Anda di halaman 1dari 23

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Istilah perencanaan bahasa seringkali diidentikkan dengan konteks dunia ketiga sebagai alat untuk menciptakan standar bahasa nasional yang merupakan bagian dari proses modernisasi dan nation building. Padahal sebenarnya perencanaan bahasa tidak hanya terjadi pada dunia ketiga dan bukan semata-mata hanya merupakan alat untuk menciptakan bahasa nasional standar. Perencanaan bahasa mencakup sesuatu yang lebih luas daripada hanya sekedar menciptakan bahasa nasional standar. Perencanaan bahasa tidak hanya dapat dikerjakan dalam suatu level nasional. Hal ini juga dapat dilakukan oleh suatu etnik, agama, atau kelompok yang terdiri dari orangorang yang memiliki suatu profesi tertentu. Perencanaan bahasa ini juga bisa dilakukan dengan melibatkan lebih dari satu negara (dalam tingkat pemerintahan maupun nonpemerintahan) atau dalam suatu organisasi atau konferensi internasional maupun regional. Dalam tingkat pemerintahan, perencanaan bahasa akan mengambil bentuk sebagai suatu kebijakan bahasa. Dalam tingkat non-pemerintahan, perencanaan bahasa akan dilakukan oleh suatu organisasi, seperti SIL International yang melakukan aktivitas untuk beberapa perencanaan bahasa di beberapa tempat di dunia, khususnya untuk daerah yang belum mengenal bahasa tulis. Perencanaan bahasa tersebut sangat diperlukan untuk memecahkan berbagai masalah kebahasaan. Neustupny (1970) (dalam Moeliono 1981:6) mengungkapkan masalah bahasa timbul akibat adanya

ketidakpadanan atau ketidakekuatan dalam bahasa. Ketidakpadanan yang pertama menyangkut ragam bahasa tertentu di dalam masyarakat, sedangkan ketidakpadanan kedua bertalian dengan penggunaan bahasa orang seorang.

1.2 Rumusan Masalah Bertitik tolak dari latar belakang yang dikemukakan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Hal-hal apa saja yang harus diperhatikan dalam perencanaan bahasa? 2. Apa sajakah bidang kajian perencanaan bahasa? 3. Bagaimanakah perencanaan bahasa indonesia? 4. Hal-hal apakah yang harus diperhatikan dalam pembakuan bahasa? 5. Bagaimanakah pemodernan bahasa?

1.3 Tujuan Penelitian Penelitian yang berbentuk ilmiah sudah tentu dilandasi dengan tujuan yang ingin dicapai, sebab berhasil tidaknya suatu penelitian ditentukan oleh jelas tidaknya tujuan penelitian itu sendiri. Tujuan merupakan syarat yang mutlak yang harus ada dalam penelitian. Penelitian yang baik adalah penelitian yang tidak saja berhasil mengungkapkan masalah dan mencari solusi atau pemecahan dari permasalahan tersebut, akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana hasil dari penelitian ini memiliki daya efektif untuk mencapai sasaran dan tujuan. Setiap kegiatan yang dilakukan dibuat suatu perencanaan yang matang, sehingga dalam pelaksanaannya dapat meminimalkan hambatan yang akan ditemui serta hasil yang akan dicapai sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Demikian pula dengan penelitian ini sudah tentu memiliki tujuan yang hendak dicapai. Adapun tujuan dari penelitian ini meliputi dua tujuan pokok, yaitu tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus.

1.3.1 Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan sebagai salah satu persyaratan untuk memenuhi tugas mata kuliah Berbicara. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk dapat memberikan sumbangan pemikiran serta memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan dalam bidang bahasa indonesia tentang

perencanaan bahasa.

1.3.2 Tujuan Khusus Adapun tujuan secara khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini sesuai dengan rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui hal-hal apakah yang harus diperhatikan dalam perencanaan bahasa. 2. Untuk mengetahui apa sajakah bidang kajian perencanaan bahasa. 3. Untuk mengetahui bagaimanakah perencanaan bahasa indonesia. 4. Untuk mengetahui hal-hal apakah yang harus diperhatikan dalam pembakuan bahasa. 5. Untuk mengetahui bagaimana pemodernan bahasa.

