Anda di halaman 1dari 5

1

PAPER REVIEW: Berdasarkan penelitian yang ditulis oleh Anne Booth ini, terjadi transformasi struktural yang sangat berarti di Indonesia pada akhir masa penjajahan kolonial Belanda. Perkembangan terjadi tidak hanya pada produk ekspor yang sudah berjalan, namun juga terjadi perkembangan pada komoditas-komoditas ekspor baru. Hal ini mendorong terjadinya transformasi pada perekonomian local dari produksi menuju ke infrastruktur dan pertumbuhan permintaan terhadap barang input dan jasa. Sejak akhir tahun 1880-an hingga 1940an, ekspor Indonesia terhadap GDP mengalami volatilitas yang signifikan dimana Indonesia memiliki perekonomian dengan ekspor mayoritas pada tahun 1920an namun menurun drastis pada dekade 1930an sebagai akibat dari depresi yang terjadi di dunia. Namun, setelah itu Indonesia kembali bangkit walaupun selama perjalanan hingga 4 dekade kemudian Indonesia tidak lagi memainkan peranan mayor pada ekspor tetapi hanya sebagai minoritas eksportir dari ekspansi perdagangan dunia.

Grafik 1. Sumber: Exports: CEI, Vol. 12a, Tabel 2B, nominal GDP data dari Pierre van der Eng.

Dua abad terakhir ini juga menggambarkan perubahan pada komposisi komoditas perdagangan Indonesia. Indonesia menetapkan diversifikasi usaha dimana pengusaha kecil juga turut andil dalam proses produksi dari banyak komoditas ekspor sehingga ekspor tahun 1930an didominasi oleh kopi, rempah, dan karet. Arah perdagangan juga semakin berubah dimana pada 1860an, 90% ekspor Indonesia dikirim ke Belanda. Namun, dari tahun 1870an hingga 1920an terjadi perubahan yang terjadi secara terus-menerus dimana Belanda bukan lagi importir utama hasil ekspor Indonesia. Belanda hanya menerima 16% dari total ekspor Indonesia. Adapun dari sisi impor, porsi Belanda juga menurun secara berkala. Pada tahun 1920an, Eropa masih memegang peranan penting sebagai eksportir barang ke Indonesia, namun setelah perang dunia pertama berakhir dan dibukanya jalur trans-pasifik, ketergantungan Indonesia pada Eropa menurun dan digantikan dengan ketergantungan impor Indonesia dari Amerika Serikat. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya permintaan untuk modal dan barang konsumsi yang diproduksi AS. Tetapi, pada dekade 1920an terjadi perkembangan yang besar pada salah satu negara Asia yaitu Jepang yang mempengaruhi perdagangan Indonesia. Indonesia mulai mengimpor barang-barang kebutuhan dasar seperti pakaian dari Jepang karena biaya produksi yang murah di Jepang sehingga Jepang dapat menyediakan barang ekspor dengan lebih murah. Hal ini dikarenakan perkembangan teknologi baru yang berimbas pada penurunana biaya produksi (Sugiyama 1994: 67). Selain itu, depresiasi pada mata uang yen juga mempengaruhi hal ini. Pada waktu yang bersamaan, ekspor Indonesia ke Jepang menurun karena imbas berkembangnya industry gula di Taiwan. Untuk menghadapi banjirnya barang impor dari Jepang, pada tahun 1930an pemerintah kolonial menetapkan peraturan tariff dan kuota yang akan mengarahkan impor Indonesia menjauh dari barang-barang murah di Jepang dan kembali pada kebutuhan impor dari Belanda. Hal ini menyebabkan keruntuhan ekspor Jepang ke Indonesia pada dekade tersebut. Barang yang tidak dikenai kuota, dikenakan tariff dengan maksimal 20% dan barang-barang seperti liquor dan tembakau dikenakan tariff khusus. Pembatasan ini menyebabkan penurunan signigikan sebesar 40% dari keseluruhan impor dengan 14% diantaranya diakibatkan oleh sistem kuota tersebut. Ideologi perdagangan bebas sejak tahun 1870an dianggap tidak berhasil dan diacuhkan karena intervensi pemerintah melalui berbagai sistem dan pengawasan terhadap harga barang impor ekspor.

