Anda di halaman 1dari 31

Peter Kasenda

Memahami Soekarno Lewat Teks


Dalam tahun 1966, Bernhard Dahm berkunjung ke Indonesia buat pertama kalinya sesudah buku Sukarnos Kampft um Indonesiens Unabhangigkeit Wedergang und Indeeneines asiaschen Nationalisten diterbitkan pada permulaan tahun 1965. Kesempatan ini dipergunakannya untuk menemui tokoh yang menjadi pusat perhatiannya, yaitu Presiden Soekarno almarhum. Ketika Bernhard Dahm bertemu dengan Presiden Soekarno, Presiden Soekarno telah membaca buku Bernhard Dahm, Buku Bernhard Dahm ini semula diajukan sebagai disertasi untuk memperoleh gelar Doktor dari Universitas Kiel, Jerman Barat, pada tahun 1964. Pada tahun 1965 naskah ini diterbitkan sebagai buku dalam bahasa Jerman, kemudian dalam bahasa Belanda pada tahun 1966, dan bahasa Inggris pada tahun 1969 oleh Cornell University Press. Menurut Bernhard Dahm, dalam kata pengantarnya buat edisi bahasa Inggris ini, sungguhpun Soekarno mengetahui bahwa orang-orang komunis terlibat dalam Persitiwa 30 September 1965, namun dengan bersikeras kepala dia menolak tuntutan dari semua pihak untuk membubarkan PKI. Mengapa Anda tidak melarang PKI, tanya Bernhard Dahm. Engkau tak dapat menghukum suatu partai secara keseluruhan berdasarkan kesalahan segelintir orang, jawab Soekarno. Setelah mendengar jawaban yang demikian Bernhard Dahm lantas mengemukakan bahwa Soekarno pernah berbuat begitu terhadap Masyumi dan PSI di tahun 1960. Soekarno lalu menjelaskan bahwa Masyumi dan PSI merusak perjalanan revolusi kami. Sedangkan PKI merupakan tombak (avant-garde) dari kekuatankekuatan revolusioner. Kita membutuhkannya untuk melaksanakan keadilan sosial dan kemakmuran masyarakat.: Kemudian Bernhard Dahm melanjutkan pembicaraan dengan menanyakan apakah dia masih tetap berpegang pada konsep NASAKOM. Masih, jawab Soekarno, Aliran-aliran ini merupakan faktor-faktor obyektif dari masyarakat kami. Dan jika Anda ingin mengadakan perubahan-perubahan di dalam masyarakat itu Anda harus mempersatukan mereka.
1

Dialog di atas kembali mengingatkan Bernhard Dahm pada Soekarno di permulaan tahun diua puluhan sewaktu dia mulai muncul sebagai salah seorang pemimpin pergerakan nasional Indonesia yang menghendaki persatuan dalam ungkapan dan tuturan kata-kata yang kurang lebih sama. Jelas, kata Bernhard Dahm, caranya menghadapi masyarakatnya yang pluralistis tidak pernah berubah. Demikianlah, pesannya selalu tetap sama; menentang imperialisme sampai titik terakhir di satu pihak, sedangkan di pihak lain membangun sebuah orde baru dengan jalan mengawinkan ideologi-ideologi yang berbeda ke dalam suatu keseluruhannya yang harmonis, Dengan lain perkataan Bernhard Dahm berpendapat bahwa Soekarno tetap konsisten, tidak pernah berubah. Menurut Bernhard Dahm, Soekarno sudah mengenal semua aliran politik dalam pergerakan Indonesia, dan ia memiliki kualifikasi-kualifikasi yang ideal bagi tugas menciptakan persatuan, tanpa harus segera berhadapan dengan perlawanan yang sengit dari pihak yang mana pun. Sebab, masingmasing dari sekian banyak partai dan perhimpunan ini, hampir tanpa kecuali, dapat ditelusuri sumbernya keapada salah satu dari ketiga aliran politik yang mendasarinya Nasionalisme, Islam, atau Marxisme. Soekarno sudah tidak asing lagi dengan semua ideologi itu, dan belakangan ini telah memperdalam pengetahuan teoritisinya mengenai Marxisme dan tentang kebangkitan kembali Islam. Kuartal keempat 1926 sekitar tiga bulan setelah ia menuyelesaikan studinya Soekarno menulis dalam Indonesia Moeda, majalah Studie club Bandung, artikelnya yang pertama dari artikel mengenai Nasionalisme, Islam, Marxisme, di mana ia menyeruhkan kerjasama yang lebih erat di antara ketiga golongan tersebut. Akan tetapi terlebih dulu ia menyambut majalah itu sendiri sebagai anak Bima yang sejati, yang dilahirkan di tengah-tengah perjuangan, perjuangan Asia yang sudah bangkit. Masanya sudah lampau di masa rakyat-rakyat Asia dapat dengan pasif menyerahkan nasib politik dan ekonomi mereka di tangan negara-negara asing. Kepercayaan mereka, bahwa bangsa-bangsa yang memerintah mereka pada suatu waktu akan pergi dengan sukarela, dan seperti saudara tua, memberikan kemerdekaan kepada bangsa-bangsa baru yang telah dewasa atau matang, sudah hampir mati. Ketiadaan kemakmuran di tanah air mereka telah mendorong orang-orang Eropa untuk mencarinya di luar negeri, dan untuk mempunyai jajahan di
2

mana saja mereka menemukannya. Dan karena itu, mereka tidak akan pernah melepaskan jajahan-jajahan itu secara sukarela, karena orang tak akan gampanggampang melepaskan bakul nasinya, jika pengelepasan bakul itu mendatangkan matinya. Maka orang-orang para kolonialis pun dibuka kedoknya. Dengan satu gerak saja setiap motif yang mungkin bagi penjajahan selain motif ekonomi telah dapat disingkirkan. Dasawasa demi dasawarsa katanya lebih lanjut orang-orang Eropa (Barat) telah mengangkut kekayaan Asia ke luar negeri mereka sendiri. Kesadaran mengenai tragedi penjajahan, kata Soekarno selanjutnya, telah menimbulkan protes di seluruh Asia, karena Roch Asia tidak akan mengalah kepda penindasan. Bahkan di Indonesia sudah muncul suatu pergerakan rakyat ; ia telah dimanifestasikan dalam tiga aliran politik, walaupun tujuannya sama, - yakni satu aliran nasionalis, satu aliran Islamis, dan satu aliran Marxis. Sekarang menjadi kewajiban semua orang untuk berupaya mempersatukan ketiga aliran itu, dan untuk membuktikan bahwa di daerah jajahan mereka ; tidak perlu bermusuhan satu sama lain. Andaikata saja mereka bersatu, mereka akan merupakan air bah yang tak akan bisa ditahan. Dengan semangat yang tak kunjung padam, dan tanpa mengenal putus asa, mereka harus memikul tugas yang besar dan berat ini Sebab kita yakin ke arah terkabulnya impian kita, Indonesia Merdeka Demikianlah, maka untuk pertama kalinya Soekarno memberikan rumusan yang jelas dan gamblang dari gagasan yang untuk selanjutnya akan mendominasi semua tindakannya, dan yang merupakan kunci untuk mewujudkan harapan-harapannya : hanya persatuan di dalam pergerakan sajalah yang dapat memberikan kekuatan yang cukup besar kepada tindakantindakannya untuk mencapai tujuan. Bahwasanya Soekarno tidak merasa pesimis mengenai tugas mempersatukan aliran-aliran itu, tampak dari pernyataannya yang sambil lalu bahwa semua aliran itu tujuannya sama. Dengan demikian, maka pertama-tama mereka harus menjauhi percecokan di antara sesama mereka. Setelah negara kolonial dibuka kedoknya, motif yang sebenarnya dari penjajahan dijelaskan, dan setelah ada pengindentifikasian yang sadar dengan protesprotes di seluruh Asia, maka ditemukanlah lawan mereka bersama bangsabangsa Eropah (Barat). Mereka adalah lawan kaum nasionalis, karena mereka menguasai wilayah-wilayah Asia ; mereka musuh golongan Islam karena karena kegiatan-kegiatan misi Kristen mereka ; dan akhirnya, mereka
3

lawan kaum Marxis, karena mereka pendukung sistem kaum kapitalis, yang merintangi meluasnya sosialisme. Bagi Soekarno sudah jelas dengan sendirinya, bahwa kaum nasionalis, Islamis, dan Marxis harus bersatu dalam perjuangan melawan penguasa-penguasa asing. Akan tetapi, ia tidak hanya berbicara tentang lawan bersama, melainkan juga mengenai tujuan yang tunggal. Sebelumnya, ia pernah berbicara tentang tujuan tungal itu, yakni ketika terjadi perpecahan antara Sarakat Islam dan Partai Komunis dan ketika ajaran-ajaran nasionalis didesak dan untuk sebagaian digantikan oleh konsep-konsep sosialis. Dalam 1921, ia berkata bahwa tujuan tunggal Sarekat Islam dan Partai Komunis adalah mencapai kesejahteraan rakyat Hindia Belanda Tetapi, sementara itu, Soekarno telah belajar dari kaum nasionalis, dan dengan cepat baginya tujuan partai-partai terbesar itu pun mengalami pergeseran. Sekarang semua partai itu, dalam pandangannya, sedang berjuang untuk Indonesia Merdeka ; Sarekat Islam yang selama beberapa tahun telah menganggap perselisihan Pan-Islam sebagai tugasnya yang paling penting; PKI yang dalam tahun-tahun pertamanya juga tegas-tegas menampilkan diri sebagai internasionalis; dan akhirnya kaum nasionalis yang, seperti Budi Utomo di pihak satu memperjuangkan suatu Jawa Raya atau Persatuan Minahasa di pihak lain yang bercita-cita Sulawesi Raya dan sebagainya, dan sama sekali tidak memperjuangkan suatu Indonesia yang merdeka Itulah latar belakang yang sesungguhnya dari apa yang dinamakan tujuan bersama . Dengan memperlihatkan kecakapan dan keyakinan seperti yang telah ditunjukkannya ketika menjelaskan bahwa satu-satunya motif dari negara-negara kolonial adalah keuntungan., Soekarno sekarang dengan tiba-tiba sajak memberikan kepada golongangolongan yang berbeda dari pergerakan Indonesia suatu tujuan bersama yang baru. Dan dengan sikap yang sama, seperti ketika tidak mau mengindahkan semua argumen yang mungkin yang membela penjajahan, Soekarno lalu menutup-nutupi setiap perbedaan mengenai tujuan yang dalam kenyataannya ada; ia sekarang berbicara tentang tujuan tunggal , dan tentang Indonesia Merdeka sebagai terkabulnya impian kita. Dari pernyataan-pernyataan pendahuluan ini, seorang pengamat yang obyektif sudah memperoleh kesan yang kuat mengenai diri Soekarno sebagai orang yang punya kecendeerungan untuk dengan cara yang mengagetkan menyederhanakan segala sesuatunya secara berlebihh-lebihan, orang yang menganggap pendapatnya sendiri sebagai mutlak, menghindari
4

