Anda di halaman 1dari 18

Onslaag Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.

. Kaidah hukum: Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum, dengan menyatakan perbuatan tertuduh bukan merupakan tindak pidana melainkan suatu hubungan keperdataan, memutuskan membebaskan tertuduh dari segala tuduhan. Seharusnya tertuduh dilepaskan dari segala tuntutan hukum. yurisprudensi Mahkamah Agung No. 192 K/Kr/1979 Terbit : 1981-1 Hal. 17-27

Putusan Bebas (Vrijspraak)


a. Pengertian dan Landasan Hukum Putusan Bebas Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang berbunyi Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas . Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana Dari ketentuan tersebut di atas, berarti putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang dinilai oleh majelis hakim tidak memenuhi asas pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif, artinya dari pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu. Selain itu juga tidak memenuhi memenuhi asas batas minimum pembuktian, artinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa, harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. (M.Yahya Harahap, 2005: 348) b. Bentuk-bentuk Putusan Bebas Bentuk-bentuk putusan bebas tidak diatur secara tegas dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) namun dalam praktek peradilan, dikenal ada beberapa bentuk putusan bebas (vrijspraak) antara lain sebagai berikut : a. Putusan bebas Murni (de zuivere vrijspraak) Putusan bebas murni adalah putusan akhir dimana hakim mempunyai keyakinan mengenai tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa adalah tidak terbukti (Rd. Achmad S. Soemadipradja. 1981:89). b. Putusan Bebas Tidak Murni (de onzuivere vrijspraak) Putusan bebas tidak murni adalah putusan dalam hal batalnya dakwaan secara terselubung atau pembebasan yang menurut kenyataannya tidak didasarkan kepada ketidakterbuktiannya apa yang dimuat dalam surat tuduhan. (Rd. Achmad S. Soemadipradja. 1981: 89). Pembebasan tidak murni pada hakikatnya merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang terselubung, dapat dikatakan apabila dalam suatu dakwaan unsur delik dirumuskan dengan istilah yang sama dalam perundang-undangan, sedangkan hakim memandang dakwaan tersebut tidak terbukti (Oemar Seno Adjie, 1989: 167).

Putusan bebas tidak murni mempunyai kualifikasi, sebagai berikut : 1) Pembebasan didasarkan atas suatu penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan. 2) Dalam menjatuhkan putusan pengadilan telah melampaui batas kewenangannya, baik absolut maupun relatif dan sebagainya (Oemar Seno Adjie, 1989: 164). c. Pembebasan berdasarkan alasan pertimbangan kegunaannya (de vrijskpraak op grond van doelmatigheid overwegingen) Pembebasan berdasarkan alasan pertimbangan kegunaannya adalah pembebasan yang didasarkan atas pertimbangan bahwa harus diakhiri suatu penuntutan yang sudah pasti tidak akan ada hasilnya. (Rd. Achmad S. Soemadipradja, 1981: 89). d. Pembebasan yang terselubung (de bedekte vrijskrpraak) Pembebasan yang terselubung pembebasan yang dilakukan dimana hakim telah mengambil keputusan tentang feiten dan menjatuhkan putusan pelepasan dari tuntutan hukum, padahal putusan tersebut berisikan suatu pembebasan secara murni.(Rd. Achmad S. Soemadipradja, 1981: 89). a. Putusan Bebas Ditinjau dari Asas Pembuktian Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dari ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut di atas, terkandung dua asas mengenai pembuktian, yaitu : 1) Asas minimum pembuktian, yaitu asas bahwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; 2) Asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif yang mengajarkan suatu prinsip hukum pembuktian bahwa disamping kesalahan terdakwa cukup terbukti, harus pula diikuti keyakinan hakim akan kebenaran kesalahan terdakwa. Berdasarkan kedua asas yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP tersebut, apabila dihubungkan dengan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, maka putusan bebas pada umumnya didasarkan penilaian dan pendapat hakim bahwa : 1) kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Semua alat bukti yang diajukan di persidangan baik berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan petunjuk, serta pengakuan terdakwa sendiri tidak dapat membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Artinya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, karena menurut penilaian hakim semua alat bukti yang diajukan tidak cukup atau tidak memadai, atau 2) Pembuktian kesalahan yang didakwakan tidak memenuhi batas minimum pembuktian. Misalnya, alat bukti yang diajukan hanya satu orang saksi. Dalam hal ini, selain tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian itu juga bertentangan dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan unnus testis nullus testis atau seorang saksi bukan saksi. Putusan bebas disini bisa juga didasarkan atas penilaian, kesalahan yang terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan hakim jadi sekalipun secara formal

kesalahan terdakwa dapat dinilai cukup terbukti, namun nilai pembuktian yang cukup ini akan lumpuh apabila tidak didukung oleh keyakinan hakim. Dalam keadaan penilaian seperti ini, putusan yang akan dijatuhkan pengadilan adalah membebaskan terdakwa dari tuntutan hukum. (M.Yahya Harahap, 2005: 348)
Putusan bebas dirumuskan Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-undang Acara Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP) yang berbunyi, Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputuskan bebas. Rumusan Pasal 191 ayat (1) di atas dapat menimbulkan penafsiran yang kurang tepat, seolah-olah putusan bebas terjadihanya karena kesalahan terdakwa tidak terbukti pada pemeriksaan di sidang. Akan tetapi, dengan memperhatikan penjelasan resmi pasal tersebut. Maka kekeliruan penafsiran dapat dicegah karena penjelasan tersebut menyatakan, yang dimaksud dengan Perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana. Dengan kata lain, Leden Marpaung, (2010: 137) mengemukakan Baik kesalahan terdakwa dan/ atau perbuatan yang didakwakan tidak terbukti berdasarkan alat bukti sah yang ditentukan Pasal 184 KUHAP pada pemeriksaan di sidang pengadilan.

UPAYA HUKUM ATAS PUTUSAN BEBAS (VRIJSPRAAK) ATAU LEPAS (ONSLAG VAN RECHT VERVOLGING)
Berdasarkan KUHAP di Indonesia jelas akan kita lihat keanehan terkait masalah upaya hukum biasa terkait putusan bebas (vrijspraak) atau pada putusan lepas (onslag van rechtvervolging). Dalam KUHAP pasal 67 terkait upaya hukum banding, secara yuridis normatif terhadap putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas (onslag van recht vervolging) dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum tidak dapat dilakukan upaya banding. Terkait masalah kasasi, diatur dalam pasal 244 KUHAP yang secara yurisdiksi normatif menutup kemungkinan penuntut umum mengajukan kasasi pada putusan bebas. Namun pada kenyataannya, pasal ini dinafikkan contra legem dengan adanya Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Keputusan ini dibarengi dengan lampiran. Pada angka 19 Lampiran tersebut terdapat penegasan berikut: (i) terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; (ii) tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, maka demi hukum, kebenaran dan keadilan, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi. Yang jadi pertanyaan adalah bagaimana dengan putusan lepas (onslag van rechtvervolging) apakah dapat diajukan kasasi dengan menggunkan acuan Pasal 244 KUHAP?.Sedangkan terhadap putusan bebas dapat diajukan kasasi dengan acuan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP?.