ANALISIS PAPER PENDUKUNG: Menurut Hayakawa dan Kimura (2009), pada perdagangan bebas di Asia Tenggara, volatilitas nilai tukar mata uang lebih memiliki efek negatif dibandingkan dengan tariff dan biaya yang berhubungan dengan jarak pengiriman. Hal ini didukung pula oleh Siregar dan Rajan (2003) yang mengatakan bahwa volatilitas nilai tukar sangat mempengaruhi proses ekspor impor di Indonesia. Volatilitas nilai tukar yang meningkat dapat memberikan dampak yang negatif terhadap performa ekspor Indonesia pada sektor perdagangan dan merupakan ancaman utama dalam ekonomi berkembang. Dari hasil penelitian ini dan apabila dihubungkan dengan penelitian Anne Booth sebelumnya, maka penetapan tariff oleh pemerintah kolonial Belanda dengan maksud untuk menekan laju impor barang dari Jepang tidak terlalu memiliki efek negatif terhadap pengurangan jumlah impor (hanya 14% dari 40% penurunan yang jelas-jelas disebabkan oleh penetapan tariff). Penetapan tariff dan kuota dapat ditopang dengan depresiasi yen terhadap standar emas yang memicu devaluasi yen terhadap standar tersebut (Booth 1994: Tabel 6.8). Hal ini menyebabkan nilai yen yang stabil rendah sehingga masih mendukung Jepang untuk memberikan ekspor dalam harga yang murah. Selain itu, perkembangan ekspor Jepang juga didukung oleh permintaan eksternal dari luar negeri yang meningkat yang juga didukung oleh perkembangan teknologi yang memungkinkan Jepang untuk memproduksi barang ekspor dalam harga murah. Perkembangan ini sangat terlihat pada pertengahan dekade 1980an hingga 1990. Jepang juga unggul sebagai importir kepada Indonesia dikarenakan faktor geografis yang lebih dekat dari Amerika Serikat dan kemampuan Jepang secara geografis internal dimana Jepang memiliki banyak akses pelabuhan untuk pengiriman barang (Redding and Venables, 2003).

TINJAUAN KASUS DI INDONESIA, KESIMPULAN, DAN SARAN: Berdasarkan proses transformasi struktural dengan teori Model Dua Sektor yang dikembangkan oleh W.A Lewis, maka transformasi struktural di Indonesia pada dua abad terakhir ini telah menjalankan proses akumulasi dimana terjadi pemanfaatan sumber daya manusia yang bergerak di bidang usaha kecil untuk turut meningkatkan hasil produksi untuk ekspor Indonesia yang telah terdiversifikasi jenisnya. Proses akumulasi ini diikuti dengan proses alokasi yang dapat dilihat dari naiknya ekspor Indonesia dari tahun 1880an hingga 1950an dengan sedikit penurunan pada 1930an akibat depresi dunia. Kenaikan pada ekspor yang menyebabkan peningkatan pada pendapatan per kapita rakyat Indonesia diikuti dengan peningkatan kebutuhan barang impor yang pada dekade 1920an didominasi oleh pasar Amerika Serikat dan Jepang. Jepang lebih mendominasi karena telah berhasil melakukan perkembangan teknologi dan menghasilkan barang ekspor non-makanan dengan harga murah. Barang yang diekspor oleh Jepang ke Indonesia antara lain pakaian, perlengkapan rumah tangga, dan sepeda.

DAFTAR PUSTAKA: Booth, Anne. 1998. The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Centuries: a History of Missed Opportunities. Palgrave Macmillan: 202-243. Hayakawa K, Kimura F. 2009. The effect of exchange rate volatility on international trade in East Asia. Journal of the Japanese and International Economies Vol. 23, Issue 4: 395-406. Redding S, Venables AJ. 2003. South-East Asian export performance: external market access and internal supply capacity. Journal of the Japanese and International Economies Vol. 17, Issue 4: 404-431. Siregar R, Rajan RS. 2004. Impact of exchange rate volatility on Indonesia's trade performance in the 1990s. Journal of the Japanese and International Economies Vol. 18, Issue 2: 218-240.

Anda mungkin juga menyukai