan seseorang mengubah identitasnya dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam perubahan Identitas Barth dalam contonya mengemukakan bahwa perubahan identitas dari masyarakat non-Yao menjadi yao terjadi karena adanya pembauran yang berhasil mulus. Dalam contohnya, sebenarnya ingin diperlihatkannya bahwa pembauran kelompok etnik ke kelompok etnik lainnya akan berhasil apabila adanya mekanisme budaya yang memungkinkan, dan adanya keuntungan-

keuntungan yang diperoleh bagi orang-orang yang melakukan pembauran. Dalam kasus yang terjadi di masyarakat Darfur, Haaland memperlihatkan bahwa mereka, orang Fur mengubah identitasnya, dari kelompok etnik petani menjadi kelompok kelana peternak sapi seperti orang Arab, karena mereka melihat ada kesempatan ekonomi yang terbuka jika mereka menjadi kelompok kelana peternak sapi dibandingkan jikalau mereka tetap menjadi petani. Proses-proses yang ini mengakibatkan berpindahnya populasi melewati batas etnik ini akhirnya akan mempengaruhi pula keseimbangan demografi antara berbagai kelompok etnik. Untuk mempertahankan stabilitas demografi, maka kelompok-kelompok ini harus peka terhadap perubahan yang terjadi sebagai reaksi atas tekanan ekologi. Analisa berbagai faktor yang mempengaruhi keseimbangan ini merupakan bagian yang penting dalam analisis tentang hubungan antar etnik di suatu wilayah. Bertahannya batas-batas budaya Telah dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya bahwa seseorang dapat berpindah identitas etniknya karena alasan-alasan yang bersifat ekonomi dan politik, tetapi tetap saja ia tidak dapat menjelaskan mengapa perubahan-perubahan yang mengarah ke perubahan identitas etnik tetap saja menyebabkan adanya kelompok-kelompok etnik yang terdikotomi. Dari contoh yang diberikan oleh Barth tentang suku Pathan, ia menjelaskan bahwa ada dasar identifikasi diri (selfidentification) sebagai kriteria identitas etnik yang menyebabkan seseorang dapat menjadi anggota kelompok etnik lain, sesuai dengan tuntutan perubahan lingkungan. Lingkungan yang berbeda tentunya akan menuntut penampilan identitas yang berbeda pula. Seseorang akan menggunakan atau mempertahankan identitas etniknya apabila diarasakannya mampu untuk menanggapi berbagai hambatan yang ditemuinya di lingkungan yang berbeda. Tetapi sebaliknya ia akan meninggalakan identitas etniknya, dan beralih ke identitas etnik yang lain yang dianggapnya mampu. Atau ia melihat bahwa dalam lingkungan hidupnya, ada tuntutan nilai yang berbeda dengan nilai-nilai yang menjadi ciri identitas etniknya, sehingga ia membuat kriteria nilai-nilai baru atau menyesuaikan dengan nilai-nilai yang ada. Jadi sebenaranya penilaian terhadap keberhasilan seseorang dalam mempertahankan identitas etniknya, ditentukan oleh penampilan atau kemampuan masing-masing individu, dan kemungkinan-kemungkinan yang dihadapi seseorang. Identitas Etnik dan Asset Nyata Identitas etnik dihubungkan dengan sumber daya produktif dan pola nafkah. Seperti suatu kelompok etnik diidentikan dengan kelompok kelana, petani, atau pedagang. Pembedaan pola nafkah ini, digunakan sebagai identitas etnik karena dianggap dapat menampilkan ciri etnik tertentu dimana dapat membentuk gaya hidup suatu kelompok etnik tertentu. Persaingan akan timbul ketika kelompok etnik yang berhubungan mempunyai sumber produksi yang sama. Persaingan atau pertentangan dalam sumber produksi muncul juga ketika dihadapkan dengan struktur sosial yang menjadi wujud interaksi mereka. Seperti ketika suatu etnik diidentifisikan dengan suatu strata atau status sosial tertentu. Kelompok Etnik dan penggolongannya Apabila suatu kelompok etnik mampu menguasaai suatu sarana produksi dari suatu kelompok tertentu, maka yang akan terjadi adalah suatu hubungan yang tidak berimbang dan menjadi sistem penggolongan (stratifikasi) masyarakat. Sistem polietnik/masyarakat majemuk dengan penggolongan stratifikasi masyarakat ini timbul apabila suatu kelompok menguasai suatu modal