1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penulisan penelitian ini adalah dapat menambah wawasan tentang perencanaan bahasa dan menambah keterampilan penulis dalam menulis sebuah karya ilmiah.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Bahasa dan Fungsi Bahasa Di dalam mendefinisikan bahasa, para sarjana bahasa dari aliran strukturalitas menggunakan fungsi atau tugas sebagai salah satu fitur (raut, serat) pembedanya. Di dalam definisi itu disebutkan bahwa bahasa ialah Sistem simbol lisan yang arbitraris, dengan mana anggota masyarakat saling berkomunikasi. Jadi, menurut para ahli bahasa dalam kelompok struktural itu, tugas bahasa memang untuk berkomunikasi. Fungsi bahasa ialah untuk saling berinteraksi, untuk saling bertanya-jawab, saling berpadah (memberi tahu), menyahut, untuk menyuruh, melarang, menolak, meminta dan berseru. Tetapi apakah komunikasi itu adalah satu-satunya bahasa yang harus disandang oleh bahasa? Adakah kiranya tugas-tugas lain yang harus dijalankannya. Kalau ada, tugas apakah itu? Kalau masalah tugas ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa bahasa selalu memiliki variasi-variasi, maka tugas tambahan ini menjadi jelas kentara. Tugas variasi tutur di dalam masyarakat monolingual sering kelihatan jelas. Tugas varisai tutur seperti dialek, ragam, unda-rusuk (tingkat tutur), dll. Sering dapat diamati dengan mudah. Dialek dapat dijadikan alat untuk mengenali asal-usul seseorang penutur. Unda-usuk melambangi hubungan antara si penutur dengan mitra bicara, apakah akrab atau berjarak, dan apakah saling menghormat atau tidak. Ragam melambangi warna situasi percakapan. Register maksud melambangi maksud yang ingin disampaikan oleh penutur kepada orang yang diajak bicara dan seterusnya. Di dalam masyarakat bilingual atau multilingual, tugas yang disandang oleh variasi tutur itu sering disandang oleh bahasa-bahasa yang ada di dalam perbendaharaan bahasanya.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa fungsi bahasa serta variasivariasinya antara lain ialah sebagai berikut : 1. Register sebagai Penyampai Maksud Dikatakan bahwa bahasa ialah alat untuk berkomunikasi. Berkomunikasi pada dasarnya ialah menyampaikan maksud. Maksud itu ada bermacam-macam, ada yang bersifat instinctive dan ada juga
yang bersifat manusiawi. Yang bersifat instinctive ialah komunikasi seperti yang dijalankan oleh hewan, yang biasanya bersifat emotive (berseru, mengelu, menyatakan rasa lega, meneriakkan perintah atau larangan). Yang bersifat manusiawi ialah komunikasi yang berbentuk bertanya, menjawab, memberitahu, menanggapi. 2. Ragam sebagai Penyampai Rasa Santun Masyarakat yang hanya mempunyai satu bahasa menggunakan ragam tutur untuk membedakan situasi yang resmi, tidak resmi, indah dan sakral. Dalam keadaan santai, ragam informal dipakai. Dalam suasana resmi, ragam formal dipakai. Dalam situasi yang indah romantis, ragam susastra dipakai. Dalam situasi sakral, ragam sakral dipakai. Ragam formal sering berbentuk sama dengan apa yang dinamakan bahasa baku atau ragam bahasa standar. Ragam informal kadang-kadang terdiri dari dialek bahasa yang sama, tetapi yang bukan baku. Kadang-kadang juga, ragam informal itu terdiri dari penyantaian bahasa standar itu. Katakatanya sering tidak diucapkan secara penuh, aturan tata kalimatnya sering tidak ketat, kata-kata yang teknis sering diganti dengan kata-kata yang umum saja. (Poedjosoedarno, 1978). 3. Tingkat Tutur sebagai Penyampai Rasa Hormat Di dalam masyarakat, orang yang satu harus berhubungan dengan orang yang lain. Orang lain ni barangkali ayahnya sendiri, adiknya, tetangganya, teman sekelasnya, kenalan baru, atau orang lain yang kebetulan berpapasan di jalan. Di dalam relasi ini orang dituntut menentukan sikapnya, yaitu akan menganggap lawan tutur sebagai orang yang perlu dihormati atau tidak. Orang lain itu perlu dipastikan dalam jaringan hubungannya dengan si penutur. Kalau dia adalah orang yang seharusnya kita hormati, maka harus kita hormatilah dia. Kalau orang itu tidak kita hormati, maka akan marahlah dia, atau akan marahlah orang lain kepada kita. Kalau orang lain itu

mempunyai status yang rendah, maka tak perlulah dia kita hormati. Kalau kita hormati maka akan ditertawakan oranglah kita. 4. Idiolek sebagai Penanda Identitas Diri Setiap pribadi, karena keadaan fisik dan kejiawaannya yang

unik,mempunyai idiolek-nya sendiri-sendiri. Walaupun aturan sintaksis, morfologi dan fonologi itu seragam, tetapi setiap orang mempunyai gaya bicaranya masing-masing. Setiap orang mempunyai kecenderungannya sendiri-sendiri di dalam memilih dan menggunakan berbagai cara mengucapkan bunyi. Setiap orang mempunyai keanehan-keanehannya sendiri di dalam cara membentuk kata dan kalimat, cara menaati sopan santun bahasa dan memilih ragam dan tingkat tutur, cara mengacu kepada orang yang dipercakapkannya, cara mengorganisasikan wacananya, cara

menyalurkan isi kejiwaannya. Tentu saja setiap pribadi itu sangat dipengaruhi oleh idiolek-idiolek yang lain. Akan tetapi, bagaimanapun dia itu ialah pribadi yang unik sehingga pada akhirnya idiolek itu pun berwujud lain dari yang lainnya. 5. Dialek dan Rasa Solidaritas Kalau indentitas seorang individu ditandai oleh idiolek, maka identitas kelompok anggota masyarakat tertentu ditandai oleh dialek. Dalam masyarakat bilingual atau multilingual, kelompok itu bahkan ditandai oleh bahasa. Bahasa atau dialek memang dapat dipakai sebagai tanda dari mana orang berasal. Segi apanyakah yang dapat dipakai sebagai tanda itu? Segi cara mengucapkan bunyi-bunyi konsonan atau vokal atau intonasi kalimatnya. Mungkin juga perbedaan dalam bentuk kata serta istilah yang terpakai. Ada juga perbedaan dalam idiom atau ungkapan-ungkapan tertentu. Atau perbedaan dalam strategi bercakap secara keseluruhannya. 6. Standarisasi sebagai Penopang Rasa Kemandirian Berhubungan erat dengan fungsinya sebagai pemupuk rasa solidaritas, bahasa juga dapat dipakai sebagai alat penunjang rasa kemandirian bangsa. Rasa kemandirian ini biasanya ditentukan oleh pemilikan bahasa yang mempunyai standarnya sendiri. Kalau si bangsa itu mempunyai bahasa yang bermartabat tinggi di negerinya sendiri, maka bangsa itu biasanya juga merasa menjadi tuan di negerinya sendiri. Tetapi kalau bahasa yang dipakainya itu hanyalah dialek dari bahasa lain, maka bangsa itu sering