Dari yang penulis pahami, terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum dapat diajukan kasasi menurut Pasal 244 KUHAP, dengan alasan hanya tertera putusan bebas yang tidak dapat diajukan kasasi. Sedangkan terkait kasasi atas putusan bebas dengan acuan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP angka 19, dalam praktiknya telah dilakukan dikotomi, yaitu putusan bebas murni atau bebas tidak murni. Adapun tentang alasan Jaksa/Penuntut Umum yang tetap mengajukan kasasi terhadap putusan bebas murni selalu mengambil berdalih, antara lain: 1) Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi (Judexfactie) telah salah menerapkan hukum pembuktian sebagaimana dimaksud dalam pasal 185 ayat (3) dan ayat (6) KUHAP ; 2) Cara mengadili yang dilakukan Judexfactie tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang ; 3) Putusan Judexfactie bukan merupakan putusan bebas murni (vrijspraak), melainkan putusan bebas tidak murni. Secara hukum dapat dipastikan TPP KUHAP dan Yurisprudensi tidak cukup kuat atau tidak dapat dijadikan dalil hukum bagi Jaksa/Penuntut Umum untuk melakukan kasasi terhadap putusan bebas sebagaimana dimaksud di dalam pasal 244 KUHAP, karena TPP KUHAP yang merupakan produk Keputusan Menteri Kehakiman dan Putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap (Yurisprudensi) bukan merupakan sumber tertib hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Hierarki Peraturan Perundang-Undangan tidak diatur terkait keputusan menteri dapat mengganti undang-undang, undang-undang hanya dapat diganti dengan peraturan pengganti undangundang. Yurisprudensi dalam putusan bebas tidak dapat dijadikan dalil hukum oleh Jaksa/Penuntut Umum, apalagi jika mengingat banyaknya Hakim di dalam memutuskan suatu perkara menganut asas opportunity yang pada gilirannya mengakibatkan tidak tegasnya apakah yurisprudensi dapat menjadi sumber hukum atau tidak. Dimana hal ini terjadi dikarenakan di satu sisi mereka (Hakim) dalam memutus perkara mengikuti aliran Legisme, dengan alasan tidak boleh menyimpang dari apa yang diatur oleh Undang-undang, namun di lain sisi mereka mengikuti Aliran Rechtsvinding dengan alasan menyelaraskan Undang-undang dengan tuntutan zaman. Bahkan tidak jarang terjadi di dalam praktiknya asas opportunity melahirkan kecenderungan didasarkan pada kepentingan pribadi dari Hakim yang bersangkutan, sehingga sudah saatnya kedudukan Yurisprudensi harus ditertibkan kepada tujuannya semula yaitu, Yurisprudensi hanya dapat dijadikan referensi dan berguna untuk mengisi kekosongan hukum ketika dalam suatu perkara atau upaya hukum belum ada aturan hukum atau Peraturan perundangundangan yang secara tegas mengaturnya. Tegasnya dalil hukum yang dijadikan dasar oleh penuntut umum untuk selalu memajukan kasasi terhadap putusan bebas, di samping bertentang dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Hierarki Peraturan Perundang-undangn di Indonesia, juga bertentang dengan Asas Hukum Universal yaitu, Lex superior derogat legi inferiori (asas yang menegaskan bahwa hukum yang lebih tinggi kedudukannya mengesampingkan hukum yang lebih rendah kududukannya ).

dalam kuhap secara jelas disebutkan bahwa ada tiga jenis putusan hakim yaitu bebas ( vijpraag ), lepas dari tuntutan hukum atau (onslag ) atau menghukum . sedangkan mengenai upaya hukum jaksa boleh mengajukan banding atas putusan menghukum sedangkan untuk putusan onslag adalah kasasi. tidak ada yang secara eksplisit atau implisit memperbolehkan jaksa mengajukan kasasi atas putusan bebas. Menimbang, bahwa namun demikian sesuai yurisprudensi yang sudah ada apabila ternyata putusan pengadilan yang membebaskan Terdakwa itu merupakan pembebasan murni sifatnya, maka sesuai ketentuan Pasal 244 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) tersebut, permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima ; Menimbang, bahwa sebaliknya apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat dakwaan dan bukan didasarkan pada tidak terbuktimya suatu unsur perbuatan yang didakwakan, atau apabila pembebasan itu sebenarnya adalah merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah melampaui batas kewenangannya ( meskipun hal ini tidak diajukan sebagai alasan kasasi ), Mahkamah Agung atas dasar pendapatnya bahwa pembebasan itu bukan merupakan pembebasan yang murni harus menerima permohonan kasasi tersebut

1.

PROSES PENUNTUTAN DI KEJAKSAAN Setelah pemeriksaan di tingkat kepolisian/ penyidik dirasa lengkap, kasus dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilakukan proses penuntutan. Pelimpahan perkara dilengkapi dengan berkas perkara, tersangka dan alat bukti lainnya. Apabila dalam waktu 7 hari tidak ada pemberitahuan dari kejaksaan, maka berkas dinyatakan P-21 dan siap dilakukan penuntutan. Akan tetapi jika berkas dirasa kurang lengkap, maka berkas dikembalikan dengan dilengkapi saran tentang kekurangan. Penyidik diberikan waktu selama 14 hari untuk melengkapi berkas, jika melewati batas waktu itu,penyidikan dapat dihentikan. PENYUSUNAN SURAT DAKWAAN Surat dakwaan adalah suatu akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan dan merupakan dasar bagi hakim dalam pemeriksaan di persidangan (M. Yahya Harahap; 1993:414-415) HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM MENYUSUN SURAT DAKWAAN sesuai dengan BAP menjadi dasar hakim bersifat sempurna dan mandiri SYARAT-SYARAT DAKWAAN 1. Syarat Formil Identitas terdakwa (143 ayat (2) KUHAP), nama lengkap, tepat lahir, umur/ tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka. Tanggal dibuat Tandatangan PU 2. Syarat Materiil Dirumuskan secara cermat, jelas dan lengkap tentang tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa (143 (2) huruf b) Disebutkan locus dan tempus delictie SIFAT SEMPURNA SURAT DAKWAAN Dapat Dibatalkan Jika syarat formil tidak dipenuhi Batal Demi Hukum Jika syarat materiil tidak dipenuhi Dianggap tidak memenuhi syarat materiil jika:

