Anda di halaman 1dari 6

Kepak-kepak Merak Ini adalah Desember ke dua, dimana Astuti mencoba mempromosikan tempattempat wisata asli tanah kelahirannya.

Meski dunia silau dengan berbagai macam tetek bengek penemuan baru yang membuat mereka tidak berhenti berdecak kagum, Ia tetap gigih mempromosikan wilayah-wilayah yang sebagian orang mengatakan zamrud khatulistiwa itu. Yang kata sebagian orang yang lain lagi adalah surga dunia, karena mampu menghadirkan keindahan panorama yang eksotis, begitu khas dan tiada duanya dengan berbagai macam kebudayaannya yang tidak kalah menariknya daripada cuma sekedar menikmati berbagai permainan di tempat wisata lain di daerahnya ataupun di belahan lain di bumi kita yang seringnya disuguhkan oleh para pengelola tourist resort. Yang selalu membakar semangatnya adalah suara hatinya. Suara hatinya selalu berkata bahwa memang sudah saatnya untuk memperkenalkan ke seluruh penjuru dunia tentang keindahan zamrud khatulistiwa itu. Dunia harus tahu pesonanya. Meski sebenarnya latar belakangnya adalah seorang penari yang dilahirkan di tanah dimana tata krama dijunjung tinggi, dimana para muda mudi harus menggunakan kromo inggil saat berbicara dengan orang yang lebih tua sebagai bentuk sopan santun, dimana tari gambang semarang adalah asetnya, dan ia dididik bagaimana menjadi seorang wanita yang memiliki nilai-nilai luhur kecantikan murni jawa, inner beautynya orang jawa asli kalau orang sekarang bilang. Namun tekadnya untuk memperkenalkan apa yang ia bangga-banggakan pada dunia mengalahkan tekad seorang duta pariwisata sekalipun. Melalui website pribadinya, blog-blognya yang ramai, tur panjangnya, atau siaran-siaran komersil yang memancar membantu menyebarkan berita tentang apa yang ia bangga-banggakan tersebut. Sebelumnya ia hanyalah penari lokal. Yang begitu memeluk erat nilai-nilai leluhurnya. Kemudian, waktu mempertemukannya dengan Pak Raharjo, seseorang yang melek budaya, budaya Indonesia, atau bisa dipanggil seorang budayawan, yang kritis, saat dia memutuskan untuk mendalami keahlian tarinya di Institut Seni Indonesia. Beliau memang kritis di mata Astuti. Cara beliau menggagas dan merespon perubahan-perubahan di jaman sekarang, meski beliau sadar betul bahwa sesuatu yang tidak berubah di dunia ini adalah perubahan itu sendiri. Tapi beliau berprinsip, perubahan janganlah sampai