detil-detil yang tidak menyenangkan seolah-olah soal-soal kecil itu tidak ada, dan yang pendiriannya sendiri menentukan apa yang benar atau tidak benar, baik atau buruk. Kecenderungan untuk menganggap dirinya tidak mungkin keliru. Ini merupakan kelemahannya tapi juga kekuatannya. Sikap pastinya yang tegar dan sepihak mempersona pergerakan Indonesia. Setelah selama bertahuntahun menderita pertengkaran di antara sesama, dalam suatu suasana yang penuh dengan tuduhan dan tangkisan, di mana aksi-aksi dimulai tanpa rencana dan dihentikan tanpa mempunyai sesuatu efek, sekarang secara tibatiba saja mereka diberitahu bahwa percecokan tak perlu dan tidak pada tempatnya, bahwa pada dasarnya semua anggota pergerakan mempunyai satu tujuan tunggal yang hanya bisa dicapai jika mereka bersatu dalam satu barisan persatuan. Dengan demikian, Soekarno tidak dapat merasa puas dengan hanya menunjukkan kepada mereka satu musuh bersama; ia juga harus menemukan suatu landasan bersama yang di atasnya front persatuan itu dapat dibangun. Dalam seruannya kepada kaum nasionalis, golongan pertama yang dihimbaunya agar bersiap-siap untuk bekerjasama, ia mulai dengan menunjukkan bahwa istilah yang mereka gunakan merupakan istilah yang paling umum. Ia mengutip desire detre ensemble dari Ernst Renan dan definisi Otto Bauer mengenai nasion sebagai aus Scgicksalgemeinschaft erwachsebe Charactergemeinschaft, namun demikian, masih perlu dibuktikan apa sarjana-sarjana itu benar-benar telah mempengaruhi Soekarno, karena ia sendiri segera berusaha untuk keluar dari dunia ide yang abstrak : Bagaimana pun bunyi keterangan-keterangan yang telah diajarkan oleh pendekar-pendekar ilmu yang kita sebut di atas, maka tetaplah bahwa rasa nasionalisme itu menimbulkan suatu rasa percaya akan atau diri sendiri, rasa yang mana perlu sekali untuk mempertahankan diri di dalam perjuangan menempuh keadaan-keadaan yang mau mengalahkan kita. Tetapi dengan menekankan perasaan yang subyektif, Soekarno mengindentifikasikan dirinya dengan satu aliran lain, yakni Sarekat Islam. Dalam Kongres Sarekat Islam tahun 1917, Abdul Muis telah menggunakan kata-kata yang hampir sama dalam seruannya kepada para pemimpin pergerakan untuk menghidupkan kembali rasa nasionalis mereka Hanya jika kita mempunyai perasaan kebangsaan itu, kita dapat mengharapkan bahwa hasrat kita akan kemerdekaanakan segera terpenuhi. Bahkan
5

Tjokroaminoto pun telah berbicara dengan cara itu, ketika ia, umpamanya, menyatakan bahwa keyakinan pada diri sendiri menimbulkan rasa percayadiri, dan bahwa dengan percaya diri kita sudah mencapai serparuh dari tujuan kita. Kata-kata seperti itu dari para pemimpin pribumi lebih meyakinkan daripada ucapan-ucapan yang obyektif dari pemikir-pemikir Eropah. Suatu tujuan yang akan segera dicapai, atau yang sudah separuh tercapai, mempunyai makna yang lebih besar daripada, katakanlah, kesadaran mengenai pembentukan suatu Charactergemeinschaft walaupun definisi itu sangat cocok untuk menjelaskan kepada orang-orang nasionalis bahwa mereka, bersama-sama dengan orang Islam dan Marxis, sudah beratus-ratus tahun lamanya sama-sama bernasib tak merdeka. Tetapi kesulitan-kesulitan dengan segera timbul mengenai desire detre ensemble dari Renan, karena kondisi seperti itu tidak dapat dengan sungguh-sungguh diterapkan kepada orang-orang Islam dan komunis atau umpamanya kepada Budi Uto0mo dan Sarekat Ambon. Dengan memberikan tekanan kepada perasaan, Soekarno berpaling ke suatu dunia kontemplasi seperti yang hidup subur di Timur, di mana tidak ada tempat lagi bagi konsep-konsep yang didefinisikan dengan tajam dari para pemikir Eropa, dan di mana batas-batas menjadi cair. Demikianlah, maka Gandhi dapat diambil sebagai suatu model. Soekarno mengutip pernyataan Gandhi, Buat saya, cinta saya pada tanah air itu, masuklah dalam cinta pada segala manusia. Saya ini seorang patriot, karena saya manusia dan bercara manusia. Saya tidak mengecualikan siapa juga. Inilah, kata Soekarno, rahasia yang lebih memberikan kepada Gandhi kekuatan untuk mempersatukan orang-orang Islam, Hindu, Parsi, Jain, dan Sikh. Juga dia mencari rahasia seperti itu untuk mempersatukan orang-orang Islamis, nasionalis, dan Marxis, dan rahasia itu tak disangsikan lagi harus dicari dalam tradisi-tradisi Tmur dan bukan dalam terminologi sarjana-sarjana Eropa. Walaupun demikian, Soekarno telah melakukan suatu pencarian yang lama sebelum ia sampai kepada suatu rumusan yang dapat memuaskan, tidak hanya orang-orang nasionalis, tetapi juga orang-orang Marxis dan Islamis. Hasil pencarian itu, yang di sini dikutip secara lengkap, merupakan satu contoh yang baik sekali dari gaya didaktik Soekarno. Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi-dunia dari riwayat, dan bukan sematamata timbul dari kesombongan bangsa belaka, nasionalis yang bukan
6

chauvinis, tidak boleh tidak, haruslah menolak segala paham pengecualian yang sempit budi itu. Nasionalis yang sejati, yang nasionalisme itu bukan semata-mata suatu copie atau tiruan dari nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusian nasionalis yang menerima rasa nasionalismenya itu sebagai suatu wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bukti, adalah terhindar dari segala paham kekevilan dan kesempitan. Baginya, maka rasa cinta bangsa itu adalah lebar dan luas, dengan memberi tempat pada lain-lain sesuatu, sebagai lebar dan luasnya udara yang memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup. Kita perlu berhenti sejenak untuk merenungkan kata-kata itu, satu-satunya definisi yang diberikan Soekarno mengenai nasionalismenya, dan yang ia anggap begitu penting, sehingga dua tahun kemudian ia masih banyak mengutip darinya. Apabila kita membandingkannya dengan cinta kepada segala manusia dari Gandhi, maka jelaslah bahwa Soekarno, walaupun menggunakan katakata yang sama, mengadakan suatu perbedaan. Sementara, Gandhi tidak mengecualikan siapa juga dari cintakasihnya, Soekarno nampaknya mengecualikan Barat. Walaupun hanya nasionalisme Barat yang tegas-tegas dikecualikan, namun tidak diragukan lagi bahwa implikasinya adalah bahwa nasionalisme yang demikian hanya bisa hidup di Barat. Apa yang dimaksudkan dengan Nasionalisme Barat oleh Soekarno, diuraikan dengan lebih jelas lagi dalam kata-kata berikutnya : Nasionalisme Eropa ialah suatu nasionalisme yang bersifat serang-menyerang, suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi nasionalisme yang semacam itu akhirnya pastilah kalah, pastilah binasa Dengan mengadaklan pembedaan yang tajam antara Timur dan Barat Nasionalisme ke-Timur-an jauh lebih murni, Soekarno menegaskan bahwa ia menolak untuk memandang nasionalisme sebagai cinta kepada segala manusia ; ia memandangnya sebagai kerangka bersama bagi semua partisan dalam Bharata Yudha, konflik yang menentukan. Ia menawarkan apa yang mungkin dijadikan suatu landasan bagi kaum Marxis maupun kaum Muslim, karena suatu pengetahuan atas sususan ekonomi-dunia juga merupakan suatu prasyarat bagi nasionalis-nasionalis sejati, yang tidak kalah pentingnya dari pandangan tentang nasionalisme sebagai suatu wahyu, atau, seperti yang diungkapkannya dengan lebih jelas lagi di bagian lain, kesadaran menjadi perkakas Tuhan melalui nasionalisme. Seandainya
7

masih ada sekutu-sekutu lainnya, maka masih terdapat cukup tempat dalam nasionalisme, yang lebar dan luas seperti udara . Dengan demikian, maka bagi Soekarno, nasionalisme pertama-tama merupakan kerangka bersama bagi semua unsur anti-imperialis, anti-Barat, tidak hanya di Indonesia, akan tetapi, seperti ditambahkannya di kemudian hari, di seluruh Asia. Menurut definisi tentang nasionalisme yang sejati yang seperti udara, maka semua bangsa-bangsa Asia dengan mudah dapat dipersatukan ke dalam soal yang maha-besar dan maha-haibat, yakni soal Asia terhadap Eropa. Tetapi, begitu hal itu terjadi, maka nasionalisme sudah melampui batas-batasnya yang lazim dan, dengan memakai istilah nasionalisme ke-timur-an, sudah menjadi suatu bentuk internasionalisme. Bagi Soekarno, istilah-istilah itu selalu bisa dipertukarkan sama sama lain, seperti tampa dengan jelas dallam pidato tentang Pancasila dalam bulan Juni 1945. Pengertian tentang kerangka bersama itu, yang dapat diperluas sesuka hati, bukanlah penemuan Soekarno. Bersama-sama dengan sikapnya yang menjunjung tinggi perasaan nasional, pengertian itu berakar kuat dalam Sarekat Islam. Pada tahun 1918, surat kabar Tjokroaminoto menyatakan, Prinsip-prinsip kita begitu luas rumusannya sehingga dapat merangkum semua aliran yang mungkin ada. Sebelum itu, Islam telah memainkan peran yang serupa dengan peran yang oleh Soekarno didistribusikan kepada nasionalisme. Suatu hal yang menarik adalah, bahwa di masa jayanya, Sarekat Islam mencantumkan soal penyebarluasan ajaran-ajaran Nabi Muhammad s.a.w di tempat yang keempat dan terakhir dalam programnya. Yang penting adalah bahwa Islam harus dipandang sebagai simbol sikap mengandalkan kekuatan diriu sendiri, sikap anti-Barat, dan akhirnya sikap antiimperialisme. Prinsip yang luas ini selama kurun waktu yang lama telah berfungsi sebagai suatu jaminan bahwa semua aliran politik yang dimotivasikan oleh kekuatan-kekuatan itu dapat bersatu dalam Sarekat Islam. Soekarno memanfatkan kekuatan Tjokroaminoto itu, ketika ia menggunakan prinsip yang sama luasnya sebagai landasan nasionalismenya. Pernyataannya pada waktu itu, bahwa saya telah belajar politik dari Tjokroaminoto memperoleh pengukuhannya yang paling baik dalam caranya ia memulai upayanya ke arah persatuan.