Dakwaan kabur (obscuur libelen) dianggap kabur karena unsur-unsur tindak pidana tidak diuraikan atau terjadi percampuran unsur tindak pidana Berisi pertentangan antara satu dengan yang lainnya terdakwa didakwa turut serta (medepleger) dan turut membantu (medeplecteheid) BENTUK-BENTUK SURAT DAKWAAN 1. Tunggal (satu perbuatan saja) misalnya pencurian biasa (362 KUHP) 2. Alternatif saling mengecualikan antara satu dengan yang lainnya, ditandai dengan kata ATAU... misalnya pencurian biasa (362 KUHP) atau penadahan (480 KUHP) Alternatif bukan kejahatan perbarengan 3. Subsidair diurutkan mulai dari yang paling berat sampai dengan yang paling ringan digunakan dalam TP yang berakibat peristiwa yang diatur dalam pasal lain dalam KUHP. contoh. Lazimnya untuk pembunuhan berencana menggunakan paket dakwaan primer: 340, subsidair: 338, lebih subsidair: 355, lebih subsidair lagi 353. 4. Kumulatif 141 KUHAP: Beberapa tindak pidana dilakukan satu orang sama Beberapa tindak pidana yang bersangkut paut Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkutan Bentuk dakwaan Kumulatif 1. Berhubungan dengan concursus idealis/ endaadse samenloop perbuatan dengan diancam lebih dari satu ancaman pidana. (63 (1)KUHP) misal: pengendara mobil menabrak pengendara sepeda motor berboncengan satu meninggal (359) dan satu luka berat (360) 2. Berhubungan dengan perbuatan berlanjut (vorgezette handeling) Perbuatan pidana yang dilakukan lebih dari satu kali misal perkosaan terhadap anak dibawah umur (287) dilakukan secara berlanjut (64 (1) KUHP) 3. Berhubungan dengan concursus realis/ meerdadse samenloop (65 KUHP) melakukan beberapa tindak pidana Pidana pokoknya sejenis Pidana pokoknya tidak sejenis Concursus kejahatan dan pelanggaran Gabungan antara alternatif dan subsidair misal: pembunuhan berencana (340) ketahuan orang sehingga membunuh orang tersebut (339), mengambil kendaraan orang yang dibunuh tersebut (362) 4. Gabungan TP khusus dan TP umum. Kumulatif penganiayaan dan KDRT. PROSES PENYUSUNAN SURAT DAKWAAN A. VOEGING Voeging adalah penggabungan berkas perkara dalam melakukan penuntutan, dan dapat dilakukan jika (pasal 141 KUHAP): a. beberapa tindak pidana; b. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh satu orang atau lebih; c. belum diperiksa dan akan diperiksa bersama. B. SPLITSING Selain penggabungan perkara, PU juga memiliki hak untuk melakukan penuntutan dengan jalan pemisahan perkara (142 KUHAP). Splitsing dilakukan dengan membuat berkas perkara baru dimana para tersangka saling menjadi saksi. Hal ini dilakukan untuk menguatkan dakwaan PU. Dalam perkembangannya, penuntutan dapat dihentikan oleh JPU dengan beberapa pertimbangan. Pertimbangan yang dimaksud adalah sesuai dengan bunyi pasal 140 ayat (2) KUHAP, yaitu:

karena tidak cukup bukti peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana perkara ditutup demi hukum 2. PROSES PEMERIKSAAN DI PERSIDANGAN JENIS-JENIS ACARA PEMERIKSAAN A. Acara Pemeriksaan Biasa (152-202 KUHAP) B. Acara Pemeriksan Singkat/ sumir (203 KUHAP), kategorinya untuk perkara pelanggaran non pasal 205 KUHAP. C. Acara Pemeriksan Cepat/ Roll biasanya berhubungan dengan TP ringan dan Pelanggaran lalu lintas. (205 KUHAP). Kategorinya adalah pidana kurungan paling lama 3 bulan dan denda sebanyak-banyaknya Rp. 7500,-. Perbedaan mendasar antara acara pemeriksaan singkat dan cepat adalah, untuk acara pemeriksaan singkat tetap menggunakan JPU sedangkan acara pemeriksaan cepat langsung penyidik dengan hakim tunggal. PRINSIP PEMERIKSAAN DI PERSIDANGAN Terbuka untuk umum kecuali kesusilaan dan anak TP khusus dimungkinkan secara Inabsentia (pasal 154 ayat (4) KUHAP) Pemeriksaan secara langsung dan lisan Berjalan secara bebas tanpa adanya intervensi TAHAPAN PEMERIKSAAN DI PERSIDANGAN SIDANG PERTAMA Pemeriksaan Identitas Terdakwa (155) Memperingatkan terdakwa untuk memperhatikan dan memberikan nasihat (155) Pembacaan Surat Dakwaan Menanyakan apakah terdakwa mengerti isi dakwaan Hak mengajukan Eksepsi/ keberatan EKSEPSI Eksepsi adalah keberatan terdakwa atau penasihat hukumnya atas dakwaan PU. Dasar alasan eksepsi: 1. PN tidak berwenang mengadili KEWENANGAN MENGADILI A. KOMPETENSI ABSOLUT Kewenangan mutlak yang dimiliki oleh pengadilan dalam mengadili perkara berhubungan dengan jenis perkara. PN, PA, PTUN dan PM B. KOMPETENSI RELATIF Kewenangan relatf yang dimiliki oleh lembaga pengadilan sederajat dalam hal daerah hukum. 2. Dakwaan tidak dapat diterima Ne bis in idem Daluwarsa 3. Meminta surat dakwaan dibatalkan 4. Surat dakwaan diubah tanpa pemberitahuan Dakwaan atau salinan surat dakwaan harus diterima oleh terdakwa/ penasihat hukumnya paling lambat 7 hari sebelum sidang. Surat dakwaan dapat diubah dengan ketentuan (144 KUHAP): a. 7 hari sebelum sidang b. perubahan hanya satu kali c. salinan perubahan harus diberikan kepada terdakwa/ penasihat hukumnya SIDANG LANJUTAN Jawaban atas keberatan terdakwa oleh PU Putusan sela atas eksepsi Putusan sela berisi tentang: a. eksepsi diterima, maka persidangan dihentikan b. eksepsi ditolak, maka persidangan dilanjutkan. Terhadap putusan sela dapat dilakukan upaya hukum yang disebut dengan VERZET atau perlawanan. Perlawanan diajukan setelah putusan pemidanaan. Pemeriksaan alat bukti.