merasa tergantung pada bangsa yang memiliki bahasa yang ada standarnya itu. Sebetulnya, yang terpenting di dalam rasa kemandirian ini ialah adanya kebebasan bangsa itu di dalam menentukan standar bahasa itu, sistem tulisannya, tata kalimatnya, idiom-idiomnya, nilai-nilai kesopanan serta keindahan di dalam bahasa itu, dan selanjutnya dapat memakai bahasa itu secara natural untuk mengekspresikan diri dan menciptakan apa saja yang ingin mereka ciptakan tanpa berkiblat pada bangsa yang mana pun. 7. Genere sebagai Pengaman Kejiwaan Melalui variasi bentuknya yang sesuai dengan warna perasaan yang ada pada seorang individu, bahasa juga dapat dipakai sebagai penyalur tekanan jiwa. Dalam hidupnya, seorang individu sering dirundung perasaan yang berat, pikiran yang mendalam, serta keinginan mengerjakan sesuatu yang keras. Kalau saja hal-hal yang merundung itu dapat diekspresikan, kadangkadang orang lalu akan merasa lega. Tekanan perasaan dan lain-lain. Itu pun menjadi berkurang. Tetapi sebaliknya, kalau hal itu tidak dikatakan kepada orang lain, kalau hanya ditahan saja dalam diri sendiri, letupan emosi yang keras pun dapat timbul. 8. Bahasa sebagai Cermin Kebudayaa Ada pepatah bahasa Melayu yang berbunyi bahasa menunjukkan bangsa. Maksudnya antara lain ialah bahwa ada kesopanan yang terkandung di dalam bahasa itu sering mencerminkan tingginya peradaban suatu bangsa, atau tingginya martabat seseorang. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ada beberapa hal dari bahasa itu yang dapat dipakai untuk menandai maju dan mundurnya kebudayaan suatu bangsa. Perbendaharaan unsur fonologi dan morfosintaksis kiranya tak dapat dipakai sebgai cermin kebudayaan itu. Tetapi perbendaharan kata dan idiom yang jelas mencerminkan ide dan pengalaman-pengalaman yang pernah dan sedang dihayati oleh suatu bangsa.

2.2 Definisi dan Tujuan Perencanaan Bahasa Isitlah perencanaan bahasa atau language planning pertama kali diperkenalkan oleh Haugen dalam Moeliono (1985: 5). perencanaan bahasa adalah suatu usaha untuk membimbing perkembangan bahasa ke arah yang diinginkan oleh para perencana. Perencanaan tidak semata-mata

meramalkan masa depan berdasarkan apa yang diketahui pada masa lampau, tetapi perencanaan tersebut merupakan usaha yang terarah untuk mempengaruhi masa depan itu. Usaha-usaha tersebut misalnya

menyiapkan ortografi, penyusunan tatabahasa dan kamus yang normatif sebagai panduan untuk penulis dan pembicara dalam suatu komunitas bahasa yang tidak homogen (Cooper, 1989:29, Moeliono, 1981:5). Hal yang serupa juga dipaparkan oleh Goman dalam Moeliono (1985: 7), yang menyebutkan bahwa perencanaan bahasa ialah tindakan koordinatif yang diambil untuk memilih , mengkodifikasi, dan kadangkadang juga mengembangkan aspek tata ejaan, tata bahasa, atau lekiskon bahasa, dan menyebarkan bentuk-bentuk yang disetujui itu di kalangan masyarakat. Sedangkan menurut Alwasilah (1986: 106-107) Perencanaan bahasa adalah perubahan bahasa yang disengaja, yaitu perubahan dalam sistem-sistem kode bahasa atau ujaran atau kedua-duanya yang direncanakan oleh organisasi-organisasi yang didirikan untuk tujuan itu. Perencaan bahasa mengacu pada seperangkat kegiatan yang disengaja, dirancang secara sistemik untuk mengorganisir dan mengembangkan sumber-sumber bahasa dalam waktu yang direncanakan. Dalam (http://id.wikipedia.org/wiki/Perencanaan_bahasa)

Perencanaan bahasa adalah suatu usaha untuk memengaruhi fungsi, struktur, atau penyerapan satu bahasa atau jenisnya di dalam sebuah pembicaraan masyarakat. Tujuan perencanaan bahasa bergantung pada bangsa atau organisasi, tapi umumnya meliputi memara buat keputusan perencanaan dan perubahan yang mungkin demi keuntungan komunikasi.

Merencanakan atau memperbarui komunikasi yang efektif juga bisa membawa kepada perubahan sosial lainnya seperti perpindahan bahasa atau asimilasi, dan memberikan motivasi lain untuk merencanakan struktur, fungsi dan penyerapan bahasa. Selain itu tujuan perencanaan bahasa adalah untuk mempertahankan bahasa asli negara tersebut, agar tidak tergerus oleh bahasa asing yang masuk.

2.3 Bidang-bidang Kajian Perencanaan Bahasa Perencanaan bahasa dapat dibagi menjadi tiga dimensi yaitu corpus planning dan status planning, dan acquisition planning. Penjelasan mengenai ketiga dimensi tersebut adalah sebagai berikut.

