Anda di halaman 1dari 19

MENGKAJI TASAWUF IBNU ARABI REVISI Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Pemikiran Islam Dosen

Pengampu: Dr. Abdul Chalik, M. Ag.

Oleh: Tirmidzi FO7411275

KONSENTRASI TAFSIR HADIS PROGRAM PASCASARJANA IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA 2012

TASAWUF IBNU ARA>BI> A. PENDAHULUAN Ibnu Ara>bi> oleh ulama dan pemikir diklasifikasikan sebagai sufi yang failasuf. Hal itu dikarenakan Ibnu Ara>bi> telah mengompromikan dalam pemikirannya antara tawasuf dengan filsafat. Beliau termasuk ulama sufi yang produktif dan berhasil mengkaji masalah wujud yang kemudian dipadukan menjadi satu kesatuan yang utuh dalam ajarannya wihda>t al-wuju>d. Ajarannya itu sempat menggemparkan dunia tasawuf sehingga kepadanya diberikan gelar syaikh al-akbar, di samping juga karena beliau telah mengurai secara detail, luas dan mendalam pemikirannya itu dan tidak ditemui sosok demikian pada zamannya. Ajaran wihda>t al-wuju>d dalam tasawuf Ibnu Ara>bi> merupakan ajaran yang melihat masalh wujud (dalam hal ini Tuhan, alam dan manusia) sebagai satu kesatuan yang utuh, namun berada dalam dimensinya masing-masing. Tuhan menurutnya meliputi segala yang ada, sehingga yang ada bersifat nisbi dan tidak mutlak sedangkan yang Mengadakan bersifat mutlak dan tidak terbatas. Sebab, yang ada merupakan penampakan bagi diri-Nya dan bersumber dari-Nya serta Dialah yang menjadi esensinya. Terkait dengan alam, Ibnu Ara>bi> mengatakan bahwa alam termasuk salah satu ciptaan-Nya yang paling agung. Alam adalah manifestasi dari asma> dan sifa>t Allah. Tujuan penciptaan alam sendiri adalah supaya Allah dapat dikenali melalui asma> dan sifa>tNya itu. Pendapatnya itu didasarkan pada hadis Qudsi: aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk dan melalui Aku mereka kenal pada-Ku.1 Begitulah sekelumit pemikiran Ibnu Ara>bi> yang membuat namanya
1

menjadi

masyhur

sepanjang

masa.

Makalah

ini

akan

Hadis Qudsi ini juga sering dikutip oleh para pemikir misalnya Harun Nasution dalam Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1999, hal: 58, Sachiko Murata, The Tao of Islam, Bandung: Mizan, 1998, hal: 61

membahas tentang sosok Ibnu Ara>bi>, mulai dari sejarah hidupnya, karyanya, pemikirannya serta pengaruh pemikirannya terhadap perkembangan pemikiran Islam.

B. RIWAYAT HIDUP DAN KARYA IBNU ARA>BI> a. Kelahiran dan Pendidikan Nama lengkap Ibnu Ara>bi> yaitu Abu Bakar Muhyiddin Muhammad Ali bin Muhammad al-Haitami al-Thai al-Andalusi. Dia lahir di Murcia pada tanggal 17 Ramadan 560 H atau bertepatan dengan 28 Juli 1165 M.2 pada masa pemerintahan Muhammad bin Said bin Mardaniah.3 Secara ras, dia keturunan suku Arab Tayy.4 Sebagai anak pertama dan satu-satunya lelaki dalam keluarganya, kelahirannya jelas menjadi kebahagiaan bagi keluarganya.5 Dalam sejarah, terdapat banyak gelar yang diberkan kepada Ibnu Ara>bi> yang di antaranya syaikhu al-akbar, khatimu alanbiya al-muhammadiyah, syaikhu al-adham, quthbu al-arifin, rahibu al-alam, dan masih ada gelar lainnya.6 Orang-orang yang sezaman dengannya memanggil Ibnu Ara>bi> dengan Abu Abdullah, sedangkan para penulis dalam buku-bukunya lebih banyak menyebutnya Ibnu Ara>bi>. Hal itu sekaligus sebagai pembeda dengan Abu Bakar Muhammad Ibnu Ara>bi> yang merupakan Qadi Sevilla, dan Ibnul Ara>bi> tokoh hadis yang juga terkenal. Pada masa kecilnya, Ibnu Ara>bi> menghabiskan hidupnya dengan keluarga tercinta. Dia berada dalam keluarga yang terhormat, ayahnya7 adalah seorang pegawai pemerintah pada
2 3 4 5 6 7 Ada yang menyebutkan bahwa tahun kelahirannya adalah 1164 M. dalam makalah ini penulis menggunakan tahun 1165 karena beberapa literatur menyebutkan tahun itu sebagai tahun kelahirannya. Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud, Ajaran dan Kehidupan Spiritual Ibnu Arabi, (terj. Tri Wibowo), Jakarta: Mutiara Kencana, 2000, hal: 43. A. E. Afifi, Filsafat Mistis Ibnu Arabi, (terj. Sjahrir dan Nandi. R), Jakarta: GMP, 1995, hal: 02. Dalam berbagai tulisannya, Ibnu Arabi menceritakan ayah, ibu dan dua saudara perempuannya tapi tidak pernah ditemui ceritanya tentang saudara laki-lakinya. Begitu juga ketika ayahandanya menjelang detik akhir hidupnya semua anggota keluarga berkumpul dan lelaki satu-satunya hanya Ibnu Arabi. Lihat selengkapnya di Ibnu Arabi, Risalah Kemesraan, (terj. Hodri Arief), Jakarta: Serambi, 2005, hal: 35. Penulis mendapatkan keterangan dari internet bahwa yahnya bernama Ali bin Muhammad. Sedangkan