melunturkan jati diri suatu bangsa. Ketika bangsa tersebut kehilangan jati dirinya, tamat sudah peradabannya. Seiring berjalannya waktu, dua karakter itu seakan menyatu dalam satu prinsip yang sama. Melebur. Karakter Astuti yang kental dengan budaya jawanya sebagai pembawaan dari keluarganya dan karakter Pak Raharjo sendiri yang lebih luas wawasan budayanya, dan dengan apa yang beliau miliki itu semakin memperkuat karakter Astuti. Nampaknya beliau ingin mengkloningkan jati dirinya ke dalam diri Astuti. Beliau yang memperluas cara pandang Astuti terhadap budaya bangsa sendiri dan mengantarkan Astuti melalang buana menjelajah dunia, karena profesinya yang akhirnya menjadi penari internasional dan pelatih tari tradisional. Dialog-dialognya dengan beliau membentuk karakter Astuti yang sekarang. Kekritisannya menular kepada Astuti, membuat Astuti tidak hanya sebagai seorang entertainer, namun juga pemikir, penggagas, konseptor dan tentunya satu harapan lagi yang jauh beliau tanam dalam diri Astuti, seorang pengkonservasi atau pegiat kelestarian kebudayaan, penjaga budaya. Kegiatan-kegiatan mereka, dialog-dialog pertukaran pikiran mereka, membuat mereka satu pemikiran. Membuat mereka seperti layaknya anak dan bapaknya. Satu selera. Nggak cuman budaya jawa aja loh nduk kekayaan budaya kita ini, masih banyak lagi kebudayaan lain yang sebenernya membuat bangsa kita laksana burung merak jantan yang begitu cantik dengan bulu-bulunya yang indah nan eksotis, indahnya Bhinneka Tunggal Ika. Iya kan nduk? Bukankah pesona merak itu sendiri berasal dari perpaduan warnanya yang warna-warni. Tak berlebihan rasanya kalau ku katakan kita itu burung merak. Ya kan nduk? begitu kata Pak Raharjo suatu hari kepada Astuti. Astuti manggut-manggut mantap, karena ia memang setuju dengan apa yang baru saja beliau kemukakan. Dengan gamblang beliau menguraikan pesona keindahan Indonesia sebagai suatu bangsa yang besar. Kemudian dalam-dalam beliau hisap cerutunya, cerutu berukir yang indah sekali, sambil menyender di dampar kencononya, kursi goyangnya yang tua, yang menjadi pelepas lelahnya. Benar-benar digdaya bangsa kita ini sebetulnya nduk, tapi ndak banyak orang-orang kita sekarang yang peduli dengan kebudayaan sendiri. Padahal, kebudayaan itu adalah pencerminan bangsa itu sendiri. Opo rag yo keleru tho, kok orang-orang kita ini malah
2

mempelajari kebudayaan asing, dan orang asing belajar nyinden? Wesss wesss gelenggeleng aku weruh sing koyo mengkono kuwi. Banyak orang tua jaman sekarang yang lebih gencar mengenalkan budaya asing kepada anaknya. Koyo, neg arep podo turu anake podo dicritani Rapunzel, gaya-gayanan ben ngetoki nglondo sithik. Oalah, keleru jeru kuwi nduk. Tak kandani opo yo Rapunzel ki tau kramas tho? Wong dikurung ning njero kastil karo nenek sihir kok. Arep kramas lewat ndi? Tur neh yo opo sih sing iso dijupuk soko crito kuwi. Ora aku ora ngelek-elek critone wong londo nduk. Aku mung ngejak mikir. Opo yo ora luwih becik nyritokke kancil, opo Rama Shinta sing sarat nilai-nilai kehidupan, lanjutnya lagi berpanjang lebar. Astuti hanya tersenyum menimpali argumen-argumen Pak Raharjo yang bagi orang lain selain Astuti, mungkin beliau terkesan kolot dan ketinggalan jaman. Pernah suatu ketika Astuti membawa temannya, si Rina, untuk berkunjung ke sanggar Pak Raharjo, sanggar Merak. Melihat cara berpakaian Pak Raharjo yang nyentrik, pandangan Rina langsung minus terhadap beliau. Apalagi setelah mendengar beliau berbicara panjang lebar mengenai kekecewaannya terhadap bangsa kita yang perlahan namun pasti mulai meninggalkan warisan leluhurnya sendiri, bertambahlah keantipatian si Rina kepada Pak Raharjo. Ia kemudian enggan lagi menemani Astuti bertandang ke sanggar Pak Raharjo. Ia berbeda pendapat dengan budayawan renta itu. Menurut Rina, budaya kita memang sudah ketinggalan jaman. Kepancal sepor. Padahal tadinya ia sendiri yang ngebet pengen belajar nari. Lantaran, Mas Joko, kakak kelas mereka yang disukainya suka dengan perempuan lemah lembut yang pinter nari. Tapi karena sedikit ceramah Pak Raharjo yang terkesan sedikit mendoktrin dan terlalu idealis baginya, iapun mencari sanggar lain yang hanya mau mengajarinya tari, tak perlu menambahi embel-embel nggak jelas yang entah tujuannya untuk apa. Bahkan sempat Rina menganggap Pak Raharjo ini sedikit sableng. Karena kenyeentrikan pola hidupnya itu. Hidup sendiri, tanpa istri. Karena istri beliau pun sudah meninggal saat melahirkan anak pertama mereka. Menarik diri dari masyarakat, yang kata beliau sekarang sudah berubah. Tidak ada lagi penjual jamu gendong, yang ada sales-sales penjaja suplemen, tidak ada lagi gethuk lindri, tiwul, dan poci kesukaannya, kini berganti kedai-kedai penyedia makanan cepat saji.
3

