Anda di halaman 1dari 5

e-mail: arina232@yahoo.

com

Gender, Perempuan, dan Budaya Patriarki* Ari Zuntriana FISIP Universitas Airlangga Surabaya Gender, tampaknya, menjadi satu kata yang begitu populer akhir-akhir ini. Apalagi ketika perdebatan mengenai Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi masih berlangsung sengit dalam masyarakat. Bersama term feminisme, gender menjadi kosa kata bulan-bulanan dan sering dicurigai oleh pihak yang pro dengan pengesahan RUU ini. Bagi mereka, prinsip-prinsip gender dan feminisme, berikut dengan orang-orang yang mengusungnya seolah-olah hanya diartikan sebagai pihak yang sepenuhnya keliru dan (dianggap) abai dengan moralitas bangsa. Sehingga, tidak mengherankan jika mereka memiliki pretensi buruk terhadap gerakan dan pihak-pihak yang berusaha untuk berpikir jernih dalam merespon RUU APP dengan mengambil sikap kontra yang kebetulan didominasi oleh kalangan feminis dan pegiat kesetaraan gender. Lantas, apakah orang-orang yang memakai kaca mata kuda dalam menilai prinsipprinsip gender ini memang telah benar-benar memahami apa arti gender sendiri, atau (jangan-jangan) mereka malah masih mengasumsikan gender sebagai jenis kelamin (sex). Mengutip dari Mansour Fakih1, gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum perempuan dan laki-laki, yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Ini jelas berbeda dengan konsep jenis kelamin yang lebih berkonsentrasi pada anatomi biologi manusia dan memang telah ditentukan secara terberi (given). Konsep gender ini berkaitan dengan 2 hal, yaitu femininitas dan maskulinitas. Perempuan selalu digambarkan dengan kedamaian, keteduhan, lemah lembut, emosional, dan lebih mengandalkan insting. Sedangkan laki-laki dikaitkan dengan citra kuat, jantan, bersifat sebagai pelindung, dan rasional. Sekali lagi konsep gender ini merupakan hasil konstruksi sosial dan budaya, jadi bukanlah harga mati yang kita dapat dari lahir sebagai manusia, sehingga tidak menutup kemungkinan laki-laki dan perempuan saling bertukar peran gender. Kita mungkin masih mengingat ketika mulai tumbuh remaja, anak perempuan selalu dicekoki dengan berbagai macam nilai-nilai dan norma kesopanan, terutama dari pihak ibu. Kebetulan saya terlahir dalam masyarakat Jawa tulen yang begitu kental
1 o

*) Esai sebagai syarat untuk mengikuti Jambore Nasional Pemberdayaan Gender 2006. Diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI bertempat di Lido, Bogor, Jawa Barat. Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, cet.2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hal.7

