Anda di halaman 1dari 33

INME

(Part 2)

Kumpulan Cerpen

Andri E. Tarigan

DAFTAR ISI

Percaya Nabi Harmoni Malaikat Pagi Tiga Setan In Me 27

6 11 16 21

Aku selalu berupaya untuk berpegang

teguh pada kebenaran. Aku yakin, dengan perjuangan akan kebenaran hari ini, akan membuahkan dan memekarkan kebenaran atas dunia di masa yang akan datang. Dunia yang bercirikan taman kebenaran.

PRESENT

INME merupakan kumpulan cerpen yang berisi lima cerita dengan tokoh utama yang sama, tetapi kelimanya bisa dibaca terpisah. Cerpen-cerpen ini membahas berbagai kebenaran tentang cinta, baik itu cinta lawan jenis, cinta sesama, termasuk cinta Sang Pencipta. Tujuan saya membuat kumpulan cerpen ini adalah untuk berbagi pemahaman saya tentang cinta, hal yang saya anggap paling esensial bagi kehidupan manusia. Tokoh utama dalam cerita ini sengaja tidak saya beri nama, yang perlu anda lakukan adalah memahami psikologi mereka. Inti ceritanya seperti ini: Tokoh Aku yang merupakan si pencerita adalah seorang perempuan yang jatuh cinta dengan tokoh Kau, seorang pria yang berpemikiran bebas. Saya sengaja menulis dengan sudut pandang tokoh Aku, seorang perempuan, karena melalui cerpen-cerpen ini saya ingin bereksperimen untuk menilai tingkat empati saya terhadap perempuan. Karena, saya beranggapan bahwa setiap lelaki wajib berusaha untuk memiliki empati tinggi terhadap perempuan. Jadi, buat anda para lelaki, mari bersama dengan saya, melatih empati kita terhadap para perempuan dengan INME. Untuk para perempuan, anda tidak perlu pusing lagi untuk menyatu dengan tokoh Aku. Kumpulan cerpen ini memang tercipta untuk kaum anda. INME ditulis demi cinta. Saya mencintai anda.

Andri E. Tarigan

INME

(Part 2)

Kumpulan Cerpen

Andri E. Tarigan

Percaya
Oleh: Andri E. Tarigan

S ore, kharismamu terpancar.


Sentuhanmu menggetarkan hatiku. Kataku bernada lembut. Tak lama kita berdiam dan saling bertatapan, telapak tangan kananmu masih tertempel di pipi kiriku. Kau lemparkan senyuman kecil yang singkat kepadaku dan kemudian menggeser sentuhanmu, dari pipi kiri ke bawah dagu. Kau angkat sedikit daguku dan kau melanjutkan percakapan. Apa yang membuatmu setia terhadapku? Tolong pikirkan dengan logikamu, tak ada yang bisa kau dapatkan dari aku. Kau hanya bisa menyaksikan kegilaanku, ambisiku yang sama sekali tidak berhubungan dengan kemapanan atau kesuksesan. Hari-hariku selalu habis untuk memenuhi rasa ingin tahuku, yang sesungguhnya pun tak pernah habis. Katamu. Aku memandangmu dengan serius. Jantan, kesan yang kau tampilkan. Aku ingin memberitahu, tapi enggan karena aku merasa malu. Saat ini hanya bayang-bayangmu saja yang memadati pikiranku. Kau menyarankanku agar menggunakan logika? Jelas aku akan tetap memilih untuk menyerahkan diri kepadamu. Kau telah berhasil membuat perasaanku meluap-luap, luapannya sedemikian menyesakkan dada dan kemudian menyebar naik hingga menyerang kepala, menyerang logikaku sampai kini terkurung diam tak berdaya. Ya? Kau bertanya lagi, meyakinkan. Ketidakberdayaan logikaku segera hilang dan otakku tiba-tiba cepat berputar, bukan karena otakku tengah memperoleh keberdayaannya, tapi karena otakku sekarang diberdayakan oleh emosiku. Perasaanku mendesak, menuntut agar aku menciptakan alasan-alasan, pembenaran -pembenaran yang mengisyaratkan bahwa kau harus selalu dipertahankan, kau terlayak yang pernah ada. Kan waktu masih panjang? Aku percaya kau akan berubah. Aku yakin, di masa depan, kau dan kedewasaanmu akan menyelamatkanku. Jawabku. Kau mau tahu? Saat ini, kalau mau jujur, aku tak merasakan kekuatan yang lebih besar dari dirimu. Bahkan Tuhan sekalipun tak kurasakan! Benarlah mungkin aku saat ini terlalu berdosa, terjebak oleh hasrat. Aku beranggapan bahwa kau segala-galanya. Tapi kesesatan ini ku7

