Anda di halaman 1dari 8

BAB 21 PENINGKATAN PENGELOLAAN BUMN

Sebagai salah satu pelaku perekonomian nasional, badan usaha milik negara (BUMN) diharapkan, antara lain, (1) memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; (2) menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak; dan (3) menjadi perintis kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi. Sejak tahun 2005 hingga 2008, kebijakan pengembangan dan pembinaan BUMN melanjutkan upaya untuk menyinergikan antara iklim makro dan mikro perusahaan. Iklim makro perusahaan merupakan hasil kebijakan industri dan kebijakan pasar badan usaha beroperasi. Sedangkan iklim mikro adalah kebijakan internal dan restrukturisasi yang diambil sesuai dengan potensi daya saing yang ada. Kebijakan tersebut dilaksanakan melalui upaya penciptaan sinergi, transformasi bisnis, dan pengelompokan usaha (business regrouping). Di samping itu, dilaksanakan juga upaya pemisahan fungsi komersial dan pelayanan masyarakat serta optimalisasi prinsip tata kelola perusahaan yang baik.

I.

Permasalahan yang Dihadapi

Pembinaan dan pengelolaan BUMN menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan, antara lain tingginya kebutuhan pendanaan bagi pembangunan nasional, membutuhkan peningkatan peran BUMN sebagai sumber penerimaan bagi APBN sehingga dapat menurunkan kemampuan BUMN melakukan investasi bagi pengembangan usahanya. Belum seimbangnya antara pembiayaan dan tugas BUMN sebagai penyedia layanan bagi masyarakat (public service obligation/PSO) dapat menyebabkan terhambatnya peningkatan pelayanan masyarakat. Masih luasnya rentang regulasi yang dihadapi BUMN jika dibandingkan dengan pelaku usaha lainnya yang mencakup regulasi sektoral, regional, serta regulasi badan usaha membuat BUMN kurang leluasa dalam operasi bisnisnya. II. Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai

Langkah-langkah kebijakan pembinaan BUMN sejak tahun 2005 hingga 2008 meliputi restrukturisasi, privatisasi, penyempurnaan infrastruktur hukum, pembinaan pelaksanaan tatakelola yang baik, pembinaan pelaksanaan PSO, penambahan penyertaan modal negara (PMN), serta penyelesaian/restrukturisasi utang BUMN. Restrukturisasi BUMN dilaksanakan dengan tujuan antara lain untuk memperbaiki kinerja dan nilai perusahaan dengan menciptakan jumlah perusahaan yang tepat (rightsizing). Sejak tahun 2005, pedoman restrukturisasi telah selesai disusun bagi 6 sektor dari 36 sektor BUMN yang meliputi sektor kehutanan, sektor perkebunan dan holding RNI, sektor farmasi, sektor konstruksi, sektor industri strategis, dan sektor pertambangan. Sebagai tindak lanjut, telah diselesaikan proses merger PT Perikanan Samodra Besar, PT Perikani, PT Usaha Mina, dan PT Tirta Raya Mina menjadi satu BUMN Perikanan dengan nama PT Perikanan Nusantara. Selanjutnya, akan dilaksanakan pembentukan holding berdasarkan sektor usaha, yaitu sektor perkebunan, konstruksi, hotel, kehutanan, 21 - 2