masa Muhammad Ibn Said Mardanish, penguasa Murcia. Sedangkan pamannya dari pihak ibu adalah penguasa Tlemcem, Algeria. Di samping ayahnya menjabat di pemerintahan, dia juga terkenal dengan kedalaman ilmunya sekaligus kesalehannya. Ibnu Ara>bi> kecil semenjak kecil telah menerima bimbingan keagamaan dari keluarganya secara langsung. Menginjak usia yang ke 8 tahun, Ibnu Ara>bi> bersama keluarganya meninggalkan kota kelahirannya dan berangkat ke Lisbon, sebuah kota kecil di daerah Sevilla. Di kota kecil inilah dia mendapatkan pendidikan agama islam seperti membaca al-Quran dan mempelajari hukum islam dari Shekh Abu Bakar bin Khalaf.8 Selanjutnya, ia bersama keluarganya berpindah ke kota Sevilla dimana kota ini ramai dan makmur sekaligus sebagai ibukota kerajaan al-Muwahidun di Spanyol. Selain itu, kota ini menjadi titik temu antara berbagai ras dan kultur dimana penyanyi dan penyair bergaul dengan filosof, teolog, dan para wali berdampingan. Otomatis, Ibnu Ara>bi> tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan ide-ide brilian para pemikir, ilmu pengetahuan dan filsafat yang sedang berkembang dengan pesat. Di Sevilla ini, Ibnu Ara>bi> mudah menjalani hidupnya seperti lazimnya anak muda yang baru tumbuh. Walaupun dia tidak mendapatkan pendidikan di tempat resmi, dia mendapat pendidikan privat dari seorang tetangganya yaitu Abu Abdullah Muhammad alKhayyat; seorang tokoh yang terkenal dengan ilmu al-Quran, yang kemudian pada masa berikutnya menjadi guru sekaligus teman bermainnya selama beberapa tahun.9 Dalam penjelasan lain, pada waktu itu pula Ibnu Ara>bi> telah belajar hadis, fiqih, dan ilmu agama lainnya kepada muritd Ibnu Hazm, salah seorang Imam madzhab yang cukup terkenal. Selama menetap di Sevilla, Ibnu Ara>bi> muda sering
ibuny belum penulis temukan riwayatnya. 8 A. E. Afifi, Filsafat Mistis Ibnu..hal: 01 9 Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud.hal: 51

melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Spanyol dan Afrika, Utara khususnya. Dalam perjalanan itulah, dia menjadikan sebagai kesempatan untuk menemui para sufi dan pemikir terkemuka. Salah satu kunjungannya yang mengesankan adalah pertemuannya dengan Ibnu Rusyd (w 595 H/1198 M) di Kordova, tepatnya pada tahun 575 H/1179 M.10 Ibnu Rusyd sendiri adalah teman ayahanda Ibnu Ara>bi>. Menginjak umurnya yang ke 16 tahun, Ibnu Ara>bi> memutuskan diri untuk menjalani pengasingan diri (khalawat). Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa setelah dia berfoya-foya dengan makanan bersama teman-temannya, dia secara tiba-tiba mendengar seruan Wahai Muhammad, bukan untuk itu engkau diciptakan. Karena takut dengan mendengar suara tada, kemudian dia lari ke sebuah pemakaman di luar kota Sevilla. Di tempat itu, dia menjumpai lubang seperti gua dan masuk ke dalamnya. Selama empat hari dia tinggal di sana sendirian dan berdzikir dengan khusyu.11 Di sinilah tanda-tanda kebatinan Ibnu Ara>bi> mulai tampak. Beberapa tahun kemudian, dia diberi kepercayaan oleh penguasa al-Muwahhidin (Abu Bakar bin Abd. Al-Mumin) untuk menjadi sekretaris gubernur. Pernah terlintas dalam benaknya bahwa jabatan itu akan dia fungsikan sebagai media pengabdiannya kepada Negara sebagaimana telah dilakukan oleh ayahnya. Namun selama pengabdiannya justru sebaliknya. Pekerjaan yang semakin banyak dan ruwet justru membuatnya merasa semakin jauh dari Tuhan. Begitu juga, harta dunia yang dimilikinya selalu menjadi ganjalan fikiran dan kegelisahan batinnya. Oleh sebab itulah, pada satu waktu Ibnu Ara>bi> memutuskan untuk melepaskan rutinitasnya yang ia sendiri menyebutnya sebagai period ke-jahilan. Disebut kejahiran menurutnya karena tidak peduli kepada Tuhan
10 Keterangan lebih lanjut terkait dengan pertemuan dan percakapan Ibnu Arabi dengan Ibnu Rusyd dapat dilihat di Claude Addas, Mencari Belerang Merah; Kisah Hidup Ibnu Arabi, (terj. Zainul), Jakarta: Serambi, 2004, hal: 59-60 11 Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan.hal: 67