yakin sifatnya sementara, walau sekarang aku tak kuasa melawannya. Pasti ada masa dimana aku bisa kembali berpikir secara rasional. Tentang dirimu, tentang diriku, dan tentang masa depanku. Kau melepaskan sentuhanmu kemudian melipat tanganmu. Kau menghembuskan helaan nafas panjang dan menengadahkan kepalamu ke langit, tampaknya kau sedang berpikir-pikir mencari kebijaksanaan. Aku mengikuti caramu. Kutengadahkan juga pandanganku ke langit. Langit sore itu memang teramat indah. Benar-benar membiru, silau mentari yang menghias hanya seadanya, menawarkan tema yang baik bagi orang sepertiku, yang menyerahkan diri pada rasa percaya. Aku bertanya, Kau sendiri, apa yang kau percayai tentang hubungan ini? Kita sedang bersama menatap langit yang membiru, dengan perasaan yang bergejolak seperti yang sedang kurasakan, aku seperti terbang. Aku seperti terbang dengan kau turut terbang disampingku, kekuatan yang mendamaikanku. Kau menjawab, Tentang hubungan ini, aku akan terus mempertahankanmu. Bukan hal yang main-main, aku membawamu kemanapun aku pergi. Aku mengizinkanmu keluar-masuk logikaku. Dengan kau menaruh rasa percaya padaku, kau menghargai kelebihanku, menerima kekuranganku, menikmati kebersamaan denganku, alasan yang cukup tepat untuk menempatkanmu sebagai salah satu nyawa utama dari segala petualanganku. Masa depanku milikmu. Jantungku berdebar-debar, kencang. Memompaku hingga terus-menerus terbang. Melesat semakin tinggi keberadaanku. Aku merasa sekujur tubuhku sangat ringan. Tanpa kusadari, aku sudah menyandarkan bahuku ke bahumu. Sayang, yang kutanya kepercayaanmu, pandanganmu tentang masa depan hubungan kita, seperti apa kita jadinya. Seperti apa kau kedepannya, dan kemana aku selaku pendampingmu kau tempatkan. Tanyaku dengan pikiran yang melayang-layang. Inginku merasakan kebersatuan denganmu. Aku selalu berupaya untuk berpegang teguh pada kebenaran. Aku yakin, dengan perjuangan akan kebenaran hari ini, akan membuahkan dan memekarkan kebenaran atas dunia di masa yang akan datang. Dunia yang bercirikan taman kebenaran. Itu masa depan yang kujanjikan kepadamu yang menjalin kasih denganku. Dan posisimu, sebagai istriku. Katamu.
8

Benar? aku bertanya kegirangan, senyumku lebar, pipiku memerah. Perasaanku sangatteramat damai. Sejuk kurasa. Bahagiaku mengalir ke seluruh tubuh. Ya, benar, sayang. Jawabmu. Aku menarik posisiku. Tidak lagi bersandar dibahumu. Kutegakkan diriku dengan penuh keyakinan dengan diri. Kau telah menjawab kegalauan yang menggerayangiku. Kau telah menyembuhkan luka dan irisan-irisan yang menggelisahkanku. Aku semakin tetap pendirian sebagai perempuanmu. Kau begitu percaya diri. Pujiku. Aku menatapmu tanpa bergeming. Seketika itu juga kutetapkan ketulusanku terhadapmu. Aku tahu diotakmu tersimpan sejuta konsep tentang keindahan-keindahan yang masih mungkin dicapai manusia, itu daya tarik utamamu. Aku benar-benar ingin menjadi bagian atas petualanganmu itu, atas pikirmu yang sexy. Aku salut dengan kepercayaan dirimu, dan aku mempercayaimu. Bimbing aku! ***