yang diperlukan juga oleh kelompok lain. Budaya dari berbagai kelompok lain ini akan terintegrasi dengan cara yang khusus; mereka sama-sama memegang suatu orientasi nilai umum sehingga mereka dapat mencapai kesepakatan yang hirarkis. Leach mencoba untuk melihat bahwa kelas-kelas sosial dapat dibedakan atas sub kulturnya, bukan pada urutan hirarkisnya tetapi pada kenyataannya dalam sistem stratifikasi kita tidak melihat suatu tingkatan yang ketat. Pengelompokan seperti ini berdasarkan atas derajat seseorang dan pengenalan yang bersifat egosentris. Dalam sistem sosial yang seperti ini, perbedaan kultural akan lebih menonjol dan tidak terbentuk tatanan sosial dari kelompok-kelompok tertsebut. Timbulnya identitas etnik juga harus didasarkan atas kriteria yang tegas. seperti dalam kasus sistem sosial masyarakat Ethiopia, yang memperlihatkan bahwa semua kelompok etnik terbagi dalam kelas-kelas berdasarkan posisi mereka dalam tanggung jawanya dan ketidakmampuannya dalam pemerintahan. Dalam prespektif yang lain, sistem kasta di India dapat menunjukan suatu sistem stratifikasi polietnik yang khas. Batas kasta ditentukan berdasarkan atas kriteria etnik, sehingga orang-orang yang gagal dalam menerapkan kaidah-kaidah kasta akan dikeluarkan dari kasta, bukan diturunkan kastanya. Dari pembahasan itu tampak ada keganjilan dalam hal identitas etnik sebagai status: asal-usul menentukan kriteria keturunan dan komitmen seseorang, tetapi tidak berperan dalam pengendalian modal. Sementara itu penampilan seseorang, yaitu kegiatan yang diperlukan untuk menunjukan identitasnya, pada sistem manapun memerlukan modal. Bertahannya sistem polietnik disebabkan oleh adanya faktor-faktor yang menyebabkan modal terdistribusi tidak merata, tergantung dari kelas seseorang. Faktor itu antara lain, (a) pengaruh pemerintahan, (b) adanya perbedaan yang besar dalam penilaian yang menyebabkan perbedaan yang besar dalam penilaian yang menyebabkan perbedaan dalam sikap dan tindakan para pelaku, dan (c) adanya perbedaan budaya yang mengakibatkan timbulnya perbedaan dalam tatanan politik dan ekonomi, atau perbedaan kemampuan seseorang. Masalah Variasi Variasi terjadi ketika si pelaku membentuk perilaku kelompok yang berbeda dengan kategori kelompok yang ada, sehingga akhirnya ia membuat kategori yang sesuai dengan sasaran hidupnya. Memang keanggotaan seseorang dalam kelompok etnik sangat tergantung pada asal usulnya dan identitasnya yang kini tampak. Tapi orang dapat juga memanfaatkan ciri etnik, ketika menemui kegagalan dalam tipologi kategorialnya. Barth mencoba untuk melakukan analisa mulai dari dasar hubungan antar status dan perilaku. Ia yakin bahwa orang dikelompokan sesuai dengan perbuatannya, dan sangat dipengaruhi oleh interaksi, bukan pemikiran. Untuk memperlihatkan hubungan antara ciri etnik dan keragaman budaya, ia terutama akan memoperlihatakan bagaimana dalam berbagai kondisi, berbagai pengelompokan dan orientasi nilai ini membentuk karakternya sendiri, dan bagaimana pengelompokan lain berubah akibat pengalaman, dan yang lainnya tidak mampu membentuk interaksi. Jadi sebenarnya varisi ada dalam proses interaksi. Minoritas, paria, dan ciri tatanan di daerah pinggiran Dalam beberapa sistem sosial, tiap kelompok etnik dapat hidup bersama meskipun struktur umum tidak didasarkan atas hubungan antar etnik. Seperti contohnya seperti kelompok etnik minoritas. Dalam mebahas kelompok etnik minoritas ini dibutuhkan suatu pendekatan khusus

