Anda di halaman 1dari 21

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Peranan LSM

LSM atau yang umum dikenal dengan Organisasi non-Pemerintah (Non Government Organization) merupakan organisasi yang dibentuk oleh kalangan yang bersifat mandiri. Organisasi seperti ini tidak menggantungkan diri pada pemerintah, pada negara, terutama dalam dukungan finansial dan sarana/prasarana. Sekalipun mendapat dukungan dana dari lembaga-lembaga internasional, tidak berarti kalangan NGO/LSM sama sekali terlepas dari pemerintah, karena tidak jarang pemerintah memberikan fasilitas penopang, misalnya dengan adanya pembebasan pajak untuk aktivitas dan aset yang dimiliki oleh NGO (Riker, dalam Heyzer, Ryker and Quizon dalam Afan Gaffar, 1999: 200).

Istilah LSM lalu didefinisikan secara tegas dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 8/1990, yang ditujukan kepada gubernur di seluruh Indonesia tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat. Lampiran 2 dari Inmendagri menyebutkan bahwa LSM adalah organisasi/lembaga yang anggotanya adalah masyarakat warganegara Republik Indonesia yang secara sukarela atau kehendak sendiri berniat serta bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya

13

meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya. Berdasarkan bahasan di atas, maka yang dimaksud dengan Lembaga Swadaya Masyarakat adalah organisasi masyarakat yang bergerak secara sukarela dan swadaya yang bangkit dari kesadaran sosial untuk mengatasi masalah atau persoalan yang dihadapi masyarakat khususnya kalangan bawah.

Menurut Atmanto (2007) secara umum LSM mempunyai karakteristik kerja berorientasi kepada pemberdayaan rakyat kecil (empowering to grass-root people), kaum miskin, dan masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam perkembangannya aktivitas LSM memainkan berbagai macam peranan dalam proses pembangunan sebuah Negara. Noeleen Heyzer (Dalam Afan Gaffar, 2004:203) mengidentifikasi tiga jenis peranan yang dapat dimainkan oleh berbagai NGO/LSM, yaitu: 1. Mendukung dan memperdayakan masyarakat pada tingkat grass root yang sangat esensial, dalam rangka menciptakan pembangunan yang berkelanjutan. 2. Meningkatkan pengaruh politik secara luas, melalui kerjasama, baik dalam suatu negara ataupun lembaga dan lembaga internasional lainnya. 3. Ikut mengambil bagian dalam menentukan arah dan agenda pembangunan

Sementara itu Andra L. Corrothers dan EstieW. Suryatna (Dalam Gaffar, 2004: 204) mengungkapkan hal yang hampir sama, dengan sedikit menekankan pada dimensi politik. Ada empat peranan yang dimainkan oleh kalangan NGO/LSM dalam sebuah negara, antara lain yaitu:

14

1. Katalisasi perubahan sistem, hal ini dilakukan dengan jalan mengangkat sejumlah masalah yang penting dalam masyarakat, membentuk sebuah kesadaran sosial, melakukan advokasi demi perubahan kebijaksanaan negara, mengembangkan kemampuan politik rakyat, dan mengadakan eksperimen yang mendorong inisiatif masyarakat. 2. Memonitor pelaksanaan sistem dan cara penyelenggaraan negara, bahkan bila perlu melakukan protes. Hal ini dilakukan karena bisa saja terjadi penyalahgunaan kekuasaan, penyelenggaraan hukum, terutama yang dilakukan oleh pejabat negara dan kalangan bisnis. 3. Memfasilitasi rekonsiliasi warga negara dengan lembaga peradilan. Hal ini dilakukan karena tidak jarang warga masyarakat menjadi korban kekerasan itu, kalangan NGO muncul secara aktif untuk melakukan pembelaan bagi mereka yang menjadi korban ketidakadilan. 4. Implementasi program pelayanan. NGO dapat menempatkan dirinya sebagai lembaga yang mewujudkan sejumlah program dalam masyarakat. Jadi dengan mengacu kepada pendapat Heyzer tersebut, maka peranan NGO/LSM dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar yaitu: 1. Peranan dalam bidang Nonpolitik, yaitu memperdayakan masyarakat dalam bidang

sosial, ekonomi. 2. Peranan dalam bidang Politik, yaitu sebagai wahana untuk menjembatani warga

15

masyarakat

dengan

negara

atau pemerintah.