INME

10

Nabi Harmoni
Oleh: Andri E. Tarigan

11

D ingin malam begitu menusuk, tapi sepertinya kau tak terserang. Kandungan alkohol dari minuman yang kau teguk pasti menghangatkan, sehingga kau tetap bertahan untuk bercengkrama di pinggir jalan dengan Redi, sahabatmu. Anehnya, walau meneguk alkohol, kalian tetap stabil. Tidak ada kesan urakan yang kalian tampakkan baik melalui tindakan maupun ucapan sebagaimana biasanya orang yang sedang mengonsumsi alkohol. Paling-paling, yang terlihat adalah pembicaraan yang sedikit nakal, dan pembicaraan yang mengawang-awang. Seperti apa tokoh nabi harmoni yang kau gembor-gemborkan, aku ingin tahu, siapa tahu bisa bantu memikirkan. Tanya Redi kepadamu. Kau melirik ke atas, ke arah bulan. Sepertinya sedang menerawang jauh ke dalam alam pikir. Lalu kau menjawab, Sederhana. Dia adalah orang yang bisa menyadarkan manusia, tentang arti penting hidup seperti alam. Sederhana, bergerak sesuai kebutuhan, setia pada peran, dan selalu memberi. Dia adalah mahkluk yang penuh cinta. Pertanyaan Redi tentang nabi harmoni berawal dari sebuah gambar di catatan kecilmu, yang selalu kau bawa. Disitu kau gambarkan seorang berbadan kecil, memiliki tato di sekujur tubuh, senyum yang menawan, menggunakan kain panjang untuk menutup bagian atas badan, berdiri di tengah padang rumput. Di dekatnya tertulis, Get Your Harmony. Dapatkan harmonimu. Quote yang menarik. Pastinya bukan harmoni ala masyarakat kapitalistikkan? Redi bertanya lagi. Hahahaha. Kau tertawa lepas, sembari menjawab, Tentu bukan, kawan. Mereka itu tak mengerti harmoni, mereka bertopengkan harmoni! Mereka tinggal santai di real estate berjudul Harmoni berpekarangan luas dan hijau yang untuk perawatannya saja pun menghabiskan jutaan rupiah setiap bulan, sementara, sebagian besar manusia di permukaan bumi tenggelam dalam kemelaratan, makan tak makan. Itu bukan harmoni, itu ketimpangan! Harmoni itu adalah keseimbangan, bukan pengkodisian ketidaksetaraan secara tragis! Redi mengangguk-angguk tanda setuju. Kau kembali pada penjelasanmu, Ibarat Zarathustra versi Nietzche yang mengumbarumbar pemikirannya demi penyediaan jalan bagi lahirnya manusia unggul. Demikian aku akan
12

terus mengumbar apa yang kupikirkan demi terbentuknya jalan bagi sang nabi harmoni. Aku yakin orang begitu pasti ada, akan datang. Sebagaimana nabi-nabi terdahulu ada, membawa jawaban atas masalah di zamannya. Sekarang, manusia sampai pada tahap lupa bahwa mereka adalah bagian dari alam sehingga lupa untuk selayaknya bertindak seperti alam, perlu ada orang yang mengingatkan, untuk melawan lupa tersebut. Orang yang dimaksud pastilah memiliki kharisma yang tinggi secara lahiriah. Sehingga, ia mampu mempengaruhi zaman dan ajarannya tercatat dalam sejarah. Kalian tenggelam dalam pembicaraan yang menurutku cukup mengawang-awang. Hari gini bicara nabi? Dasar orang mabuk. Melihat ketidakmampuan diri, membuat kita menenggelamkan diri terhadap kedatangan -kedatangan mahkluk mesias. Kenapa tak kau saja yang menjadi nabi itu? Merasa tak mampu? Sambut Redi. Begitulah. Seperti yang kau tahu, aku tak pernah berhasil disiplin, barang sehari pun. Jadi sulitlah aku untuk tampil sebagai tokoh yang teguh, sekalipun aku sebenarnya memegang teguh kebenaran dari pemikiran harmoni. Mana ada nabi yang setiap pagi ketiduran. Kau menutup jawabanmu dengan senyum kecil. Botol ke empat kalian buka. Botol terakhir kalian di malam itu. Apakah semua pemikir suka mabuk? Apakah setiap mabuk baru lahir pemikiran yang cemerlang? Entahlah. Aku sedikit terganggu dengan hobi kalian meminum alkohol, itu membuat kalian banyak membual. Tapi, kuakui ada juga daya tarik bertambah, dimana aku merasa adrenalin kalian meningkat. Kenapa harus mabuk? Tanyaku. Aku akhirnya gelisah, setelah tersingkir oleh omongan kalian yang tak karuan. Zaman sudah modern kok bicara nabi? Aku lebih memikirkan tindakan kalian, mabuk-mabukan kalian. Ada sensasi spesial, seakan dunia tanpa batas. Jawabmu dengan tersenyum. Aku menunjukkan wajah kesal, tanda tidak setuju dengan alasan itu, tapi aku memilih diam. Pembicaraanmu dengan Redi berlanjut.