MACAM-MACAM ALAT BUKTI: Menurut pasal 184 KUHAP : 1. Keterangan saksi Menjadi saksi adalah kewajiban semua orang, kecuali dikecualikan oleh UU. Menghindar sebagai saksi dapat dikenakan pidana (Penjelasan pasal 159 (2) KUHAP) KETENTUAN SEBAGAI SAKSI (185 KUHAP): Melihat sendiri Mengalami sendiri Mendengar sendiri Bukan anggota keluarga terdakwa sampai derajat ketiga, keluarga ayah atau ibu, suami/istri (walaupun sudah cerai) Karena jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia TATA CARA PEMERIKSAAN SAKSI Saksi dipanggil satu persatu menurut urutan sebaiknya o/ hakim. Korban first. (160 (1) Memeriksa identitas Saksi wajib mengucapkan sumpah (160 ), di dalam sidang/ diluar (233). Tidak sumpah = sandera/ dianggap keterangan biasa (161) Keterangan berbeda dengan BAP. Hakim wajib mengingatkan (163) Terdakwa dapat membantah atau membenarkan keterangan saksi (164(1) Kesempatan mengajukan pertanyaa (164) n Larangan mengajukan pertanyaan yang bersifat menjerat (166) Saksi tetap dihadirkan di sidang (167) atau ditentukan lain (172) Pemeriksaan saksi tanpa hadirnya terdakwa (173) SYARAT SAH KETERANGAN SAKSI SEBAGAI ALAT BUKTI Disumpah Mengenai perkara yang dilihat, didengar, dialami serta alasan pengetahuannya. Harus didukung alat bukti lainnya Persesuaian antara keterangan dengan lainnya 2. Keterangan ahli Keterangan ahli adalah apa yang seseorang ahli nyatakan dalam sidang pengadilan (186 KUHAP) Keterangan ahli dapat berupa keterangan lisan dan dapat juga berupa surat (visum et repertum yang dijelaskan oleh seorang ahli)

3. Surat Prof. Pitlo, Surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang menerjemahkan suatu isi pikiran. Menurut pasal 187 KUHAP yang termasuk surat adalah: a. Berita acara dan surat resmi lainnya yang dibuat oleh pejabat umum b. Surat keterangan dari seorang ahli c. Surat lainnya yang berhubungan dengan tindak pidana 4. Petunjuk Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. (188) Petunjuk hanya diperoleh dari : a. Keterangan saksi b. Surat c. Keterangan terdakwa 5. Keterangan terdakwa Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan sendiri atau ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri (189) Prinsip keterangan terdakwa a. Tidak mengajukan pertanyaan yang bersifat menjerat (pasal 166 KUHAP)

b. KUHAP tidak menganut asas The Right to Remain in Silence (Pasal 175 KUHAP) Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan, hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab Sebelum berlakunya pasal ini, alat bukti yang ada dalam Nederland Sv pasal 339 adalah: 1. Eigen Waarneming van de rechter (pengamatan sendiri oleh hakim) 2. Verklaring van de verdachte (keterangan terdakwa) 3. Verklaringen van een getuige (keterangan seorang saksi) 4. Verklaringen van een deskundige (keterangan seorang ahli) 5. Schriftelijke bescheiden (surat-surat) Sedangkan pada masa HIR, alat buktinya adalah (295 HIR): 1. Kesaksian-kesaksian 2. Surat-surat 3. Pengakuan 4. Isyarat-isyarat/ petunjuk KEKUATAN PEMBUKTIAN Urutan dalam pasal 184 KUHAP bukan merupakan urutan kekuatan pembuktian. Kekuatan pembuktian terletak dalam pasal 183 KUHAP dengan asas Unus testis nullus testis Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim.

PEMBAHARUAN ALAT BUKTI DALAM KUHAP a. Saksi ahli perlu ada standarisasi seperti apa ahli itu. Contoh kasus Tjandra Sugiono, Mas Wigantoro ahli dalam bidang telematika ditolak sebagai ahli karena tidak bisa menunjukkan sertifikat ahlinya, sedangkan Prof. Loebby Loqman dapat sebagai ahli tanpa pengesahan. b. Alat bukti surat perlu diubah menjadi dokumen (UU pembuktian Malaysia: luas termasuk kaset dan video) c. Petunjuk: Belanda mengenal eigen waarneming van de rechter sedangkan Amerika mengenal judicial notice yang artinya pengamatan hakim. Prinsipnya sama ditambah dengan pengakuan barang bukti. Pembacaan tuntutan oleh PU Berbeda dengan surat dakwaan, surat tuntutan adalah sebuah nota atau surat yang disusun berdasarkan fakta yang diperoleh dari pemeriksaan persidangan, sehingga dasar tuntutan pidana sesungguhnya merupakan kesimpulan yang diambil oleh penuntut umum terhadap fakta-fakta yang terungkap di persidangan. ISI TUNTUTAN PIDANA Tuntutan pidana secara garis besar harus memuat: a. surat dakwaan b. pemeriksaan di persidangan (pemeriksaan alat bukti) c. fakta-fakta persidangan d. pembuktian e. tuntutan pidana Pembelaan (pledooi) Pledooi adalah pembelaan yang bersifat lisan atau tertulis baik dari terdakwa maupun dari penasihat hukumnya berkenaan dengan tuntutan PU Pledooi bisa dijawab oleh PU disebut dengan REPLIK dan bisa dijawab untuk satu kali lagi oleh terdakwa atau penasihat hukumnya disebut DUPLIK Replik dan duplik Musyawarah hakim TEORI PEMBUKTIAN 1. Conviction-in time (berdasarkan keyakinan hakim saja) 2. Conviction-rasionee (keyakinan didukung oleh alasan yang jelas) 3. Menurut UU secara positif

