Anda di halaman 1dari 6

Struktur Hukum:

Kurangnya independensi kelembagaan hukum Akuntabilitas kelembagaan hukum. Sumber daya manusia di bidang hukum. Sistem peradilan yang tidak transparan dan terbuka. Pembinaan Satu Atap oleh Mahkamah Agung merupakan upaya untuk mewujudkan kemandirian kekuasaan kehakiman dan menciptakan putusan pengadilan yang tidak memihak (impartial).

Struktur Hukum Indonesia adalah Negara Hukum (pasal 1 ayat 3 UUD 1945) yang mempunyai konsekuensi yuridis dalam segala aktifitas kenegaraan dan kehidupan masyarakat.Oleh karenanya ada dua pondasi yang menjadi jaminan terlaksananya amanat diatas yaitu Pondasi Validitas Hukum dan Efektifitas Hukum. Validitas Hukum hanya dilihat dari pendekatan Normatif yang mengagung-agungkan teks-teks Normatif seperti Undang-undang yang menjadi Hukum positif dan wajib ditegakan.Dalam rangka memahaminya maka yang diperlukan adalah Logika Hukum (Legal Reasoning) yang dibangun atas dasar-dasar asasasas, Dogma-dogma dan doktrin-doktrin yang universal diterapkan dalam zaman modern.

Validitas hukum mempunyai banyak kelemahan dalam menjelasakan kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat.Apalagi aturan-aturan yang telah dibuat berbenturan dengan praktek-praktek hukum.seperti misalnya prinsip Non Diskriminatif atau Equality Before the Law. Dimana setiap orang yang bersalah harus di hukum,walaupun langit runtuh danair laut meluap tetap saja hukum harus ditegakan.Namun dalam kenyataanya hukuman yang diberikan kepada setiap orang tidaklah proporsional atau diskrepansi (kesenjangan).Dan kesenjangan inilah yang menjatuhkan Wibawa hukum di mata masyarakat. Melemahnya wibawa hukum menurut O. Notohamidjoyo, diantaranya karena hukum tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari norma-norma sosial bukan hukum, norma-norma hukum belum sesuai dengan norma-norma sosial yang bukan hukum, tidak ada kesadaran hukum dan kesadaran norma yang semestinya, pejabat-pejabat hukum yang tidak sadar akan kewajibannya untuk memelihara hukum Negara, adanya kekuasaan dan wewenang, ada paradigma hubungan timbal balik antara gejala sosial lainnya dengan hukum. Oleh karenanya Validitas Hukum tidak bisa berdiri sendiri diatas kelemahan-kelemahannya.Maka hadirlah Efektifitas Hukum untuk menilai kesempurnaan pondasi hukum.Mempelajari Efektifitas Hukum harus memakai pendekatan sosial (Sociological Juriprudence Approach) dan tidak boleh memahaminya secara tekstual peraturan perundang-undangan saja. Segala keputusan penegak hukum harus dilihat dari aturan yang termanifestasi dari kehidupan sosial. Prinsip logika yang digunakan adalah logika sosial bukan logika hukum.