dan lebih tertarik pada kehidupan duniawi. Pada tahun 590 H/1193 M., ketika pemikiran spiritualitas Ibnu Ara>bi> telah mengkristal, dia berkelana mengelilingi Andalusia. Pertama, dia menuju kota Murur untuk menemui Syekh Abu Muhammad al-Mururi yang dikabarkan sebagai ahli spiritual. Selanjutnya dia meneruskan ke Kordova dan Granada. Setelah merasa puas berkelana di berbagai kota Andalusia, ia ingin menyeberangi laut dan menuju daratan lain. Ia pun pergi ke Bejayah (Bugia) al-Jazair untuk mengunjungi Syekh Abu Madyan, seorang pendiri aliran tasawuf di sana12 dan merupakan syekh paling terkemuka pada zamannya. Abu Madyan adalah seorang yang juga turut berpengaruh pada kehidupan spiritual Ibnu Ara>bi>. Hal itu terbukti dari kisah-kisah yang ditulisnya sendiri khususnya ruh alqudus dan al-Durrah al-Fakhirah di mana di dalamnya Ibnu Ara>bi> sering menyebut nama Abu Madyan. Walau demikian, dalam sejarah lain disebutkan bahwa Ibnu Ara>bi> secara fisik tidak pernah bertemu dengan Abu Madyan akan tetapi keduanya telah bertemu di alam spiritualnya, bahkan menurutnya telah berkali-kali.13 Di samping Abu Madyan, dia juga belajar pada murid-muridnya di antaranya al-Maururi, al-Kumi, dan al-Sadrani, Abd. Aziz al-Mahdawi, dan Muhammad Abdullah al-Kinani. Dari Bugia, Ibnu Ara>bi> meneruskan pernalanannya ke Tunisia. Di kota itu dia mengkaji karya seorang sufi Abu al-Qasim Ibn Qushai, khalan nalain. Di kota ini pula, dia mengatakan pernah bertemu dengan nabi Khidir untuk kali pertama. Dalam pertemuannya, dia diberikan wejangan untuk lebih mengedepankan spiritualitas dalam mendekatkan diri kepada Tuhannya. Pertemuan kemudian terjadi dua kali lagi pada akhir tahun 1194 M., ketika Ibnu Ara>bi> kembali ke Andalusia. Pertemuannya dengan nabi Khidir berlangsung dalam kondisi yang berbeda. Pertama, berlangsung di
12 A. Rofi Usmani, Tokoh-tokoh Muslim Pengukir Zaman, Bandung: Pustaka Media, 1998, hal: 30 13 Austin, Sufi-Sufi Andalusia, diterjemahkan dari Ruh al-Qudus, terj. Nasrullah, Bandung: Mizan, 1994, hal: 148-149

daratan tepatnya di jalan kota pada siang hari. Kedua, bertemu di air, sebuah pertemuan pribadi di bawah cahaya bulan purnama. Ketiga, Khidir menampakkan diri di atas udara.14 Dari tiga pertemuan tersebut, tampak bahwa ada tahapan ajaran Khidir dalam menuntun Ibnu Ara>bi> ke dalam pengetahuan misteri ilahi dan mendorongnya untuk merenungkan kualitas dirinya. Pasca pertemuannya dengan nabi Khidir, Ibnu Ara>bi> terus berulangkali bertemu dengan para nabi yang juga membimbingnya pada jalan spiritual, termasuk nabi Hud, Isa, Musa hingga nabi Muhammad. Pertemuaannya dengan nabi Muhammad berlangsung beberapa kali dalam situasi yang berbeda pula dan dianggapnya sebagai ajaran penyempurna dari ajaran nabi-nabi sebelumnya. Ketika ayahandanya meninggal dunia, Ibnu Arabai kembali ke Sevilla dan otomatis menjadi tulang punggung keluarganya, utamanya dia harus mengasuh kedua saudara perempuannya. Pada waktu itu pula disebutkan bahwa dia sempat putus asa dan ingin kembali pada kehidupan dunia namun niatan itu tidak terjadi. Setelah pergolakan politik di Sevilla mulai bergolak, pada tahun 594/1198 dia bersama saudaranya pindah menuju Fez15 dan tinggal di sana untuk beberapa tahun. Di kota inilah kebahagiaan Ibnu Ara>bi> dalam spiritualitasnya dapat dikatakan telah terpenuhi, karena dia bisa mengabdikan dirinya secara penuh pada Tuhan. Bukan hanya itu, Ibnu Ara>bi> juga pernah berkelana ke Tripoli, Tunisia, Mesir dan lainnya. Di akhir perjalanannya yang panjang, pada tahun 598 M Ibnu Ara>bi> tiba di Makkah sekaligus menunaikan ibadah haji. Dia menetap di Makkah selama tiga tahun dan tidak pernah kembali ke Maroko maupun Andalus. Di sana dia mengenal imam masjid Haram yang terkenal dengan nama Abu Khasyah dan menikahi putrinya, Nidzam dan menulis buku khusus
14 Stephen Hirtenstein, Dari Keragamanhal: 118 15 Kota FEZ merupakan kota warisan terkemuka dari dinasti idrisiyah islam (788-974 M) di maroko bagian utara. Fez merupakan ibukota pertama dan pusat spiritual islam yang di dirikan oleh idris ibn abdullah. Sedangkan Idris ibn abdullah adalah keturunan Nabi saw yang lari ke maroko untuk menghidari penganiayaan Abbasiyah.

