Anda di halaman 1dari 2

Proses berpikir Eka Swadiansa dalam mendesain bertitik tolak dari filosofi termasuk dalam menyikapi tren gaya

dan jargon dalam desain arsitektur. Keinginan untuk menjadi paham dalam menyikapi suatu yang mulanya asing dijawab dengan belajar dari akarnya (filosofinya). Menanggapi tren desain masa kini yang serba green dalam era postmodern, Eka Swadiansa menyimpulkan bahwa yang terpenting dalam desain untuk menjadi lebih green / ramah lingkungan adalah perhatian terhadap foot print. Foot print dalam bangunan adalah pondasinya. Desain yang ramah terhadap lingkungan adalah desain yang tidak banyak mengeksploitasi tanah dalam artian tidak banyak cut and fill, mempertimbangkan prosentase lahan terbuka dan terpakai untuk resapan air, dan lahan untuk penghijauan kembali. Hal yang dimengerti oleh Eka Swadiansa dalam hal green bukan aplikasi tren green yang dipahami akibat pemahaman postmodern = green ( The Green ink case... Green is the new GOD ) (?). Contoh proses belajar Eka Swadiansa dalam hal lain adalah bagaimana generasi masa kini belajar bukan dengan metode dan persepsi yang telah dihasilkan peneliti pendahulu. Dijadikan wawasan bukan dijadikan dasar yang mendasar dalam memulai penelitian masa kini perlu dilakukan. Namun hal yang terpenting adalah kemampuan generasi sekarang membaca kenyataan masa kini, membaca fenomena, peka terhadap isu baik isu sosial, isu lingkungan dan segala jenis isu lainnya. Diumpamakan, kelahiran metode dan persepsi pendahulu jika tidak dikembangkan oleh generasi masa kini dengan konteks kekiniannya yang serba baru dan jelas berbeda dengan fenomena masa lalu menyebabkan ilmu/akademis menjadi stagnan, jalan di tempat sehingga akademisi menjadi tidak mampu turut andil menyelesaikan masalah yang up to date. Eka swadiansa, New theories hanya akan muncul dengan tidak menggunakan metode penelitian lama. Hal penting lain dapat dipelajari dari proses belajar Eka Swadiansa adalah persepsinya mengenai arsitektur dan caranya untuk mempertahankan idealisme dalam berkarya. Arsitektur akan menjadi mempu bersumbangsih banyak terhadap kehidupan sosial dan lingkungan (karena arsitektur sebenarnya berpotensi besar untuk turut memperbaiki keadaan dengan bidang ilmunya yang strategis membuka kerjasama dengan disiplin ilmu lainnya) jika Architecture Trialectics yang terdiri dari pemerintah (aristocrate goverment), capitalist corporate dan civil society (living space, desain partisipatorik) yang dalam istilahnya static city an architecture bekerja sama dan saling membuka diri. Persepsi itulah yang dipegang saat ini oleh Eka Swadiansa dalam berkarya, mencari perusahaan yang

memiliki kesesuaian visi dengannya untuk memulai karir, dan berdikari (berdiri di atas kaki sendiri)/ berwirausaha. Jika disimpulkan, selama ini Eka Swadiansa menghidupi arsitektur dengan kemauannya belajar terus-menerus untuk berkarya dan membina idealismenya dalam berkarya.

Anda mungkin juga menyukai