2.3.1 Corpus Planing Corpus planning mengacu pada intervensi terhadap suatu bahasa. Hal ini mungkin diperoleh dengan cara menciptakan kosakata baru, memodifikasi yang lama, atau menyeleksi bentuk-bentuk alternatif. Corpus planning bertujuan untuk mengembangkan sumber-sumber suatu bahasa, sehingga bahasa tersebut dapat menjadi media yang tepat untuk suatu komunikasi untuk suatu bentuk dan topik wacana yang baru, dengan dilengkapi dengan istilah-istilah yang diperlukan untuk suatu urusan adminsitrasi, pendidikan, dan lain-lain. Corpus planning seringkali berhubungan dengan standardisasi sebuah bahasa yang meliputi persiapan untuk sebuah ortografi, tatabahasa, dan kamus yang normatif sebagai panduan bagi penulis dan pembicara dalam suatu komunitas bahasa. Usaha dalam pemurnian bahasa dan penghilangan kosakata asing dalam suatu bahasa juga termasuk dalam corpus planning, seperti juga pembaruan pelafalan dan pengenalan sistem tulisan yang baru. Untuk bahasa-bahasa yang sebelumnya tidak memiliki bahasa tulis, langkah pertama yang harus diambil dalam corpus planning adalah pengembangan sistem penulisan

2.3.2 Status Planing Status planning mengacu pada usaha-usaha untuk mempengaruhi pengalokasian fungsi-fungsi suatu bahasa di dalam suatu komunitas bahasa. Biasanya pengalokasian fungsi-fungsi bahasa tersebut terjadi secara spontan, tetapi tentu saja ada beberapa yang terjadi sebagai hasil dari sebuah perencanaan. Beberapa usaha yang termasuk ke

dalam status planning, misalnya pemilihan status, pembuatan sebuah bahasa yang khusus, menentukan berbagai bahasa resmi, bahasa nasional, dan lain-lain. Seringkali usaha ini akan menaikkan derajat sebuah bahasa atau dialek menjadi suatu ragam yang bergengsi dalam suatu persaingan antardialek. Penentuan status bahasa dalam status planning disesuaikan dengan fungsi-fungsi yang dimiliki oleh bahasa tersebut, misalnya sebagai alat komunikasi masyarakat, sebagai bahasa nasional, dan lain-lain. Daftar fungsi-fungsi bahasa yang cukup terkenal adalah daftar yang dibuat oleh Stewart (1968) dalam diskusinya mengenai multibahasa nasional yang meliputi official, provincial, wider communication, international, capital, group, educational, school subject, literary, dan religious (dalam Cooper, 1989: 99-118). Menurut Cooper (1989), suatu bahasa dapat dikatakan berfungsi sebagai bahasa resmi (official) jika bahasa tersebut : 1. ditetapkan secara hukum oleh pemerintah sebagai bahasa resmi. 2. dipergunakan oleh suatu pemerintahan untuk aktivitas sehariharinya. 3. dipergunakan oleh pemerintah untuk tujuan simbolis. Secara singkat ketiga hal tersebut secara berurutan dapat dikatakan sebagai bahasa resmi dengan tipe statutory, working, simbolyc. Suatu bahasa bisa jadi berfungsi secara resmi dalam semua atau beberapa tipe ini. Sebagai contoh adalah kedudukan bahasa Inggris, Hebrew, dan Arab di Israel. Pada tahun 1922 saat Inggris mendapat mandat dari League of Nations untuk mengatur Palestina, Inggris menetapkan bahwa bahasa resmi di negara tersebut adalah bahasa Inggris, Hebrew, dan Arab. Namun saat Israel berdiri sebagai negara tersendiri pada tahun 1948, maka hukum yang dibuat Inggris tidak berlaku dan mereka menetapkan bahwa bahasa resmi di negaranya adalah Hebrew dan Arab. Walaupun kedua bahasa ini memiliki status yang sama di mata hukum, tetapi Hebrew terlihat jelas sebagai

10

bahasa yang mendominasi dalam kegiatan pemerintah sehari-hari. Walaupun status bahasa Inggris sebagai bahasa resmi tidak lagi dilindungi oleh hukum, tetapi bahasa tersebut tetap digunakan dalam berbagai fungsi pemerintahan. Sebagai contoh, uang kertas, koin, perangko tetap dicetak dalam bahasa Inggris sama seperti bahasa Hebrew dan Arab. Selain itu, publikasi pemerintahan seperti laporan yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik pun dicetak dalam dua bahasa, yaitu bahasa Hebrew dan Inggris; tanda-tanda lalu lintas ditulis dalam bahasa Hebrew dan Inggris. Di lain pihak, transaksi yang dilakukan oleh Knesset (Parlemen Istrael) dikeluarkan dalam bahasa Hebrew dan Arab, tetapi hanya judul bab-nya saja yang dicetak dalam bahasa Inggris (Fisherman, 1972 dalam Cooper, 1989). Fungsi provincial menunjukkan bahwa suatu bahasa berfungsi sebagai bahasa resmi dalam tingkat propinsi atau regional. Fungsi bahasa tidak lagi meliputi tingkat nasional, melainkan terbatas hanya pada suatu daerah geografi yang lebih kecil. Wider communication menunjukkan fungsi sebuah bahasa (selain yang sudah memiliki fungsi official dan provincial) yang dominan sebagai sebuah media komunikasi yang melewati batas-batas bahasa dalam suatu bangsa. International mengacu pada fungsi suatu bahasa (selain yang sudah memiliki fungsi official dan provincial) sebagai suatu alat komunikasi utama dalam tingkat internasional, misalnya untuk hubungan diplomatik, perdagangan luar negeri, pariwisata, dan lainlain. Capital mengacu pada fungsi suatu bahasa (selain yang sudah memiliki fungsi official dan provincial) sebagai suatu alat komunikasi yang umumnya digunakan dalam suatu wilayah ibu kota negara. Group fungsi suatu bahasa utama sebagai suatu alat komunikasi yang biasa digunakan di antara anggota suatu kebudayaan atau