13

Coba gambarkan angan futuristikmu dengan kedatangan sang nabi harmoni. Redi bertanya. Kau jawab, Mmm, saat sang nabi harmoni hadir, serta-merta tercipta kelompok orang yang mengikuti pemikirannya, karena dia memang berkharisma. Mereka hidup sederhana, sebatas kebutuhan, lalu selebihnya menyerahkan diri pada tindak-tindak cinta. Semacam yang dilakukan Mahatma Ghandi, tapi nabi harmoni tidak berlandaskan agama, melainkan berlandaskan kesadaran filsafati tentang hakikat manusia sebagai bagian dari alam. Tindak kekerasan ditentang, ketimpangan atau ketidaksetaraan dilawan, jadi ada juga sedikit kemiripan dengan sosialisme atau komunisme. Memiliki ego alam, meniru sifat alam, itu yang perlu diajarkan sang nabi. Lalu? Lalu, setelah beberapa waktu yang lama, ajarannya menjadi baku. Orang-orang mulai mengenal keinginan-keinginan sebagai hal yang menghancurkan. Sehingga, kehidupan manusia hanya berjalan sesuai kebutuhan, dan selebihnya, diserahkan pada tindak saling mencintai sesama manusia. Hidup yang penuh cinta ya. Hmm, pemikiranmu pasti turunnya dari surga! Hahaha Redi berargumen lalu tertawa keras, kau juga turut tertawa keras. Tawa kalian keras, tawa orang mabuk. Mabuk karena minuman, mabuk juga karena mimpi utopis yang kalian dalami secara serius. Tapi kalau dipikir-pikir, bagus juga konsep nabi harmoni itu. Seperti keberadaan alam, hidup yang seadanya, selebihnya diserahkan pada indah cinta. ***

14

INME

15

Malaikat Pagi
Oleh: Andri E. Tarigan

16

S ejuknya pagi merasuk di sekujur tubuhmu, kau terbangun. Tidurmu semalaman yang paling
hanya berlangsung selama empat jam, terasa nikmat. Memang kau nyenyak sekali tidurnya, mungkin karena efek alkohol yang kau teguk waktu sebelum tidur. Sudah bangun? Tanyaku. Iya. Jawabmu dan kemudian menghadiahiku senyum tipis. Kau melangkah ke teras rumah, posisi dimana keindahan tumbuh-tumbuhan, bungabunga, menghampar di depan mata. Kau berusaha melestarikan ketentraman yang kau dapat sedari bangun tidur tadi. Kesegaran udara dipadukan dengan keindahan visual. Aku memotong kesendirianmu dengan mengajakmu berdialog. Beri aku satu julukan. Kataku. Kau merespon, Maksudnya? Kuperjelas, Ya... julukan. Terserah apa, cukup dua kata. Julukan yang kira-kira bisa membuat dialog yang romantis antara kita. Aku mengatakannya sembari memberikan sebuah kedipan mata. Kau tertawa. Sudah kau menghirup segar, melihat yang indah, sekarang, kuhibur pula kau dengan sedikit rayuan. Kau menyeka matamu, memastikan bahwa kantukmu sudah terpuaskan dan kau siap untuk indah di hari ini. Matamu masih sedikit bengkak. Tapi, walaupun bengkak, sinaran mata dari tatapanmu yang memancarkan kesan manusia yang tak kenal takut, tetap terasa. Tanyamu balik, Mmm, julukan apa saja boleh? Indikatornya apa? Jawabku, Apa saja. Raut wajah berpikir kau pasang. Kemudian kau berkata, Malaikat pagi. Tidak buruk, benakku. Segera aku memainkan peran, seperti yang rencanaku di awal. Aku memainkan peran berdasarkan julukan yang kau berikan kepadaku.