Namun, entah mengapa Astuti bisa mengambil sudut pandang yang berbeda tentang budayawan itu. Meski Rina banyak melihat nilai-nilai yang menurutnya negatif dari Pak Raharjo, tapi tidak dengan Astuti. Menurutnya Pak Raharjo itu orangnya mantap. Mantap dengan prinsip hiudpnya, cara pandangnya, karakternya. Mungkin karena Pak Raharjo tidak hanya mengajarkan gerakan-gerakan tari yang membantunya menjadi pengoleksi pialapiala. Mungkin karena Astuti melihat harapan yang disandarkan Pak Raharjo kepadanya, untuk tidak hanya menjadi penari tetapi juga sebagai pemelihara kebudayaan bangsa, yang berkali-kali beliau katakan kepada Astuti bahwa kebudayaan adalah cerminan jati diri atau kepribadian suatu bangsa. Mungkin karena Astuti melihat ketidakrelaan Pak Raharjo akan memudarnya pesona si Burung Merak. Ya, burung merak. Pernah tak hanya sekali Astuti memperkenalkan bangsanya kepada teman-teman mancanegaranya selepas ia mempertunjukkan kebolehannya menari di hadapan temantemannya. Bangsanya yang disebut mempunyai tanah zamrud khatulistiwa, yang katanya mempunyai seribu musim, dari musim duren sampe musimnya anak-anak maen layangan. Dengan bangganya ia memperkenalkan bangsanya itu. Si burung merak. Dengan detailnya ia menjabarkan satu persatu keindahan bulu merak itu. Dari warna bulu yang mencerminkan keindahan keanekaragaman yang menyatu, hingga keunikan pada bagian-bagian tertentu. Ekornya, jambulnya, cara jalannya, attitudenya. Kehidupannya yang sering melancong ke berbagai negara membuatnya mempunyai banyak teman. Ia manfaatkan semuanya itu untuk memperkenalkan burung merak kebanggaannya itu. Seperti Pak Raharjo, iapun mengatakan hal yang sama pada muridmuridnya, mencoba menurunkan prinsip itu pada anak-anak sanggarnya. Tidak hanya mengenalkan budaya pada anak-anak sanggarnya. Tetapi juga mengajarkan kepada mereka bagaimana mencintai budaya sendiri hingga mendedikasikan dirinya sebagai penjaga budaya, melawan kultur-kultur asing. Sejenak Astuti terkenang akan kata-kata Pak Raharjo yang menjuluki bangsa kita sebagai burung merak. Di antara lemah gemulai gerakannya saat itu, pikirannya menerawang jauh ke belakang, ke masa lalu. Sementara raganya ia biarkan berada di tempat latihan dan bergerak meliuk-liuk, pikirannya fokus kepada burung merak yang begitu menawan, dan kondisi si burung merak yang langka itu memang mencerminkan keadaan
4