2.2 Tinjauan Tentang Pemberdayaan

Salah satu pendekatan yang digunakan dalam meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat adalah pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan (empowerment) merupakan konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan barat, utamanya Eropa. Konsep pemberdayaan tampak kepermukaan sekitar dekade 1970-an, dan terus berkembang sepanjang dekade 1980-an hingga 1990-an (akhir abad 20). Pembangunan masyarakat sebagai strategi pembangunan digunakan dalam paradigma

pembangunan yang berpusat pada manusia. Menurut Muchtar (2007) Perspektif pembangunan ini menyadari betapa pentingnya kapasitas manusia dalam rangka meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal atas sumberdaya materi dan nonmaterial melalui redistribusi modal atau kepemilikan
(www.depsos.go.id/Balatbang/Puslitbang%20UKS/PDF/muchtar.pdf yang diakses pada tanggal 26 Januari 2007).

Kata empower atau berdaya dalam kamus bahasa ditafsirkan sebagai berkontribusi waktu, tenaga, usaha melalui kegiatan-kegiatan berkenaan dengan perlindungan hukum, memberikan seseorang atau sesuatu kekuatan atau persetujuan melakukan sesuatu, menyediakan seseorang dengan sumberdaya, otoritas dan peluang untuk melakukan sesuatu atau membuat sesuatu menjadi

16

mungkin dan layak. Pada kamus yang lain pengertian menjadi memberikan seseorang rasa percaya diri atau kebanggaan diri.

Lebih jauh secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata power (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya menurut Suharto (2007) ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Ilmu sosial tradisional menekankan bahwa kekuasaan berkaitan dengan pengaruh dan kontrol. Pengertian ini mengasumsikan bahwa kekuasaan sebagai sesuatu yang tidak berubah atau tidak dapat dirubah. Kekuasaan sesungguhnya tidak terbatas pada pengertian di atas. Kekuasaan tidak vakum dan terisolasi. Kekuasaan senantiasa hadir dalam konteks relasi sosial antar manusia. Kekuasaan tercipta dalam relasi sosial. Karena itu, kekuasaan dan hubungan kekuasaan dapat berubah. Dengan pemahaman kekuasaan seperti ini, pemberdayaan sebagai sebuah proses perubahan kemudian memiliki konsep yang bermakna. Dengan kata lain, kemungkinan terjadinya proses pemberdayaan sangat tergantung pada dua hal (1) Bahwa kekuasaan dapat berubah. Jika kekuasaan tidak dapat berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara apapun; dan (2) Bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan pada pengertian kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis
(www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_32.htm yang diakses pada tanggal 12 Februari 2007).

17

Menurut Suharto di dalam bukunya Membangun masyarakat Menberdayakan Rakyat (Suharto, 2005: 58) dan artikelnya yang berjudul Pendampingan Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat Miskin: Konsepsi dan Strategi, memuat beberapa pengertian seputar pemberdayaan, yaitu: 1. Menurut Ife, pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung. 2. Menurut Swift dan Levin, pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial. 3. Menurut Rappaport, pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya. 4. Menurut Parsons, pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadiankejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya. 5. Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah, untuk (a) memiliki akses terhadap sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-baran dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan (b) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka. Dengan demikian, menurut Suharto (2005:59), beragam definisi pemberdayaan menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial yaitu masyarakat miskin yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang

18

bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses.

Lebih lanjut, United Nations (dalam Tampubolon: 2007) mengemukakan prosesproses pemberdayaan masyarakat sebagai berikut. 1) Getting to know the local community Mengetahui karakteristik masyarakat setempat (lokal) yang akan diberdayakan, termasuk perbedaan karakteristik yang membedakan masyarakat desa yang satu dengan yang lainnya. Mengetahui artinya untuk memberdayakan masyarakat diperlukan hubungan timbal balik antara petugas dengan masyarakat. 2) Gathering knowledge about the local community Mengumpulkan pengetahuan yang menyangkut informasi mengenai masyarakat setempat. Pengetahuan tersebut merupakan informasi faktual tentang distribusi penduduk menurut umur, sex, pekerjaan, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, termasuk pengetahuan tentang nilai, sikap, ritual, dan custom, jenis pengelompokkan, serta faktor kepemimpinan baik formal dan informal. 3) Identifying the local leaders Segala usaha pemberdayaan masyarakat akan sia-sia apabila tidak memperoleh dukungan dari pimpinan/tokoh-tokoh masyarakat setempat. Untuk itu, faktor the local leaders harus selalu diperhitungkan karena mereka mempunyai pengaruh yang kuat di dalam masyarakat.