11

kelompok etnik seperti suku bangsa, kelompok imigran dari luar negeri, dan lain-lain. Educational mengacu pada fungsi suatu bahasa (selain yang sudah memiliki fungsi official dan provincial) sebagai suatu media pendidikan primer atau sekunder baik dalam tingkat regional maupun nasional. School subject adalah suatu bahasa (selain yang sudah memiliki fungsi official dan provincial) yang umumnya diajarkan sebagai suatu mata pelajaran dalam pendidikan tingkat menengah dan/atau tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Literary adalah penggunaan suatu bahasa yang utama untuk tujuan penulisan atau ilmiah. Religious adalah penggunaan suatu bahasa yang utamanya digunakan dalam hubungannya dengan suatu ritual atau suatu agama tertentu.

2.3.3 Acquistion Planing Acquisition planning menitikberatkan pada pengajaran dan pembelajaran bahasa, baik itu bahasa nasional, bahasa kedua atau bahasa asing. Hal ini meliputi usaha-usaha untuk mempengaruhi jumlah pengguna dan distribusi suatu bahasa dan aksaranya yang didapatkan dengan membuat suatu kesempatan dan insentif untuk mempelajari bahasa yang bersangkutan. Acquisition planning berhubungan langsung dengan penyebaran suatu bahasa. Hal ini biasanya dilakukan oleh suatu badan yang bertanggung jawab terhadap pengembangannya baik dalam tingkat nasional, regional, atau lokal seperti British Council, Alliance Francaise, Goethe Institut, Japan Foundation, dan lain-lain.

12

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Proses Perencanaan Bahasa Dalam perencanaan bahasa akan melalui beberapa proses seperti pembakuan bahasa dan pemodernan bahasa. Berikut ini penjelasan mengenai pembakuan bahasa dan pemodernan bahasa.

3.1.1 Pembakuan Bahasa Pembakuan atau standardization adalah satu proses yang berlangsung secara bertahap; tidak sekali jadi. Pembakuan adalah juga sikap (attitude) masyarakat terhadap satu ragam bahasa, dan dari psikologi sosial kita mengetahui bahwa sikap masyarakat akan selalu berproses tidak sebentar. Dalam (Alwasilah, 1990) Pada pokoknya proses standardisasi itu mengalami tahap-tahap sebagai berikut : 1. Pemilihan (selection). 2. Kodifikasi (codification). 3. Penjabaran fungsi (elaboration of function). 4. Persetujuan (acceptance).

3.1.1.1 Pemilihan (Selection) Satu variasi atau dialek tertentu akan dipilih untuk kemudian dikembangkan menjadi bahasa baku. Ragam atau variasi tersebut bisa berupa satu ragam yang telah ada, misalnya yang dipakai dalam kegiatan-kegiatan politik, sosial atau perdagangan; dan bisa merupakan campuran dari berbagai ragam yang ada. Bisa saja yang dipilih itu adalah ragam yang belum merupakan bahasa pertama bagi masyarakat ujaran di negeri itu. Israel memilih bahasa klasik (clasical Hebrew),

13

seperti halnya Indonesia memilih satu variasi pidgin bahasa Melayu. Sebagaimana kita maklumi bahwa bahasa Indonesia dan bahasa Melayu di Malaysia sekarang berasal dari bahasa yang sama, yang sebelum tahun 1928 disebut Malay (Melayu). Kedua bahasa di atas dipengaruhi Hindu dan Arab. Penjajahan Inggris di Malaysia dan Belanda di Indonesia membawa warna tersendiri dan memperlebar perbedaan keduanya dan

perkembangan intern keduanya telah membawa perbedaan dalam ortografi kedua bahasa tersebut. Dengan lahirnya Sumpah Pemuda (1928) maka bahasa Melayu tadi secara resmi dipilih menjadi bahasa nasional Indonesia yang sekarang menjadi bahasa pertama dari kurang lebih 15 juta penutur, padahal bahasa Jawa dipakai oleh 40.000.000 penutur dan Sunda oleh lebih dari 20.000.000 penutur (Alisyahbana 1967:181). Di sini kita melihat bahwa jumlah penutur satu bahasa tidak jadi alasan untuk memilih bahasa tersebut sebagai bahasa nasional. Ini adalah satu bukti bahwa jumlah besar pemakai bahasa tidak merupakan faktor yang menentukan dalam pemilihan bahasa nasional. Bahasa yang telah mempunyai sastra yang bermutu tinggi dan sudah serba lengkap seperti bahasa Jawa, dikalahkan oleh bahasa yang masih serba sederhana. (Slametmuljana 1959:12,13).

3.1.1.2 Kodifikasi Asal katanya code, kata kerjanya to codify, kata bendanya codification, yaitu hal memberlakukan suatu kode atau aturan kebahasaan untuk dijadikan norma dalam berbahasa oleh masyarakat. Kodifikasi ini meliputi : 1. 2. ortografi (ortography). pengucapan atau lafal (pronunciation).