Begitu nasionalisme dianggap seluas udara, maka tidak ada masalah bagi Soekarno untuk menghimbau kaum nasionalis agar mengadakan kerjasama yang lebih erat dengan orang-orang Islamis dan Marxis. Ia menunjuk kepada contoh yang diberikan oleh India kepada kekalnya perhubungan antara Gandhi yang nasionalis dan tokoh-tokoh Pan-Islamis, Maulana Mohammad Ali dan Sjaukat Ali atau contoh yang diberikan oleh Cina, di mana ketimpangan sudah menerima gagasan-gagasan Marxis dengan menolak militerisme, imperialisme, dan kapitalisme. Orang-orang nasionalis yang tidak puas dengan contoh-contoh itu dapat mengingat kembali bahwa Islam telah menjadi pengemban semangat kemerdekaan di Timur, dan mewajibkan penganut-penganutnya di seliuruh Darul Islam (Dunia Islam) untuk bekerja demi kesejahteraan daerah dan rakyatnya, di mana pun mereka tinggal. Marxisme, menurut prinsip dasarnya, sudah merupakan sekutu alami dari pergerakan-pergerakan kemerdekaan di Indonesia dan di seluruh Asia. Karena itu, menurut Soekarno, tidak ada rintangan lagi bagi kerjasama yang lebih erat orang orang nasionalis dengan orang-orang Islamis dan Marxis. Dan apabila mereka menolak juga, mereka akan harus bertanggung jawab di hadapan mahkamah histori. Dalam seruannya yang sekarang ini ia tujukan kepada kaum Muslim, Soekarno membuktikan keachliannya yang luar biasa. Ia memaparkan suatu tinjauan historis tentang kejayaan dan kemunduran dunia Islam serta tentang arti yang sangat penting dari gerakan-gerakan pembaruan yang muncul belakangan di dunia Asia. Walaupun demikian, katanya, kepada orang-orang nasionalis maupun orang-orang Marxis, bahwa Islam bertanggung jawab atas kenyataan bahwa orang-orang Barat sudah menunduhkan bagian terbesar dari bangsa-bangsa yang percaya kepada Allah. Mereka kusut paham! Sebab dipandang dari pendirian nasional dan pendirian sosialistis, maka tinggi derajat dunia Islam pada mulanmya sukar dicari tandingannya. Kemundurannya baru dimulai dengan direndahkannya Islam yang sesungguhnya, setelah kedudukan khafilah diserobot oleh dinasti-dinasti sekuler. Dengan demikian, maka adalah keliru dan salah paham dari pihak orang-orang nasionalis atau Marxis untuk bersikap bermusuhan terhadap Islam itu sendiri. Juga keliru bagi orang-orang Islam untuk secara prinsipil mencurigai nasionalisme dan Marxisme. Selain tugas nasionalis dari Darul Islam untuk mengusahakan kesejahteraan bagi tanah air, Islam masih mempunyai satu aspek nasionalis lainnya; Kaum
9

Islamis hendaknya ingat bahwa pergerakannya yang anti-kafir itu pastilah menimbulkan rasa nasionalisme, oleh karena golongan-golongan yang disebutkan kafir itu adalah kebanyakan dari lain bangsa, bukan bangsa Indonesia1 Bagi kerjasama dengan kaum Marxis juga terdapat suatu ;landasan bersama . Secara khusus Soekarno menyebutkan bahwa nilai lebih dalam pengertian Marxis adalah tidak lain daripada riba dalam pengertian Islam. Bahwa kedua pergerakan itu mempunyai watak sosialis sudah cukup untuk memungkinkan mereka bekerja sama, walaupun sosialisme Islam berasas spiritualisme dan bukan materialisme. Jika kaum Islamis menolak juga untuk bekerjasama dengan golongan-golongan, mereka satu ketika akan harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Tuhannya. Sekarang Soekarno berpaling kepada orang-orang Marxis. Di sini pun ia memperlihatkan suatu pengetahuan yang luar biasa, dan menunjukkan bahwa di samping telah membaca banyak buku, ia juga tidak asing lagi dengan terminologi Marxis. Ia menjelaskan teori-teori nilai lebih, akumulasi, dan pemiskinan, dan, dan sambil lalu mengatakan bahwa Marx sendiri tidak menemukan bagian terbesar dari teori-teori itu melainkan hanya menerjemahkannya ke dalam suatu bahasa yang mudah dimengerti oleh rakyat. Soekarno bahkan memberikan semacam kesaksian, ketika ia, umpamanya, menyebutkan bahwa pendapat Vandervelde benar sama sekali, bahwa revisionisme tidak dimulai dengan Bernstein melainkan dengan Marx dan Engels sendiri. Setelah itu, dengan demikian, membuktikan haknya untuk berbicara, Soekarno mengingatkan orang-orang Msrxis bahwa mereka mempunyai suatu taktik baru. Taktik lama, yang menghendaki kematian nasionalisme dan menentang perhimpunan-perhimpunan keagamaan, sudah diganti taktik baru yang sekarang jelas-jelas mengajarkan kerjasama kaum Marxis dengan orang-orang nasionalis dan Islami. Ia memuji sebagai suatu teladan persahabatan antara orang-orang Marxis dan orang-orang nasionalis di Cina (di mana perpecahan di antara mereka belum lagi terjadi), dan antara kaum Marxis dan kaum Islamis di Afganistan. Dengan telah diungkapkanya salah mengerti salah mengerti dan dijelaskannya tujuan bersama kepada semua pihak, mungkin ada anggapan bahwa upaya-upaya sudah cukup dilakukan untuk kepentingan kerjasama taktis. Menurut Soekarno rupa-rupanya belum merasa puas. Ia masih ingin menghilangkan salah mengerti yang utama yang di waktu itu telah menyebabkan perpecahan antara Sarekat Islam dan kaum komunis tak bisa
10

dielakkan lagi. Ini berkaitan dengan jawaban atas pertanyaan ytang penting : bagaimana dengan agama Pada saat sedang dilakukan upaya terakhir untuk menciptakan persatuan, Semaun, yang mewakili kaum komunis, menjawab dengan kata-kata, Kami bersikap netral terhadap agama.. Ini belum memuaskan pimpinan Sarekat Islam, dan usaha untuk mencapai persatuan pun mengalami kegagalan. Tetapi apa yang belum cukup bagi Sarekat Islam, bagi Soekarno sudah merupakan suatu kemajuan yang penting. Tidak hanya taktik tetapi juga teori Marxisme sudah berubah. Marx dan Engels bukan nabi yang telah menetapkan prinsip-prinsip pedoman yang berlaku untuk segala zaman ; bahkan dalam perjalanan waktu ajaran-ajaran mereka sudah ketinggalan zaman. Umpamanya saja, berbeda Manifesto Komunis dalam 1847, Marxisme zaman sekarang tidak lagi menuntut agar agama dilepaskan . Demikianlah kata pendahuluan bagi penyingkapan yang luar biasa yang dilakukan oleh Soekarno, bahwa seluruh konflik antara Marxisme dan agama pada dasarnya juga merupakan suatu kekeliruan. Ia kemudian menjelaskan bahwa kita harus membedakan antara materialisme historis dan maaterialisme filosofis. Materialisme filosofis menyelidiki kodrat pikiran, sedangkan materialisme historis menyelidiki sebab-sebab perubahan dalam pikiran; materialisme filosofis adalah filosofis materialisme histotis adalah historis. Setelah membuat perbedaan yang dibuat-buat ini, seolah-olah ia sedang membahas dua konsep yang berbeda sama sekali atau, setidaktidaknya, tidak ada sangkut pautnya satu sama lain. Soekarno tidak puas dengan hanya melukiskan Gereja sebagai budak kapitalisme. Untuk tesis ini ia dengan mudah dapat menemukan contohcontohnya dalam kepustakaan Marxis yang barang tentu juga memasukkan Islam ke dalam golongan pendukung-pendukung kaum atasan . Namun, justru itulah yang ingin dihindari Soekarno, sebab itu ia lalu lari kepada rumusan tentang salah mengerti! yang sudah terbukti kemanjurannya. Yang mendasari konflik antara kaum ber-Tuhan dan kaum Marxis bukanlah antagonisme yang sudah tidak dapat diperdamaikan lagi antara dua sistem kepercayaan yang ditopang dogma yang satu menjanjikan surga di bumi, dan yang lainnya baru di akhirat nanti melakukan kekacauan dalam peristilahan. Di sini, tampaknya, Soekarno telah keluar dari kerangka taktik dan mulai mencari suatu pendirian bagi dirinya sendiri. Sebagai dasar-dasar kerjasama,
11