yang diberi judul tarjuman al-ashwaq. Buku itu merupakan kumpulan syair indah bertema cinta dan dibumbui dengan kisah sufistik. Di Makkah pulalah dia dapat melahirkan beberapa karya terkenalnya. Negara Timur pada saat itu berada di bawah kekuasaan dinasti Ayyubiyah keluarga Shalahuddin atau Saladin. Aturan negara tersebut diterapkan hingga Mesir dan Syam serta Hijaz. Ibnu Ara>bi> telah melakukan perjalanan panjang mengunjungi kotakota di Timur. Tentara Salib masih menempati bagian dari tanahtanah Muslim di Syam dan masih berada dalam Emirat Antakya dan Tripoli. Hal inilah yang dapat menjelaskan kepada kita tentang pandangan keras Ibnu Ara>bi> terhadap tentara Salib. Di Mosul, Ibnu Ara>bi> bertemu Syaikh Ibnu Ara>bi> Sufi Ali bin Jami' dan di hadapannya ia mengenakan baju wol sufi. Di Kairo, ia mencetuskan Pantheisme (wihdat al-wujud). Lalu ia ditolak oleh para ulama fikih dan mereka mempengaruhi khalayak umum. Akan tetapi, pengadilan Ayyubi pemegang kekuasaan Mesir pada saat itu memberikan toleransi kepadanya sehingga tidak memberikan hukuman. Dari Mosul pindah ke Konya. Di sana, raja Konya memberikan sebuah rumah bernilai 100.000 dirham untuk ditempatinya. Pada suatu hari, seorang pengemis datang mengetuk pintu. Ibnu Ara>bi> berkata: Saya tidak memiliki apa-apa selain rumah ini. Ambillah untukmu. Hanya berapa waktu lamanya, dia pergi ke Baghdad. Di kota ini sekelompok aliran sufi berkumpul bersamanya. Lalu ia kembali ke Konya dan kemudian ke Malta. Kemudian pergi ke kota Aleppo. Ibnu Ara>bi> tinggal di Aleppo hingga sampai 620 H. Setelah itu ia meninggalkan Aleppo pindah ke Damaskus hingga ia meninggal dunia dan dimakamkan di sana pada 28 Rabi'ul Awal 638 H / 16 Nopember 1240 M.16
16 Addas dalam bukunya menyebutkan bahwa Ibnu Arabi meninggal dunia pada tanggal 22 Rabiul Awal 638. Mencari Belerang Merah.hal: 409

b. Karya-karya Ibnu Ara>bi> Ibnu Ara>bi> di samping dikenal sebagai ulama sufi yang besar, dia juga mashur dengan penuli\\\\\\\\\\\\\\\\\s yang produktif. Hal itu dibuktikan dengan karya-karyanya yang sangat banyak dan multi bidang. Berikut penulis sajikan beberapa kitab yang ditulis oleh beliau: 1. \\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\Futuhat al-Makkiyah. Kitab ini dan mempunyai berbagai di ilmu 560 bab dan yang juga membicarakan prinsip-prinsip metafisik sakral tercatat dalamnya pengalaman-

pengalaman spiritual Ibn Arabi. Buku ini juga katanya dibimbing langsung oleh malaikat inspiratif, bahkan Tuhan. 2. Fusus al-Hikam, menurutnya buku ini ditulis dengan bimbingan dari Nabi. 3. Tarjuman al-Ashwaq 4. Insha al-Dawair 5. Uqlat al-mustawfiz 6. al-Tadbirat al-Ilahiah 7. Mashahid al-Asrar al-Qudsiyyah 8. Kitab Al-Isr 9. Mawaqi al-Nujm 10.Anqa` Mughrib 11.Mishkat al-Anwr 12.Hilyat al-Abdal 13.Rh al-Quds 14.Taj al-Rasil 15.Kitab al-Alif, Kitab al-Ba, Kitab al-Ya. 16.Tanazzulat al-Mawsiliyyah 17.Kitab al-Jalal wa al-Jaml