14

3. 4.

tata bahasa (grammar). peristilahan (terminology). Badan atau lembaga tertentu biasanya ditunjuk untuk

terlaksananya kodifikasi ini. Lembaga ini menyusun kamus, buku tata bahasa dengan berpedoman pada kode atau variasi yang akan dimasyarakatkan, sehingga setiap orang mempunyai acuan aturan bahasa yang benar. Setelah kodifikasi ini dibentuk, maka warga negara yang berpendidikan akan mempelajari atau ingin mempelajari bentuk bahasa yang benar dan menghindari yang tidak benar, walaupun yang tidak benar kadang-kadang ragam bahasanya sendiri. Tentu saja

pemerolehan atau penguasaan (acquisition) ini berlangsung lama, yaitu memakan waktu karir pendidikan atau sekolahnya.

3.1.1.3 Penyebaran Fungsi (Elaboration of Function) Apa yang dikodifikasikan itu tidak akan memasyarakat tanpa adanya penjabaran (elaboration) fungsi ragam yang sudah standar itu. Peran pemerintah sangat luar biasa dalam penjabaran fungsi ini. Pemakaian bahasa di parlemen, pengadilan, lembaga-lembaga pemerintah, dokumen-dokumen pemerintah, pendidikan dan berbagai literatur lainnya sangat menunjang proses yang dimaksud. Demikian pula para pawang, guru, pengarang, wartawan, penyiar dan sebangsanya mempunyai andil penting dalam pemasyarakatan bahasa baku. Pada kenyataannya proses elaborasi fungsi ini akan melibatkan pemasyarakatan hal-hal ekstralinguistik seperti pembiasan format atau bentuk surat, atau dalam penyusunan tes dan lain sebangsanya.

15

3.1.1.4 Persetujuan (Acceptence) Ini adalah tahap akhir dalam proses pembakuan bahasa. Pada akhirnya ragam bahasa ini mesti disetujui oleh anggota masyarakat ujaran sebagai bahasa nasional mereka. Kalau sudah sampai pada tahap ini, maka bahasa standar itu mempunyai kekuatan untuk mempersatukan bangsa dan menjadi simbol kemerdekaan negara dan menjadi ciri pembeda dari negara-negara lain. Di Indonesia dengan lahirnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 dan ditetapkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara pada Pasal 36 UUD 1945 yang berbunyi: Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia, maka semakin kuatlah kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa yang terdiri dari berbagai suku bangsa sebagai lingua franca yang menjembatani berbagai vernacular di tanah air ini. Sebagai bahasa nasional, maka bahasa Indonesia kini memiliki empat fungsi penting dalam negara Indonesia, yaitu sebagai : 1. Lambang kebanggaan kebangsaan. 2. Lambang idenstitas nasional. 3. Alat pemersatu berbagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan bahasanya masing-masing ke dalam kesatuan kebangsaan Indonesia. 4. Alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya.

3.1.2 Pemodernan Bahasa Pemodernan bahasa-bahasa nasional bertujuan menjadikan bahasa itu bertaraf sederajat secara fungsional dengan bahasa lain yang lazim disebut bahasa terkembang yang sudah mantap. Pemodernan itu dapat juga dianggap proses penyertaan jadi warga keluarga bahasa di dunia yang memungkinkan penerjemahan timbal-balik demi keperluan komunikasi dewasa ini di berbagai bidang, seperti industri perniagaan, teknologi, dan perididikan lanjutan. Pemodernan bahasa nasional

16

menyangkut

dua

aspek,

yaitu

pemekaran

kosakatanya,

dan

pengembangan jumlah laras bahasa dan bentuk wacananya. Pemekaran kosa kata diperlukan untuk memungkinkan

pelambangan konsep dan gagasan kehidupan modern. Cakrawala sosial budaya yang meluas yang melampaui batas peri kehidupan yang tertutup menimbulkan keperluan tersedianya kata, istilah, dan ungkapan baru dalam bahasa. Sumber bagi unsur leksikal yang baru itu ialah bahasa Melayu-Indonesia sendiri, bahasa daerah yang serumpun, ataupun bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Aspek kedua di dalam pemodernan bahasa nasional, yakni pengembangan jumlah laras bahasa, yang bertalian dengan retorik atau langgam bahasa. Konsep laras bahasa mengacu ke ragam bahasa yang dipandang dari sudut kelayakannya di dalam berbagai jenis situasi pemakaian bahasa. Laras bahasa terutama berbeda-beda dalam segi bentuknya, yakni dalam ciri-ciri tata bahasanya dan lebih-lebih di dalam leksisnya. Laras bahasa yang menggambarkan tipe situasi yang menjadi ajang peranan bahasa secara umum dapat digolongkan menjadi tiga yaitu : 1. Laras menurut dunung atau bidang kegiatan Laras menurut bidang terwujud dalam pamakaian bahasa, misalnya, di bidang politik, ilmu, teknologi, kesenian, kepercayaan,

perundang-undangan, keamanan, dan pertahanan. 2. Laras menurut sarana pengungkapan Laras menurut sarana lazim dibagi atas ragam lisan atau ujaran dan ragam tulis atau tulisan. Karena tiap guyuban bahasa memiliki ragam lisan, sedangkan ragam tulis baru muncul kemudian, pemodernan bahasa nasional juga mencakupi berbagai upaya bagaimana menuangkan ujaran bahasa nasional ke dalam berbagai wacana tulisan. Bahasa Melayu ragam-R yang dianggap orang sejak dulu berperan sebagai lingua rranca untuk bagian besar penduduk kita berupa ragam lisan untuk keperluan yang agak terbatas.