: musuh bersama! dan kerangka bersama bersama-sama dengan tujuan tunggal, kiranya akan sudah memadai. Tetapi bahkan sejak 1921, kita sudah dapat melihat kemampuannya yang luar biasa untuk mengkombinasikan kepercayaan Marxis akan kemajuan dengan kepercayaan kepada Tuhan. Masalah yang dihadapinya adalah untuk mempersatukan kedua kepercayaan itu yang, menurut filsafat Jawa yang lama yang menyatakan bahwa semua hal itu satu, bukanlah suatu hal yang tidak mungkin. Pada akhir rangkaian artikel-artikelnya, menurut Bernhard Dahm, Soekarno sekali lagi memberikan nasehat berikut ini kepada ketiga pergerakan nasionalisme Islamisme dan Marxisme : Kita harus bisa menerima, tetapi juga harus bisa memberi. Inilah rahasianya Persatuan itu. Persatuan tak bisa terjadi, kalau masing-masing pihak tak mau memberi sedikit-sedikit pula. Nasehat itu adalah juga rahasia Soekarno sendiri Ia telah mengambil materialisme filosofis dari Marxisme dan memberinya Allah; ia mengambil dari Islam beban masa lampaunya dan memberinya gagasan Marxis tentang kemajuan ; dari kaum nasionalis ia mengambil pandangan mereka yang sempit dan memberikan kepada mereka nasionalisme luasnya, dan juga sekutu-sekutu. Di mana ada kesulitan-kesulitan besar; maka setelah diteliti lebih seksama kesulitan-kesulitan itu hanya merupakan salah mengerti yang dapat disingkirkan dengan mudah dimasukkan ke dalam kerangka bersama untuk berjuang bahu-membahu menuju tujuan tunggal mereka semua. Dengan caranya sendiri, sambil dengan sikap toleran menghindari detail-detail yang tidak menyenangkan. Soekarno secara teoritis sudah membuka jalan, setidak-tidaknya bagi suatu upaya untuk membentuk front persatuan. Pada tahun 1970, Ruth McVey memberi ulasan yang serius mengenai tulisan klasik Soekarno tersebut. Pada awal tulisannya, dikatakan pada tahun 1927, setahun setelah Soekarno menerbitkan esai yang klasik itu, analisa mengenai perkembangan politik di Hindia Timur Belanda muncul dari tangan M.W.F. Treub, seorang penasehat politik bagi kepentingan ekonomi Belanda di daerah jajahan sekaligus penganut ideologi yang sangat konservatif dalam menanggapi kebangkitan nasional Indonesia. Analisis tersebut diawali sebagai berikut : Ada gejolak di Hindia Belanda. Berbagai pergerakan yang terjadi di kalangan pribumi dan Cina dan mencoba berhubungan satru sama lain. Gerakan yang pertama didorong oleh keinginan kuat untuk merdeka, gerakan
12

yang kedua didorong oleh semangat keagamaan , sementara yang ketiga didorong oleh kebencian terhadap penguasa. Motivasi sesungguhnya dari para pemimpin pergerakan tersebut secara fundamental memang berbeda, tetapi hal itu tidak menghalangi mereka untuk bekerjasama demi menggapai satu tujuan bersama : menggulingkan penmerintah Hindia Belanda. Menurut Treub, di dalam proses pembaruan itu gerakan pribumi telah menjadi percampuran dari tiga gejala dan ambisi yang ia sebut sebagai Nasionalisme, Komunisme dan Islam. Treub mengabdikan sisa studinya untuk menguraikan bahaya yang dibawa oleh aliran-aliran ideologi tersebut serta kebutuhan untuk menekan, dan yang terpenting adalah, memisahkan ketiganya. Tiga aliran ideologi yang disadari oleh Treub adalah aliran yang juga dilihat oleh Soekarno dan dijadikan topik di dalam esainya yang berjudul Nasionalisme, Islam, dan Marxisme. Walaupun memiliki kepentingan yang bertentangan, ketika memilih kerangka berpikir yang sama, keduanya memperlihatkan bahwa mereka telah menyadari pentingnya pemisahan ketiga aliran tersebut yang kelak akan mendominasi perpolitikan Indonesia. Pada kenyataannya keadaan memang sejalan dengan ramalan mereka. Seandainya mereka menuliskan esai-esai mereka beberapa tahun sebelumnya, kemungkinan mereka akan menemukan bahwa elemen nasionalis di dalam perpolitikan tidak terdefinisikan dengan baik, sehingga terkesan membenarkan pembagian aliran gerakan kemerdekaan ke dalam aliran berbasis agama dan aliran sekuler alih-alih membaginya ke dalam tiga aliran berbeda; dan seandainya esai-esai mereka ditulis beberapa tahun kemudian, kemungkinan mereka akan menemukan bahwa elemen marxisme ditekan sedemikian rupa sebagai gejala terpisah karena dianggap sebagai aspek radikal dan nasionalisme alih-alih sebagai aliran ideologi tersendiri . Namun, situasi pada tahun 1926/1927 terjadinya pemberontakan PKI terhadap pemerintah kolonial, pendirian Partai Nasional Indonesia dan percabangan organisasi Islam menjadi sayap tradisionalis dan modernis memperjelas peranan tiga aliran besar tersebut dan menjadikan pertanyaan mengenai keterkaitan ketiganya sebagai bahan pertimbangan bagi para pemimpin gerakan kemerdekaan dan bagi mereka yang ingin menghancurkan gerakan kemerdekaan. Selama masa revolusi tahun 19451949, dengan kepergian Belanda dan adanya tekanan dari penjajahan Jepang, tiga aliran ideologi tersebut muncul sebagai orientasi utama para pemimpin Republik sekaligus pergerakan politik yang mereka tuju.
13

Mula-mula kita perlu mencermati kata Ruth McVey bahwa pembahasan Soekarno mengenai Nasionalisme, Islam dan Marxisme ditujukan kepada rekan-rekan sesama pemimpin di dalam gerakan kemerdekaan. Dalam hal ini, ia tidak berbicara kepada penduduk desa yang frustasi maupun kaum kaum proletar radikal yang sempat melancarkan pemberontakan PKI setahun sebelumnya. Ia juga tidak berbicara kepada santri pembela Islam, ataupun kepada orang-0rang biasa yang tinggal di dalam kota atau di dekat kota yang bergabung ke Partai Nasional Indonesia (PNI) dalam pencarian atas sebuah orientasi di dunia yang sedang mengalami modernisasi. Soekarno melihat bahwa kelompok-kelompok aliran tersebut memang ada, tetapi ia memandang meraka hanya sebagai pengikut ataupun calon pengikut kelompok elite metropolitan yang menjadi sasarannya. Secara umum kelompok elite metropolitan terdiri dari orang-orang yang menganut metropolitan superculture yang menjadikan dirinya sendiri sebagai cara hidup pan-Indonesia modern. Pendidikan gaya Barat menjadi landasan agar bisa berpartisipasi di dalam kelompok tersebut. Karena kesempatan untuk mempertahankan sistem yang ada terbatas, hal itu mengimplikasikan adanya asal-usul sosial yang diuntungkan mayoritas adalah keturunan dari elite birokrat tradisional yang ditarik menjadi administrasi pada masa pemerintah kolonial. Pada tahun 1920-an, meskipun mengalami perkembangan, jumlah elite nasional tersebut sangatlah sedikit, mereka berpusat di ibukota dan membentuk elemen sosial yang nyata yang hanya di kota-kota yang juga mengalami Eropanisasi seperti Bandung, Surabaya dan Medan. Budaya metropolitan yang tergolong baru tersebut sesungguhnya adalah mestizo, dan para anggotanya memperlihatkan sikap yang ambivalen sebagaimana seorang yang mencoba untuk menyeimbangkan diri di dua dunia. Lebih dari itu, budaya tersebut turut mengandung benih-benih pemberontakan politik, karena pemerintah kolonial menjustifikasi diri dengan menguasai administrasi modern dan keahlian di bidang teknik.; orang-orang Indonesia yang sempat diperkenalkan kepada pesona Barat sekaligus menganggap dirinya layak menjadi penguasa akhirnya merasa bahwa mereka sanggup bahkan harus mengambil alih posisi Eropa. Dengan demikian, kelompok baru tersebut membentuk elite tandingan ; para anggotanya umumnya memiliki kesadaran berpolitik yang tinggi, dan sebagai kelas sosial yang sedang berkembang, di satu mereka cenderung memandang posisi mereka sebagai salahsatu bentuk perjuangan melawan kebodohan dan tradisionalisme yang membabi buta, sementara di sisi lain sebagai bentuk
14

perjuangan melawan kekuatan asing dan diskriminasi. Pandangan tersebut menegaskan sekaligus memolitisasi ambivalensi kultural mereka; karena di satu sisi, tradisi dan mayoritas rakyat Indonesia mepresentasikan dukungan kuat dalam melawan dominasi asing, tetapi di sisi lain menghalangi apa yang dilihat sebagai lompatan yang diperlukan menuju masa depan yang modern. Serupa dengan itu, Belanda juga mepresentasikan tekanan asing sekaligus cita-cita mengacu kepada budaya modern dan posisi sebagai penguasa yang ingin diraih oleh kelompok elite metropolitan demi kepentingannya sendiri. Gagasan Soekarno di dalam Nasionalisme, Islam dan Marxisme tergolong diskriminatif, bahkan ketika berkaitan dengan kemunculan elite nasional. Ia tidak sedang berbicara kepada elemen konservatif ; pertanyaan mengenai kedaerahan dan kerjasama dengan pemerintah kolonial, suatu pertanyaan yang sangat menarik perhatian anggota kelompok elite Indonesia yang lebih senior sekaligus lebih hati-hati, tidak dibahas oleh Soekarno. Esai Soekarno justru ditujukan kepada orang-orang segenerasi yang terlibat di dalam kancah perpolitikan para pemuda yang berkomitmen terhadap perjuangan menuju kemerdekaan, dan sudah memikirkan identitas idiri mereka dalam kapasitas nasional, bukan daerah. Di dalam kelompok kecil itulah Soekarno melihat dengan jeli sumber pemimpin negara di masa depan; ia juga melihat kelemahan dan pemborosan energi akibat perselisihan terus-menerus yakni ketika perbedaan personal maupun ideologi berbenturan sehingga berakibat fatal. Bagi seorang pemimpin yang cenderung mencari kekuatan massa alih-alih sektarian, peristiwa-peristiwa di tahun 1926 yang menandai ketidaksinambungan gerakan kemerdekaan dianggap bisa membawa malapetaka. Bahkan tanpa perselisihan tersbut, Indonesia merupakan lebih dari sekedar proyek di dalam benak sejumlah orang yang telah terbebas dari belenggu budaya yang sempit, tetapi sekaligus terisolasi dari masyarakat. Keadaan itu menjadi lebih sulit untuk diatasi karena para pendukung kebangkitan nasional tidak selalu berada di posisi lemah. Sepuluh tahun sebelumnya, ketika gerakan kemerdekaan muncul di bawah kepemimpinan Sarekat Islam. Belanda merasa gentar terhadap kekuatan organisasi tersebut dan enggan untuk melawannya secara terang-terangan, masyarakat berbondong-bondong ikut di dalam gerakan kemerdekaan, dan hal itu memperlihatkan energi yang luar biasa di bawa kepemimpinan dan mempunyai tujuan yang jelas. Namun sejak saat itu, kekuatan antikolonialisme radikal telah kehilangan solidaritasnya karena tidak mampu
15