17

Aku menari gemulai di depanmu, dengan mengeluarkan nada-nada lembut dari bibirku, berbentuk gumam dan ucapan na na na na. Aku memasang ekspresi wajah yang kaku namun lembut, dingin namun mempesona. Aku bertingkah layaknya malaikat. Kau memandangku dengan penuh perhatian. Kau tampak terkesima dengan aktingku. Hehe, mari saling menghibur, pikirku. Hei, pemuda. Sedang apa? Merenung? Tampak kau sibuk mencari kebenaran, tak tahukah dirimu bahwa catatan tentang kebenaran sesungguhnya telah diukir di segala sendi dunia? Tanyaku, dengan intonasi ala malaikat, seperti yang biasa dilakonkan pada drama-drama natal. Segala yang tampak, membutakanku. Jawabmu. Tampak kau tertarik dengan pertanyaanku, karena mengandung permainan, permainan yang paling menghabiskan waktumu, permainan otak. Kutanya, Oh pemuda, apa yang kau maksud dengan segala yang tampak? Apakah harta? Tubuh wanita? Megalomania otoriter? Segala yang membangkitkan gejolak kedaginganmu? Kau jawab, Ya. Kataku, Aku akan memberitahumu satu kebenaran, pemuda. Kebenaran yang sesungguhnya telah diseru-serukan oleh mereka yang telah mengenal cinta. Terukir juga di kayu silang, terukir juga pada teratai mekar di atas air. Inilah kebenaran itu, sebuah jalan untuk bahagiamu. Aku menahan ucapanku, sekali lagi melakukan tarian gemulai, tarian yang menyambut suara dari surga. Tak lupa gumam halus bernada kusertakan. Sama sekali tidak erotis, tapi kaya estetika. Hal ini kulakukan demi menyempurnakan pagimu. Kulanjut ucapanku, Asah terus kemampuan berpikirmu, perkuat imanmu, tingkatkan kepedulian sosialmu. Kualitas manusia ditentukan dari apa yang terpancar dari dalam, bukan apa yang terlihat di luar. Kataku bijak. Aku tahu bahwa kalimatku begitu berkhasiat karena raut wajahmu menunjukkan bahwa kau sedang terindahkan. Dan, kau lempar pula sebuah senyuman nakal. Terimakasih, gumamku dalam hati.
18

Get your harmony, malaikat pagi. Katamu sambil menatap dalam-dalam mataku. Aku meresponnya dengan tertawa. Tertawa karena aku teringat kondisimu tadi malam, yang mana kau mabuk dan bicara tak karuan tentang nabi harmoni. Lagi, aku tertawa sebagai pengalihan karena tidak tahan dengan tatapan matamu, itu menggetarkan hati, sungguh! Ketawa? Tanyamu. Tawaku makin keras. Tadinya aku ketawa ala malaikat, sekarang, sudah kulepas peran malaikat pagiku karena terbawa suasana, dan kini kembali menjadi sang gadis, yang tertawa lepas kontrol. Lucu kali kau. Kataku gemas. Aku mencubit lenganmu. Kita berdua terseyum satu sama lain. Aku menghela nafas panjang. Menetralkan tubuhku yang sedikit capai karena menari-nari, dan juga karena tertawa. Sekaligus kulakukan karena nikmatnya udara segar pagi itu. Syukur kuucapkan kepada Dia yang menciptakan bunga-bunga. Kutanya padamu, Kenapa kau memilih julukan malaikat pagi? Salah? Tanyamu balik. Aku nanya... Kataku dengan nada setengah kesal. Sebelum kau berbicara, kehadiran wajahmu, sudah membuatku terindahkan. Sebelum kau menari gemulai, aku sudah merasa nyaman. Tanpa kau tampilkan pun raut wajah dingin, kau sudah memberikan kesejukan. Apalagi, kalau kau bukan disebut malaikat? Dan, setiap melihatmu, aku seperti menemukan awal hariku, aku bersemangat, seakan petualangan telah menantiku dengan liku yang hidup. Kau harus tahu, cinta yang sesungguhnya selalu memberi pagi, selalu memberi harapan baru. Kau dengan serius memberi penjelasan. Kataku, Menyebalkan. Responmu, Hah? ***

