Anda di halaman 1dari 6

Perubahan Imunitas

Imunodefisiensi Terbentuknya sistem imunokompeten penting untuk melindungi organisme tubuh terhadap invasi dari luar. Karenanya setiap defesiensi pada salah satu komponen sistem imun itu dapat mengganggu aktivitas seluruh sistem pertahanan tubuh. Perubahan patologis dari fungsi imunologis pada awalnya dikelompokkan sebagai : 1. Reaksi hipersensitivitas dimana stimuli imunogenik kecil menimbulkan respons imun besar 2. Penyakit autoimun dimana kemampuan untuk membedakan diri sendiri dari bukan-diri sendiri, hilang 3. Sindrom imunodefesiensi dimana kemampuan untuk memberikan respons imun efesien dirusak atau tidak ada Dari sudut pandang etiologis, sindrom imunodefesiensi dapat diklasifikasikan sebagai primer dan sekunder. Sindromimunodefesiensi kongenital atau primer diakibatkan paling sering oleh abnormalitas yang ditentukan secara genetik yang merusak respons humoral dan/atau selular. Sindrom imunodefisiensi didapat atau sekunder adalah kondisi yang terjadi sebagai akibat dari keadaan penyakit (keganasan, malnutrisi, infeksi virus) atau akibat tindakan medis (khususnya obat imunosupresif). Sedangkan dari sudut pandang patogenesis, imunodefisiensi dapat diklasifikasikan menurut komponen respons imuns yang terlibat, seperti: 1) 2) 3) 4) Sel-B, atau imunitas selular antibodi Imunitas selular sel-T Imunitas yang dimediasi oleh kerja sel fagosit Imunitas yang dihubungkan dengan aktivasi komplemen\

Imunodefisiensi Primer Kelainan atau defek primer dalam sistem imun diakibatkan dari kegagalan bagian esensial dari sistem imun untuk berkembang. Defek ini dapat terjadi pada titik manapun selama masa perkembangan sistem imun dan dapat melibatkan defek organ atau selular.

Imunodefisiensi sekunder terjadi akibat hilangnya sistem imun yang sebelumnya efektif, yang mancakup setiap gangguan yang menunjukkan nhilangnya imunokompetensi sebagai akibat kondisi lain. Klasifikasi luasnya mencakup imunodefisiensi akibat sters, proses penuaan, obat imunosupresif, insfeksi sistemik, kanker, mal nutrisi, penyakit ginjal, dan terapi radiasi. Kondisi ini dapat menimbulkan kehilangan imunoglobulin, ketidak adekuatan sintesis imunoglobulin, kehilangan limposit spesifik yang bertanggung jawab terhadap imunitas selular, kehilangan sel inplamasi fagositik, atau kombinasi dari semua ini. Meskipun penurunan keefektifan sistem imun sering tidak mengancam hidup, ini sering mengakibatkan penurunan kemampuan organisme untuk melawan respon inflamasi atau imun. Karenanya, kerentanan terhadap infeksi oleh bakteri, virus, fungi, atau lainnya meningkat. Pada beberapa kasus, kehilangan imunokompetensi menyebabkan perubahan yang cukup pada prtahanan hospes untuk meningkatkan morbilitas dan mortalitas.

A. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) AIDS disebabkan oleh HIV (Human Immune Deficienciy Virus) jadi untuk menjadi sakit, orang harus dijangkiti virus itu. Setelah terjangkiti HIV, masih diperlukan bertahun-tahun agar dapat berkembang menjadi AIDS, tergantung daya tahan tubuh. AIDS muncul, setelah benteng pertahanan tubuh, yaitu sistem kekebalan alamiah melawan bibit penyakit, runtuh oleh virus HIV, yaitu dengan hancurnya sel-sel limposit-T (sel-T). karena kekurangan sel-T, maka penderita mudah sekali terserang infeksi dan kanker yang sederhana sekalipun, yang untuk orang normal tidak berarti. Jadi bukan AIDSnya sendiri yang menyebabkan kematian penderita, melainkan infeksi dan kanker yang dideritanya. HIV biasanya ditularkan melalui hubungan sex dengan orang yang mengidap virus itu, dan terdapat kontak langsung dengan darah atau produk darah dan cairan tubuh lainnya. Pada wanita virus mungkin masuk melalui luka atau lecet pada mulut rahim atau vagina. Begitu pula virus memasuki aliran darah pria jika pada genitalnya ada luka atau lecet. Hubungan sex melalui dubur beresiko tinggi untuk terinfeksi, namun juga melalui vagina dan oral. HIV dapat juga ditularkan melalui kontak langsung darah dengan darah, seperti jarum suntik (pecandu obat narkotik suntikan), transfusi darah atau produk darah, ibu hamil ke bayi saat melahirkan, pisau cukur, dan sikat gigi. Tidak ada bukti penularan