19

4) Stimulating the community to realize that it has problem Di dalam masyarakat yang terikat terhadap adat kebiasaan, sadar atau tidak sadar mereka tidak merasakan bahwa mereka punya masalah yang perlu dipecahkan. Karena itu, masyarakat perlu pendekatan persuasif agar mereka punya masalah yang perlu dipecahkan dan kebutuhan yang perlu dipenuhi. 5) Helping people to discuss their problem Memberdayakan masyarakat bermakna merangsang masyarakat untuk

mendiskusikan masalahnya seta merumuskan pemecahannya dalam suasana kebersamaan. 6) Helping people to identify their most pressing problems Masyarakat perlu diberdayakan agar mampu mengidentifikasi permasalahan yang paling menekan. Dan masalah yang paling menekan inilah yang harus diutamakan pemecahannya. 7) Fostering self-confidence Tujuan utama pemberdayaan masyarakat adalah membangun rasa percaya diri masyarakat. Rasa percaya diri merupakan modal utama masyarakat untuk berswadaya. 8) Deciding on a program action Masyarakat itu perlu diberdayakan untuk menetapkan suatu program yang akan dilakukan. Program action tersebut perlu ditetapkan menurut skala prioritas, yaitu rendah, sedang, tinggi. Tentunya program dengan skala prioritas tinggilah yang perlu didahulukan pelaksanaannya. 9) Recognition of strengths and resources Memberdayakan masyarakat berarti membuat masyarakat tahu dan mengerti

20

bahwa mereka memiliki kekuatan-kekuatan dan sumber-sumber yang dapat dimobilisasi untuk memecahkan permasalahan dan memnuhi kebutuhannya. 10) Helping people to continue to work on solving their problem Pemberdayaan masyarakat adalah suatu kegiatan yang berkesinambungan. Karena itu, masyarakat perlu diberdayakan agar mampu bekerja memecahkan masalahnya secara kontinyu. 11) Increasing peoples ability self-help Salah satu tujuan pemberdayaan masyarakat adalah tumbuhnya kemandirian masyarakat. Masyarakat yang mandiri adalah masyarakat yang sudah mampu menolong diri sendiri. Untuk itu, perlu selalu ditingkatkan kemampuan masyarakat untuk berswadaya.

Dalam

ACCESS,

hand

out

Selintas

Memahami

Konsep

Kemiskinan,

Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat (bahan bacaan Training Fasilitasi Pemberdayaan Masyakarat kerjasama Inspirit Innovation Circles dan ACCESS) pada 21-26 Juni 2004 di Waingapu, Sumba, dijelaskan bahwa pemberdayaan dalam kaitannya dengan pembangunan sering dikaitkan dengan beberapa hal berikut: a. Tata relasi kekuasaan yang demokratik, transparan, dan diakui publik (good governance). b. Transformasi ekonomi menjadi komunitas yang mandiri, berbasis pada sumberdaya lokal, dan penguatan sumberdaya manusia. c. Promosi pengembangan komunitas melalui kekuatan sendiri dan berporos pada proses dibandingkan dengan penyelesaian suatu proyek. d. Sebuah proses yang memungkinkan pengambilan keputusan kolektif dan dilanjutkan dengan tindakan kolektif e. Partisipasi penuh atau sebuah proses yang melipatkan seluruh lapisan masyarakat (tanpa terkecuali) dalam pengembangan agenda komunitas. Pemaparan di atas menunjukkan bahwa pemberdayaan menjadi suatu kebutuhan

21

dalam membangun kapasitas individu dan komunitas untuk mampu merespon perubahan lingkungan dengan cara mendorong perubahan internal dan eksternal yang tepat dan tidak lelah melakukan pembaruan sosial (inovasi sosial). Pemberian kapasitas individu (individual capacity) dapat berupa: persepsi dan sikap (perception and attitude) , pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan pendapatan (pembiayaan usaha mikro) (income). Sedangkan kapasitas komunitas dapat berupa: manajemen organisasi (organization management), akses (pelayanan keuangan/pemupukan modal, informasi, pemasaran) (access), dan jaringan kerja (netwoking).