pelayaran, dan kepelabuhanan. Selain itu, diupayakan merger/konsolidasi sektor kertas, farmasi, pertanian, perdagangan, dok dan perkapalan, penunjang pertanian, dan pergudangan, serta melakukan likuidasi untuk beberapa BUMN yang tidak prospektif lagi. Privatisasi BUMN merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Program Restrukturisasi BUMN. Hasil privatisasi menjadi penerimaan bagi APBN. Di samping juga untuk memperluas kepemilikan saham BUMN oleh masyarakat umum melalui pasar modal. Sejak tahun 2005, peran privatisasi sebagai sumber penerimaan bagi APBN diganti dengan pembagian laba BUMN (dividen). Realisasi privatisasi tahun 2006 berupa pelepasan saham PT Perusahaan Gas Negara (PGN) sebesar Rp2,088 triliun. Pada tahun 2007 adalah PT BNI Tbk. yang menghasilkan proceed bagi Negara (divestasi) sebesar Rp3,13 triliun, dan bagi perusahaan (saham baru) sebesar Rp3,99 triliun, PT Wijaya Karya Tbk, yang menghasilkan proceed bagi perusahaan (saham baru) sebesar Rp0,78 Triliun, dan PT Jasa Marga Tbk, yang menghasilkan proceed bagi perusahaan (saham baru) sebesar Rp3,47 triliun. Ke depan privatisasi akan terus dijalankan untuk pengembangan BUMN itu sendiri. Untuk dapat melaksanakan UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN, diperlukan perangkat peraturan pelaksana yang mengatur lebih lanjut mengenai ketentuan-ketentuan teknis. Untuk itu, telah diselesaikan dua Peraturan Menteri Negara BUMN sebagai pelaksanaan UU No. 19 Tahun 2003 yaitu (1) Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-05/MBU/2006 tentang Komite Audit bagi badan usaha milik negara, (2) Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Dengan adanya Peraturan Menteri Negara BUMN tersebut, pembinaan dan pengelolaan BUMN diharapkan akan dapat berjalan lebih baik. Selanjutnya pada tahun 2008, dengan ditetapkannya UU No. 40 Tahun 2007 tentang perseroan terbatas, akan dilakukan penyesuaian Anggaran Dasar bagi BUMN yang berbentuk perseroan.

21 - 3

Sejak tahun 2005 Kementerian Negara BUMN melanjutkan upaya pembinaan pelaksanan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance, GCG). Pembinaan ini, antara lain, dalam bentuk sosialisasi, pengkajian, dan review termasuk memberikan gambaran kepada publik mengenai pelaksanaan dan penerapan GCG di BUMN. Untuk memantapkan pelaksanaannya, telah dilaksanakan penandatanganan Statement of Corporate Intent (SCI) oleh 16 perusahaan yang merupakan wujud dari transparansi pengelolaan usaha oleh BUMN. Sebagai tindak lanjut, Kementerian BUMN terus memonitor dan menilai pelaksanaan GCG, antara lain, melalui assessment yang sampai dengan tahun 2007 telah dilakukan terhadap 91 BUMN dan review yang sampai dengan tahun 2007 telah dilakukan terhadap terhadap 41 BUMN. Dalam meningkatkan efektivitas penilaian terhadap praktik GCG pada BUMN dilakukan penyederhanaaan indikator dan parameter dalam rangka assessment dan review GCG, yaitu, indikator yang semula sebanyak 86 item menjadi 50 item, dan parameter yang semula 253 item menjadi 160 item. Sejak tahun 2005 hingga 2008, pengelolaan pelaksanaan PSO terus disempurnakan antara lain melalui (1) pemetaan kegiatan BUMN dalam rangka pemisahan administrasi pengelolaan yang bersifat PSO dan administrasi pengelolaan yang bersifat komersial; (2) mulai diterapkannya ketentuan Pasal 66 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang menegaskan bahwa jika pemerintah dalam hal ini kementerian/lembaga menugaskan BUMN untuk melaksanakan sebagian dari tugasnya maka konsekuensi dari penugasan tersebut berikut margin yang diharapkan ditanggung oleh kementerian/lembaga pemberi tugas. Pelaksanaan PSO dan subsidi melalui BUMN pada tahun 2006 berdasarkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara-Pusat (APBN-P) Tahun 2006 sebesar Rp107.080,29 Milyar tidak termasuk PSO yang dilaksanakan oleh PT Merpati Nusantara Airlines dan PT Askes yang anggarannya masing-masing ditampung dalam DIPA Departemen Perhubungan dan Departemen Kesehatan. Dari total nilai tersebut direalisasikan sebesar Rp98.794,69 Miliar atau 92,26% dari APBN-P 2006. Khusus mengenai realisasi subsidi listrik PT PLN TA-2006 sebesar Rp29.308 Milyar berasal dari subsidi TA2006 sebesar Rp27.519 Miliar dan luncuran TA-2005 sebesar Rp1.789 Milyar. Pada tahun 21 - 4