Dalam Efektifitas Hukum terdapat tiga unsur penting yang menjadi prinsip dasar yaitu Legal Substance, Legal Structure ,Legal Culture.Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Satjipto Rahardjo bahwa ketiga unsur diatas dimasukan kedalam aspek penting Pembaharuan Hukum. Pembaharuan Legal Substance menyangkut isi atau pemahaman tekstual pembuat undang-undang yang dijadikan Hukum Positif. Pembaharuan legal Structure (Struktur Hukum) menyangkut aparatur penegak hukum baik dari Hakim, jaksa,Pengacara dan Polisi termasuk didalamnya Lembaga Adhoc seperti KPK dan Satgas Hukum.Pembaharuan Legal Culture menyangkut rekonstruksi pemikiran Masyarakat yang tidak hanya taat hukum namun juga harus sadar hukum. Apabila kita berbicara tentang Pembaharuan Hukum Indonesia, maka dari ketiga unsur diatas yang menjadi prioritas adalah Legal Structure (Struktur Hukum). Hal ini terbukti dengan hadirnya Markus dan mafia Hukum maka terlihatlah struktur hukum yang sebenarnya. Bagus diluar namun rapuh didalamnya. Mengubah struktur memang tidak bisa dilakukan secara instant dan secepat kilat, harus dimulai dari garis start yang bagus dan dijaga dalam prosesnya. Ditambah lagi dengan ego sebuah Korps Aparat Penegak Hukum yang telah dibangun sangat lama dan dibumbui doktrin-doktrin semu. Hal inilah yang perlu kita kawal dari seorang susno yang mau membuka pintu-pintu kebobrokan dari aparat penegak hukum.Semoga Gema Pemberantasan White Collar Crime yang dimulai dari internal aparat penegak hukum seperti susno akan membawa keberhasilan bagi bangsa ini merekonstruksi struktur hukum yang rapuh

Oleh: Pan Mohamad Faiz, S.H., M.C.L.[2] Masyarakat menghendaki substansi yang lain dengan teriakan supremasi hukum. Rasanya bukan hukum (dalam makna sempit) yang diburu masyarakat, tetapi hal yang lebih substansial, yaitu keadilan (Satjipto Rahardjo, 1930-2010) Realitas Reformasi Hukum Dalam perspektif politik Indonesia, permulaan era reformasi merujuk pada saat pengundurkan diri Soeharto dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998. Hal tersebut disebabkan adanya demonstrasi besar-besaran dari elemen rakyat dan mahasiswa di tengah-tengah anjloknya nilainilai perekonomian bangsa dan tidak terkendalinya kondisi sosial, hukum, dan keamanan negara.[6] Pada saat itu, tuntutan reformasi di bidang hukum bergema sekurang-kurangnya pada ranah pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Korupsi (KKN); amandemen UUD 1945, reformasi peradilan yang mandiri dan tidak memihak, jaminan atas HAM dan tuntutan atas pelaku kejahatan HAM, serta dibukanya ruang partisipasi aktif masyarakat serta keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dari sederet tuntutan reformasi tersebut, beberapa hal yang setidaknya tampak terlihat jelas hasilnya walaupun belum sempurna, seperti misalnya