Sistem bebas Sistem positif Sistem negatif (gabungan) 4. Berdasarkan UU secara negatif (keyakinan dan alasan yang logis) 5. KUHAP (sistem negatif) Putusan Pengadilan Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam UU ini. (pasal 1 butir 11 KUHAP) JENIS-JENIS PUTUSAN 1. Putusan bebas (Vrijspraak) pasal 191 (1) KUHAP Tidak terbukti adanya kesalahan Tidak adanya 2 alat bukti Tidak adanya keyakinan hakim Tidak terpenuhinya unsur tindak pidana 2. Putusan Lepas dari segala tuntutan hukum (onslaag van alle) pasal 191 (2) KUHAP Terbukti tetapi bukan tindak pidana Adanya alasan pemaaf, pembenar atau keadaan darurat 3. Putusan Pemidanaan Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah memperoleh keyakinan, bahwa terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia menganggap bahwa perbuatan dan terdakwa dapat dipidana Memberitahukan kepada terdakwa bahwa memiliki hak untuk menerima, pikir-pikir atau banding 3. UPAYA HUKUM 1. Biasa Verzet (upaya hukum terhadap putusan eksepsi) Banding (upaya hukum terhadap putusan pemidanaan) Upaya banding dapat diajukan oleh terdakwa/penasihat hukumnya atau oleh PU karena tidak puas dengan putusan PN Tidak ada pengaturan yang jelas mengenai alasan pengajuan banding. Pengecualian banding: a. Putusan bebas b. Lepas dari segala tuntutan hukum berkenaan dengan kurang tepatnya penerapan hukum c. Putusan dalam acara cepat Kasasi Menurut perundang-undangan Belanda ada tiga alasan pengajuan kasasi: a. Terdapat kelalaian dalam hukum acara (vormverzuim) b. Peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan c. Tidak melaksanakan cara melakukan peradilan sesuai undang-undang 2. Luar Biasa Kasasi demi kepentingan hukum Kasasi demi kepentingan hukum hanya diajukan oleh Jaksa Agung demi kepentingan hukum dan tidak merugikan pihak manapun. (259 KUHAP) Peninjauan Kembali Permintaan PK dapat dilakukan dengan dasar alasan: a. Keadaan baru (Novum) yang seandainya keadaan itu diketahui pada saat sidang berlangsung dapat menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum atau meringankan terdakwa b. Adanya pertentangan alasan antara putusan satu dengan yang lainnya c. Kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata 4. PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN (EXECUTIE)

KUHAP mengatur pelaksanaan putusan pengadilan pasal 270 276: Putusan pengadilan dilakukan oleh Jaksa Pidana mati Pidana berturut-turut Pidana denda Pengaturan barang bukti yang dirampas oleh negara Ganti kerugian Biaya perkara Pidana bersyarat HAWASMAT Pengawasan dan pengamatan putusan pengadilan dilakukan oleh hakim pengawas dan pengamat.

PIDANA
Noodweer adalah suatu tindakan kriminal yang dilakukan seseorang dalam upayanya untuk melakukan suatu pembelaan diri dari ancaman seseorang yang menyangkut harta, benda maupun kesusilaan diri sendiri maupun orang lain pada waktu yang bersamaan dan dalam keadaan yang sudah sangat terpaksa sehingga sudah tidak ada lagi pilihan selain untuk melakukan tindakan yang termasuk dalam tindak pidana tersebut. Dengan kata lain bisa juga disebut dengan istilah Bela Paksa. Noodweer diatur dalam KUH Pidana pada pasal 49, dari situ kita dapat melihat definisi atau penjelasan dari noodweer, dan dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa noodweer termasuk dalam alasan peniadaan pidana, yaitu suatu alasan yang dapat membuat seseorang tidak dapat dipidana walaupun telah melakukan kesalahan atau tindakan pidana. Namun untuk menggunakan noodweer, seseorang haruslah mengerti benar apa itu noodweer dan apa saja syarat-syaratnya. Syarat-syarat noodweer secara garis besar ialah; (1) harus dilakukan karena terpaksa, (2) adanya keseimbangan antara serangan dengan pembelaan, (3) pembelaan harus terjadi saat itu juga atau saat serangan masih berlangsung.

bahwa sanksi hukuman percobaan di Indonesia di atur dalam KUHP yaitu dalam pasal 14a (1) yang berbunyi : jika dijatuhkan hukuman penjara yang selama-lamanya satu tahun dan bila dijatuhkan hukuman kurungan di antaranya tidak termasuk hukuman kurungan pengganti benda, maka hakim boleh memerintahkan, bahwa hukuman itu tidak dijalankan, kecuali kalau dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim. Oleh karena terhukum sebelum jatuh tempo percobaan yang akan ditentukan dalam perintah pertama membuat perbuatan yang boleh dihukum atau dalam tempo percobaan itu tidak memenuhi suatu perjanjian yang istimewa, yang akan sekiranya diadakan dalam perintah itu Jadi yang dimaksud dalam pasal 14a (1) di atas adalah, bahwa dalam pokoknya ialah orang (si terdakwa) dijatuhi hukuman, tetapi hukuman itu tidak usah dijalankan, kecuali jika ternyata bahwa terhukum sebelum habis masa percobaan berbuat tindak pidana atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim dengan si terdakwa. Jadi keputusan penjatuhan hukuman tetap ada, hanya pelaksanaan hukuman itu tidak dilakukan. Maksud dari penjatuhan hukuman semacam ini adalah untuk memberi kesempatan kepada terhukum (terpidana) supaya dalam waktu masa percobaan itu memperbaiki diri dengan tidak berbuat tindak pidana atau tidak melanggar perjanjian yang diberikan kepadanya dengan pengharapan jika berhasil, hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya itu tidak akan dijalankan buat selama-lamanya. Hukuman dengan bersyarat ini hanya dapat dijatuhkan dalam hal penjatuhan hukuman penjara tidak lebih dari satu tahun dan hukuman kurungan yang bukan kurungan pengganti denda, jadi hukuman penjara lebih dari satu tahun dan kurungan pengganti denda tidak mungkin dijatuhkan dengan bersyarat semacam ini.

Kajian Pasal 48 KUHP Mengenai Overmacht (Daya Paksa)