18.Kitab Kunh ma la budda lil Murid Minhu Menurut Osman Yahya, seorang intelektual Arab yang banyak mengkaji Ibn Arabi, tulisan Ibn Arabi terhitung sebanyak 850 yang dinisbahkan kepadanya, 700 dari tulisan itu masih ada tetapi sekitar 450 yang dinilai benar-benar asli.17 C. PEMIKIRAN IBNU ARA>BI> Secara tipikal, Ibnu Ara>bi> diklasifikasikan sebagai penganut tasawuf falsafi oleh beberapa tokoh. Hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa Ibnu Ara>bi> telah memadukan antara intuisi dan akal dalam mendekatkan diri pada Tuhannya sekaligus dalam mengkaji ayat-ayat Nya yang ada di dunia ini.18 Namun demikian, tidak berlebihan juga jika kemudian Afifi memandangnya sebagai seorang filosof karena Ibnu Ara>bi> sering berangkat dari pemikiran-pemikiran spekulatif. Terlepas dari itu, dalam tulisan ini akan dibahas secara fokus pada pemikiran Ibnu Ara>bi> dari sudut pandang tasawuf. Sebagaimana yang telah mafhum, bahwa Ibnu Ara>bi> merupakan sosok pertama yang melahirkan ajaran wahdat al-wujud, penyatuan antara Tuhan, manusia dan alam. Wahdat al-wujud adalah istilah yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal, dan kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada.19 Dengan demikian wahdat alwujud mempunyai arti kesatuan wujud. Kata wahdat selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Sebagian ulama terdahulu mengartikan wahdat sebagai sesuatu yang dzatnya tidak dapat dibagi lagi. Selain itu kata wahdat menurut ahli filasafat dan sufistik sebagai suatu kesatuan antara roh dengan materinya, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang lahir dan yang
17 Pernyataan tersebut penulis kutip dari tulisan Ahmad Zainudin Tasawuf Ibnu Arabi di http://amuli.wordpress.com/2008/04/08/bab-ii-ibn-%E2%80%98arabi-kehidupan-karya-danengaruhnya/ 18 Rivay Siregar, Tasawuf: dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Jakarta: Rajawali Press, 1999, hal: 55 19 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Grafindo, 2006, hal: 247

10

bathin.

Adapun

pemahaman

yang

digunakan

oleh

para

sufi

selanjutnya mengenai wahdat al-wujud yaitu sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya memiliki satu kesatuan wujud. Istilah wahdat alwujud tidak pernah terlontar dari Ibnu Ara>bi> maupun dalam tulisan-tulisannya.20 Menurut Ibnu Ara>bi>, wujud yang ada semua ini hanyalah satu dan pada hakikatnya, wujud makhluk adalah wujud khalik juga, tidak ada perbedaan antara keduanya (makhluk dan khalik) jika dilihat dari segi hakikat. Paham ini merujuk kepada timbulnya paham yang menyatakan bahwa antar makhluk (manusia) dan alhaqq (Tuhan) sebenarnya satu kesatuan dari wujud Tuhan. Dan yang sebenarnya ada adalah wujud Tuhan itu, sedangkan wujud makhluk hanyalah bayangan dari khaliq. Landasan paham ini dibangun berdasarkan diterangkan pemikiran dalam bahwa Allah SWT sebagaimana suatu paham yang yang al-hulul yang berarti

menyatakan bahwa Tuhan dapat mengambil tempat pada diri manusia. Bahwasannya di dalam alam dan diri manusia terdapat sifat-sifat Tuhan, dan dari sinilah timbul paham kesatuan. Paham wahdat al-wujud ini juga mengatakan bahwa yang ada di dalam alam ini pada dasarnya satu, yaitu satu keberadaan yang hakiki yang hanya dimiliki oleh Allah SWT. Untuk lebih spesifik, berikut penulis paparkan secara rinci terkait dengan pemikirannya tentang Tuhan, alam maupun manusia: 1. Pemikirannya tentang Ketuhanan Pemikiran Ibnu Ara>bi> tentang Tuhan tidak lepas dari istilah wujud. Wujud dalam pandangannya adalah sesuatu yang ada secara mutlak (wujud al-mutlaq) atau realitas puncak dari segala sesuatu (al-wujud al-kulli). pendeknya, istilah wujud Ibnu Ara>bi> hakikatnya berkonotasi pada Tuhan pencipta yang Maha Segalanya. Namun kemudian, karena Ibnu Ara>bi> memiliki pandangan bahwa
20 Ada yang mengatakan bahwa yang mengistilahkan wihdat al-wujud pada pemikiran Ibnu Arabi adalah Ibnu Taymiyah.