Selain penguatan kapasitas (individu dan komunitas), pendampingan sosial kemudian hadir sebagai agen perubah yang turut terlibat dalam usaha proses melakukan pemberdayaan. Menurut Suharto (2007) pendampingan sosial dapat diartikan sebagai interaksi dinamis antara kelompok miskin dan pekerja sosial untuk secara bersama-sama menghadapi beragam tantangan seperti; (a) merancang program perbaikan kehidupan sosial ekonomi, (b) memobilisasi sumber daya setempat (c) memecahkan masalah sosial, (d) menciptakan atau membuka akses bagi pemenuhan kebutuhan, dan (e) menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang relevan dengan konteks pemberdayaan masyarakat.

Lebih lanjut, pemberdayaan komunitas berarti penguatan makna dan realitas dari prinsip-prinsip inklusivitas (seperti bagaimana melibatkan para pihak yang relevan dalam suatu proses), transparansi (keterbukaan), akuntabilitas (yang memberikan legitimasi pada setiap proses pengambilan keputusan). Bagaimana memberikan

22

kesempatan pada anggota komunitas (termiskin, terpinggirkan) untuk memahami realitas lingkungannya (sosial, politik, ekonomi, politik, dan kebudayaan) dan merefleksikan faktor-faktor yang membentuk lingkungan mereka dan menentukan langkah-langkah perubahan untuk memperbaiki situasi mereka. Menemukenali elemen-elemen atau kondisi yang dibutuhkan bagi pemberdayaan adalah menjadi kebutuhan utama dalam memahami manifestasi konkrit pemberdayaan di tingkat basis. Adapun elemen-elemen pemberdayaan yang masuk di dalamnya adalah (ACCESS: 2004): a. Swadaya dan otonomi lokal dalam proses pengambilan keputusan masyarakat di tingkat desa, dan partisipasi demokrasi langsung dalam proses kepemerintahan representatif yang lebih luas. Ini akan memungkinkan masyarakat menggunakan kapasitasnya untuk memanfaatkan jasa informasi, berlatih memikirkan masa depan, melakukan eksperimen dan inovasi, berkolaborasi dengan orang lain, dan mengeksploitasi kondisi-kondisi serta sumberdayasumberdaya baru; b. Penyediaan ruang bagi masyarakat untuk menegaskan kebudayaan serta kesejahteraan spiritualnya, dan pembelajaran sosial yang bertumpu pada pengalaman, termasuk pengungkapan dan penerapan kearifan lokal, di samping pengetahuan teoritis dan ilmiah; c. Akses terhadap tanah dan sumberdaya lainnya, pendidikan untuk perubahan, dan fasilitas perumahan serta kesehatan; d. Akses terhadap pengetahuan dan ketrampilan (dari dalam maupun dari luar) untuk mempertahankan kekayaan alam secara konstan dan kapasitas alam menerima buangan; e. Akses terhadap latihan ketrampilan, teknik-teknik pemecahan masalah, dan teknologi serta informasi tepat guna yang ada, sehingga pengetahuan serta ketrampilan yang dimiliki bisa dimanfaatkan; dan f. Partisipasi dalam proses-proses pengambilan keputusan oleh semua orang, terutama perempuan dan kelompok-kelompok yang pinggiran. Pemberdayaan pada akhirnya memberikan kepada komunitas terpinggirkan kapasitas yang sesungguhnya agar mampu menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan baik sebagai masyarakat maupun komunitas. Transisi ini membutuhkan

23

kesadaran sosial, partisipasi sosial yang lebih tinggi, pemanfaatan pemahaman baru atas proses ekologi perubahan dan pembaruan diri. Tekanan terbesar dalam proses pemberdayaan dalam pembangunan berkelanjutan adalah pemberdayaan sosioekonomi, pemberdayaan politik, pemberdayaan pendidikan, pemberdayaan teknologi dan pemberdayan kebudayaan atau spiritual. Pemberdayaan sosioekonomi ini akan mendorong individu dan komunitas memperoleh tanggung jawab bersama menentukan masa depannya dan menjadi manajer perubahan yang diinginkan.