Kajian Pasal 48 KUHP Mengenai Overmacht (Daya Paksa) (Studi Kasus Pembunuhan Dua Nelayan Acuk dan Antonius) I. Pendahuluan Dalam prespektif hukum pidana terdapat asas Geen Straf Zonder Schuld (tidak ada pidana tanpa kesalahan). Namun demikian, tidak setiap orang yang melakukan tindakan pidana secara otomatis dapat dijatuhi pidana. Sebab untuk dapat menjatuhkan pidana disyaratkan bahwa pelaku perbuatan pidana tersebut harus merupakan orang yang dapat atau patut dipertanggung jawabkan atas perbuatannya itu. Berdasarkan hal tersebut, maka substansi pokok dari masalah pertanggung jawaban pidana adalah: apakah pada saat melakukan perbuatan pidana, si pelaku merupakan orang yang patut dicela atas perbuatannya itu? Atau dengan kata lain, apakah pada saat melakukan perbuatan pidana, si pelaku merupakan orang yang patut dipersalahkan atas perbuatannya itu? Untuk dapat menyimpulkan bahwa saat melakukan perbuatan pidana, si pelaku adalah memang merupakan orang yang patut dicela/dipersalahkan (mempunyai kesalahan) haruslah didasarkan pada beberapa kriteria mengenai pertanggung jawaban pidana yang berupa hal-hal sebagai berikut: 1. Pelaku perbuatan pidana merupakan orang yang memiliki kemampuan bertanggung jawab. Artinya akalnya sehat dan mampu membedakan antara yang baik dengan yang buruk. 2. Pelaku melakukan perbuatannya secara sengaja atau setidak-tidaknya culpa; 3. Dalam diri si pelaku perbuatan pidana harus tidak ada hal-hal yang merupakan alasan pemaaf. Misalnya perbuatan pidana yang dilakukan tidak atas dasar daya paksa, atau karena pembelaan dan lain sebagainya; 4. Perbuatan pidana yang dilakukan si pelaku harus tidak ada hal-hal yang merupakan alasan pembenar. Pada kesempatan kali ini penulis akan menganalisis sebuah kasus tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh empat orang, yaitu: Ali Murtadlo, Abdullah Ismail, Rasul Ardyansah, dan Nurdin terhadap Acuk dan Antonius. Apakah perbuatan pidana yang mereka lakukan dapat dipertanggungg jawabkan sehingga mereka harus dikenai sanksi pidana pembunuhan ? II. Pembahasan A. Posisi Kasus Pada tanggal 11 April 2006 di sekitar perairan Nusa Penida telah terjadi sebuah pembunuhan yang dilakukan oleh empat orang, yaitu: Ali Murtadlo (26), Abdullah Ismail (29), Rasul Ardyansah (31), dan Nurdin (39), sedangkan korban adalah Acuk dan Antonius. Kedua korban yang berprofesi sebagai nelayan tewas akibat kekurangan udara ketika menyelam untuk mencari udang lobster. TersangkaAli Murtadlo dan Nurdin sebelumnya dituntut penjara selama 10 tahun oleh Jaksa Penuntut Umum Suhadi. Mereka dianggap telah melanggar pasal 338 KUHP jo pasal 55 ayat (1)

ke-1 KUHP. Pasal 338 KUHP berbunyi: Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP berbunyi: Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana: mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan. Begitu juga dengan Abdullah Ismail, Rasul Ardyansyah, mereka juga dianggap telah melanggar pasal 338 KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. B. Kronologi Kejadian Kasus ini terjadi ketika Rasul Ardyansyah, Abdulah Ismail, Ali Murtadlo, Nurdin bersama-sama korban Acuk dan Antonius berangkat berlayar menggunakan perahu motor menuju sekitar perairan Nusa Penida pada hari Senin 10 April untuk menangkap lobster. Pada hari pertama di laut, kata Rasul, semua ABK sudah dapat giliran menyelam. KM Bali Saputra sudah memuat sekitar tujuh kilogram lobster. Nasib naas bagi ABK KM Bali Saputra terjadi di hari kedua, Selasa 11 April. Saat itu, Acuk dan Antonius dapat giliran menyelam. Sesuai layaknya penyelam, sebelum terjun ke air keduanya telah melengkapi diri dengan perlengkapan menyelam. Setelah 1/2 jam berada di dalam air, Ali dan kawan-kawan. merasakan arus besar dan kedua korban masuk lorong. Panjang selang oksigen kompresor yang dipakai menyelam mencapai 180 meter. Para tersangka mengaku sudah dua jam berusaha menarik Acuk dan Antonius, mereka mengaku panik dan bingung memikirkan nasib korban. Kondisi yang dialami para terdakwa di atas kapal KLM Bali Saputra di perairan Nusa Penida sudah sangat krusial. Mereka pun kemudian rapat mendadak serta memutuskan langkah apa yang akan diambil.. Selanjutnya, tersangka Nurdin mengambil keputusan yang penuh risiko. Nelayan paling tua itu memerintahkan Ali memotong selang yang dipakai Acuk dan Antonius menyelam. Alasan para tersangka, tak ada jalan lain kecuali memutuskan selang kompresor yang mensuplai oksigen ke hidung korban, karena kalau tetap bertahan hal itu berpotensi bisa menyeret kapal yang mereka tumpangi, akibatnya kapal pasti hancur dan semua ABK mati. Para tersangka juga mengira dengan dipotongnya selang dapat mengurangi resiko terbenturnya korban ke batu karang. C. Over Macht (Daya Paksa) Dalam pasal 48 KUHP, ditegaskan bahwa Barang siapa melakukan perbuatan pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana. Secara teoritik, bentuk-bentuk daya paksa dapat dibedakan ke dalam dua ketegori: 1. Vis Absolute, yaitu suatu kekuatan fisik bersifat mutlak yang mengenai dan mengkondisikan seseorang hingga ia tidak dapat menghindar sama sekali untuk berbuat lain kecuali terpaksa melakukan perbuatan pidana yang dilarang hukum. Dalam hal ini, pelaku hanya merupakan alat untuk melakukan tindak pidana. Oleh karena itu ia tidak dikenai pidana karena hakekat alat adalah benda mati dan hukum tidaklah membicarakan atau mengatur benda mati sebagai obyek. Contoh kasus: A menculik anak B, kemudian A menyuruh B untuk membunuh C, kalau A tidak mau maka anaknya akan dibunuh. Dalam kasus demikian, terjadinya perbuatan pidana yang dilakukan