dari hubungan antar etnik itu. Dalam berbagai kasus situasi pendekatan ini harus melihat sejarah terjadinya. Perbedaan budaya tidak timbul begitu saja di suatu daerah, tetapi terjadi karena masuknya budaya lain yang mapan ke suatu sistem sosial yang juga telah mapan. Sehingga tercipta suatu kelompok minoritas yang kalah bersaiang. Kelompok paria adalah salah satu contoh bentuk ekstrem dari kelompok minoritas. Kelompok paria ini selalu ditolak oleh masyarakat karena perilaku mereka yang tidak sesuai dengan nilainilai yang berlaku dalam masyarakat luas, meskipunmereka tahu perilaku paria ini berguna bagi mereka. Batas kelompok paria dipertahankan dengan kuat oleh masyarakat setempat dan mereka sering memanfaatkan diakritika yang mudah terlihat untuk identitasnya. Budaya masyarakt paria ini biasanya sudah kuat, sehingga permasalahannyadalah pada bagaimana caranya menyembunyikan asa-usulnya yang asli agar dapat masuk ke kelompok yang nilai budayanya dianggap tinggi. Meskipun kadang mereka mendapatkan perlakuakan penolakan, tetapi keadaanya tergantung pada tatanan kegiatan dan interaksinya dengan kelompok mayoritas. Hubungan antar etnik disini didasarkan atas dasar status yang sesuai dengan kelompok mayoritas, sedangkan sistem minoritas hanya berlaku pada kelompok itu saja. Sehingga hal ini menimbulkan kesenjangan antara nilai dan kemudahan yang ada. interaksi antar ertnik bukan didasarkan atas dasar saling melengkapi, tapi dalam suatu kerangka kerja yng ditentukan oleh kelompok yang dominan, yaitu kelompok mayoritas dan institusi. Identitas kelompok minoritas tidak dapat dipakai sebagai dasar kegitan. Kontak Budaya dan perubahannya Kontak budaya dari waktu ke waktu mengalami perubahan seiring meyebarnya masyarakat industri ke seluruh dunia. Ada perubahan kontak budaya yang didasarkan atas pengurangan drastis dalam perbedaan budaya antar kelompok etnik tidak berhubungan dengan berkurangnya relevansi tatanan identitas etnik, maupun putusnya proses pelestarian batas etnik. Dalam mengamati perubahan hubungan tersebut kita perlu untuk melihat pelaksanaan perubahaan yang ada: strategi apa yang terbuka dan menarik bagi mereka dan apa dampak organisasi dari berbagai pilihan mereka ?. Pelaksana perubahan ini adalah seseorang yang secara etnosentris disebut sebgai kaum elit baru, yaitu seseorang dari kelompok masyarakat non industri yang mempunyai kontak luas dan lebih tergantung pada barang-barang dan tatanan masyarakat industri. Agar dapat berpartisipasi dalam sistem sosial yang luas dan untuk mendapatkan bentuk dan nilai baru, mereka biasanya memilih strategi dasar sebagai berikut, (1) bergabung dan masuk ke dalam kelompok dan budaya industri, sehingga kelompok etnik ini akan berkembang menjadi kelompok yang konservatif dan menempati status sosial yang rendah, (2) menerima status minioritas dan berusaha mengatasi dan mengurangi minoritasnya dengan cara membatasi budayanya hanya untuk sektor kegiatan yang tiak dikerjkan bersama, sehingga demikian muncul tatanan masyarakat polietnik yang terdikotomi akan dapat dihindari sehingga mungkin terjadi pembauran dari kelompok minoritas, dan (3) menonjolkan identitas etnik dan menggunakan untuk mengembangkan posisi dan kegiatan yang selama ini belum terjamah dalam masyarakat, sehingga nantinya muncul gerakan nativisme baru. Bentuk tatanan kelompok-kelompok ertnik ini sangat bervariasi, begitu juga hubungan antar etnik. Kegiatan politik merupakan cara baru untuk menonjolkan perbedaan budaya dan untuk mengartikulasikan kelompok-kelomok etnik yang terdikotomi. Variasi dalam hubungan antar etnik Perkembangan dunia birokrasi administrasi dan urbanisasi yang meningkat, khususnya dalam

masyarakat di negara-negara yang terjajah, memunculkan bentuk baru tatanan polietnik. Dalam lingkungan baru san berbeda, faktor penting yang menjadi penentu dan bertahannya sutua batas etnik juga berubah. Seperti kondisi kolonial yang memberikan nilai-nilai baru kepada masyarakat yang dijajahnya yang sama sekali berbeda dan terpisah dengan kebudayaan setempat. Dalam masa kolonial ini, yang biasanya didominasi oleh negara-negara barat, hak-hak individu mempunyai kedudukan yang baik. Dalam kedaan seperti ini, mereka membuka kesempatan untuk berhubungan antar individu dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Dalam konteks ini, hambatan-hambatan yang ditemui dalam hubungan antar etnis dapat diatasi, karena penekanan pada hak-hak individu yang diutamakan. Dalam kondisi seperti pula, batas etnik merupakan suatu organisasi hubungan sosial yang sifatnya positif. Kesimpulan Barth melihat kelompok etnik sebagai suatu tatanan sosial dimana batas-batas kesukubangsaannya ditekankan kepada batas-batas yang sifatnya sosial, yaitu lebih kepada bagaimana kelompok tersebut menentukan aturan main yang dipahami bersama oleh kelompok itu sendiri. Lebih kepada bagaimana kemampuan untuk berbagi sifat budaya yang sama, sehingga membuat suatu ciri khusus tersendiri. Namun lebih lanjut ia menerangkan sebagai suatu tatanan sosial, sukubangsa mempunyai ciri khas yang mendasar dan secara umum menentukan seseorang termasuk kelompok etnik yang mana, yaitu ciri khasnya yang sifatnya kategoris askripsi (categorical ascription) atau ciri khas yang mendasarkan seseorang termasuk ke dalam kelompok etnik tertentu berdasarkan dari latar belakang asal-usulnya. Ciri-ciri atau atribut tersebut diberikan, baik oleh sesama anggota kelompok maupun oleh kelompok lain. Menjadi penting kemudian untuk mengetahui tujuan pelaku berinteraksi dengan sukubangsa lainnya. Ciri etnik befungsi sebagai kategori untuk menentukan pengelompokan dan untuk berinteraksi sehingga bisa saja identitas dipertahankan apabila berhasil dipakai/dipelihara dengan mudah, kalau tidak anggota etnik yang bersangkutan akan mengantikan dengan memilih identitas lain, atau mengubahnya. Dalam lingkungan yang berbeda tentunya akan menuntut penampilan yang berbeda pula karena identitas etnik berkaitan dengan nilai budaya standar yang ada, sehingga pada keadaan tertentu seseorang dapat tampil dengan identitasnya tetapi dilain lingkungan atau keadaan dibutuhkan nilai standart yang berbeda pula. Batas-batas unit itu dipelihara dalam unit-unit etnik, sehingga memungkinkan kita untuk menentukan keterlanjutannya dan bertahannya unit etnik tersebut. Batasan etnik itu dipelihara dalam setiap kasus oleh seperangkat faktor budaya yang terbatas. Menetapnya suatu unit tergantung dari ketegaran perbedaan budayanya, sedangkan keterlanjutannya dapat ditentukan melalui perubahan-perubahan unit yang disebabkan oleh perubahan dalam penentuan batas perbedaan budaya.

Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, dari Ujung Kulon di ujung barat pulau Jawa hingga sekitar Brebes (mencakup wilayah administrasi propinsi Jawa Barat, Banten, sebagian DKI Jakarta, dan sebagian Jawa Tengah. Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia. Kerana letaknya yang berdekatan dengan ibu kota negara maka hampir seluruh
suku bangsa yang ada di Indonesia terdapat di provinsi ini. 65% penduduk Jawa Barat adalah Suku Sunda yang merupakan penduduk asli provinsi ini. Suku lainnya adalah Suku Jawa yang banyak dijumpai di daerah bagian utara Jawa Barat, Suku Betawi banyak mendiami daerah bagian barat yang bersempadan dengan Jakarta. Suku Minang dan Suku Batak banyak mendiami Kota-kota besar di Jawa Barat, seperti Bandung, Cimahi, Bogor, Bekasi, dan Depok. Sementara itu Orang Tionghoa banyak dijumpai hampir di seluruh daerah Jawa Barat. KEBUDAYAAN SUKU SUNDA Kebudayaan Sunda merupakan salah satu kebudayaan yang menjadi sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia yang dalam perkembangannya perlu dilestarikan. Kebudayaankebudayaan tersebut akan dijabarkan sebagai berikut : SISTEM KEPERCAYAAN Hampir semua orang Sunda beragama Islam. Hanya sebagian kecil yang tidak beragama Islam, diantaranya orang-orang Baduy yang tinggal di Banten Tetapi juga ada yang beragama Katolik, Kristen, Hindu, Budha.Selatan. Praktek-praktek sinkretisme dan mistik masih dilakukan. Pada dasarnya seluruh kehidupan orang Sunda ditujukan untuk memelihara keseimbangan alam semesta. Keseimbangan magis dipertahankan dengan upacara-upacara adat, sedangkan keseimbangan sosial dipertahankan dengan kegiatan saling memberi (gotong royong). Hal yang menarik dalam kepercayaan Sunda, adalah lakon pantun Lutung Kasarung, salah satu tokoh budaya mereka, yang percaya adanya Allah yang Tunggal (Guriang Tunggal) yang menitiskan sebagian kecil diriNya ke dalam dunia untuk memelihara kehidupan manusia (titisan Allah ini disebut Dewata). Ini mungkin bisa menjadi jembatan untuk mengkomunikasikan Kabar Baik kepada mereka. MATA PENCAHARIAN Suku Sunda umumnya hidup bercocok tanam. Kebanyakan tidak suka merantau atau hidup berpisah dengan orang-orang sekerabatnya. Kebutuhan orang Sunda terutama adalah hal meningkatkan taraf hidup. Menurut data dari Bappenas (kliping Desember 1993) di Jawa Barat terdapat 75% desa miskin. Secara umum kemiskinan di Jawa Barat disebabkan oleh kelangkaan sumber daya manusia. Maka yang dibutuhkan adalah

pengembangan sumber daya manusia yang berupa pendidikan, pembinaan, dll. KESENIAN KIRAB HELARAN Kirap helaran atau yang disebut sisingaan adalah suatu jenis kesenian tradisional atau seni pertunjukan rakyat yang dilakukan dengan arak-arakan dalam bentuk helaran. Pertunjukannya biasa ditampilkan pada acara khitanan atau acara-acara khusus seperti ; menyambut tamu, hiburan peresmian, kegiatan HUT Kemerdekaan RI dan kegiatan harihari besar lainnya. Seperti yang diikuti ratusan orang dari perwakilan seluruh kelurahan di Cimahi, yang berupa arak-arakan yang pernah digelar pada saat Hari Jadi ke-6 Kota Cimahi. Kirap ini yang bertolak dari Alun-alun Kota Cimahi menuju kawasan perkantoran Pemkot Cimahi, Jln. Rd. Demang Hardjakusumah itu, diikuti oleh kelompok-kelompok masyarakat yang menyajikan seni budaya Sunda, seperti sisingaan, gotong gagak, kendang rampak, calung, engrang, reog, barongsai, dan klub motor. KARYA SASTRA Di bawah ini disajikan daftar karya sastra dalam bahasa Jawa yang berasal dari daerah kebudayaan Sunda. Daftar ini tidak lengkap, apabila para pembaca mengenal karya sastra lainnya dalam bahasa Jawa namun berasal dari daerah Sunda, Babad Cerbon Cariosan Prabu Siliwangi Carita Ratu Galuh Carita Purwaka Caruban Nagari Carita Waruga Guru Kitab Waruga Jagat Layang Syekh Gawaran Pustaka Raja Purwa Sajarah Banten Suluk Wuyung Aya Wahosan Tumpawarang Wawacan Angling Darma Wawacan Syekh Baginda Mardan Kitab Pramayoga/jipta Sara PENCAK SIALAT CIKALONG Pencak silat Cikalong tumbuh dikenal dan menyebar, penduduk tempatan menyebutnya "Maempo Cikalong". Khususnya di Jawa Barat dan diseluruh Nusantara pada umumnya, hampir seluruh perguruan pencak silat melengkapi teknik perguruannya dengan aliran ini. Daerah Cianjur sudah sejak dahulu terkenal sebagai daerah pengembangan kebudayaan