19

INME

20

Tiga Setan
Oleh: Andri E. Tarigan

21

M alam itu aku menyaksikan adegan yang begitu mengguncang duniaku. Sebuah kejadian yang
memuakkan! Tak kutahu lagi batas kenikmatan dan ketololan karena logikaku telah sedemikian terobrak-abrik. Sungguh ironis. Inilah, teman-temanku, kalau kau memandang dari sudut yang salah, maka kau pun akan memandang mereka salah. Pandang dari sisi indahnya. Katamu tenang. Apa? Sudut pandang yang salah? Bagaimana mungkin aku berterima dengan perilaku kedua temanmu itu. Mereka gila! Tidak waras! Keduanya lelaki, dan mereka saling berciuman, berpagut bibir! Mesra, dan lama pula. Ini benar-benar gila! Menjijikkan. Aku memalingkan wajahku dari arah mereka, kukatakan kepadamu, Ayo pergi, kita tinggalkan rumah ini, aku sudah mual akut! Aku mengucapkannya ketus. Kau hanya tersenyum. Selang tiga menit, kau baru mengajakku pergi, saat mereka belum selesai sambungmenyambung berciuman, kau pun sepertinya sudah agak muak. Bagaimana pendapatmu tentang mereka? Tanyamu. Kondisiku sudah jauh lebih tenang, rasa mual berkurang. Kini langit malam yang jadi tontonan beserta sepotong bulan sabit yang imut. Ya, cukup imut sehingga aku berhasil berpindah fokus dari ciuman yang menjijikkan, ke bulan sabit yang mungil nan imut. Mereka menjijikkan. Jawabku. Karena? tanyamu lagi. Ya, karena, ya aku gak nyangka mereka berbuat sekonyol itu. Kia, yang dicintai banyak perempuan, Redi, yang memiliki teman hidup yang setia, kenapa mereka? Ah! Jawabku gusar. Katamu, Mereka sedang beribadah. Fokusku rusak. Bulan sabit yang imut, mungil, lucu pun telah tampak memuakkan. Semua yang ada jadi memuakkan! Pemandangan konyol yang tadi kau tambah pula dengan per22

kataan yang sontak membuat emosiku membara. Berhubungan homoseksual kau sebut sedang beribadah? Hei! Jeritku dalam hati. Dengan saling berpagut bibir satu sama lain, mereka saling menolong untuk mencapai kebersatuan. Kebersatuan dengan segala yang ada, kebersatuan dengan Dia. Tambahmu lagi. Aku mencoba berpikir rasional, menentramkan emosiku. Aku memang butuh penjelasan atas hal yang tadi kulihat yang sampai membuatku terguncang. Baiklah, aku harus tenang. Kenapa harus dengan cara itu? Tanyaku, berusaha tenang. Kau jawab, Hal terutama yang banyak diajarkan oleh leluhur-leluhur timur adalah menaklukkan diri. Melawan diri demi penguasaan yang tinggi atas diri. Kalau mereka menurut pada nafsu, jelas hubungan homoseksual itu tidak disukai oleh mereka, secara, mereka berdua bukanlah orang yang mengalami penyimpangan seksual. Tapi mereka melakukan itu, mencoba memasuki kondisi terburuk, melawan hasrat dagingnya, emosionalnya, dan logikanya sendiri, dilakukan agar bertemu dengan Dia. Konyol. Ya, memang konyol. Tapi itu nyata lebih mempermudah mereka menyuburkan cinta dalam diri mereka. Jadi kau pun, ikut homo-homo seperti itu? Tidak. Aku lebih suka menyendiri, mencari kondisi sekosong mungkin sehingga kehadiranNya yang absolut bisa kurasakan, lalu aku berdialog denganNya. Karena, Tuhanku dialektis. Kau tersenyum. Aku tetap mencoba tenang. Saat ini, aku berhadapan dengan orang yang mungkin adalah atheis, sangat mungkin, kalau melihat dari caramu memaknai Tuhan. Padahal, namaNya jangan disebut sembarangan! Jangan menyebut namaNya sembarangan. Kataku.