B adalah karena ia berada dalam suatu kondisi sangat terpaksa akibat kekuatan fisik (berupa ditawannya anak oleh A). 2. Vis Compulsiva, yaitu suatu kekuatan psikis yang mengkondisikan seseorang hingga berada dalam keadaan terpaksa melakukan suatu perbuatan pidana yang dilarang hukum. Secara teoritik, sumber datangnya kekuatan psikis tersebut adakalanya berasal dari kekuatan mempengaruhi jiwa yang dilancarkan seseorang sehingga yang terkena secara psikis tidak lagi memiliki kehendak apa-apa selain mengikuti kemauan pihak yang melancarkan pengaruh jiwa tadi. Misalnya adalah hipnotis dan gundam. Di samping itu, kekuatan psikis yang memaksa seseorang untuk melakukan perbuatan pidana tersebut adakalanya juga bersumber dari suatu keadaan tertentu (non manusia) yang sering disebut dengan keadaan darurat (suatu keadaan yang sedemikian rupa benar-benar mengkondisikan seseorang hingga tidak memiliki kebebasan sama sekali untuk menentukan pilihannya antara melakukan atau tidak melakukan perbuatan pidana). Dengan kata lain orang yang melakukan suatu perbuatan pidana karena tidak memiliki pilihan lain untuk menghindarinya. Keadaan darurat dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis: a. Keadaan darurat yang mengakibatkan seseorang berada dalam situasi dilematis (terjepit) diantara keharusan melaksanakan dua kewajiban sekaligus. Contoh: Tono harus menjadi saksi di dua pengadilan di waktu dan hari yang sama. Sikap Tono yang tidak menghadiri di salah satu pengadilan dapatlah dibenarkan atau dimaafkan sehingga tidak dikenai pidana; b. Keadaan darurat yang mengakibatkan seseorang berada dalam situasi dilematis (terjepit) diantara keharusan melindungi dua kepentingan sekaligus. Contoh: A dan B sedang tersesat di gurun padang pasir dan tinggal tersisa seteguk air yang cukup untuk satu orang saja. A yang memegang botol air tersebut berada dalam situasi terjepit di antara dua kepentingan, yaitu di satu pihak ia berkepentingan menyelamatkan nyawanya sendiri, namun di pihak lain ia juga berkepentingan menyelamatkan nyawa B. Sikap A yang meminum air tersebut hingga B mengalami kematian karena dehidrasi dapat dibenarkan atau dimaafkan; c. Keadaan darurat yang mengakibatkan seseorang berada dalam situasi dilematis (terjepit) diantara keharusan melindungi suatu kepentingan dengan keharusan melaksanakan suatu kewajiban. Contoh: seorang pengemis yang mencuri makanan dikarenakan sudah tiga hari tidak makan. Dalam kasus tersebut pengemis tersebut dihadapkan pada dua sisi yaitu kepentingan mempertahankan hidup dan kewajiban untuk tidak mencuri. Oleh karena itu perbuatan tersebut tidak dapat dikenai ancaman pidana.

D. Analisis Kasus Pembunuhan Dua Nelayan Acuk dan Antonius Dalam Prespektif Pasal 48 KUHP (Overmacht / Daya Paksa) Untuk bisa memabuktikan bahwa seseorang benar-benar telah melakukan suatu perbuatan pidana, pertama-tama harus diperhatikan terlebih dahulu perbuatan orang tersebut memang sudah ada

diatur dalam hukum yang menegaskan sebagai perbuatan tercela/ terlarang dan barang siapa yang melanggarnya dapat dikenai sanksi/ pidana tertentu. Hukum disini bisa berupa hukum tertulis atau undang-undang maupun hukum tidak tertulis. Kedua, harus pula dibuktikan bahwa perbuatan orang tersebut dalam fakta kasus memang memenuhi semua unsur perbuatan pidana sebagaimana telah ditentukan dalam hukum. Ketiga, orang tersebut memang benar-benar dapat dipertanggung jawabkan secara pidana. Setelah melakukan penelitian oleh aparat lebih lanjut, yaitu dengan mengumpulkan bukti-bukti dan melakukan rekonstruksi ulang kejadian (tanggal 23, Mei) tersebut, dapatlah dibuktikan bahwa alasan tersangka tidaklah dibuat-buat dan benar apa adanya. Keadaan ketika itu sudah sangat krusial. Mereka dihadapkan di antara dua kepentingan sekaligus, yaitu menyelamatkan nyawanya sendiri dan menyelamatkan korban. Korban Acuk dan Antonius yang diperkirakan sudah terseret arus 2 jam, apabila terus dibiarkan dengan selang kompresor, maka hal itu dapatlah menyeret kapal yang mereka tumpangi dan berakibat hancurnya kapal (terkena batu karang) yang itu dapat menyebabkan semua ABK mati. Dalam kasus pembunuhan dua nelayan Acuk dan Antonius dapatlah dikategorikan dalam kasus pidana karena pengaruh overmacht (daya paksa). Secara teoritik kasus tersebut masuk dalam kategori overmacht vis compulsive yang bersumber dari suatu keadaan tertentu (non manusia) yang sering disebut dengan Keadaan Darurat. Walaupun perbuatan itu dinilai sebagai perbuatan pidana (yakni membiarkan orang lain yang seharusnya ditolong hingga berakibat meninggal dunia), akan tetapi perbuatan tersebut dibenarkan atau dimaafkan, karena hal itu mereka lakukan dalam keadaan yang bersifat darurat. Oleh karena itu berdasarkan pasal 48 KUHP, perbuatan demikian tidak dapat dikenai pidana. III. Kesimpulan Pasal 48 KUHP mengajarkan bahwa barang siapa yang melakukan perbuatan pidana karena daya paksa maka tidak dipidana. Ali Murtadlo, Abdullah Ismail, Rasul Ardyansah, dan Nurdin, telah melakukan pembunuhan terhadap Acuk dan Antonius. Akan tetapi pembunuhan tersebut didasarkan pada keadaan yang bersifat darurat, yaitu karena adanya daya paksa. Alasan para tersangka adalah, tak ada jalan lain kecuali memutuskan selang kompresor yang mensuplai oksigen ke hidung korban, karena kalau tetap bertahan hal itu berpotensi bisa menyeret kapal yang mereka tumpangi, akibatnya kapal pasti hancur dan semua ABK mati. Para tersangka juga mengira dengan dipotongnya selang dapat mengurangi resiko terbenturnya korban ke batu karang. Setelah adanya penelitan lebih lanjut, alasan tersangka tidaklah dibuat-buat dan memang benar apa adanya. Hal atau keadaan inilah yang menjadikan keempat tersangka tidak dapat dipidana karena walaupun mereka melakukan tindak pidana, tetapi terdapat alasan pemaaf bagi mereka semua yaitu keadaan memaksa (overmacht).

DAFTAR PUSTAKA

- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (terjemahan Moeljatno), cet.22 Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2003 - Kholiq, M. Abdul, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, 2002 - Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, cet.7, Jakarta: PT. Asdi Mahasatya, 2002. - www.balipost.com, diakses tanggal 4 Desember 2008. - www.kompas.co.id, diakses tanggal 4 Desember 2008. - www.republika.co.id, diakses tanggal 4 Desember 2008. - www.kedaulatan rakyat.co.id, diakses tanggal 4 Desember 2008.