Pemberdayaan politik dan pendidikan melalui pendidikan kemandirian atau pendidikan pembebasan akan meningkatkan kapasitas komunitas bergelut dengan isu-isu demokrasi dan keadilan serta merasa memiliki kemampuan berbicara tentang apa yang dipikirkan dan pandangannya terhadap dunia serta menentukan sendiri kehidupan yang dibayangkan. Pemberdayaan teknologi melalui pengakuan atas pengetahuan lokal dan ketrampilan melalui kerjasama internasional adalah penting untuk memecahkan dilema pertumbuhan, kelestarian lingkungan hidup dan kesejahteraan umat manusia. Hal ini akan melibatkan perkembangan dan bertukar teknologi yang akan mampu meningkatkan produktivitas tenaga kerja, pendapatan, kesejateraann dan mengurangi dampak buruk kerusakan lingkungan hidup.

Pemberdayaan kebudayaan dan spiritual bertujuan memahami kebudayaan dan spiritualitas sebagai basis eksistensi manusia dan sebagai landasan keberlanjutan peradaban umat manusia. Dalam perdebatan para pakar pembangunan, kebudayaan dan spiritualitas menjadi kunci dalam impelementasi pembangunan berkelanjutan.

24

Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Suharto (2005: 66) pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga aras atau matra pemberdayaan (empowerment setting): mikro, mezzo,dan makro. 1. Aras Mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai Pendekatan yang Berpusat pada Tugas (task centered approach). 2. Aras Mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien. Pemberdayaan dilakukan dengan menggnakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap klien agar memmiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya. 3. Aras Makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar (large-sistem strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini. Strategi Sistem Besar memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak. Pada tataran pentahapan pemberdayaan, Sumodoningrat dalam Teguh Sulistiyani (2004: 83) mengungkapkan tiga tahapan yang harus dilalui dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Tahap-tahap yang harus dilalui tersebut adalah meliputi: 1. Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri. 2. Tahapan transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan-keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan. 3. Tahapan peningkatan kemampuan intelektual, kecakapanketerampilan sehingga terbentuklah inisatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian. Tahapan pertama atau tahap penyadaran dan pembentukan perilaku merupakan

25

persiapan dalam proses pemberdayaan masyarakat. Pada tahap ini pihak pemberdaya/aktor/pelaku pemberdayaan berusaha menciptakan prakondisi, supaya dapat memfasilitasi berlangsungnya proses pemberdayaan yang efektif. Apa yang diintervensi dalam masyarakat sesungguhnya lebih pada kemampuan afektif-nya (keberdayaan dalam sikap dan perilaku) untuk mencapai kesadaran konatif (suatu sikap perilaku masyarakat yang terbentuk yang kemudian diarahkan pada perilaku sensitif terhadap nilai-nilai pembangunan dan pemberdayaan) yang diharapkan. Sentuhan penyadaran akan lebih membuka keinginan dan kesadaran masyarakat tentang kondisinya saat itu, dan dengan demikian akan dapat merangsang kesadaran mereka tentang perlunya memperbaiki kondisi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.

Sentuhan akan rasa ini akan membawa kesadaran masyarakat tumbuh, kemudian merangsang semangat kebangitan mereka untuk meningkatkan kemampuan diri dan lingkungan. Dengan adanya semangat tersebut diharapkan dapat menghantarkan masyarakat untuk samapai pada kesadaran dan kemauan membutuhkan pengetahuan dan keterampilan untuk memperbaiki kondisi.

Pada tahap kedua yaitu proses transformasi pengetahuan dan kecakapan keterampilan dapat berlangsuang baik, penuh semangat dan berjalan efektif, jika tahap pertama telah terkondisi. Masyarakat akan menjalani proses belajar tentang pengetahuan dan kecakapan-keterampilan yang memiliki relevansi dengan apa yang menjadi tuntutan kebutuhan tersebut. Keadaan ini akan menstimulasi terjadinya keterbukaan wawasan dan menguasai kecakapan-keterampilan dasar yang mereka

26

butuhkan. Pada tahap ini masyarakat hanya dapat memberikan peran partisipasi pada tingkat rendah, yaitu sekedar menjadi pengikut atau obyek pembangun saja, belum mampu menjadi subyek dalam pembangunan.