Sunda seperti; musik kecapi suling Cianjuran, klompen cianjuran, pakaian moda Cianjuran yang sampai kini dipergunakan dll. SENI TARI TARI JAIPONGAN Tanah Sunda (Priangan) dikenal memiliki aneka budaya yang unik dan menarik, Jaipongan adalah salah satu seni budaya yang terkenal dari daerah ini. Jaipongan atau Tari Jaipong sebetulnya merupakan tarian yang sudah moderen karena merupakan modifikasi atau pengembangan dari tari tradisional khas Sunda yaitu Ketuk Tilu.Tari Jaipong ini dibawakan dengan iringan musik yang khas pula, yaitu Degung. Musik ini merupakan kumpulan beragam alat musik seperti Kendang, Go'ong, Saron, Kacapi, dsb. Degung bisa diibaratkan 'Orkestra' dalam musik Eropa/Amerika. Ciri khas dari Tari Jaipong ini adalah musiknya yang menghentak, dimana alat musik kendang terdengar paling menonjol selama mengiringi tarian. Tarian ini biasanya dibawakan oleh seorang berpasangan atau berkelompok. Sebagai tarian yang menarik, Jaipong sering dipentaskan pada acara-acara hiburan, selamatan atau pesta pernikahan. TARI MERAK TARI TOPENG SENI MUSIK DAN SUARA Selain seni tari, tanah Sunda juga terkenal dengan seni suaranya. Dalam memainkan Degung biasanya ada seorang penyanyi yang membawakan lagu-lagu Sunda dengan nada dan alunan yang khas. Penyanyi ini biasanya seorang wanita yang dinamakan Sinden. Tidak sembarangan orang dapat menyanyikan lagu yang dibawakan Sinden karena nada dan ritme-nya cukup sulit untuk ditiru dan dipelajari.Dibawah ini salah salah satu musik/lagu daerah Sunda : Bubuy Bulan Es Lilin Manuk Dadali Tokecang Warung Pojok WAYANG GOLEK Jepang boleh terkenal dengan 'Boneka Jepangnya', maka tanah Sunda terkenal dengan kesenian Wayang Golek-nya. Wayang Golek adalah pementasan sandiwara boneka yang terbuat dari kayu dan dimainkan oleh seorang sutradara merangkap pengisi suara yang disebut Dalang. Seorang Dalang memiliki keahlian dalam menirukan berbagai suara manusia. Seperti halnya Jaipong, pementasan Wayang Golek diiringi musik Degung lengkap dengan Sindennya. Wayang Golek biasanya dipentaskan pada acara hiburan, pesta pernikahan atau acara lainnya. Waktu pementasannya pun unik, yaitu pada malam

hari (biasanya semalam suntuk) dimulai sekitar pukul 20.00 - 21.00 hingga pukul 04.00 pagi. Cerita yang dibawakan berkisar pada pergulatan antara kebaikan dan kejahatan (tokoh baik melawan tokoh jahat). Ceritanya banyak diilhami oleh budaya Hindu dari India, seperti Ramayana atau Perang Baratayudha. Tokoh-tokoh dalam cerita mengambil nama-nama dari tanah India.Dalam Wayang Golek, ada 'tokoh' yang sangat dinantikan pementasannya yaitu kelompok yang dinamakan Purnakawan, seperti Dawala dan Cepot. Tokoh-tokoh ini digemari karena mereka merupakan tokoh yang selalu memerankan peran lucu (seperti pelawak) dan sering memancing gelak tawa penonton. Seorang Dalang yang pintar akan memainkan tokoh tersebut dengan variasi yang sangat menarik. ALAT MUSIK Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih). Angklung adalah sebuah alat atau waditra kesenian yang terbuat dari bambu khusus yang ditemukan oleh Bapak Daeng Sutigna sekitar tahun 1938. Ketika awal penggunaannya angklung masih sebatas kepentingan kesenian local atau tradisional KETUK TILU Ketuk Tilu adalah suatu tarian pergaulan dan sekaligus hiburan yang biasanya diselenggarakan pada acara pesta perkawinan, acara hiburan penutup kegiatan atau diselenggrakan secara khusus di suatu tempat yang cukup luas. Pemunculan tari ini di masyarakat tidak ada kaitannya dengan adat tertentu atau upacara sakral tertentu tapi murni sebagai pertunjukan hiburan dan pergaulan. Oleh karena itu tari ketuk tilu ini banyak disukai masyarakat terutama di pedesaan yang jarang kegiatan hiburan. SENI BANGRENG Seni Bangreng adalah pengembangan dari seni "Terbang" dan "Ronggeng". Seni terbang itu sendiri merupakan kesenian yang menggunakan "Terbang", yaitu semacam rebana tetapi besarnya tiga kali dari alat rebana. Dimainkan oleh lima pemain dan dua orang penabu gendang besar dan kecil. RENGKONG Rengkong adalah salah satu kesenian tradisional yang diwariskan oleh leluhur masyarakat Sunda. Muncul sekitar tahun 1964 di daerah Kabupaten Cianjur dan orang yang pertama kali memunculkan dan mempopulerkannya adalah H. Sopjan. Bentuk