amandemen UUD 1945 dan terbukanya ruang pastisipasi warga dalam pembentukan undangundang. Sedangkan pencaian terhadap agenda lainnya masih terlihat samara-samar. Tak dapat dipungkiri, arah reformasi di bidang hukum tercerai-berai, bahkan berjalan tersendarsendat. Hal tersebut dapat ditangkap dengan mudah apabila kita berkaca pada masih lemahnya penegakan hukum (low enforcement) yang kadangkala juga masih bersikap diskriminatif. Belum lagi ditambah dengan rusaknya mental dan moralitas aparat penegak hukum yang seringkali memperjual-belikan kasus hukum hampir di setiap lini, mulai dari penyidikan, penyelidikan, penuntutan, penjatuhan vonis, hingga eksekusi putusan. Sementara itu, dibukanya pintu partisipasi dalam legislasi ternyata tidak juga membuat produkproduk hukum benar secara kualitas, salah satunya penyebabnya adalah sebagian legislator yang baru terpilih dinilai kurang memiliki kapasitas yang memadai. Hal ini setidaknya terbukti dari masih banyaknya undang-undang yang dibatalkan di hadapan Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Berbagai problem tersebut secara teoritis memang telah diproyeksikan terjadi, sebab Indonesia sedang mengalami masa transisi dari suatu pemerintahan yang otoriter ke suatu pemerintahan yang lebih demokratik. Mengambil istilah Samuel P. Huntington, kondisi demikian dinamakan sebagai transplacement, yaitu kondisi di mana pemerintahan Indonesia baru yang transisional pasca reformasi masih merupakan kombinasi antara para aktor baru dan sisa-sisa aktor pada rezim sebelumnya, sehingga yang terbit bukanlah suatu pemerintahan yang sama sekali baru. Kondisi inilah yang kemudian dianggap menjadi kendala utama bagi upaya pelaksaan reformasi hukum.[7] Hal lain yang dianggap menjadi permasalahan mendasar dan telah seringkali diwacanakan adalah aspek hukum yang oleh Lawrence M. Friedman dibagi menjadi 3 (tiga) unsur dalam sistem hukum, yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture). Dengan demikian, ketika berbicara tentang reformasi sistem hukum, maka ketiga unsur tersebut harus dibenahi secara bersama-sama. Struktur hukum yang dimaksud di sini merupakan keseluruhan institusi penegakan hukum berikut aparatnya, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan kantor pengacara. Sementara itu, substansi hukum meliputi kesleuruhan asas hukum, norma hukum, dan aturan hukum, termasuk pada putusan pengadilan. Sedangkan budaya hukum adalah perilaku kebiasaan umum, cara pandang dan sikap dari para penegak hukum ataupun warga negara.[8] Apabila merujuk dari ketiga hal tersebut, maka secara sepintas dapat kita katakan bahwa unsur hukum yang tereformasi dengan baik barulah struktur hukum, sedangkan substansi hukum belum sepenuhnya, apalagi dengan budaya hukum yang masih teramat rendah. Untuk itu diperlukan politik pembangunan hukum yang lebih terarah, sehingga tidak lagi menjadi pembaharuan hukum yang bersifat parsial dengan indikator yang lebih jelas dan terukur, khususnya terhadap aspek ketiga budaya hukum (legal culture). Melihat kondisi dan realitas hukum di atas, maka kita tidak perlu terkejut apabila timbul banyak kekecewaan di sana-sini. Lebih dalam lagi, melalui kacamata segitiga Gramsci, maka negara

akan menjadi objek tuntutan dari masyarakat sipil (civil society) dan pasar (market). Bisa jadi karena reformasi yang digulirkan selama ini terlalu fokus pada reformasi di bidang demokrasi politik, sehingga sedikit mengabaikan pentingnya reformasi hukum. Padahal, tanpa dukungan kepastian hukum, baik pembangunan demokrasi politik maupun pembangunan ekonomi tidak dapat berjalan dengan teratur dan terkendali, apalagi terkait dengan bidang investasi. Penyebab Ketidakpercayaan Rakyat Setumpuk permasalahan hukum yang melanda negeri ini bukanlah tanpa sebab. Apabila kita dapat menemukan akar permasalahan tersebut maka membangkitkan cita negara hukum bukanlah hal yang mustahil. Begitupula dengan tumbuh menjamurnya ketidakpercayaan rakyat terhadap simbol-simbol negara, khususnya di dunia hukum. Secara sederhana, masyarakat bagaikan flat fotogenik yang menangkap dan memendarkan apa saja yang terlihat dan terbaca dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai jawaban sederhana, marilah kita bandingkan perlakuan hukum antara masyarakat kelas menengah ke bawah dengan mereka yang memilki capital baik berupa kekuasaan maupun kekayaan. Beragam kasus hukum yang dialami oleh Nenek Minah, Prita Mulyasari, Raju kecil, ataupun Basar dan Kholil dengan para terdakwa koruptor kelas berat, secara kontras terlihat perbedaannya mulai dari penanganan hingga panjatuhan putusannya. Maka cukup beralasan ketika sebagian masyarakat Indonesia mengutip ungkapan yang disampaikan oleh seorang novelis Perancis, Honore de Balzac, dengan menyatakan, Laws are spider webs through which the big flies pass and the little ones get caught. Penyebab utama lainnya yang semakin membuat runtuh simbol institusi hukum adalah maraknya praktik mafia peradilan yang telah berlangsung selama empat dekade terakhir. Berlangsungnya praktik-praktik penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) di dunia hukum terjadi mulai dari tahapan penyelidikan, penyidikan, penyusunan dakwaan, pengajuan tuntutan, hingga jatuhnya putusan hakim. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap tahapan tersebut dapat diatur sesuai dengan keinginan para oknum-oknum pengacara dan oknum aparat di institusi Kepolisian Kejaksaan, dan Pengadilan. Lebih parahnya lagi, para saksi atau ahli mulai dapat dipesan sesuai dengan kemauan para terdakwa melalui prakarsa pengacaranya. Praktik kotor para mafia peradilan inilah yang kemudian menjadikan lembaga-lembaga penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan ditempatkan menjadi lembaga terkorup di Indonesia bersama dengan lembaga perwakilan dan partai politik lainnya. Bahkan menurut survei terakhir yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada 2009, Indonesia menempati peringkat pertama dari negara terkorup dari 14 negara di Asia. Artinya, penegakan hukum di Indonesia hingga kini selalu dirundung dengan masalah yang sama, padahal telah menjadi agenda utama dan pertama dalam reformasi di bidang hukum, yaitu masalah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). [9] Tidak jauh berbeda, pelayanan publik yang ditampilkan dan diberikan kepada masyarakat masih bersifat lamban dan cenderung koruptif, termasuk tidak jelasnya kelanjutan dari penyampaian aspirasi kepada lembaga perwakilan resmi. Akibatnya, timbul sikap apatisme tinggi terhadap apapun hasil kinerja yang dikeluarkan oleh lembaga negara dan pemerintahan.