Tahap ketiga adalah merupakan tahap pengayaan atau peningkatan intelektualitas dan kecakapan-keterampilan yang diperlukan, supaya mereka dapat membentuk kemampuan kemandirian. Kemandirian tersebut akan ditandai kemampuan masyarakat di dalam membentuk inisiatif, melahirkan kreasi-kreasi, dan melakukan inovasi-inovasi di dalam lingkungannya. Apabila masyarakat telah mencapai tahap ketiga ini maka masyarakat dapat secara mandiri melakukan pembangunan. Dalam konsep pembangunan masyarakat pada kondisi seperi ini sering kali didudukan sebagai subyek pembangunan atau pemeran utama. Pemerintah tinggal menjadi fasilitator saja.

Berdasarkan bahasan di atas, konteks pemberdayaan yang menjadi fokus penelitian adalah peranan yang mengacu pada usaha-usaha (program) yang dilakukan oleh LSM dalam memberdayakan masyarakat pedesaan, guna meningkatkan potensi dan pemberian kapasitas kepada masyarakat pedesaan untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik.

2.3 Tinjauan Tentang Masyarakat Pedesaan

27

Definisi mengenai masyarakat ada bermacam-macam, tergantung pada sudut pandang masing-masing sarjana sosial. Beberapa sarjana ilmu sosial memberikan definisi masyarakat sebagai berikut (Soerjono Soekanto, 2006: 22): a. Mac Iver dan Page Masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara dari wewenang dan kerjasama antar berbagai kelompok dan penggolongan, dari pengawasan tingkah laku, serta kebebasan manusia, keseluruhan yang merubah. b. Ralp Linton Masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang hidup bersama cukup lama, sehingga mereka dapat mengatur diri sendiri dan menganggap mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batasan-batasan yang telah dirumuskan dengan jelas. c. Selo Soemardjan Masyarakat adalah orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat dinyatakan bahwa masyarakat adalah orang yang hidup bersama, kemudian mereka mengatur diri sendiri menjadi satu kesatuan sosial dengan batasan-batasan yang telah dirumuskan dengan jelas.

Terkait dengan pendefinisian desa, menurut Sutardjo Kartohadikusumo (1983: 13) dinyatakan bahwa desa ialah suatu kesatuan hukum di mana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Corak kehidupan desa didasarkan pada ikatan kekeluargaan yang erat. Masyarakat di dalamnya

28

merupakan suatu gemeinschaft yang memiliki unsur gotong-royong yang kuat. Hal ini dapat dimengerti, karena penduduk desa merupakan face to face group di mana mereka saling mengenal betul seolah-olah mengenal dirinya sendiri.

Lebih lanjut Soerjono Soekanto (2006: 136) berpendapat bahwa, dalam masyarakat yang modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan dengan masyarakat perkotaan rural community dan urban community. Perbedaan tersebut sebenarnya tidak mempunyai hubungan dengan pengertian masyarakat sederhana karena dalam masyarakat modern, betapa pun kecilnya suatu desa, pasti ada pengaruh-pengaruh dari kota. Sebaliknya pada masyarakat bersahaja pengaruh dari kota secara relatif tidak ada. Perbedaan antara masyarakat pedesaan dengan masyarakat perkotaan, pada hakikatnya bersifat gradual.

Kedua definisi tersebut mengandung makna bahwa yang dimaksud dengan masyarakat desa adalah masyarakat di daerah pedesaan. Masyarakat kecil disebut juga rural community yang diartikan sebagai masyarakat yang anggota-anggotanya hidup bersama di suatu lokalitas tertentu, yang seorang merasa dirinya bagian dari kelompok, kehidupan mereka meliputi urusan-urusan yang merupakan

tanggungjawab bersama dan masing-masing merasa terikat pada norma-norma tertentu yang mereka taati bersama.

2.4 Kerangka Pemikiran

Organisasi kemasyarakatan sering dikaitkan dengan Organization Non Paerlement

29

(ORNOP) atau dengan kata lain Non Government Organization (NGO), yang kemudian diganti istilah dengan istilah Lembaga Swadaya Masyarakat/ Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LSM/LPSM). Kehadiran LSM didasarkan pada suatu asumsi bahwa LSM merupakan suatu alternatif dalam membantu pemerintah maupun masyarakat dalam pembangunan,mengungat ketidakmungkinan pemerintah mengatasi masalah yang ada.