memperlihatkan dukungan masyarakat dan solidaritas internal yang meyakinkan, aspirasi mereka diabaikan dan pemimpin-pemimpin mereka dipermalukan dan ditangkap. Semasa Soekarno menulis esainya, tugas untuk membangun solidaritas baru di dalam pergerakan tampak sebagai tugas yang sia-sia, karena kapanpun kesepakatan berhasil diraih oleh para anggota inti, ia runtuh ketika dipraktikan. Persatuan para pemimpin politik Indonesia dianggap sebagai sesuatu yang vital bagi perjuangan kemerdekaan, sebagaimana yang diperlihatkan oleh Treub dari sisi penjajah, dalam upaya menghalangi tercapainya persatuan tersebut. Namun bagi Soekarno dan orang-orang segenerasinya, persatuan menjadi lebih dari sekedar kunci menuju efektifitas politik. Di mata mereka perasaan frustasi akibat konglik tiada henti di kalangan mereka sendiri, ditambah dengan konsep politik tradisional dan ide-ide yang dipinjam dari sosialisme memberikan tafsiran tersendiri bagi kata persatuan. Kata persatuan memperoleh nilai yang hampir-hampir magis; hanya melalui persatuanlah kekuatan politik bisa tercapai tetapi bagi Rakyat bersatu. Tidak ada yang tidak bisa mereka atasi. Yang dimaksud dengan Rakyat adalah seluruh masyarakat Indonesia, suatu perwujudan spiritual dari seluruh bangsa. Soekarno dan rekan-rekannya menolak ketidakercayaan kaum intelektual terhadap rakyat biasa yang dianggap sebagai musuh dari pencerahan dan justru beragumen bahwa rakyat memiliki keinginan progresif yang akan merespon siapa saja yang memanggil mereka atas nama kebebasan dan masa depan. Istilah rakyat menjadi sejajar dengan istilah proletar di mata Marx ; mereka memang terbuang dan tidak berdaya sekarang, tetapi ditakdirkan untuk mengubah dunia ketika dimobilisasi di dalam sebuah revolusi. Akan tetapi, tidak seperti kaum proletar yang didefinisikan berdasarkan kelas, Rakyat mempresentasikan massa; ia tidak dibedakan dari kaum penguasa dan di saat yang bersamaan terbagi berdasarkan kelompok kelompok bahasa, agama, budaya dan ekonomi yang bersatu dalam bermacam-macam indentifikasi ideologi. Kaum nasionalis seperti Soekarno percaya bahwa persatuan masyarakat dapat diraih dengan cara menggabunggabungkan komponen-komponen tersebut, alih-alih menyingkirkan elemenelemen yang dianggap berseberangan sebagaimana pandangan kaum leninis. Persatuan akan terjadi hampir secara sempurna di puncak hirarki ; dalam pandangan kaum Soekarnois pada tahun 1920-an, persatuan harus dicapai di kalangan anggota elite yang aktif secara politik. Dengan semangat yang dikobarkan oleh visi mengenai tujuan bersama masyarakat Indonesia,
16

golongan elite akan mempresentasikan kekuatan-kekuatan besar di dalam masyarakat sekaligus mengalirkan energi mereka demi kepentingan nasional. Tujuan Soekarno menulis Nasionalisme, Islam, dan Marxisme, menurut Ruth McVey, adalah untuk meyakinkan para calon pemimpin untuk mengambil peran tersebutt. Pada tahun 1972, John D Legge menulis buku Sukarno A Political Biography yang diterbitkan pada tahun 1972. Menurut sarjana Australia ini tulisan berseri dapat dianggap sebagai pernyataan penting pertama tentang posisinya sendiri dan suatu permulaan ungkapan gagasannya tentang nasionalisme sekuler baru umumnya. Sesudah menunjuk bermacam-ragam unsur yang ditemukan dalam nasionalisme Indonesia, dan tiga gagasan pemikiran yang dominan yang telah memberikan motivasi kepada tiga partai yang berbeda nasionalisme, Islam dan Marxisme ia mengemukakan apa yang baginya merupakan pertanyaan sentral Dapakah roh ini dalam situasi kolonial bekerja bersama-sama menjadi satu roh besar, roh persatuan? Roh persatuan, yang akan membawa kita kebesaran ? Jawaban yang diberikannya tentu bersifat membenarkan. Sesungguhnya hanya dengan jalan ini hanya dengan menggabungkan kekuatan-kekuatan yang berbeda-beda ini sukses dapat dicapai. Kapal yang akan membawa kita kepada Indonesia Merdeka adalah kapal persatuan! Caranya ia mengemukakan alasannya sangat menarik. Tulisan itu, yang disusun untuk membahas nasionalisme, Islam dan Marxisme secara bergiliran, nampak diuraikan sebagai tiga aliran yang terpisah dalam arus umum kegiatan politik Indonesia. Soekarno menginginkan masing-masing aliran, mengajak mereka untuk membenamkan perbedaan-perbedaan mereka dan bekerjasama antara satu dan lain. Nasionalis yang menolak untuk bekerja dengan kaum Marxis, demikian katanya, keliru memahami arah perkembangan sejarah. Asal-usul Marxisme di Indonesia sama dengan asal usul nasionalisme suatu perlawanan yang sama terhadap penindas yang sama. Kaum Muslimin pada gilirannya, hendaknya mengatasi rasa takutnya terhadap Marxisme dan mengakuinya sebagai sekutu. Kapitalisme, musuh Kaum Marxis, juga musuh Islam, taktik Marxis yang baru ialah bekerja bersama gerakangerakan nasionalisme Islam yang sejati di Asia. Kaum Muslimin hendaknya jangan cemas terhadap permusuhan Marxisme terhadap agama karena ini pada hakikatnya ialah rasa permusuhan terhadap agama Kristen. Akhirnya ia berseru kepada kaum Marxis untuk bekerjasa sama di dalam perjuangan
17

bersama. Marxisme bukanlah dogma yang tidak berubah. Marxisme itu sedang dalam suatu proses menyesuaikan diri terhadap situasi-situasi baru, dan di negeri-negeri jajahan Marxisme mengakui keharusan menyerasikan diri terhadap kebutuhan-kebutuhan yang dituntut oleh situasi-situasi setempat. Di negeri seperti Indonesia, tempat agama Kristen menjadi agama dari mereka yang berada di atas dan Islam agama mereka yang berada di bawah, maka Marxisme dan Islam seharusnya menjadi sekutu yang wajar. Soekarno mengadakan pembedaan antara filsafat materialisme dan historis materialisme dalam teori Marx, dan menunjukkan bahwa historis materialisme tidak tergantung pada filsafat materialisme. Karena itu tidak perlu bagi Marxisme ; sebagai teori sosial untuk anti-agama, Marxisme harus mengakui bahwa Islam, dalam mendukung perjuangan kaum tertindas, menjadi suatu kekuatan yang progresif dan bukan suatu kekuatan konservatif yang fanatik, dalam dalam beberapa hal upayanya sejajar dengan Marxisme. (Patut dicatat, ia menambahkan kecaman yang tajam terhadap kaum Marxis yang tidak mau bekerja sama dengan kaum Muslimin. Mereka yang mengabaikan persatuan, Marxis yang kolot teori dan kuno tatktiknya; Marxis yang demikian itu janglah merasa terlanggar kehormatannya kalau dinamakan sebagai racun rakyat!). Tetapi dalam pemikiran Soekarno, ketika aliran itu bukan saja hanya ragam-ragam yang mempunyai status sama dan saling melengkapi. Caranya mengembangkan pandangannya secara implisit mengandung pengertian bahwa nasionalisme adalah arus sentral. Karena Islam adalah agama adalah agama kaum yang tertindas, maka pemeluk Islam mestilah nasionalis. Karena modal di Indonesia adalah modal asing maka kaum Marxis yang berjuang melawan kapitalisme haruslah pejuang nasionalis. Tujuannya adalah persatuan antara Nasionalisme, Islam dan Marxisme, tetapi isi nasionalisme dalam Islam dan Marxislah yang memungkinkan persatuan itu. Nasionalisme sebagai ideologi yang merangkum, yang dapat menyalurkan aliran-aliran yang berbeda itu ke dalam satu arus. Dalam menguraikan pendiriannya, ia memperlihatkan pemahamannya yang sederhana atas bermacam-macam pemikiran dan gagasan yang diserapnya slagi masih menjadi mahasiswa, ia mengambil perbandingan-perbandingan dari Ernst Renan dan H.G Wells, Marx dan Engels, Kaustky dan Radek, Sun Yat Sen dan Gandhi, Sismondi dan Blanqui, dari Quran dan Muhammad Abduh. Ia menyimpangkan suatu uraian teori buruh tentang nilai dan menunjukkan ketertarikannya pada Marxisme sebagai suatu ajaran yang
18

dapat menyajikan suatu penjelasan yang sistimatis, bagaimana terjadinya sesuatu sebagai yang kita ketemukan di dunia. Sementara itu hakikat Jawaismenya nampak dengan jelas. Petunjuk yang mudah untuk hal ini ialah kalimat pertama karangan itu yang berisikan suatu ibarat wayang dengan menunjuk Bima, yang dipakainya sebagai contoh perjuangan melawan musuh-musuh yang sangat kuat. Lebih jelas lagi, asumsi-asumsi dasar karangan itu adalah Jawa dalam semangatnya. Bukan saja terdapat tekanan tradisional tentang harmoni dan saling penyesuaian antara pandanganpandangan yang saling berlawanan; tetapi juga terdapat sentuhan-sentuhan tentang pemikiran-pemikiran khas Jawa, bahwa seorang pemimpin besar ialah mampu menyelaraskan pemikiran-pemikiran yang saling bertentangan. Soekarno mampu menganjurkan kemungkinan pemersatuan semua aliran nasionalisme karena ia merasa dirinya sendiri sekaligus adalah seorang Marxis dan seorang Muslim. Daya mampu ini, dalam pengertian Jawa dapat menunjang suatu tuntutan untuk mencapai kekuasaan. Kesimpulan semacam ini hendaknya jangan diberi penekanan secara berlebihan. Argumentasi yang dikemukakan Soekarno dalam esei itu pertama-tama bersifat taktis. Nasionalisme dilihat sebagai suatu program minimum di atas landasan itu unsur-unsur yang berbeda-beda itu dapat bekerja sama. Ia belum melangkah jauh dalam upaya sintesisnya yang sesungguhnya dalam membangun suatu ideologi yang akan menggabungkan semua segi-segi pandangan Indonesia. Betapa pun, karangannya merupakan suatu upaya sistensis pertama, dan dalam tahun 1928 membayangkan Soekarno pada masa depan, yang mengusahakan perpaduan yang lebih akrab antara aliran-aliran pikiran yang berbeda-berbeda. Tulisan Soekarno, menurut John D Legge, merupakan cerminan dari peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya. Keputusan Sarekat Islam mengenai disiplin partai pada bulan Oktober 1921 telah mengakibatkan putusnya persekutuannya dengan Partai Komunis. Terpecah-pecahnya Sarekat Islam dalam berbagai pecahan dan tiadanya tujuan yang pasti waktu itu, membuat organisasi ini kehilangan posisi sentralnya dalam gerakan nasionalisme di negeri ini. Dari sudut pandangan PKI, penyingkirannya dari Sarekat Islam menghadapkannya pada persoalan teoritis peka. Teori Lenin menggariskan bahwa dalam situasi kolonial belum tiba waktunya bagi partai komunis untuk memegang hegemoni dengan meninggalkan gerakan nasional. Oleh sebab itu partai-partai komunis harus bersekutu untuk sementara waktu dengan borjuasi nasional dan bekerja sama dengan organisasi-organisasi nasionalis revolusioner dalam perjuangan melawan
19