23

Hei? Kamu reinkarnasi dari guru SMA ku ya? Hahaha, kalian sama, sama-sama menggunakan kalimat itu sebagai alat untuk membatasiku. Hei, sayang, kalau cara seperti ini membuatku lebih bertuhan, why not? Katamu cerewet. Aku kesal, Terserahmulah. Beginilah, terlalu mengikut logika. Jadi sembarangan terhadap Dia, pikirku. Aku mengambil beberapa batu kecil yang terletak di sekitar kakiku. Satu per satu, batu kecil itu kuayun lalu kulempar ke barisan bunga yang ada di hadapan kita. Kau hanya memandangiku. Sudah berapa lama mereka sekonyol itu? Tanyaku, tanpa menoleh ke arahmu. Aku hanya memandangi barisan bunga dan sesekali bulan sabit. Sudah lama, semenjak SMA. Kami sangat tertarik dengan entitas ketuhanan. Kami termasuk orang-orang yang tak sepakat kalau agama dan kitab-kitabnya jadi pengatur hidup manusia. Agama berhak memberitakan kebenaran, tapi bukan mengatur. Dalam pola pikir rasional, menurut kami, agama setara dengan mitos. Hubungannya ke homoseksual? Itu bukan homoseksual, itu merupakan tindakan peniadaan fisik, peniadaan kuasa dunia dalam diri secara ekstrim. Kami sudah mengusahakan berbagai cara, untuk bisa bertemu Tuhan. Ritual doa hapalan, berpuasa, menyanyikan puji-pujian, berbagai cara yang ditawarkan agamaagama, tapi kurang berkhasiat. Kami pun memutuskan membersihkan diri, menempatkan diri sebagai orang yang belum tercemar paham agama, belum tersentuh agama. Kami coba mencariNya, mulai dari nol. Satu-satunya kebenaran yang kami jadikan dasar adalah, Tuhan yang penuh cinta. Hanya itu. Yang kami pilih karena besarnya syukur kami atas segala yang ada. Kalian bertiga, berhati-hatilah, jangan sembarangan, terlalu berani kalian seperti itu. Saranku. Kau melanjut ceritamu, Banyak yang mencium gelagat kami. Mereka risih atas perubahan tingkah laku kami yang tak lagi menurut pada kaidah-kaidah agama. Kami hanya melakukan dan peduli pada tindak-tindak yang menyuburkan cinta. Cinta kepadaNya kami nyatakan bukan
24

dengan ritual keagamaan, melainkan, melalui cinta diri sendiri, cinta sesama, cinta lawan jenis, cinta alam, dan cinta kebijaksanaan, filsafat. Sampai-sampai, teman-teman kami yang tidak mampu berpikir ala kami, menjuluki kami dengan sebutan Tiga Setan. Itu salahkan? Menurutmulah dulu? Dibilang salah sih, aku tak bisa jawab. Butuh kajian yang lebih khusus agar tak sesat menentukan benar salahnya. Tapi, hidup adalah pembelajaran, selaku tiga lelaki yang masih muda dan berpikiran liar, aku rasa kami memang berkesempatan untuk itu. ***

25

INME

26

In Me
Oleh: Andri E. Tarigan

27

A dalah sebuah kebebasan yang mengikatmu. Kebebasan itu tak membiarkanmu disiplin, kau
dipaksa untuk tak mengikut pola apapun, apapun visimu, apapun citamu, kau terlantarkan. Tunggu apa lagi, segera bergerak dan mandi. Saranku. Kau tetap tidur. Beginilah kerjaanmu, seharian di kamar, mengisolasi diri dari mimpimimpi yang layak kau wujudkan. Kau lebih memilih tenggelam dalam fantasi-fantasi yang menurutku kekanak-kanakan. Sudah beberapa hari kau seperti ini, hampir dua minggu. Malas. Biar dulu aku tidur, situasi sangat tepat untuk aku tidur-tiduran. Jawabmu, tanpa membuka mata. Aku merasa tak bermakna melihat kau yang seperti ini, yang tak bergairah. Apa kekacauan yang melandamu? Katakan. Aku mencoba membujukmu. Seakan aku berhasil. Kau mulai membuka mata, duduk, dan kemudian menghela nafas. Aku masih menebak-nebak, apa yang akan kau lakukan. Kita hening. Lalu kau kembali tidur. Heh! Sentakku, kesal. Ayo bangun, jangan membangkai terus dong! Kau bangkit kembali, lalu berkata, Aku ingin menghapusmu. Aku tidak mengerti, tapi perkataanmu entah kenapa tiba-tiba menimbulkan rasa takut yang mendalam. Kenapa aku takut? Perasaan apa ini? Aku bingung. Menghapus? Tanyaku. Kau jawab, Ya, menghapus, maaf. Air mataku menetes. Aku bersedih walau tak mengerti maksudmu. Aku tahu, pasti itu sesuatu yang sangat menakutkan, sekalipun yang kulihat kau menunjukkan ekspresi tenang. Sepertinya kau hendak melakukan sesuatu yang sudah kau pikirkan matang-matang, sesuatu yang semakin menegakkan kebebasanmu. Aku tak tahu apa itu, aku butuh penjelasan.
28