Lebih dalam lagi Achmad Ali mengatkan bahwa secara sosiologis tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap pranata-pranata hukum sudah berada dalam taraf bad trust society (kepercayaan yang buruk dari masyarakat). Hal tersebut menurutnya disebabkan dari ketidakseriusan pemerintah dalam penegakan hukum.[10] Apabila terpuruknya kercayaan masyarakat terus dibiarkan, maka akan sangat berpotensi menimbulkan tindakan main hakim sendiri (eigenrichting), sebagaimana misalnya terjadi belum lama ini dalam banyak peristiwa penyerbuan kantor-kantor polisi di Lombok, Makasar, dan wilayah lainnya. Dalam perspektif psikologi sosial, perilaku demikian merupakan salah satu bentuk dari ledakan kemarahan (the hostile outburst) yang berwujud pada kerusuhan sosial. Perlunya Sinergitas Antarlembaga Negara Tatakala terjadi berbagai kesulitan dan ketidakstabilan akibat terjadinya berbagai perubahan sosial dan ekonomi, maka banyak negara akan melakukan eksperimentasi dalam pembentukan lembaga-lembaga baru. Hal ini bertujuan agar terciptanya prinsip pelayanan umum yang efektif dan efisien serta terjadinya birokrasi yang lebih mudah. Begitupula dengan di Indonesia, pasca bergulirnya reformasi mengakibatkan banyaknya lembaga negara baru yang bermunculan di tengah-tengah belantara lembaga negara yang lama. Dengan begitu banyaknya lembaga negara yang ada sekarang, maka seringkali antara fungsi dan tugas pelaksana antara lembaga satu dengan lembaga lainnya saling tumpang tindih. Untuk memantapkan sinergitas antarlembaga negara, maka di sektor pemerintahan harus ada upaya penataan secara menyeluruh. Lembaga-lembaga independen seperti Komnas HAM, KPK, KPPU, KPI, Komisi Ombudsman perlu dikonsolidasikan kembali untuk menyusuan road map bersama pembenahan reformasi hukum, bukan berjalan secara sendiri-sendiri. Khusus untuk lembaga-lembaga negara penegak hukum, seyogianya dilakukan pertemuan berkala semacam rapat kerja nasional untuk menentukan arah pembangunan penegakan hukum Indonesia. Hubungan kerja harus dibangun setidak-tidaknya antara lembaga pengadilan di bawah MA dan MK, Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Yudisial, KPK, Lembaga Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM, serta organisasi Advokat. Adalah sebuah kenicayaan apabila kita bermaksud untuk memperbaiki hukum secara nasional tanpa adanya sistem yang bekerja baik di antara skrup-skrup sistem tersebut yang dalam hal ini diwakili oleh institusi dan lembaga negara di bidang hukum tersebut. Kegiatan semacam ini pernah dilakukan oleh lembaga negara di bidang hukum menjelang pelaksaaan Pemilu 2009 yang melibatkan pimpinan tertinggi antara MK, MA, Kepolisian, Kejaksaan, KPU, dan Bawaslu. Apabila hal demikian dapat dilanjutkan secara berkala dan dalam lingkup yang lebih luas, maka masyarakat akan memperoleh pesan bahwasanya lembaga penegak hukum tidak berdiam diri menghadapi situasi dan kondisi yang terjadi sekarang ini. Akan tetapi, pertemuan saja tidaklah cukup. Masing-masing institusi harus dipastikan mengambil kebijakan tegas untuk mengeliminir para oknum yang telah mengakibatkan citra lembaga negara menjadi runtuh di mata masyarakat. Permasalahannya terjadi ketika para aparat penegak hukum telah tersandera oleh praktik kelam masa lalunya, sehingga beresiko bagi dirinya untuk mengambil tindakan tegas terhadap orang lain, sebab dirinya akan turut menjadi korban.