kesenian ini sudah diambil dari tata cara masyarakat sunda dahulu ketika menanam padi sampai dengan menuainya KUDA RENGGONG Kuda Renggong atau Kuda Depok ialah salah satu jenis kesenian helaran yang terdapat di Kabupaten Sumedang, Majalengka dan Karawang. Cara penyajiannya yaitu, seekor kuda atau lebih di hias warna-warni, budak sunat dinaikkan ke atas punggung kuda tersebut, Budak sunat tersebut dihias seperti seorang Raja atau Satria, bisa pula meniru pakaian para Dalem Baheula, memakai Bendo, takwa dan pakai kain serta selop. KECAPI SULING Kacapi Suling adalah salah satu jenis kesenian Sunda yang memadukan suara alunan Suling dengan Kacapi (kecapi), iramanya sangat merdu yang biasanya diiringi oleh mamaos (tembang) Sunda yang memerlukan cengkok/ alunan tingkat tinggi khas Sunda. Kacapi Suling berkembang pesat di daerah Cianjur dan kemudian menyebar kepenjuru Parahiangan Jawa Barat dan seluruh dunia. SISTEM KEKERABATAN

Sistem keluarga dalam suku Sunda bersifat parental, garis keturunan ditarik dari pihak ayah dan ibu bersama. Dalam keluarga Sunda, ayah yang bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan agama Islam yang sangat mempengaruhi adat istiadat mewarnai seluruh sendi kehidupan suku Sunda.Dalam suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu sebagai istilah-istilah untuk menunjukkan hubungan kekerabatan. Dicontohkannya, pertama, saudara yang berhubungan langsung, ke bawah, dan vertikal. Yaitu anak, incu (cucu), buyut (piut), bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau gantungsiwur. Kedua, saudara yang berhubungan tidak langsung dan horizontal seperti anak paman, bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak saudara piut. Ketiga, saudara yang berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal seperti keponakan anak kakak, keponakan anak adik, dan seterusnya. Dalam bahasa Sunda dikenal pula kosa kata sajarah dan sarsilah (salsilah, silsilah) yang maknanya kurang lebih sama dengan kosa kata sejarah dan silsilah dalam bahasa Indonesia. Makna sajarah adalah susun galur/garis keturunan. BAHASA Bahasa yang digunakan oleh suku ini adalah bahasa Sunda. Bahasa Sunda adalah bahasa yang diciptakan dan digunakan sebagai alat komunikasi oleh Suku Sunda, dan sebagai alat pengembang serta pendukung kebudayaan Sunda itu sendiri. Selain itu bahasa Sunda merupakan bagian dari budaya yang memberi karakter yang khas sebagai identitas Suku Sunda yang merupakan salah satu Suku dari beberapa Suku yang ada di Indonesia. ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

Masalah pendidikan dan teknologi di dalam masyarakat suku Sunda sudah bisa dibilang berkembang baik.Ini terlihat dari peran dari pemerintah Jawa Barat. Pemerintah Jawa Barat memiliki tugas dalam memberikan pelayanan pembangunan pendidikan bagi warganya, sebagai hak warga yang harus dipenuhi dalam pelayanan pemerintahan. Visi Pemerintah Jawa Barat, yakni "Dengan Iman dan Takwa Jawa Barat sebagai Provinsi Termaju di Indonesia dan Mitra Terdepan Ibukota Negara Tahun 2010" merupakan kehendak, harapan, komitmen yang menjadi arah kolektif pemerintah bersama seluruh warga Jawa Barat dalam mencapai tujuan pembangunannya. Pembangunan pendidikan merupakan salah satu bagian yang sangat vital dan fundamental untuk mendukung upaya-upaya pembangunan Jawa Barat di bidang lainnya. Pembangunan pendidikan merupakan dasar bagi pembangunan lainnya, mengingat secara hakiki upaya pembangunan pendidikan adalah membangun potensi manusia yang kelak akan menjadi pelaku pembangunan. Dalam setiap upaya pembangunan, maka penting untuk senantiasa mempertimbangkan karakteristik dan potensi setempat. Dalam konteks ini, masyarakat Jawa Barat yang mayoritas suku Sunda memiliki potensi, budaya dan karakteristik tersendiri. Secara sosiologis-antropologis, falsafah kehidupan masyarakat Jawa Barat yang telah diakui memiliki makna mendalam adalah cageur, bageur, bener, pinter, tur singer. Dalam kaitan ini, filosofi tersebut harus dijadikan pedoman dalam mengimplementasikan setiap rencana pembangunan, termasuk di bidang pendidikan. Cageur mengandung makna sehat jasmani dan rohani. Bageur berperilaku baik, sopan santun, ramah, bertata krama. Bener
yaitu jujur, amanah, penyayang dan takwa. Pinter, memiliki ilmu pengetahuan. Singer artinya kreatif dan inovatif.Sebagai sebuah upaya mewujudkan pembangunan pendidikan berfalsafahkan cageur, bageur, bener, pinter, tur singer tersebut, ditempuh pendekatan social cultural heritage approach. Melalui pendekatan ini diharapkan akan lahir peran aktif masyarakat dalam menyukseskan program pembangunan pendidikan yang digulirkan pemerintah ADAT ISTIADAT UPACARA ADAT PERKAWINAN SUKU SUNDA Adat Sunda merupakan salah satu pilihan calon mempelai yang ingin merayakan pesta pernikahannya. Khususnya mempelai yang berasal dari Sunda. Adapun rangkaian acaranya dapat dilihat berikut ini. Nendeun Omong, yaitu pembicaraan orang tua atau utusan pihak pria yang berminat mempersunting seorang gadis. Lamaran. Dilaksanakan orang tua calon pengantin beserta keluarga dekat. Disertai seseorang berusia lanjut sebagai pemimpin upacara. Bawa lamareun atau sirih pinang komplit, uang, seperangkat pakaian wanita sebagai pameungkeut (pengikat). Cincin tidak mutlak harus dibawa. Jika dibawa, bisanya berupa cincing meneng, melambangkan