e-mail: arina232@yahoo.com

dengan konsep unggah-ungguh (sopan santun). Bagi masyarakat Jawa, anak perempuan harus memahami apa arti kesopanan, yang celakanya siapa yang berhak menetapkan standar arti kesopanan ini pun juga masih rancu. Apakah orang tua pada umumnya, orang tua perempuan, orang tua laki-laki (baca : ayah, paman, kakek, dan sebagainya), atau awalnya hanya didorong oleh orang tua laki-laki saja. Kita mungkin telah sangat mafhum bahwa masyarakat Jawa merupakan masyarakat dengan adat dan budaya yang sangat patriarkis. Bagi anak perempuan, diharamkan untuk tertawa lebar sampai terlihat seluruh giginya, apalagi berteriak-teriak. Pamali!. Sebaliknya, ia harus duduk manis dan menuruti yang dikatakan ayah ibunya. Ini pun belum cukup. Lingkungan lebih luas, seperti keluarga besar dan tetangga pun seolaholah juga merasa memiliki kewajiban untuk turut serta mendidik anak perempuan. Budaya patriarki inilah yang berperan besar untuk terus menyudutkan perempuan dengan peran gendernya yang nampaknya sudah ditentukan sepenuhnya oleh konstruksi sosial dan kultural yang patriarkhal. Dalam masyarakat, mereka (perempuan) menjadi the second sex (suatu konsep subordinasi yang terus-menerus dibangun oleh masyarakat patriarki, padahal Tuhan sendiri tidak pernah menjadikan perempuan sebagai makhluknya yang memiliki kelas kedua dan kehadirannya pun bukan semata-mata sebagai pelengkap laki-laki)2, sehingga pada akhirnya perempuan kurang memiliki akses untuk peningkatan kualitas hidupnya, seperti akses untuk pendidikan, ekonomi, sosial, politik, dan bidangbidang lainnya. Melihat dari sini mungkin wajar jika kemudian banyak data yang menyebutkan bahwa tingkat buta huruf kaum perempuan di negara dunia ketiga masih terbilang cukup tinggi, dan kita pun menjadi maklum pula ketika PBB mengatakan bahwa potret kemiskinan semakin menampakkan wajah perempuan (poverty has a women face).3 Dari pengamatan saya, hingga sekarang ini, anggapan bahwa anak perempuan kurang berhak atas pendidikan tinggi juga masih kental dalam masyarakat, terutama bagi anak perempuan yang kebetulan terlahir dari keluarga menengah ke bawah. Bila dalam satu keluarga ini terdapat anak laki-laki dan anak perempuan, maka prioritas untuk pendidikan tinggi akan diberikan kepada anak laki-laki, sedangkan untuk perempuan, pendidikan tinggi merupakan sesuatu yang kondisional, melihat dulu bagaimana kondisi
2

Lihat Nurjanah Ismail, Perempuan dalam Pasungan : Bias Laki-laki dalam Penafsiran, (Yogyakarta : LKiS, 2003) 3 Laporan UNDP tahun 1995 dalam Imam Cahyono, Wajah Kemiskinan Wajah Perempuan, Jurnal Perempuan No.42tahun 2005 (Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan, 2005)

e-mail: arina232@yahoo.com

kemampuan keluarga. Mereka mengatakan, Anak perempuan tidak perlu sekolah tinggitinggi, toh ujung-ujungnya akan kembali ke dapur juga. Mungkin juga Anda akrab dengan ungkapan-ungkapan misoginis tradisional Jawa, seperti dapur, sumur, kasur, serta macak (berdandan), manak (melahirkan), dan masak. Kaum perempuan masih dicitrakan sebagai konco wingking, sama sekali tidak berhak mengurusi masalahmasalah publik, yang (katanya) hanya wilayah laki-laki. Ini jelas bertentangan dengan semangat yang dibangun oleh Caroline Mosser, bahwa persoalan perempuan adalah menyangkut 3 peran (the triple role), yaitu domestik, publik, dan sosial.4 Bahwa perempuan memiliki hak untuk berperan di ketiga wilayah tersebut. Ataupun adagium Jawa yang berujar suwargo nunut neroko katut (masuk atau tidaknya seorang istri ke surga adalah bergantung pada si suami). Suatu ungkapan yang menegaskan ketidakberpihakan masyarakat akan kebebasan kaum perempuan untuk merdeka dan menentukan nasibnya sendiri. Lebih jauh lagi, perbedaan gender dan konsep patriarki sering membawa perempuan ke arah konflik dengan laki-laki, konflik yang semata-mata menempatkan perempuan ke dalam posisi sebagai korban (victim). Misalnya dalam masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), atau yang sekarang ini telah banyak terjadi, kekerasan dalam pacaran (KDP). Posisi yang (dianggap) tidak setara, menjadikan perempuan tidak memahami akan hak-haknya dan menganggap bahwa kekerasan dan pelecehan yang mereka alami merupakan suatu hal yang wajar, dan bila kekerasan yang mereka alami mengakibatkan luka fisik dan psikologis yang serius, perempuan cenderung masih memilih untuk bungkam. Bagi mereka, mengungkapkan peristiwa kekerasan dan pelecehan merupakan sesuatu yang memalukan dirinya dan (terutama) keluarganya. Tidak mengherankan jika perempuan memikul beban ganda yang begitu berat, selain harus memikul kehormatan dirinya, ia juga harus menanggung kehormatan keluarganya. Dari sudut pandang agama, masalah gender dan perempuan juga masih menjadi problematika yang masih dipertentangkan. Kelompok konservatif masih memegang erat tradisi penafsiran kitab suci dan ajaran agama yang dikangkangi oleh semangat patriarkis. Mereka menafsirkan perintah Tuhan dan nabi hanya dengan pendekatan teologis, bukan pendekatan sosiologis. Tak dapat disangkal bahwa pada mulanya, penafsiran ajaran-ajaran agama Ibrahimik, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam, hanya
4