Untuk itu diperlukan pemimpin yang jujur, bersih, dan berani untuk menempati pucuk-pucuk pimpinan di setiap lembaga negara. Kata berani sengaja penulis tebalkan di sini, sebab bermodal jujur dan bersih saja tidak akan cukup apabila tidak ada keberanian untuk menindak tegas oknum yang terlibat dengan praktik KKN sebagaimana telah menjadi amanat reformasi hukum. Sementara itu, untuk strategi pembenahan birokrasi dan penerapan zona anti-korupsi setidaknya kita dapat merujuk pada pepatah kuno, To catch a snake, one must always go for its head, if you catch the body, the snake with surely bite you. Penutup Pembenahan hukum tidaklah semudah membalikan telapak tangan, bahkan jika ingin jujur sudah terlalu banyak beragam penelitian dan rekomendasi yang dihasilkan. Tulisan ini tidak berpretensi untuk memberikan solusi yang paling benar, melainkan menjadikan diskursus pembangunan hukum menjadi semakin terarah, khususnya dalam menghadapi tingkat kepercayaan masyarakat yang kian hari kian menurun. Kita pun tidak perlu larut dalam pesimisme atas masa depan reformasi hukum Indonesia, sebab negara sekaliber Amerika Serikat pun pernah mengalami hal yang serupa dengan apa yang tengah kita hadapi sekarang ini. Di saat itu, para penggiat hukum Amerika Serikat menyerukan agar hukum dikembalikan ke akar moralitas, kultural, dan religiusitasnya, begitu juga seharusnya kita. Selama masyarakat menaati hukum sekedar karena alasan ketakutan terhadap sanksi, maka selama itu pula kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara masih bersifat semu. Mengakhiri tulisan ini, izinkan penulis mengutip pernyataan filosof Tavarne sebagai tawaran solutif terakhir terhadap benteng hukum di Indonesia dengan menyatakan, Berikanlah saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas, berikanlah saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan undang-undang yang paling burukpun saya akan menghasilkan putusan yang baik. Semoga di masa mendatang hukum benar-benar menjadi Panglima dalam mengangkat negeri ini dari keterpurukannya.

Anda mungkin juga menyukai