11

antara Tuhan, alam dan manusia merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dilepaskan maka istilah wujud sendiri diartikan sebagai realitas, baik realitas konkret (yang Mutlak/Tuhan) maupun realitas abstrak; alam dan manusia. Bagi Ibnu Ara>bi>, Tuhan bukanlah Allah sebagaimana yang dipersepsikan oleh kebanyakan masyarakat bahwa Dia yang memberi pahala, memberi siksa, mengasihi dan menolong. Hal demikian tidak bisa dikonsepsikan sebagai Tuhan karena hanya bagian kecil dari Nya. Tuhan secara hakiki, menurutnya, hanya bisa diketahui oleh orang yang berada dalam puncak spiritualitasnya. Orang yang berada dalam dunia sadar tidak bisa mempersepsikan Tuhan.21 Dengan pendapatnya itu bukan lantas Ibnu Ara>bi> mengatakan bahwa orang awam tidak bisa melihat Tuhan. Menurutnya, ada tingkatan-tingkatan khusus yaitu ketika Tuhan bertajalli melalui tiga tahap: a) Martabah Aha>di>yah (dhati>yah). Dalam tahapan ini wujud Allah merupakan dhat mutlak dan mujarrad, tidak bernama dan tidak bersifat. Oleh karena itu, Dia tidak dapat difahami atau dikhayalkan. b) Martabah Wahi>di>yah, dalam tahapan ini wujud Tuhan berupa wujud potensial yang bersatu dengan sifat dan asma-Nya. Tahapan ini bisa diketahui oleh orang-orang yang berada dalam puncak spiritualitasnya. c) Martabah Tajalli Shuhudi atau faid} al-muqaddas, pada tahapan ini Tuhan bertajalli melalui sifat dan asmaNya dalam kenyataan empirik atau kenyataan aktual dan dapat difahami oleh semua

21 CA. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, terj. Hasan Basri, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988, hal: 109

12

mahluk-Nya.22 2. Pemikirannya tentang Alam Bagi Ibnu Ara>bi>, alam adalah ciptaan Tuhan yang sangat agung, karena alam merupakan maz}har atau manifestasi dari sifat dan asma-Nya. Allah menciptakan alam sebagai tajalli Nya sehingga Dia dapat dikenali lewat asma dan sifat-sifat-Nya oleh mahluk. Pendapat Ibnu Ara>bi> itu didasarkan pada hadis Qudsi yang artinya: Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan mahluk dan melalui Aku merekapun kenal pada-Ku.23 Dengan hadis tersebut, jelas bahwa tanpa adanya alam maka asma dan sifat Allah akan kehilangan makna dalam arti hanya berada dalam kemujarradannya. Oleh karenanya, Annemarie Schimmel melanjutkan bahwa Tuhan yang Mutlak rindu dalam kesendirian-Nya sehingga Dia bertajalli pada mahluknya melalui asma dan sifat-Nya sehingga Dia memiliki rival dalam martabat shuhudiah-Nya.24 Terkait dengan alam ini, Ibnu Ara>bi> membaginya menjadi empat macam yaitu: 1) Alam jabarut, dimana alam ini ditempati oleh sabda ilahi dan daya rohani. 2) alam misal, alam ini menjadi tempat himmah dan doa-doa para wali. 3) alam malakut, yaitu dunia para malaikat, dan 4) alam nasut atau alam manusia yang juga merupakan tajalli Tuhan. Namun demikian, menurut Ibnu Ara>bi>, keempat alam tersebut hakikatnya bermuara dari satu esensi yang disebutnya sebagai haqiqah Muhammadiyah atau akal pertama menurut al-Farabi. Seperti sudah dikemukakan sebelumnya, terciptanya alam ini didorong oleh kehendak Ilahi yang ingin melihat diri-Nya yang
22 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Nurudin al-Raniry, Jakarta: Bulan Bintang, 2002, hal: 74-75. 23 Hadis ini dikenal dengan hadis khazanah tersembunyi dan banyak dikutip oleh para tokoh, seperti Harun Nasution dalam filsafat dan Mistisme dalam Islam, Sachiko Murata dalam The Tao of Islam dan yang lainnya. 24 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Supardi Djoko Damono, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986, hal: 277

13

Mutlak melalui berbagai bentuk empirik yang terbatas, atau karena kerinduan-Nya dalam kesendirian-Nya, meminjam kata-kata Annemarie Schimmel. Akan tetapi karena alam empirik ini berada dalam wujud yang terpecah-pecah, maka tajalli asma dan sifat-sifat Allah itu tidak dapat tertampung seluruhnya. Menurut Ahmad Daudy, alam ini ibarat cermin yang belum diasah dan merupakan badan tanpa roh, sehingga Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya dalam wujud yang sempurna dan menyeluruh. Karena itu diperlukan cermin lain yang dapat menampung citra Allah itu secara sempurna, dan cermin itu tiada lain adalah manusia, sebab manusialah yang dapat menampung sifat-sifat Jamal dan Jalal-Nya.25 Dengan demikian, keberadaan alam empirik memberi makna terhadap perwujudan asma dan sifat-Nya, sebab tanpa adanya alam yang bersifat empirik maka Dzat yang Mutlak akan tetap tinggal dalam kemujarradannya yang tidak dapat dikenal oleh siapapun, serta akan tetap dalam bentuk citra akali. Di sinilah letak urgensi wujud alam sebagai manifestasi dari kehendak ilahi yang ingin melihat diri-Nya yang Mutlak yang terjelma dalam berbagai bentuk emprik yang terbatas. Namun, semua yang tampak dalam wujud empirik tidak lain adalah sifat dan asma-Nya yang merupakan perwujudan bagi diri-Nya, bukanlah dzat-Nya. Sebab dzat Tuhan tidak ada yang dapat menggambarkan dan membandingkannya. Ibnu Ara>bi> mengatakan: setiap yang maujud memiliki bentuk sedangkan Dzat Tuhan tidak memiliki bentuk.26 3. Pemikirannya tentang Manusia Mengenai manusia, Ibnu Ara>bi> berpendapat bahwa manusia yang dapat menjadi tempat tajalli Allah bukanlah