imperialisme. Sepintas lalu Sarekat Islam adalah gerakan nasional semacam itu. Karenanya, pada tahun 1921 itu PKI telah dihadapkan pada pilihan yang sulit. Apakah mereka akan memperlunak gerak revolusionernya dan mencoba memperbaiki perpecahan dengan pimpinan Sarekat Islam sehingga anggota-anggota dapat kembali diterima sebagai satu blok di dalam partai itu ? Atau apakah mereka menerima saja penyingkiran itu sebagai suatu kenyataan dan apa pun yang terjadi akan terus menyokong perjuangan Sarekat Islam, terus bekerja salam dengan mereka sebagai satu blok di luar partai itu ? Atau menganggap saja Sarekat Islam sudah bukan lagi suatu partai yang revolusioner dan langsung menceburkan diri dalam kancah persaingan dengan mereka, langsung menjadikan PKI tandingan Sarekat Islam dalam perebutan masa sejak lapisan bawah, menggarap anggotanya ke bawah kontrolnya dan menampilkan diri sebagai satu-satunya pimpinan gerakan massa yang luas ? Pertanyaan-pertanyaan serupa juga menggoda gerakan-gerakan komunis di mana pun. Dan dalam mencari jalan keluarnya, partai komunis di Hindia Belanda ini terlibat antara melakukan suatu eksprimen atau tunduk kepada perubahan bertahap teori comintern. Dalam barisan pimpinan Partai Komunis Indonesia terjadi perbedaan pendapat dalam masalah teori dan praktek dan masalahnya semakin dipersulit dengan kenyataan tidak semua cabang Sarekat Islam bersedia menerima keputusan Pengurus Pusatnya tentang disiplin partai itu ? Karena itu ada kesempatan bagi PKI untuk bersaing pada tingkat massa rakyat bawah dalam menguasai anggota Sarekat Islam. Mulanya mereka agak berhasil, meskipun Semaun yang pada bulan Mei 1922 kembali ke Jawa setelah enam bulan mengunjungi Moskow, tetap mengemukakan bahwa PKI harus mencegah merencanakan program-program radikal yang bertindak langsung, dan harus mencari jalan untuk sekali lagi bekerja sama dengan gerakan nasionalisme yang non-komunis. Celakanya, sikap Semaun itu dibuyarkan oleh keputusan kongres Sarekat Islam pada bulan Februari tahun 1923, yang memperkuat resolusi pengurus pusatnya tentang disiplin partai sehingga dengan demikian meningggalkan harapan bagi suatu kurukunan kembali. Pada tahun berikutnya -tahun 1924- Partai Komunis Indonesia bertambah kuat dan mulai menyebarkan pengaruhnya secara cukup berarti ke luar lingkungan kaum proletar kota dan ke luar Jawa. Akibat dari tindakan keras pemerintah, ditambah lagi dengan penderitaan yang disebabkan oleh depresi, membuat orang lebih banyak marah daripada patah semangat, dan mereka datang mengajukan protes kepada PKI Yang mereka harapkan dari kaum
20

Komunis ialah aksi revolusioner, menurut mereka hanya penggulingan pemerintah Belanda yang akan dapat membawa penyelesaian yang sesungguhnya, dan mereka tidak lagi mau mendengarkan argumentasi tentang perlunya persiapan yang sabar. Pada waktu yang bersamaan, PKI telah kehilangan sebagian besar dari para pemimpinnya yang lebih berpengalaman dan moderat, sehingga gerakan itu semakin jatuh ke tangan mereka yang berkepala panas yang keinginanya melancarkan suatu revolusi jauh melebihi kemampuannya melaksanakannya. Pada akhir tahun 1924 partai tersebut mengambil suatu putusan dalam prinsip untuk memberontak daripada memperhitungkan realitas kekuasaan. Terdapat suatu unsur Muslim yang kuat dalam proses agitasi ini, sebab walaupun ada pertikaian antara para pemimpin PKI dan Sarekat Islam, pada waktu itu tidak begitu dirasakan ketidaksesuaian antara Komunisme dan Islam. Pemimpin-pemimpin seperti Haji Misbach di Jawa Tengah dan Haji Datuk Batuah di Sumatra Barat mencoba menggabungkan ajaran-ajaran Islam dan Komunisme, dan ketika pemberontakan PKI pecah dalam bulan November tahun 1926 di Banten dan di bulan Januari tahun 1927 di Minangkabau kejadian ini adalah di dua daerah yang paling kuat Islamnya di Indonesia. Pemberontakan itu, menurut Ruth McVey, lebih merupakan suatu tindakan putus-asa daripada suatu percobaan yang dapat dianggap untuk merebut kekuasaan. Kami menganggap adalah lebih baik mati berjuang daripada mati tanpa berjuang, demikian dikatakan oleh salah seorang pemimpin PKI kemudian kepada komunis Internasional. Pemberontaka itu dengan mudah ditumpas oleh pemerintah, oleh karena organisasi Komunis pada waktu itu sudah begitu dilemahkan oleh tindakan polisi dan tekanan-tekanan anarkis sehingga pemberontakan itu tidak terkoordinasi dan hanya lokal sifatnya. Namun demikian, ia merupakan bukti betapa meluas dan mendalamnya rasa tidak puas orang Indonesia. Melalu buku Road To Exile. The Indonesian Nasionalist Movement, yang terbit tahun 1980, John Ingleson menyatakan bahwa esai Soekarno tersebut merupakan uraian yang paling jelas tentang pokok-pokok pikiran politik Soekarno pada akhir tahun 1926. Pokok pikiran Soekarno bahwa gerakangerakan Islam, marxis dan nasionalis di Indonesia berasal dari suatu dasar yang sama yaitu hasrat kebangsaan untuk melawan kapitalisme dan imperialisme Barat dan bahwasanya ketiga aliran gerakan politik tersebut harus bersatu dalam perjuangan melawan musuh bersama. bukanlah buah pikiran yang orsinal. Kolom-kolom dalam Indonesia Merdeka telah dipenuh dengan artikel-artikel semacam itu seajak tahun 1924, yang semuanya
21

tentulah telah dibacanya dengan seksama. Tetapi walaupun pokok-pokok pikiran tersebut sudah jelas ada dalam propaganda PI dan kesimpulan yang diambil Soekarno sama dengan keseimpulan yang telah ditarik oleh Hatta sebelumnya, argumenargumen yang ia pergunakan untuk menarik kesimpulan-kesimpulan tersebut merupakan sesuatu yang khas dia. Sumbangan Soekarno ialah menyerap apa yang telah dikemukakan oleh Hatta dan PI sejak tahun 1923, membuat sintesa daripadanya dan menerjemahkannya ke dalam bahasa yang lebih sesuai dengan daya tangkap masyarakat Indonesia, dan menyebarkannya kepada khayalak pembaca yang lebih luas. Lewat buku Soekarno Nederland onderdaan Een biografie 1901 1945 (1999), Lambert Giebels menyatakan bahwa kendati Soekarno menyejajarkan nasionalisme, Islam dan Marxisme. Akan tetapi, tujuannya adalah menempatkan orang Islam dan Marxis di bawah predikat nasionalis. Dengan cekatan si kesatria Soekarno mulai mengarahkan perhatian para Pendawa dan Kurawa yang kritis pada musuh bersama; para raksasa dari negeri seberang. Ia tidak membedakan antara orang kolonial yang konservatif dan para pengelola yang etis. Mengapa orang-orang Belanda datang ke Indonesia, dan mengapa mereka masih belum pulang? Karena mereka mencari keuntungan! Sebab kolonialisme yang pertama dan yang terakhir adalah keserakahan. Mereka yang mengaku datang sebagai wali beritikad baik, tidak akan mengakhiri perwaliannya itu. Tak seorang pun mau mengorbankan mangkuk nasinya kalau itu menjadikan ia kelaparan. Orangorang Indonesia harus memperjuangkan kemerdekan mereka itu dengan suka rela. Oleh karena itu, kesatuan menjadi syarat mutlak. Akhirnya kesatuan akan mengantarkan kita pada pemenuhan impian kita : Indonesia Merdeka. Oleh karena itu, nasionalisme adalah unsur yang paling penting. Paham nasionalisme atau kebangsaan menimbulkan pertanyaan apakah yang dimaksudkan dengan suatu bangsa ? Soekarno meneliti pendapat dua orang penulis Barat, Otto Bauer dan Ernst Renan. Bauer berkata yang menjadikan penduduk suatu daerah sebagai satu bangsa adalah pengalaman-pengalaman bersama; Renan menyebut sebagai ciri keinginan untuk membentuk persekutuan hidup. Soekarno sendiri menambahkan suatu kepercayaan diri bersama. Apakah di Indonesia persyaratan-persaratan ini sudah terpenuhi ? Soekarno tidak memberi jawaban tegas, Ia merelativir konsep bangsa dengan menyebutnya suatu pengertian sosiologis, berbeda dari pengertian
22