17

3. Laras berdasarkan antarhubungan pelaku peristiwa bahasa. Laras bahasa berdasarkan tata hubungan, pemilihannya bergantung pada sikap penutur terhadap orang yang diajak berbicara atau terhadap pembacanya. Sikapnya itu dipengaruhi, antara lain, oleh umur dan kedudukan yang disapa, pokok yang dikemukakan, dan tujuan informasinya. Laras itu menggambarkan sikap yang resmi, yang adab, yang lugas, yang dingin, yang hangat, yang akrab, yang penuh emosi, yang santai. Akhirnya pemodernan bahasa nasional tidak dapat mengabaikan aspek pencendekiaan bahasa mengingat tujuan kita mencerdaskan kehidupan bangsa. Pencendekiaan bahasa nasional dapat diartikan penyesuaiannya sehingga bahasa itu, pada saat diperlukan, mampu membentuk pernyataan yang tepat, seksama, dan abstrak. Kalimatnya mencerminkan ketelitian penalaran dan hubungan logisnya dalam wacana terungkap oleh berjenis kalimat yang majemuk yang

mempernyatakan

kesinambungan

pikiran

bersusun-susun.

Permodernan itu ternyata merupakan sedikit banyak penginggrisan juga.

3.2 Perencanaan Bahasa di Indonesia Menurut Chaer dan Agustina (1995) di Indonesia kegiatan yang serupa dengan language planning ini sebenarnya sudah berlangsung sebelum nama itu diperkenalkan oleh Haugen, yakni sejak zaman pendudukan Jepang ketika ada Komisi Bahasa Indonesia sampai ketika Alisjahbana menerbitkan majalah Pembinaa Bahasa Indonesia tahun 1948. Malah kalau dilihat lebih jauh, language planning di Indonesia sudah dimulai sejak Van Ophuijsen menyusun ejaan bahasa Melayu (Indonesia) pada tahuan 1901, disusul dengan berdirinya Commisie voor de Volkslectuur tahun 1908, yang pada tahun 1917 menjadi Balai Pustaka; lalu disambung dengan Sumpah Pemuda tahun 1928, dan kemudian Kongres Bahasa I tahun 1937 di Kota Solo. Perencanaan bahasa berlangsung dalam suatu proses yang terencana memakan waktu lama dan secara maraton. Dalam hubungan dengan hal

18

tersebut, Alwasilah (1990) mengungkapkan bahwa bahasa Indonesia yang sekarang kita miliki ini pun memiliki bentuk yang demikian setelah menjalani tahapan historis yang tidak sebentar. Kalaulah Sumpah Pemuda 1928 melambangkan kebahasaan nasional yang akan diperjuangkan, maka perjuangan itu dijabarkan dalam beberapa kejadian di antaranya sebagai berikut. a. Kongres Bahasa Indonesia, I di Solo, 1937. b. Penerbitan Balai Pustaka, 1938. c. Penyerahan Belanda kepada Jepang yang membuat bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar di seluruh Indonesia. d. Pembentukan Komisi Istilah 1943. e. UUD 1945 yang meresmikan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara; f. Perubahan Ejaan Suwandi, 1947. g. Ejaan yang Disempurnakan, 1972. Ditambahkan pula bahwa kontak budaya dengan bangsa-bangsa Eropa telah memberi motivasi akan perencanaan ini, di samping faktor-faktor lainnya. Dari sejarah nasional, kita mempelajari bahwa sejak konferensi Meja Bundar, banyak kerja sama (khususnya dalam bidang kebudayaan) dilakukan antara Indonesia dan Belanda. Beberapa ahli dari Belanda memberi kuliah dengan pengantar bahasa Belanda, dan ada beberapa pihak yang menganjurkan bahasa Belanda untuk diajarkan kembali di sekolahsekolah. Tapi pemerintah lewat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menentang gagasan ini. Ini pun satu contoh tindakan dalam proses perencanaan bahasa. Ini diikuti dengan terbitnya beberapa jurnal (1953) seperti Pembina Bahasa Indonesia, Medan Bahasa, dan Bahasa dan Budaya. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang Pusat Bahasa) di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Departemen Pendidikan Nasional), merupakan lembaga tertinggi yang bertugas dalam perencanaan bahasa ini. Kegiatan-kegiatan perencanaan bahasa di Indonesia tidak disebut perencanaan tetapi Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, yang bisa diberi tugas-tugas sebagai berikut :

19

a. Perencanaan dan pengembangan kurikulum dan silabus. b. Perencanaan dan pengembangan buku pelajaran, buku pegangan guru, buku bacaan, alat bantu pelajaran audiovisual, dan lain-lain. c. Koordinasi pelaksanaan dan pengawasan. d. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan guru dalam materi dan metode serta teknik mengajar. e. Evaluasi perencanaan dan pelaksanaan. f. Perencanaan dan pengembangan pusat pengujian bahasa. g. Mengadakan penyelidikan terus-menerus terhadap bahasa dalam rangka meningkatkan hasil dan mutu. h. Penerbitan berkala profesi dan penerbitan lain sehubungan dengan bidang-bidang tugas di atas. i. Dan lain-lain yang bertalian dengan pengajaran bahasa ini.