sembarang manusia melainkan insan kamil (Manusia Sempurna), yaitu manusia yang telah mencapai tingkatan tertinggi dalam martabat kemanusiaannya, yang dalam dirinya terdapat Haqiqah Muhammadiyyah atau Nur Muhammad. Menurut Ibnu Ara>bi>, nur
25 Ahmad Daudy, Allah dan Manusiahal: 74-75 26 Ibnu Arabi, Futuhat al-Makkiyah, Jil II, Bairut: Daru al-Shadr, hal: 433

14

Muhammad merupakan tajalli Tuhan yang paling sempurna, ia diciptakan sebelum alam dan manusia diciptakan. Bahkan, melalui nur Muhammad itulah Tuhan menciptakan alam dan manusia. Dengan kesempurnaan itulah, manusia dijadikan sebagai khalifah di muka bumi oleh Tuhan. Bahkan menurutnya, yang menyandang predikat khalifah di muka bumi hanya manusia tidak mahluk yang lainnya. Allah berfirman: sungguh Aku telah menjadikan khalifah (Manusia) di muka bumi.27 4. Pemikirannya tentang Penciptaan Pandangan Ibnu Ara>bi> terkait dengan penciptaan tidak lepas dari pemikirannya tentang hakikat wujud yang bertajalli pada realitas alam, sebab realitas alam merupakan penampakan bagi diriNya, sekaligus menjadi eksistensi diri Ilahi yang bersifat immanen. Dengan kata lain, bahwa realitas alam selurhnya tidak lepas dari keberadaan yang Maha Mutlak sebagai sumber dari segala yang ada. Namun demikian tidaklah berarti sebaliknya, dengan tidak adanya alam semesta bukan berarti ketiadaan-Nya, sebab Dia ada dengan Dirinya sendiri. Sedangkan alam semesta menjadi ada sebab tajalli-Nya. Dengan demikian, alam semesta adalah sesuatu yang ada di luar diri-Nya, dengan melalui proses penciptaan sebagaimana dijelaskan dalam firman-firman-Nya.28 Bagi Ibnu Ara>bi>, masalah penciptaan tidak hanya terkait dengan kemahatinggian sang Pencipta sebagai hakikat dari segala sesuatu, akan tetapi terkait dengan sifat imanensi-Nya. Jika hanya dilihat dari ketinggian-Nya maka Dia dibatasi oleh apa yang nampak dan bertentangan dengan sifat-Nya sendiri; yang Maha d{a>hir. Demikian juga sebaliknya, jika sang Pencipta hanya dilihat dari aspek batiniyahnya berarti pembatasan terhadap Wujud Tuhan yang meliputi segala yang ada. Dia adalah yang Lahir dan yang Batin sekaligus. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah penciptaan alam
27 Surat al-Baqarah: 30 28 Lihat surat al-Hijr ayat 21, al-Anam ayat 102, dan ayat-ayat lain yang terkait dengan penciptaan.

15

oleh Tuhan terkait dengan waktu dan masa?, apakah penciptaan berawal dari ketiadaan?, atau dari berawal dari keberadaan dan dan kemudian menjadi sesuatu yang ada dan empirik?. Terkait dengan pertanyaan demikian, Ibnu Ara>bi> menjawab bahwa peciptaan alam tidak terikat pada tempat dan waktu, karena adanya waktu setelah adanya alam itu sendiri. Toh walaupun dikatakan terkait dengan masa, tapi masa itu tidak sama dengan masa yang ada dalam dunia empirik saat ini. Begitu juga dikatakan bahwa alam diciptakan dari ketiadaan (al-adam) menuju ada. Terkait hal ini, Ibnu Ara>bi> menyatakan: alhamdu lillahi alladzi awjada al-ashya> an adamin wa adamihi.29 Yang dimaksud dengan adam dalam pernyataan Ibnu Ara>bi> tersebut adalah ketiadaan wujud di luar diri-Nya, sebab segala yang ada bersumber dari-Nya. Sehingga, adam di sini berarti tidak ada dalam wujud empirik namun ada secara hakikat dan kekal dalam Ilmu Tuhan. Kemudian, melalui kehendak-Nya hakikat tersebut dijadikan sebagai alam yang nyata secara empirik. Intinya, proses penciptaan menurut Ibnu Ara>bi> berawal dari yang ada secara hakikat yang disebutnya sebagai wujud potensial atau alaya>n al-thabitah. D. PENGARUH TASAWUF IBNU ARA>BI> Di samping Ibnu Ara>bi> menjadi tokoh yang terkenal, juga pemikiran tasawuf Ibn Arabi menarik antusiasme para sufi dan salik di dunia Islam, terutama melalui para muridnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Murid dan pengikutnya telah memberikan analisis, penafsiran, dan ulasan atas karya-karyanya. Di antara muridmuridnya adalah Shadr al-Dn al-Qunawi (w. 763/1274), Muhyid al-Dn al-Jandi (w. 690/1291), Abd al-Razzq al-Qsyn (w. 730/1330), Syaraf al-Dn Dawd al-Qayshar (w. 751/ 1350), Sayyid Haydar Amul (w. setelah 787/1385), Abd al-Karm al-Jl (w. 826/1421), Abd al-Rahmn al-Jm (w. 898/1492), Abd al-Wahhb al-Sya`rn (w. 973/1565), Abd
29 Futuhat al-Makkiyah, Jil I, hal: 5