kemantapan dan keabadian. Tunangan. Dilakukan patuker beubeur tameuh, yaitu penyerahan ikat pinggang warna pelangi atau polos kepada si gadis. Seserahan (3 - 7 hari sebelum pernikahan). Calon pengantin pria membawa uang, pakaian, perabot rumah tangga, perabot dapur, makanan, dan lain-lain. Ngeuyeuk seureuh (opsional, Jika ngeuyeuk seureuh tidak dilakukan, maka seserahan dilaksanakan sesaat sebelum akad nikah.) Dipimpin pengeuyeuk. Pengeuyek mewejang kedua calon pengantin agar meminta ijin dan doa restu kepada kedua orang tua serta memberikan nasehat melalui lambang-lambang atau benda yang disediakan berupa parawanten, pangradinan dan sebagainya. Diiringi lagu kidung oleh pangeuyeuk Disawer beras, agar hidup sejahtera. dikeprak dengan sapu lidi disertai nasehat agar memupuk kasih sayang dan giat bekerja. Membuka kain putih penutup pengeuyeuk. Melambangkan rumah tangga yang akan dibina masih bersih dan belum ternoda. Membelah mayang jambe dan buah pinang (oleh calon pengantin pria). Bermakna agar keduanya saling mengasihi dan dapat menyesuaikan diri. Menumbukkan alu ke dalam lumpang sebanyak tiga kali (oleh calon pengantin pria). Membuat lungkun. Dua lembar sirih bertangkai saling dihadapkan. Digulung menjadi satu memanjang. Diikat dengan benang kanteh. Diikuti kedua orang tua dan para tamu yang hadir. Maknanya, agar kelak rejeki yang diperoleh bila berlebihan dapat dibagikan kepada saudara dan handai taulan. Berebut uang di bawah tikar sambil disawer. Melambangkan berlomba mencari rejeki dan disayang keluarga. Upacara Prosesi Pernikahan Penjemputan calon pengantin pria, oleh utusan dari pihak wanita Ngabageakeun, ibu calon pengantin wanita menyambut dengan pengalungan bunga melati kepada calon pengantin pria, kemudian diapit oleh kedua orang tua calon pengantin wanita untuk masuk menuju pelaminan. Akad nikah, petugas KUA, para saksi, pengantin pria sudah berada di tempat nikah. Kedua orang tua menjemput pengantin wanita dari kamar, lalu didudukkan di sebelah kiri pengantin pria dan dikerudungi dengan tiung panjang, yang berarti penyatuan dua insan yang masih murni. Kerudung baru dibuka saat kedua mempelai akan menandatangani surat nikah. Sungkeman, Wejangan, oleh ayah pengantin wanita atau keluarganya. Saweran, kedua pengantin didudukkan di kursi. Sambil penyaweran, pantun sawer dinyanyikan. Pantun berisi petuah utusan orang tua pengantin wanita. Kedua pengantin dipayungi payung besar diselingi taburan beras kuning atau kunyit ke atas payung. Meuleum harupat, pengantin wanita menyalakan harupat dengan lilin. Harupat disiram