Lihat Amelia Fauzia, dkk dalam buku Tentang Perempuan Islam : Wacana dan Gerakan, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama dan PPIM UIN, 2004)

e-mail: arina232@yahoo.com

didominasi oleh kalangan agamawan laki-laki. Sehingga hasil penafsiran mereka sangat kental dengan nafas patriarki dan mendiskriminasikan perempuan. Ajaran Islam sendiri pun diturunkan saat rezim patriarki Arab sangatlah kokoh. Untuk itulah upaya penafsiran kembali Al-Quran dan hadits saat ini menjadi satu hal yang teramat penting. Agar diskriminasi perempuan dalam agama tidak lagi menjadi wacana yang diwariskan dari generasi ke generasi. Pandangan-pandangan yang masih timpang dalam hal perempuan, tampaknya belum banyak berubah hingga sekarang ini. Dalam ceramah-ceramah keagamaan, masih banyak ditemui orang-orang yang memiliki latar konservatisme. Sekedar untuk memberikan contoh mengenai perilaku perempuan saja, mereka merasa perlu untuk mengungkapkan analogi-analogi yang berbau misoginis. Beberapa bulan lalu di salah satu stasiun televisi swasta, seorang ustad menganalogikan perempuan yang terjaga kehormatannya dengan jajanan yang terbungkus rapi yang tidak bisa disentuh oleh sembarang orang. Betapa rendahnya nilai perempuan bagi mereka, hanya sebagai komoditas yang dilihat dan kemudian diperjualbelikan. Pemikiran yang membebaskan, terutama dengan konsep pengarusutamaan gender (gender mainstream) menjadi tuntutan yang mendesak untuk dilakukan. Seluruh masyarakat harus dididik untuk lebih peka gender, untuk kemudian mengubah sikap dan pemikiran mereka yang masih berlatar patriarkis. Suatu hal yang membanggakan ketika sekarang ini banyak bermunculan gerakan, organisasi, yang concern terhadap permasalahan kaum perempuan. Mereka banyak yang berangkat dari kalangan agamawan, akademisi, dan para aktivis mahasiswa, yang kemudian dengan lantang meneriakkan kesetaraan gender (gender equality), dengan cara mereka masing-masing. Bagi kaum agamawan, langkah ini dimulai dengan upaya untuk menafsirkan kitab suci dan ajaran agama dengan sudut pandang yang lebih ramah terhadap perempuan, sehingga diharapkan transformasi sosial bisa dimulai dari masyarakat religius yang memiliki sensitivitas gender. Sedangkan bagai kalangan akademisi dan gerakan, pembangunan negara yang peka gender merupakan isu utama yang perlu untuk dikedepankan, agar pembangunan juga memiliki dampak positif, dan tidak hanya merugikan kaum perempuan seperti yang selama ini terjadi. Langkah panjang masih membentang, namun dukungan dan kerja keras pasti akan membuahkan sesuatu yang manis bagi gerakan

e-mail: arina232@yahoo.com

perempuan. Mengingat berbagai ikhtiar mereka ini, saya sangat berbesar hati bahwa kesetaraan gender yang selama ini diimpikan akan segera menjadi realita. Semoga!

Anda mungkin juga menyukai