2007, PSO dan Subsidi melalui BUMN yang ditetapkan berdasarkan APBN TA2007 adalah sebesar Rp 101.308,8 Milyar. Dari nilai yang ditetapkan dalam APBN TA2007 tersebut, tidak termasuk PSO dan Subsidi yang dilaksanakan oleh PT Merpati, PT ASDP, dan PT Askes yang tidak tercantum dalam Nota Keuangan dan APBN TA2007 karena telah masuk dan ditampung dalam anggaran Departemen Perhubungan dan Departemen Kesehatan. Penambahan penyertaan modal negara (PMN) kepada BUMN dimaksudkan untuk memperbaiki struktur permodalan BUMN dan/atau meningkatkan kapasitas usaha BUMN. Pada Tahun 2006, telah dilaksanakan penambahan dana penyertaan modal negara (PMN) kepada 14 BUMN dengan nilai sebesar Rp1.972 Miliar. Pada tahun 2007, sebesar Rp 2,7 triliun digunakan untuk tambahan penyertaan modal negara pada 9 BUMN yang mencakup Perum SPU, PT Askrindo dalam rangka pelaksanaan Inpres No. 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, PT Kereta Api Indonesia guna pembayaran Past Service Liability (PSL), sisa tambahan PMN diberikan dalam rangka restrkturisasi/penyehatan 6 BUMN lainnya. Salah satu upaya penyehatan BUMN dilakukan melalui restrukturisasi keuangan terkait dengan penyelesaian utang rekening dana investasi dan subsidiary loan agreement (RDI/SLA) pada BUMN. Berdasarkan hasil inventarisasi pada tahun 2005, pinjaman RDI/SLA pada BUMN berjumlah kurang lebih Rp40 triliun yang terdiri dari RDI yang lancar sebesar Rp23,5 triliun, dan RDI yang tidak lancar sebesar Rp16,5 triliun. Pada tahun 2006 jumlah pinjaman RDI/SLA pada BUMN meningkat menjadi Rp50,65 triliun. Namun, posisi pada tahun 2007 menunjukkan bahwa terdapat 85 BUMN yang menerima pinjaman RDI/ SLA dengan nilai Rp 49,79 Triliun. Sebanyak 44 BUMN mengalami kesulitan pengembalian dengan nilai pinjaman sebesar Rp 15,47 triliun. Sedangkan dalam kategori lancar adalah sebanyak 41 BUMN dengan nilai pinjaman sebesar Rp34,32 triliun. Terkait dengan pinjaman tersebut, upaya yang telah dilakukan koordinasi dengan berbagai instansi dan penyiapan kerangka hukum bagi penyelesaiannya. Hasilnya adalah telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 17/PMK.05/2007 21 - 5