Peranan suatu lembaga/organisasi dalam masyarakat lebih banyak menyangkut pada aktivitasnya tersebut yang bersumber dari program-program yang mereka jalankan. Sehingga keberhasilan LSM dalam melakukan usaha pemberdayaan akan diukur dari kemandirian kelompok ataupun orang yang didampinginya. Dalam kegiatannya, LSM berpihak kepada kaum lemah, kaum miskin yang tersingkir, tertindas dan sering diabaikan dalam pengambilan keputusan. Pemihakkan ini diwujudkan dengan pemberian kapasitas (baik individu maupun komunitas) kepada masyarakat pedesaan.

Sebagaimana diketahui, tuntutan masyarakat terhadap reformasi pelaksanaan pembangunan terus berlanjut. Oleh karenanya aspirasi tersebut perlu direspons secara proporsional dan substansial oleh pihak pemerintah, sebagai pengemban pelaksana (eksekutif) pembangunan. Begitu pula yang terjadi dalam melakukan pembangunan di pedesaan, tidak luput dari tuntutan masyarakat desa untuk dilakukan perubahan-perubahan yang konstruktif, yang lebih demokratis dan lebih memberikan akses kepada masyarakat untuk mempunyai kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya yang mereka miliki.

30

Usaha dalam melakukan pemberdayaan masyarakat itu menunjukkan suatu usaha melakukan investasi pada masyarakat, khususnya masyarakat desa, dan organisasi mereka, sehingga asset dan kemampuan mereka bertambah, baik kapasitas perorangan maupun kapasitas komunitas. Pemberdayaan merujuk pada perluasan kebebasan memilih dan bertindak.

Berdasarkan uraian tersebut, maka perspektif yang relatif relevan untuk menjelaskan fenomena tersebut adalah teori Struktural Fungsional, dimana konsep utama dari teori ini adalah: fungsi, disfungsi fungsi laten, fungsi manifest, keseimbangan (equilibrium). Menurut teori ini, masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan, perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan terhadap bagian yang lain. Menurut Parson bahwa ada empat prasyarat fungsional yang harus tercukupi oleh setiap masyarakat, kelompok, atau organisasi, kalau tidak sistem sosial tidak akan bertahan dan mesti berakhir, keempat prasyarat tersebut adalah: 1. Adaptasi, 2. Kemungkinan mencapai tujuan, 3. Integrasi antar anggota-anggotanya, dan 4. Kemungkinan mempertahankan identitasnya terhadap kegoncangan dan ketegangan yang timbul dari dalam.

Kemampuan menyesuaikan diri merupakan faktor penting yang mempengaruhi

agan 2. Kerangka Pemikiran

31

pencapaian efektifitas lembaga/organisasi. Kondisi ini tidak begitu saja terjadi tetapi melalui proses panjang, dan kemampuan menyesuaikan diri sangat menentukan keberadaanya di masyarakat. Proses ini meliputi upaya auntuk mengetahui kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya masyarakat setempat. Kemampuan mencapai tujuan artinya kondisi diterima tersebut tergantung pada sejauh mana lembaga/organisasi yang bersangkutan menguntungkan bagi masyarakat dan lingkungannya yang sekaligus sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan lembaga/organisasi, sehingga ada tujuan yang jelas.

Berdasarkan hal tersebut maka untuk melihat bagaimana peran LSM dalam melakukan pemberdayaan masyarakat pedesaan, dapat ditinjau dari strategi program yang mereka lakukan dalam memberikan kepada masyarakat pedesaan kapasitas yang sesungguhnya agar mampu menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan baik sebagai masyarakat maupun komunitas.

2.5 Skema Kerangka Pemikiran

32

0100090000037800000002001c00000000000400000003010800050000000b02000 00000050000000c02a00e520d040000002e0118001c000000fb02100007000000000 0bc02000000000102022253797374656d000e520d000098c9110072edc63058b51c 000c020000520d0000040000002d01000004000000020101001c000000fb029cff00 00000000009001000000000440001254696d6573204e657720526f6d616e0000000 000000000000000000000000000040000002d010100050000000902000000020d00 0000320a5a00000001000400000000004e0da00e200b2d00040000002d010000030 000000000

Anda mungkin juga menyukai