biologis suku. Akan tetapi, jelas di sini bahwa dalam membahas arti kata : bangsa sehubungan dengan beratus-ratus suku yang tersebar di seluruh kepulauan walaupun dibawakan seakan-akan sudah menjadi kenyataan. Soekarno sebenarnya berbicara tentang sesuatu yang masih harus terjadi; ia menggariskan tugas untuk masa depan. Orang-orang nasionalis yang menolak tugas ini, kata Soekarno, nanti harus mempettanggungjawabkannya di hadapan pengadilan tinggi sejarah. Apakah dengan menganut agama Islam yang mempunyai orientasi internasional, seorang Islam Indonesia tidak terhalang untuk menjadi nasionalis ? Marilah kita dengarkan apa yang dikatakan Gandhi, demikian Soekarno menekankan cinta untuk tanah air dan bangsa saya menjadi bagian dari cinta saya untuk manusia. Nasionalisme seperti ini tidak sama dengan nasionalisme negara-negara Barat yang mempunyai sifat egois, kata Soekarno dengan menghina. Cinta Gandhi bagi seluruh umat manusia mencakup semua suku dan ras, termasuk juga orang-orang Barat. Akan tetapi, Soekarno tidak bisa melakukan hal ini kalau ia ingin menjadikan orang Islam orang nasionalis. Kepada mereka ia berkata bahwa paham Pan Islamisme dan nasionalisme Indonesia mempunyai musuh yang sama, yaitu kolonialisme Barat. Dan, kalau si muslimin ingin membebaskan diri dari jajahan orang-orang kafir maka ia harus memperjuangkan perjuangan yang juga diperjuangkan si nasionalis. Orang Islam tulen adalah seorang yang saleh, sekaligus pejuang. Orang-orang Islam Indonesia yang menolak bergabung dengan golongan nasionalis kelak harus mempertanggungjawabkan sikap yang keras kepala ini di hadapan Allah. Sesudah itu, Soekarno menanggapi pernyataan apakah seorang penganut paham kosmopolitan seperti Marxisme, bisa dianggap sorang nasionalis. Jawabannya adalah ya. Di negara-negara jajahan kolonial musuh para nasionalis adalah sama dengan musuh orang Marxis dunia Baratl kapitalisme dan imperialisme; perkembangan-perkembangan kurang sehat kehidupan Barat. Menurut dia para pemimpin komunis internasional lambat laun sadar bahwa di Asia harus diterapkan taktik-taktik lain daripada yang diterapkan di Eropa dan Amerika. Di dunia Barat mereka yang terlibat dalam perjuangan revolusioner mencari bibit baru di antara golongan proletariat, di Asia yang calon dianggap calon baik adalah para underdog pribumi. Di negara-negara jajahan revolusi sosial baru mulai terpikir kalau para penjajah underdog sudah terusir. Oleh karena itu, di negara-negara seperti Hindia Belanda kaum nasionalis dan kaum Marxis dengan sendirinya menjadi teman-teman seperjuangan, Nasionalis Cina, Sun Yat-Sen, telah
23

memperlihatkannya dengan bergabung dengan Koumintang yang sosialis itu. Soekarno tidak puas dengan sekadar membujuk orang-orang Islam dan Marxis menjadi sekutu orang-orang nasionalis. Ia malah mengajak orang Islam dan Marxis untuk bersekutu. Jangan lupa bahwa Soekarno menulis kumpulan artikel-artikel waktu PKI masih belum menjadi partai terlarang dan dukungan Rusia dan Komintern, agaknya menjadi sekutu yang kuat bagi para nasionalis. Yang terakhir ini tentu juga berlaku bagi golongan Islam yang karena berlebihan numeriknya harus dianggap sebagai faktor kekuasaan yang cukup tinggi. Soekarno mula-mula mengingatkan akan perpecahan yang timbul tahun 1923 akibat pertentangan antara PKI dan Sarekat Islam tentang persoalan tata-tertib partai. Yang pada waktu itu, masih sebagai menantu Tjokroaminoto, harus ia saksikan tanpa bisa berbuat apa-apa. Perpecahan ini ia sebut halaman hitam di dalam sejarah singkat gerakan nasional Indonesia. Soekarno sadar bahwa imbauannya ini tidak perlu disampaikan kepada golongan santri tradisional. Kelompok sasarannya adalah orang-orang Islam reformis. Ia menunjuk pada orang-orang reformis terpelajar lulusan universitar Al Azhar di Kairo yang berprestise itu, yang ingin memodernisasikan agama Islam. Kalau agama Islam modern mau bersikap terbuka terhadap ilmu pengetahuan Barat maka mereka tidak boleh menutup mata untuk paham Marxis yang didasarkan pada ilmu pengetahuan, Benih-benih ajaran Marx, Soekarno mengupamakan,oleh badai waktu tersebar sampai ke khatulistiwa dan di sana, di antara bukit-bukit dan gunung kepulauan Nusantara, benih-benih tadi berurat akar . Orang-orang Islam tidak boleh lupa bahwa kapitalisme nusuh kaum Marxis, juga merupakan musuh kaum Islam, Dengan sederhana ia menjelaskan inti ajaran-ajaran Marx : nilai lebih, akumulasi modal, dan meningkatnya kemelaratan. Bukankah paham-paham inti Marxisme ini menunjukkan persamaan yang menarik dengan ajaran sang Nabi ? Bukankah larangan di dalam Al-Qur:an, yaitu Surah Alimran ayat 129 mengenai larangan untuk menagih bunga, sama dengan ajaran Marx yang mengutuk cara pertambahan nilai ini? Bukankah Quran, dengan melarang penganutnya untuk mengumpulkan emas dan perak, sebenarnya menentang akumulasi modal ? Dan bukankah zakat, yaitu perintah Nabi untuk membantu kaum miskin, sebenarnya suatu panggilan untuk membalik arus kemelaratan ?

24

Perkara yang sulit bagi orang yang ingin mendamaikan Islam dengan paham Marxisme ini sudah tentu dalil tersohor Manifesto Komunis yang berbunyi : agama merupakan obat bius rakyat. Soekarno tidak menghindari kesulitan ini. Manifesto Komunis yang dikeluarkan tahun 1849 disesusaikan dengan keadaan di Eropa waktu, begitu ia menjelaskan. Di Eropa agama Kristen menjadi sekutu kapitalisme; Marx dan Engels bukan dua orang nabi yang mau membuat hukum untuk setiap waktu, demikian bunyi ucapan Soekarno yang mungkin bisa dijadikan perdebatan. Andaikata Marx dan Engels mengembangkan teori mereka sekarang dan di sini, mereka pasti melihat bahwa agama Islam bukan sekutu kapitalisme, melainkan, sama seperti kaum proletar dunia Barat, menjadi korbannya. Soekarno membedakan antara materialisme Marx yang hhistoris dan yang filosofis. Materialisme historis, demikian Soekarno mengajar, ada kaitannya dengan dengan pengembangan cara berpikir, sedangkan materialisme filosfis adalah asalusul cara berpikir. Yang satu menjelaskan mengapa Marxisme asli harus memerangi agama Kristen karena bukankah yang terakhir ini secara historis memihak kapitalisme. Dipandang dari sudut materialisme filosofis jelas bahwa kesalehan orang Islam yang beriman menjadi sumber pertentangannya melawan kapitalisme yang menekan. Paham Marxis yang tidak mengakui kenyataan ini oleh Soekarno disebut obat bius untuk rakyat jelata. Dengan menghimbau kekuatan-kekuatan nasionalis untuk bersatu, menurut Lambert Giebels, Soekarno meninggalkan kartu namanya. Lewat buku Soekarno Founding Father of Indonesia 1941 1945, yang diterbitkan pada tahun 2002, Bob Hering menyatakan bahwa melalui tulisannya Soekarno hendak menandaskan bahwa bahwa ia tak hendak meluruskan generasi tua yang lebih sadar dari elite politik Indonesia yang mempunyai program lebih menekankan pada regionalisme dan politik kooperasi dengan penguasa kolonial. Seruannya ditujukan kepada generasi dia sendiri yang sadar politik, para pemuda modern. Mereka itu mempunyai jalan pikiran nasional murni dan bukannnya mengutamakan identitas kedaerahan sehingga dengan begitu mereka lebih memiliki perlengkapan bagi perjuangan kemerdekaan. Meski generasi baru jumlahnya kecil, akan tetapi dia merupakan inti pemimpin tanah air masa depan. Betapapun ia tetap menyadari kelemahannya yakni membuangbuang energi dalam perselishan dan pertengkaran pribadi maupun ideologi. Dengan begitu Soekarno melakukan ajakan dan prakarsa dramatis kepada tiga ideologi yang dominan yang menjiwai keberadaan dan bertahannya organisasi-organisasi utama di tanah air. Dihimbaunya agar mereka menyingkirkan perbedaan dan permusuhan dan menggalang persatuan nasional yang kokoh, Jika semua
25

bersatu maka akan menjadi kekuatan perjuangan yang tangguh menghadapi kaum kolonialis, dan suatu kali kelak akan mampu mengambil-alih, Maka akan sampailah impian Indomesia Merdeka. Membuang pikiran sempit, gagasan yang bersifat kelompok eksklusif baik yang nasionalis, yang internasional marxis, maupun yang Pan-Islam. Ia menekankan kepada etiga kelompok pergerakan yang berbeda ini untuk mengambil gagasan yang menjadi solusinya yang jauh lebih dapat diterima semua pihak, bersatu dengan segala resiko bagi diri sendiri untuk melakukan perlawanan bersama terhadap musuh bersama. Cukup menarik bahwa Soekarno tidak terlalu banyak menekan tentang Barat atau penindasan rezim kolonial dunia, tetapi ia menekankan pada kekurangan mendasar di antara bangsanya sendiri. Sebagai yang akan kita lihat kemudian ia kian yakin bahwa tanpa adanya basis yang teguh dengan kerkuatan luas, maka hari depan gerakan nasionalis dan populis akan kecil saja, tidak akan menggetarkan. Mari kita kembali pada seruan politik Soekarno yang pertama. Ia menyatakan bahwa di negeri ini nasib kekristenan menjadi anutan si penindas, sementara keislaman dan juga marxisme menjadi sekutu alamiah. Islam dalam kenyatannya juga bersifat nasionalis, karena menjadi agama pencundang yang ditindas. Sementara itu para marxis Indonesia juga nasionalis karena marxisme mengutuk sistem kapitalisme dari negeri asing penindas, dengan begitu berada pada pihak pecundang. Sebagai nasionalis kita harus mengenali kecenderungan nasionalis pada marxisme dan Islam, selanjutnya bersatu bersama mereka menghadapi musuh bersama. Yakin bahwa kaum nasionalis sejati dari generasinya tidak akan keberatan terhadap pandangannya itu, maka kini usaha utama adalah menarik golongan Islam dan kaum marxis. Untuk itu ia harus mempertimbangkan konsekuensi dan perpecahan organisasi yang terjadi, juga kenyataan jelas bahwa secara kuantitas mereka unggul dari organisasi yang lain.