bangsa kita yang kini jati dirinya mulai jarang kita temui, yang kekayaan budayanya mulai punah terkikis kultur-kultur luar yang masuk. Hingga pikirannyapun masuk pada sebuah percakapan di suatu sore, di altar sanggarnya. Inner beautyne bangsa kita ki opo tho? tanya Pak Raharjo suatu ketika kepadanya. Keramah tamahipun, sopan santunipun, nilai-nilai moral ingkang inggil nggih Romo? Astuti mencoba menjawab sebisanya pertanyaan Budayawan yang sudah ia anggap seperti Romonya sendiri itu. Deloken burung merak kae nduk. Rag yo deknen ki nduwe sing jenenge inner beauty lan pesona lahiriah? Bangsane ndewe iku lak ngono e nduk? Jane iyo jane yen kito mampu ngupokoro jati diri kito. Deloken deknen lek ngupokoro endhoke lak tenanan tho nduk? Yo kuwi, seharusnya generasi penerus bangsa itu seperti itu, jenate Pak Raharjo masih segar diingatannya. Membuatnya teringat kembali alasannya bertahan di sanggar itu, sanggar yang dulunya milik Pak Raharjo yang kemudian menjelang akhir hayat beliau dipercayakan kepada Astuti, karena beliau sendiri tidak mempunyai anak kandung. Karena beliau sendiri tidak terlalu terbuka pada murid-muridnya yang lain kecuali Astuti. Ya, Astuti pun menerima kepercayaan yang telah diberikan kepadanya. Sebagai wujud baktinya kepada gurunya itu, sebagai bentuk usaha konservasi budaya bangsanya yang kian hari kian pudar. Hingga iapun berikrar, sanggar yang kini ia pimpin adalah konservasi budaya, yang ia sadari dengan penuh keberhargaannya. Ia tidak akan melepas lahan konservasinya itu meskipun kilauan menggoda. Lewat anak-anak sanggarnyalah ia menegakkan kembali puing-puing warisan budaya yang hampir punah terkikis jaman itu. Pernah suatu ketika, sanggarnya mengalami krisis. Sedikit sekali anak-anak yang berminat bergabung dengan sanggarnya. Krisis budaya ini namanya. Siapa yang akan meneruskan memainkan keindahan kultur kita? Siapa? tanya hatinya kepada dirinya. Hingga suatu ketika ia berpikir, apakah budaya ini terlalu usang untuk dijadikan benda berharga. Helaan nafasnya menyiratkan keberatan terhadap pernyataan itu. Di balik meja kerjanya, ia terus berpikir. Apa? Apa? Apa yang menyebabkannya nampak usang?

Debu-debu kejenuhan itukah yang menutup kilau keindahannya? Astuti pun berpikir, ada baiknya ia memoles budaya itu agar kelihatan eksentrik, menarik, dan berkilau lagi tentunya. Secara otomatis ia mengkonsep, berhari-hari ia gunakan untuk membuat sebuah gebrakan baru untuk menarik minat para penerusnya agar mau melanjutkan usaha konservasi budayanya. Pagelaran budaya besar-besaran pun ia konsep sedemikian rupa. Promosi sana sini ia lakukan dibantu beberapa teman dan anak sanggarnya yang tersisa. Ikrarnya, ia teringat ikrarnya untuk mempertahankan lahan konservasi itu, seberat apapun sesulit apapun. Ada telur budaya di lahan konservasi itu yang harus ia jaga dan ia erami untuk kemudian ia tetaskan, sehingga berlanjut siklus konservasi budaya tersebut, sehingga bertahan kebudayaan kita yang menjadi cerminan jati diri kita. Usahanyapun menuai hasil. Totalitas yang ia dedikasikan terbayar sudah. Pagelaran yang berkonsep kontemporer itupun menyita perhatian penonton. Dengan tari merak sebagai sajian utamanya, dan ia adalah penari tunggalnya. Ia telah menunaikan kewajibannya. Sanggarnya mulai ramai lagi dengan banyaknya anak-anak yang bergabung ke dalam sanggarnya, yang ia anggap sebagai telur merak yang harus ia jaga, ia erami, dan ia tetaskan. Kini Astutilah burung merak itu, yang menjaga telurnya di sarangnya, sanggar Merak, agar tetap lestari kebudayaan bangsanya, yang bertarung melawan derasnya pengikisan budaya oleh persaingan kultur-kultur asing. Hingga saat ini masih saja kegigihannya setia menemani usahanya memperkenalkan pesona si Merak di kancah dunia. Usaha-usahanya adalah kepak-kepak sayapnya. Dan lagi-lagi kita harus kembali mengutip kata-kata Pak Raharjo, bahwa kebudayaan adalah pencerminan suatu bangsa, sehingga seyogyanya kebudayaan itu kita sebagai penerus menjaga agar tetap lestari dan kita tidak kehilangan jati diri sebagai suatu bangsa. Suatu saat Astuti pun akan menemukan merak-merak seperti dirinya yang mau menjaga telur kebudayaan kita, seperti Pak Raharjo menemukannya.

Anda mungkin juga menyukai