16

al-Ghan al-Nbulus (w. 1114/1731) dan lain-lainnya.30 Tidak ketinggalan, di Indonesia juga menjadi lahan empuk bagi tumbuh suburnya pemikiran Ibnu Ara>bi>. Secara historis, pemikirannya melalui para sufi dari Gujarat, India. Yunasril Ali mengatakan, Muhammad ibn Fadl Allh al-Burhanpr (w. 1029) adalah tokoh yang menyebarkan ajaran tasawuf IbnArab di Asia Selatan. Di sini, tasawuf Ibn al-Arab diulas dan diperkenalkan oleh sejumlah ulama sufi seperti Hamzah Fansri, Syamsu al-Dn al-Sumatrn, Abd alShamad al-Flimbn, Dawd al-Fathn, Muhammad Nafs al-Banjr, dan yang lainnya.31 Dari penjelasan di muka, jelas bahwa Ibnu Ara>bi> menjadi sosok inspiratif yang memunculkan ide-ide sufistik di belahan dunia, khususnya Islam. Tidak salah jika kemudian Chittick mengatakan bahwa tampaknya tidak ada seorang tokohpun yang begitu memiliki pengaruh yang begitu luas dan dalam terhadap kehidupan intelektual masyarakatnya dalam kurun waktu sekitar 700 tahun.32 E. KESIMPULAN Sebagai simpulan dapat diketahui bahwa Ibnu Ara>bi> adalah salah satu sosok sufi atau failasuf yang sangat terkenal dengan pemikiran tasawufnya, khususnya tentang wahdat al-wujud. Di samping itu, beliau adalah sosok yang produktif dalam menelorkan karya-karya. Hal itu terlihat dari banyaknya ide yang dikonkretkan menjadi sebuah tulisan yang dapat dinikmati oleh halayak luas. Bukan hanya di tempat kelahirannya, tapi juga merambah ke berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Tulisan-tulisannya juga telah turut serta dalam pengembangan pemikiran islam, utamanya terkait dengan tasawuf.

30

Penulis kutidari tulisan Amuli Ibnu Arabi, Kehidupan, Karya dan Pengaruhnya di http://amuli.wordpress.com/2008/04/08/ setelah mendapat izin dari penulisnya. Menurutnya, tulisan itu dipresentasikan dalam acara seminar Tasawuf di Solo Jawa Tengah. 31 Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn Arabi, Jakarta: Paramadina, 1999, hal: 201 32 Wiliam C. Chittick, Pengetahuan Spiritual Ibnu Arabi, terj. Yogyakarta: Qalam, 2001, hal: 04

17

DAFTAR RUJUKAN Addas, Claude, Mencari Belerang Merah; Kisah Hidup Ibnu Ara>bi>, (terj. Zainul), Jakarta: Serambi, 2004. Afifi, A. E., Filsafat Mistis Ibnu Ara>bi>, (terj. Sjahrir dan Nandi. R), Jakarta: GMP, 1995. Ali, Yunasril, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn Arabi, Jakarta: Paramadina, 1999. Arabi, Ibnu, Futuhat al-Makkiyah, Jil II, Bairut: Daru al-Shadr, 1989. ___________, Risalah Kemesraan, (terj. Hodri Arief), Jakarta: Serambi, 2005. Austin, Sufi-Sufi Andalusia, diterjemahkan dari Ruh al-Qudus, terj. Nasrullah, Bandung: Mizan, 1994. Chittick, Wiliam C., Pengetahuan Spiritual Ibnu Arabi, terj. Yogyakarta: Qalam, 2001.

18

Daudy, Ahmad, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Nurudin al-Raniry, Jakarta: Bulan Bintang, 2002. Hirtenstein, Stephen, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud, Ajaran dan Kehidupan Spiritual Ibnu Ara>bi>, (terj. Tri Wibowo), Jakarta: Mutiara Kencana, 2000.. http://amuli.wordpress.com/2008/04/08/ http://amuli.wordpress.com/2008/04/08/bab-ii-ibn-%E2%80%98arabikehidupan-karya-dan-pengaruhnya/html. Murata, Sachiko, The Tao of Islam, Bandung: Mizan, 1998. Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1999. Nata, Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Grafindo, 2006. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, terj. Hasan Basri, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988. Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Supardi Djoko Damono, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986. Siregar, Rivay, Tasawuf: dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Jakarta: Rajawali Press, 1999. Usman,i A. Rofi, Tokoh-tokoh Muslim Pengukir Zaman, Bandung: Pustaka Media, 1998.

19

Anda mungkin juga menyukai