Kau bertanya kepadaku, Menurutmu, siapa dirimu? Darimana asalmu? Siapa namamu? Aku gemetar. Hatiku berdesir. Aku... Tertatih aku mengucap. Aku tak tahu lagi, aku tak mengenal diriku. Ya, sesungguhnya namaku sendiri pun aku tak pernah tahu. Asalku? Tak tahu, aku tak pernah tahu. Aku tak tahu siapa aku! Oh, Aku kosong. Aku merasa hampa. Kau hanya fantasiku. Katamu. Maksudmu? Fantasi. Kau tak nyata. Kau hanya fantasiku. Kau hanya ada di alam pikirku. Segala tentangmu adalah untuk membahagiakanku. Kau bukanlah perempuan seperti Aarde atau lainnya, kau hanya sosok imajiner. Panas dalam diriku membumbung tinggi. Emosiku bergelora, amarahku! Maaf. Katamu lagi. Aku tak bisa berterima. Apa benar aku tak nyata? Hanya penghuni alam pikir? Tidak, tidak mungkin, tidak mungkin aku seperti itu. Kau jahat. Lalu kau jelaskan, Seperti Tuhan yang menciptakan manusia, seperti itulah aku menciptakanmu. Kau ada untuk menjadi pemujaku. Tapi, entah mengapa, aku merasa bosan dengan keberadaanmu. Mungkin karena aku manusia, aku tak bisa berdiam dalam rasa puas. Aku ingin lebih, dan itu akan sempurna jika kau sudah kuhapus. Aku ingin memasuki dunia baru, pencapaian baru. Terjebak keinginan. Itu yang kulihat dalam dirimu. Kau yang sekarang bertentangan dengan kau yang sebelumnya, yang idealis. Bukankah dulu kau bilang, batasi keinginan lalu serahkan diri dalam penuh cinta? Kau mengingkari idealisme. Aku merasakan itu. Kau terjebak keinginan. Kataku. Tanganmu tiba-tiba melayang, menamparku. Tau apa kau tentang itu! Kau marah.
29

Aku terjatuh. Tolong, sadar. Sayang, ada apa denganmu? Seruku, memelas. Pertama, aku terguncang begitu kau bilang bahwa aku hanya mahkluk imajiner. Sedihku memuncak karena tahu itu. Mau tak mau aku memang harus berterima, sebegitulah keadaannya. Dan kini, kau hendak menghapusku? Oh, malangnya aku. Kau hanya diam, tak ada rasa menyesal yang kau tunjukkan. Jahat! Kenapa aku harus ada? Kau tak memikirkan perasaanku? Jeritku hendak menyadarkanmu. Dengan santainya kau menjawab, Kau hanya imajiner, perasaanmu tak perlu dipikirkan. Aku benar-benar tak berdaya. Okelah, aku imajiner, dan kau manusia, nyata. Apakah semua manusia sepertimu? Keji? Palsu? Katamu melanjut, Berbahagialah. Kau pernah ada. Kau bisa tahu seperti apa dunia. Kau pernah merasa, bisa mencinta. Dan kau, merupakan bagian dari syukurku kepada Dia yang kupuja. Dia menganugerahkanku daya cipta, anugerah teragung yang pernah diterima manusia. Logika itu, itu yang menciptakanmu, anugerah teragung itu. Berbahagialah. Kau gila. Kataku. Kini aku tak lagi meneteskan air mata, karena sudah kering, habis. Teramat dalam kesedihanku, dan penjelasan-penjelasanmu membuat kesedihan itu semakin lestari. Sedih itu semakin hidup dan menggerayangiku. Segeralah. Wujudkan inginmu itu. Bunuh aku. Kataku. Ingin aku mengutukmu, baik di hati, maupun di perkataan. Tapi tak ada gunanya, itu hanya akan memperumit yang ada. Aku kini memang sedang sangat membencimu, tapi tetap tak terlupa bahwa aku sebenarnya sangat mencintaimu. Karena memang peranku kau ciptakan adalah untuk mencintaimu. Aku mencintaimu. Kalimat itu terucap dari bibirku tanpa sadar.
30

Kau beranjak, berjalan keluar dari kamar, berbalik arah dariku. Kau meninggalkanku. Aku mencintaimu juga. Berbahagialah. Kau mengucapkannya tanpa menoleh ke belakang. Kau hanya bilang berbahagialah. Kau tak mengucap maaf, kau juga tak mengucap terima kasih. Kau berlalu. Dan pandanganku, semakin kabur, semakin gelap. Dalam tempo beberapa detik semua terasa menghampa. Semua gelap. Aku merasa telah tiada. ***

31

INME
End

(Part 2)

32

Hi! Saya Andri Ersada Tarigan. Terimakasih telah membaca cerpen saya. Semoga mampu mengindahkan alam pikir anda. GYH

33

Anda mungkin juga menyukai