pengantin wanita dengan kendi air. Lantas harupat dipatahkan pengantin pria. Nincak endog, pengantin pria menginjak telur dan elekan sampai pecah. Lantas kakinya dicuci dengan air bunga dan dilap pengantin wanita. Buka pintu. Diawali mengetuk pintu tiga kali. Diadakan tanya jawab dengan pantun bersahutan dari dalam dan luar pintu rumah. Setelah kalimat syahadat dibacakan, pintu dibuka. Pengantin masuk menuju pelaminan MASALAH SOSIAL DALAM MASYARAKAT SUKU SUNDA Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan suku bangsa di Indonesia yang berusia tua. Bahkan, dibandingkan dengan kebudayaan Jawa sekalipun, kebudayaan Sunda sebenarnya termasuk kebudayaan yang berusia relatif lebih tua, setidaknya dalam hal pengenalan terhadap budaya tulis. "Kegemilangan" kebudayaan Sunda di masa lalu, khususnya semasa Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda, dalam perkembangannya kemudian seringkali dijadikan acuan dalam memetakan apa yang dinamakan kebudayaan Sunda. Dalam perkembangannya kebudayaan Sunda kini seperti sedang kehilangan ruhnya kemampuan beradaptasi, kemampuan mobilitas, kemampuan tumbuh dan berkembang, serta kemampuan regenerasi. Kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda, terutama dalam merespons berbagai tantangan yang muncul, baik dari dalam maupun dari luar, dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan. Bahkan, kebudayaan Sunda seperti tidak memiliki daya hidup manakala berhadapan dengan tantangan dari luar. Akibatnya, tidaklah mengherankan bila semakin lama semakin banyak unsur kebudayaan Sunda yang tergilas oleh kebudayaan asing. Sebagai contoh paling jelas, bahasa Sunda yang merupakan bahasa komunitas orang Sunda tampak semakin jarang digunakan oleh pemiliknya sendiri, khususnya para generasi muda Sunda. Lebih memprihatinkan lagi, menggunakan bahasa Sunda dalam komunikasi sehari-hari terkadang diidentikkan dengan "keterbelakangan", untuk tidak mengatakan primitif. Akibatnya, timbul rasa gengsi pada orang Sunda untuk menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulannya sehari-hari. Bahkan, rasa "gengsi" ini terkadang ditemukan pula pada mereka yang sebenarnya merupakan pakar di bidang bahasa Sunda, termasuk untuk sekadar mengakui bahwa dirinya adalah pakar atau berlatar belakang keahlian di bidang bahasa Sunda.

Adanya kondisi yang menunjukkan lemahnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda disebabkan karena ketidakjelasan strategi dalam mengembangkan kebudayaan Sunda serta lemahnya tradisi, baca, tulis , dan lisan (baca, berbeda pendapat) di kalangan komunitas Sunda. Ketidakjelasan strategi kebudayaan yang benar dan tahan uji dalam mengembangkan kebudayaan Sunda tampak dari tidak adanya "pegangan bersama" yang lahir dari suatu proses yang mengedepankan prinsip-prinsip keadilan tentang upaya melestarikan dan mengembangkan secara lebih berkualitas kebudayaan Sunda. Apalagi jika kita menengok sekarang ini kebudayaan Sunda dihadapkan pada pengaruh budaya luar. Jika kita tidak pandai- pandai dalam memanajemen masuknya budaya luar maka kebudayaan Sunda ini lama kelamaan akan luntur bersama waktu.

Berbagai unsur kebudayaan Sunda yang sebenarnya sangat potensial untuk dikembangkan, bahkan untuk dijadikan model kebudayaan nasional dan kebudayaan dunia tampak tidak mendapat sentuhan yang memadai. Ambillah contoh, berbagai makanan tradisional yang dimiliki orang Sunda, mulai dari bajigur, bandrek, surabi, colenak, wajit, borondong, kolontong, ranginang, opak, hingga ubi cilembu, apakah ada strategi besar dari pemerintah untuk mengemasnya dengan lebih bertanggung jawab agar bisa diterima komunitas yang lebih luas. Lemahnya budaya baca, tulis, dan lisan ditengarai juga menjadi penyebab lemahnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda. Lemahnya budaya baca telah menyebabkan lemahnya budaya tulis. Lemahnya budaya tulis pada komunitas Sunda secara tidak langsung merupakan representasi pula dari lemahnya budaya tulis dari bangsa Indonesia. Fakta paling menonjol dari semua ini adalah minimnya karya-karya tulis tentang kebudayaan Sunda ataupun karya tulis yang ditulis oleh orang Sunda SISTEM INTERAKSI DALAM SUKU SUNDA Jalinan hubungan antara individu- individu dalam masyarakat suku Sunda dalam kehidupan sehari- hari berjalan relatif positif. Apalagi masyarakat Sunda mempunyai sifat someah hade ka semah. Ini terbukti banyak pendatang tamu tidak pernah surut berada ke Tatar Sunda ini, termasuk yang enggan kembali ke tanah airnya. Lebih jauh lagi, banyak sekali sektor kegiatan strategis yang didominasi kaum pendatang. Ini juga sebuah fakta yang menunjukkan bahwa orang Sunda mempunyai sifat ramah dan baik hati kepada kaum pendatang dan tamu. Diakui pula oleh etnik lainnya di negeri ini bahwa sebagian besar masyarakat Sunda memang telah menjalin hubungan yang harmonis dan bermakna dengan kaum pendatang dan mukimin. Hal ini ditandai oleh hubungan mendalam penuh empati dan persahabatan Tidaklah mengherankan bahwa persahabatan, saling pengertian, dan bahkan persaudaraan kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari antara warga Sunda dan kaum pendatang. Hubungan urang Sunda dengan kaum pendatang dari berbagai etnik dalam konteks apa pun-keseharian, pendidikan, bisnis, politik, dan sebagainya-dilakukan melalui komunikasi yang efektif. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa kesalahpahaman dan konflik antarbudaya antara masyarakat Sunda dan kaum pendatang kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Anda mungkin juga menyukai