3.3 Hal-hal yang Harus Diperhatikan Dalam Perencanaan Bahasa Menurut beberapa ahli perencanaan bahasa memiliki hal-hal yang harus diperhatikan agar perencanaan bahasa tersebut menjadi perencanaan bahasa yang baik. Pendapat tersebut sebagai berikut : 1. Haugen (1966) mengatakan bahwa perencanaan bahasa memerlukan perwujudan satu kebijakan bahasa; kodifikasi bahasa untuk pemakaian umum, modern, dan teknik; perkembangan dan pelaksanaannya. 2. Sjoberg (1966) mengatakan bahwa ketika merencanakan suatu bahasa harus mengakomodasi pendapat dan pendangan masyarakat pemakai bahasa tersebut sebab merekalah pendukung utama pelaksanaannya nanti. Dengan cara ini, perencanaan bahasa bersifat demokratis, menyeluruh, dan memudahkan pemupukan rasa setia dan rasa taat asas terhadap bahasa. 3. Neustupuy (1970) menambahkan bahwa perencanaan bahasa juga harus memperhatikan stilistika sebab stilistika menyediakan kesempatan bagi perkembangan sastra. 4. Rubin (1971) mengatakan bahwa setiap tahap perencanaan bahasa perlu ada proses penilaian agar dapat diketahui kadarkeberhasilannya. Lewat

20

penilaian ini pun akan diketahui bagimana kondisi dan tingkat perkembangan bahasa tersebut. 5. Jernudd dan Das Gupta (1971) berpendapat bahwa pemerintah yang berkuasa dapat menjadi penggerak dan kunci keberhasilan perencanaan bahasa. Oleh karena itu, perhatian dan keterlibatan pemerintah sangat diperlukan agar setiap tingkat perencanaan berjalan dengan baik sehingga mempercepat terwujudnya sosok bahasa yang ditargetkan. 6. V. Tauli (1973) mengatakan bahwa perencanaan bahasa mustahil bisa berjalan apabila tidak didukung oleh biaya yang memadai. Oleh karena itu, komitmen pemegang sumber dana dalam hal ini pemerintah untuk mengalokasikan biaya perencanaan bahasa secara berkala sangat diperlukan. 7. Fishman (1973) menyarankan agar perencanaan bahas diselaraskan dengan perencanaan bidang-bidang lain agar padu dan atau bersinergi dengan perencanaan induk negara. Dengan cara demikian, kepaduan dan integritas nasional bisa terpupuk dengan baik.

21

BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan Perencanaan bahasa adalah perubahan bahasa yang disengaja, yaitu perubahan dalam sistem-sistem kode bahasa atau ujaran atau kedua-duanya yang direncanakan oleh organisasi-organisasi yang didirikan untuk tujuan itu. Perencanaan bahasa merupakan usaha kenegaraan suatu bangsa untuk menentukan dan menetapkan dengan tepat fungsi dan status bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di negara tersebut, agar komunukasi kenegaraan dan kebangsaan dapat berlangsung dengan baik. Perencanaan bahasa melalui beberapa proses sperti pembakuan bahasa dan pemodernan bahasa.

4.2 Saran 1. Perencanaan bahasa suatu negara akan berhasil dengan baik apabila inisiatif tersebut berawal dari pemerinah yang bersangkutan. Sebab, pemerintah mempunyai kemampuan memasukkan perencanaan bahasa tersebut dalam perencanaan pembangunan negara. Pemerintah mampu menyediakan biaya tinggi untuk memulai pelaksanaan perencanaan bahasa ini. Sejajar dengan pembangunan yang lain, perencanaan bahasa ini dapat memupuk persatuan dan integrasi nasional. Bahkan, dalam jangka panjang, perencanaan bahasa ini dapat membantu pembangunan budaya, bangsa, dan negara. 2. Perencanaan bahasa harus dilakukan dengan berkerja sama semua pihak. Bahasa adalah milik semua orang, maka sangat wajarlah kalau semua orang turut dalam perencanaannya. 3. Perencanaan bahasa hendaknya dilakukan seiring dengan perkembangan masyarakat. Dengan demikian, perencanaan bahasa yang baik akan menjadikan negaranya dikenal oleh bangsa lain (bahkan dikenal dunia) karena bahasanya mampu memaparkan pertumbuhan pembangnan negaranya dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekonologi.

22

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaerdar. 1990. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa. Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta Cooper, Robert L. 1989. Language Planning and Social Change. Cambridge: Cambridge University Press. Eastman, Carol M.1983. Language Planning An Introduction. San Fransisco: Chandler & Sharp Publisher. Inc. Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Longman Jernudd, Bjorn H. & das Gupta, Jyotirindra. Towards A Theory of Language Planning. Dalam Joan Rubin & Bjorn H.Jernudd (Ed.) 1975, Can Language Be Planned (195-215). Honolulu: The University Press of Hawaii. Moeliono, Anton M. 1981. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Jakarta: Penerbit Djambatan. Omar, Asmah Haji. 1985. Perancangan Bahasa dengan Rujukan Khusus Kepada Perancangan Bahasa Malaysia. Kuala Lumpur: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka. Rubin, Joan & Jernudd, Bjorn H. Introduction: Language Planning as An Element in Modernization. Dalam Joan Rubin & Bjorn H.Jernudd (Ed.) 1975, Can Language Be Planned (xiii-xxiv). Honolulu: The University Press of Hawaii. Poedjosoedarmo, Soepomo. 2003. Filsafat Bahasa. Surakarta: Muhammdiyah Univesity Press. Wikipedia. Language Planning. http://en.wikipedia.org/wiki/Language_planning. diakses 10 Mei 2012. http://anaksastra.blogspot.com/2009/04/sosiolinguistik-perencanaan-bahasa.html. Diunduh pada 10 Mei 2012 http://citraindonesiaku.blogspot.com/2012/04/perencanaan-bahasa.html. Diunduh pada 10 Mei 2012.

23

Anda mungkin juga menyukai