OVERMACHT
Diatur dalam pasal 48 KUHPidana : Barang siapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum. Kata terpaksa harus diartikan, baik paksaan bathin maupun paksaan lahir, rohanimaupun jasmani. Kekuasaan yang sama sekali tidak dapat dihindarkan yaitu kekuasaan yang berlebih, kekuasaan yang pada umumnya dianggap tidak dapat dilawan yang disebutOvermacht Menurut Mr. J. E. Jonkers, Daya Paksa (Overmacht) dibedakan atas 3 macam, yaitu : 1. Daya Paksa Mutlak (Absolute Overmacht) 2. Daya Paksa Relatief (Relatief Overmacht) 3. Keadaan Darurat (Noodtoestand) 1. Daya Paksa Mutlak (Absolute Overmacht). Dalam hal ini orang itu tidak dapat berbuat lain, ia mengalami sesuatu yang sama sekali tidak dapat mengelakkannya, ia tidak mungkin memilih jalan lain. Contoh Kasus : a. Seseorang dipegang oleh orang lain yang lebih kuat tenaganya, dilemparkan kearah kaca jendela sehingga pecah dan mengakibatkan kejahatan pengrusakan barang (Pasal 170 KUHPidana, dalam peristiwa semacam ini dengan tidak usah ada ketentuan pasal 48 KUHPidana yang mudah dimengerti pula, bahwa orang kedua tsb tidak dapat dihukum, karena segala sesuatu yang melakukan suatu peristiwa pidana tsb ialah orang pertama, maka orang yang pertama inilah yang berbuat dan dialah yang harus dihukum. b. Sebuah Jasa Pengiriman Paket Kilat mengirim suatu paket barang berisikan makanan dari Palembang ke Jakarta dengan melalui jalur udara, namun karena adanya keterlambatan / penundaan penerbangan dikarenakan cuaca buruk, maka pihak Pengiriman Paket Barang Kilat mengirimnya dengan jalur darat sehingga baru sampai ketempat tujuan selama 2 hari sehingga

makanan didalamnya basi. Oleh karenanya pihak Jasa Pengiriman Paket Kilat tidak dapat dipersalahkan berdasarkan Pasal 1356 KUHPerdata karena keterlembatan tsb bukan karena kesengajaan / keinginan dari pihak Jasa Pengiriman Paket Kilat melainkan karena musibah alam yang tidak dapat diduga sebelumnya. 2. Daya Paksa Relatief (Relatief Overmacht). Disini kekuatan dan atau kekuasaan yang memaksa orang itu tidaklah mutlak, tidak penuh. Orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan memilih atau berbuat hal lain. Kekuasana, kekuatan, dorongan atau paksaan physiek atau pyschich terhadap orang yang bersangkutan bersifat relative atau nisbi. Contoh Kasus : Seorang bernama A menodongkan senjata api kearah kepala B dengan bermaksud memaksanya membakar rumah. Jika B tidak lekas membakar rumah itu maka kepala B akan ditembak. Dalam fikiran memang mungkin B menolak suruhan A untuk membakar rumah itu, sehingga ditembak mati. Akan tetapi jika B menuruti perintah A membakar rumah itu, meskipun ia berbuat suatu kejahatan tetapi toch tidak dihukum, karena adanya paksaan tsb. Perbedaan kekuasaan yang bersifat Absolute dan Relatief itu ialah : Bahwa pada yang bersifat absolute dalam segala sesuatunya orang yang memaksa itu sendirilah yang berbuat semaunya, sedangkan pada yang relatief maka orang yang dipaksa itulah yang berbuat , meskipun dalam paksaan kekuatan. Tidak semua kekuasaan yang memaksa dapat membebaskan orang dari hukuman. yang dapat membebaskan itu hanyalah suatu kekuasaan yang begitu besarnya sehingga sama sekali tidak dapat dihindarkan lagi, tidak harus dilawan. Jika suatu paksaan itu beresiko akan dipukul tangan saja, itu tidak dapat sebagai Overmacht karena ia masih dapat melawan atau menghindarkan pukulan tangan itu. Jadi dalam hal ini dalam kasus pembakaran rumah tsb, orang yang dipaksa untuk membakar rumah tsb tetap dapat dihukum. jadi paksaan itu harus ditinjau dari berbagai sudut, misalnya apakah orang yang dipaksa itu lebih lemah dari orang yang memaksa, apakah tidak ada jalan lain, apakah paksaan itu benar-benar seimbang apabila dituruti dan sebagainya. Hakimlah yang harus menguji dan memutuskan hal ini. Polisi hanyalah mengumpulkan bahan-bahan serta alat-alat buktinya saja yang akan diajukan untuk menjadi pertimbangan hakim. 3. Keadaan Darurat (Noodtoestand) Bedanya dengan kekuasaan yang bersifat relatief bahwa ialah pada keadaan darurat ini orang yang dipaksa itu sendirilah yang memilih peristiwa pidana manakah yang ia lakukan itu, sedangkan pada kekuasan yang bersifat relatief orang itu tidak memilih, dalam hal ini yang mengambil inisiatif ialah orang yang memaksa . Contoh kasus : a. Sebuah perahu karam ditengah laut. Dua orang penumpang mengapung berpegang pada sebuah papan yang hanya kuat menahan satu orang saja. terjadilah perebutan diantara keduanya, untuk menolong dirinya dari tenggelam maka orang yang satu mendorong orang yang lain sehingga mengakibatkan orang itu tenggelam dan mati. Meskipun perbuatan tsb merupakan suatu tindak

pidana pembunuhan (Pasal 338 KUHPidana) namun perbuatannya tidak dapat dihukum karena ia dalam keadaan overmacht. b. Untuk menolong seorang anak kecil yang tertutup didalam rumah yang sedang terbakar, seorang pemadam kebakaran memecahkan kaca jendela sebagai jalan masuk untuk menolong anak kecil tsb. Meskipun seorang pemadam kebakaran tsb telah melakukan tindak pidana Perusakan Barang (Pasal 170 KUHPidana) tetapi ia tidak dapat dihukum oleh karenanya dalam keadaan overmacht demi menyelamatkan seseorang dari kematian. c. Seseorang mendapat panggilan untuk datang menjadi saksi dalam perkara pidana di Pengadilan Negeri Palembang dan Jakarta pada hari dan jam yang bersamaan, ia dapat memilih salah satu tanpa mendapat hukuman dari pelanggaran hukum tidak hadir setelah dipanggil (Pasal 224 KUHPidana) karena terhalang oleh suatu kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan. Orang yang melakukan pencurian dengan alasan terpaksa oleh kemiskinan atau oleh hal semacam itu, tidak dapat diterima sebagai dalam keadaan overmacht dan tetap dapat dihukum. Orang yang diserang oleh binatang orang lain dan membela diri dengan membacok binatang tsb dengan sebilah pedang. Hal ini tidak masuk dalam pengertian overmacht karena serangan yang mengancam itu tidak dengan melawan hak karena seoarang binatang tidak mungkin untuk berbuat sesuatu yang melawan hak.

DAFTAR PUSTAKA : Rohman Hasyim, S.H.,M.H, Diktat Hukum PidanaSTIHPADA, Palembang, 2006 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Bogor, 1988

Anda mungkin juga menyukai