26

Maka Soekarno menawarkan gagasannya secara serempak kepada kaum marxis pribumi dan golongan Islam, bahwa secara umum mereka memiliki prinsip-prinsip dasar pandangan ekonomi dan sosial yang mirip, tetapi selama ini tidak disadari. Dalam hal ini Soekarno mengutip surah Ali_Imran ayat 130, bahwa nilai lebih menurut pandangan marxis sebagai akar kapitalisme. Konsep yang sama dengan Islam sejati bahwa riba pada hakekatnya tiada lain daripada meerwarde nya (nilai lebih) paham marxisme itu. Ia pun mengutip lebih lanjut surah At-Taubah ayat 34, bahwa Islam dan marxisme keduanya menentang penimbunan uang. Ia juga mengingatkan pendengarnya tentang kewajiban Islam membayar zakat, kewajiban yang kaya untuk menyedekahkan sebagian kekayataannya kepada yang kurang mampu. Ini semua seiring dengan prinsip marxis untuk memerangi kemiskininan. Bahkan ketika membicarakan prinsip kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan, Soekarno mengutip surah Al-Hujarat ayat 13. Pandangan Islam dan marxis mempunyai prinsip yang menekankan persaudaraan. Sedang surah Al-Kahfi ayat 110 mengajarkan persamaan. Selanjutnya Soekarno membedakan antara historis materialisme (pandangan materialis sejarah) dengan materialisme filsafat sebagai dasar-dasar marxisme atau teori marxis. Kita harus membedakan historis-materialisme itu daripada wijsgerig-materialisme; kita harus memperingatkan bahwa maksudnya historis-materialisme itu berlainan dari pada maksudnya wijsgerig-materialisme tadi. Dengan demikian dalil marxis yang menyatakan bahwa agama adalah candu bagi rakyat menurut Soekarno harus ditiadakan. Menurutnya andaikata Marx dan Engels hidup di jaman ini maka mereka pasti akan mengenai bahwa Islam bukan saja kaki tangan kapitalisme imperialis, akan tetapi juga korban sebagaimana hanya kaum proletar di negeri Barat. Dengan demikian ia menekankan bahwa taktik marxisme-baru terhadap agama adalah berlainan dengan taktik marxisme-dulu. Marxisme-baru adalah berlainan dengan marxisme dari tahun 1847 yang dalam Manifesto Komunis mengatakan bahwa agama itu harus di abschaffen atau dilepaskan adanya,

27

Selanjutnya Soekarno menyimpulkan bahwa dengan memenuhi segala kewajiban marxis-muda tadi itu, dengan memperhatikan segala perubahan teori azasnya, dengan menjalankan segala perubahan teori azasnya, dengan menjalankan segala perubahan taktik pergerakannya itu. Mereka boleh menyebutkan diri pembela rakyat yang tulus hati, mereka boleh menyebutkan diri garamnya rakyat. Tetapi marxis yang ingkar akan persatuan, marxis yang kolot teori dan kuno taktiknya, marxis yang memusuhi pergerakan kita nasionalis dan Islamis yang sunmgguh-sungguh marxis yang demikian itu janganlah merasa terlanggar kehormatannya dinamakan racun rakyat adanya. Nampaknya di sini bahwa pengaruh dari anggota klub studi ASC mengemuka. Anggota itu, Marcel Koch, sudah sejak 1923 terus-menerus mengemuka kepada Soekarno tentang pemikiran marxis sebagai tambahan yang telah disampaikan oleh Caos Hartogh ketika di HBS Surabata. Sekalipun demikian pemikiran Soekarno jelas tetaplah nasionalisme sebagai yang diseruhkannya dalam Indonesia Moeda sebagai nasionalisme sebagai yang dikutipnya dari SH/NIP yang belum lama dibubarkan. Karena pandangan ini masih tetap dianut para nasionalis sejati, maka persatuan yang dikehendakinya menjadi sangat mungkin dilaksanakan. Pemikiran utamanya ketika itu adalah bagaimana kaum nasionalis dapat merangkul kaum marxis dan Islam sebagai bagian yang tak terpisahkan, sebagai anasir bangsa ini, menjadi suatu kekuatan besar untuk menjembatani segala perbedaan. Dalam pada itu ciri-ciri Jawa dan Bali muncul juga dalam tulisan-tulisan Soekarno di Indonesia Moeda. Sementara tema perjuangan pihak sini dan sana dilukiskan secara singkat dengan gambaran tokoh Bima dan puteranya. Masalah harmoni dan persatuan merupakan tema besar yang menjelujuri tulisan dan seruan Soekarno untuk mengatasi konflik ideologi, Di sini kita sampai pada alur utama Soekarno yang dijiwai filsafat Jawa. Pada penutup tulisannya ia mengundang sang organisator. Persatuan itu bisa berdiri, tinggal mencari organisasinya saja, yang menjadi Mahatma Persatuan itu. Apakah Ibu Indonesia yang mempunyai putera-putera sebagai Omar Said Tjokroaminoto, Tjipto Mangunkusumo dan Semaun, apakah Ibu Indonesia itu tak mempunyai putera yang bisa menjadi kampiun persatuan itu? Apakah Soekarno pada saat itu tidak memikirkan dirinya sendiri sebagai seseorang yang tidak hanya mengembalikan pandangan kebijakan Jawa,
28

bahwa berpikir secara sintesis semuanya dapat dikembalikan pada yang satu, tetapi juga seseorang yang menjadi pemimpin masa depan dari pergerakan yang bersatu? Pencanangan persatuan antara golongan Islam dan kaum nasionalis sebagai langkah pertama merupakan hal yang telah ditempuh Tjokroaminoto. Pada Desember 1926, Soekarno bersama Sartono, teman anggota klub yang kian dekat dengan dirinya, mengatur diadakannya seksi nasionalis pada jurnal Bendera Islam milik Tjokro. Pada halaman depan jurnal ini di samping simbol bulan bintang juga terdapay banten simbol nasionalisme. Sejak itu Soekarno sering muncul dengan landasan umum yang sama dengan Tjokro. Ia menyadari bahwa para nasionalis dari generasi yang lebih tua masih mendambakan kebesaran Sumatra atau Jawa, bahkan seperti Jong Java secara diamteral menentang pendekatan revolusioner. Pada hari Minggu 20 Februari 1827 Soekarno mendirikan Jong Indonesia, yang kemudian berubah nama menjadi Pemuda Indonesia, pada kongres pertamanya pada tanggal 28 Desember 1927. Terdapat pukulan terbesar terhadap kampanye persatuan Soekarno yang malah menguntungkan, menurut Bob Hering, yakni tenggelamnya dengan cepat golongan marxis dari arena politik Indonesia ketika itu. Sepintas hal ini terlihat membuat tidak lengkap apa yang telah ditulis Soekarno panjang lebar dengan susah payah dalam Indonesia Moeda untuk membawa kaum marxis dalam satu atap. Mengingat pertentangan keras di antara kaum marxis dengan Islam ketika SI mencanangkan disiplin partai, juga dalam gabungan Radicale Concentratie yang berumur pendek, apakah secara praktis masuk akal dan dapat dicapai usaha mempersatukan kaum marxis dengan Islam. Pada saat terlepas dari pimpinan yang lebih berpengalaman, dan juga dengan menyimpang dari nasehat arahan Moskow, PKI melakukan pemberontakan di Banten (November 1926) dan Sumatra (Januari 1927). Dengan keadaan demikian Soekarno menjadi dikurangi beban permasalahannya untuk persatuan. Dengan uraian diatas telah diperlihatkan bagaimana lima sarjana asing memberi komentar kritis terhadap tulisan Soekarno yang berjudul Nasionalisme, Islam dan Marxisme. Dengan demikian kita diajak untuk bisa memahami tulisan Soekarno tersebut. Tentu saja pendapat yang diutarakan oleh Bernhard Dahm, Ruth McVey, John D Legge, Lambert Gibels dan Bob Hering telah memberi perspektif pada kita untuk memahami Soekarno. Kita bisa menerima dan menolak, atau mengkritisi pendapat
29

kelima sarjana asing tersebut. Atau kita juga bisa menolak atau menerima apa yang ditulis Soekarno dalam tulisan berseri tersebut. Esai Soekarno merupakan warisan intelektual dari sejarah kebangsaan di tanah air dan teks tersebut bisa dianggap klasik dan bernilai abadi. Bisa saja keabadian itu tidak terletak pada nilai instrinsiknya ide yang dipantulkan telah aus dimakan perjalanan zaman tapi pada hubungan kreatif dari teks dengan konteks sosial politik yang mengelilinginya. Esai klasik itu bisa dilihat sebagai peletak dasar pemikiran politik Soekarno. Ia sendiri pun mengakui bahwa landasan pemikirannya tak berubah. Yang berubah, katanya, hanyalah situasi. Boleh dikatakan semua pidato, artikel, esai politik, dan ceramah yang diberikannya adalah elaborasi, pendalaman, pematangan, dan popularisasi atau aktualisasi, bahkan tak jarang pengulangan dari ide-ide esai klasik ini. Esai klasik ini memperlihatkan kecenderungan Soekarno yang ingin mendapatkan unsur-unsur pemersatu dari segala hal yang berbeda. Makalah ini dipresentasikan pada Sekolah Para Pendiri Bangsa Megawati Institute pada tanggal 11 April 2001.

Bibliografi Alfian. 1978. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta : PT Gramedia . Dahm, Bernhard. 1987. Sukrano dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta : LP3ES. Giebels, Lambert. 2001. Soekarno Biografi 1901 1950. Jakarta : Grasindo. Hering, Bob. 2003. Soekarno Bapak Indonesia Merdeka. Sebuah Biografi ( Jilid 1 1001 1945 ). Ingleson, John . 1983. Jalan Ke Pengasingan. Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927 1934, Jakarta : LP3ES. Kasenda, Peter. Sukarno Muda. Biografi Pemikiran 1926 1934. Jakarta ;
30

Komunitas Bambu , 2010. McVey, Ruth. Introduction. Soekarno. Nasionalism, Islam and Marxisme. Ithaca, New York: Cornell University Modern Indonesia Project Translation Series, 1969. McVey Ruth. Permulaan Komunisme di Indonesia, dalam Colin Wild dan Peter Carey (ed) Gelora Api Revolusi . Sebuah Antologi Sejarah. Jakarta : PT Gramedia, 1986, Hlm. 25 31 .

31

Anda mungkin juga menyukai