yang membuka kesempatan peyelesaian utang RDI/SLA BUMN. Pada tahun 2008, Kementerian Negara BUMN akan mempercepat proses penyelesaian utang RDI/SLA tersebut, termasuk mempercepat proses penyelesaian bantuan pemerintah yang belum ditetapkan statusnya (BPYBDS) ke dalam BUMN. Adanya langkah-langkah kebijakan pembinaan BUMN tersebut telah menunjukkan hasil yang positif. Dari tahun 2005 hingga tahun 2007, dari sejumlah 139 BUMN yang merugi semakin sedikit, yaitu 36 BUMN pada tahun 2005 menjadi 39 BUMN pada tahun 2006, dan 28 BUMN pada tahun 2007. Sejalan dengan itu, besarnya laba bersih yang diraih BUMN juga meningkat dari Rp42,31 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp53,15 triliun pada tahun 2006, dan Rp71,59 triliun pada tahun 2007. Bagian laba BUMN yang diserahkan ke kas negara juga meningkat, yaitu dari Rp12,8 trilliun pada tahun 2005 menjadi Rp21,5 trilliun pada tahun 2006 dan meningkat menjadi Rp23,8 trilliun pada tahun 2007. Jika dilihat dari kontribusi BUMN di pasar modal, kapitalisasi pasar 14 BUMN di pasar modal pada akhir tahun 2007 mencapai kurang lebih Rp636,26 triliun atau 32% dari nilai total kapitalisasi pasar. Kondisi itu cukup menggembirakan dan sangat kondusif untuk mendukung dinamika pasar saham dan pertumbuhan industri. Sebagai wujud kepedulian BUMN kepada masyarakat, BUMN terus melanjutkan pelaksanaan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan BUMN. Pada tahun 2006, total mitra binaan mencapai 203.275 unit yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia dan sumber dananya berasal dari penyisihan/bagian laba BUMN sebesar 1%3%. Akumulasi dana yang telah disalurkan untuk Program Kemitraan sampai dengan tahun 2006 mencapai sebesar Rp5,4 triliun. Akumulasi dana yang disalurkan sampai tahun 2006 untuk Program Bina Lingkungan mencapai Rp616,67 milyar. Pada tahun 2007 total mitra binaan mencapai 479.502 unit yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia dan sumber dananya berasal dari penyisihan/bagian laba BUMN sebesar 1%4%. Akumulasi dana yang telah disalurkan untuk Program Kemitraan sampai dengan tahun 2007 mencapai Rp6,07 triliun sedangkan akumulasi dana yang disalurkan untuk Program Bina Lingkungan mencapai Rp1,03 triliun.

21 - 6

III.

Tindak Lanjut yang Diperlukan Kebijakan pengembangan dan pembinaan BUMN akan diarahkan untuk:

1.

meningkatkan kemampuan SDM dan debirokratisasi Kementerian Negara BUMN sehingga mampu melaksanakan program restrukturisasi dan revitalisasi BUMN dalam rangka meningkatkan efisiensi dan daya saing BUMN; melanjutkan Program privatisasi BUMN; Profitisasi, restrukturisasi, dan

2. 3. 4.

melaksanakan harmonisasi peraturan perundang-undangan dalam pengelolaan BUMN; meningkatkan sinergi antarBUMN, terutama untuk penyediaan infrastruktur, peningkatan ketahanan energi, dan pemantapan ketahanan pangan; menodorong BUMN meningkatkan investasi serta meningkatkan efisiensi operasi usaha, antara lain, melalui penerapan pengadaan secara elektronik (e-procurement) dan pengendalian internal yang lebih ketat; melakukan optimalisasi penggunaan dan penertiban aset yang tidak/kurang produktif yang dapat dijual atau melalui kerja sama operasional (KSO), baik antarBUMN maupun dengan swasta; melaksanakan restrukturisasi keuangan BUMN (RDI, SLA dan Penetapan Status Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditetapkan Statusnya/BPYBDS), antara lain melalui konversi utang menjadi PMN dan/atau penghapusan utang sesuai dengan PP Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 33 Tahun 2006; mengembangkan dan melaksanakan diversifikasi usaha, terutama untuk BUMN yang berbasis SDA (resources based) guna meningkatkan kemampuan perusahaan untuk memperoleh pangsa pasar yang lebih luas dan penyebaran risiko usaha; 21 - 7

5.

6.

7.

8.

9.

melanjutkan upaya pemisahan administrasi yang jelas dari kegiatan BUMN yang menjalankan fungsi PSO dengan yang menjalankan fungsi komersial dalam menetapkan kebijakan yang jelas bagi masing-masing BUMN serta mendorong keseragaman formulasi penetapan PSO dan Subsidi sesuai dengan Pasal 6 UU Nomor 19 Tahun 2003; menciptakan pola hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan antara BUMN dan pemerintah daerah melalui kerja sama terutama dalam bidang ekonomi dalam pembangunan daerah.

10.

21 - 8

Anda mungkin juga menyukai