melalui kontak sehari-hari seperti berjabatan tangan, mencium, gelas bekas dipakai penderita, handuk, atau melalui kloset umum, karena virus ini sangat rapuh. Banyak gejala AIDS yang mirip gejala penyakit biasa seperti pilk, bronkhitis, dan influenza. Bedanya, ia berlangsung lebih lama, lebih parah, sukar hilang, dan sering kambuh. Rasa lelah yang berkepanjangan tanpa sebab, demam berminggu lamanya, diare berkepanjangan, pembengkakan kelenjar getah bening di leher, ketiak, atau lipatan paha, berat badan menurun, batuk-batuk. Gejalagejala ini perlu diwaspadai jika kemunculannya tidak dapat dijelaskan, apalagi jika terdapat pada orang yang termasuk kelompok beresiko tinggi terkena AIDS. Kelompok beresiko tinggi terhadap HIV-AIDS adalah homosex, pecandu obat narkotika suntik, hemofilia, transfusi darah, anak dari ibu HIV (+), perawat, karyawan dilaboratorium klinik, dan wanita tuna susila (WTS). Untuk menilai apakah seseorang terkena HIV, maka diadakan uji antibody HIV. Hasil positif berarti bahwa yang bersangkutan telah terinfeksi HIV, dan berpotensi menularkan virus itu kepada orang lain. Hasi negatif biasanya berarti bebas dari infeksi. Namun harus diingat, bahwa sampai mempunyai antibody diperlukan waktu (sampai beberapa bulan). Jadi jika seseorang diperiksa terhadap antibody segera setelah terinfeksi, hasinya negatif. Sebaiknya diulangi 3 sampai 6 bulan kemudian. Sampai sekarang belum ada obat maupun vaksin untuk mengobati atau mencegah infeksi oleh HIV. Walaupun ada obat tertentu yang dapat memperlambat perjalanan penyakit, tidak satupun yang telah teruji mampu menyembuhkan AIDS. Hal yang perlu diperhatikan untuk mencegah perluasan AIDS: 1. Penderita HIV positif tidak menunjukkan gejala apapun untuk 5-10 tahun 2. Perlu keterbukaan berbicara tentang AIDS maupun perilaku seksual. 3. Perlu menganjurkan praktek hubungan seksual yang aman (menggunakan kondom) 4. Jangan mengucilkan penderita AIDS.

B. Hipersensitivitas dan Reaksi Autoimun Gangguan imun yang merusak jaringan diklasifikasikan dalam berbagai cara untuk memperjelas dasar patofisiologinya. 4 mekanisme gangguan yang

dimediasi secara imunologis telah digambarkan sesuai dengan cara terjadinya cidera jaringan. Beberapa kondisi ini juga dapat diklasifikasikan sebagai reaksi autoimun. Istilah klasik untu reaksi yang merusak jaringan imonologis adalah reaksi hipersensitivitas, yang mengacu pada respon sistem imun yang berlebihan pada antigen. Antigen ini yang menimbulkan respon disebut alergen. Alergen menimbulkan respon berbeda, bergantung pada predisposisi genetik seseorang terhadap respon yang berlebihan. Pada beberapa kasus, antigen menghasilkan respon ini tanpa diketahui. Klasifikasi cedera jaringan akibat hipersensitivitas Jenis reaksi hipersensitivitas dibahas berdasarkan mekanisme patofisiologinya dan bagaimana reaksi ini memanifestasikan diri dalam berbagai penyakit atau keadaan. a. Tipe I : hipersensitivitas Imediat:anafilaksis atau atopi Anafilaksis mengacu pada reaksi akut yang biasanya dihubungkan dengan tipe reaksi kulit berupa bentol dan merah serta vasodilatasi yang dapat mencetuskan syok sirkulasi. Atopi, yang diakibatkan oleh mekanisme yang sama, terjadi secara menahun pada respon yang bergantung pada antigen, frekuensi kontak, rute kontak, dan sensitivitas sistem organ pada antigen. Atopi adalah reaksi hipersensitivitas paling umum. Reaksi ini, umumnya disebut alergi, terjadi pada organ yang terpanjan pada antigen lingkungan. Karenanya, saluran pernafasan, kulit, dan sistem gastrointestinal secara khusus terkena. Banyak tipe antigen atau alergi dapat menimbulkan status hipersensitivitas pada individu rentan. Yang paling umu dari ini adalah alergen lingkungan, seperti serbuk sarai, rontokan rambut atau bulu, makanan, gigitan serangga, dan agen pembersih rumah. Reaksi sensitivitas obat dapat mempengaruhi respon yang sama. Status penyakit lain yang diklasifikasikan dalam kelompok ini mencakup jerami (hay fever), urtikaria (hives), asma, dan exzema atopik. Kerentanan terhadap alergi ditentukan oleh faktor genetik dan oleh faktor lain yang memungkinkan pemajanan pada alergen. b. Tipe II: Hipersensitivitas Sitotoksik Pada respon hipersensitivitas tipe II, suatu antibody sirkulasi biasanya IgG, bereaksi dengan antigen pada permukaan sel. Karena individu secara normal mempunyai antibody terhadap antigen dari golongan darah ABO yang tidak ada pada membran mereka sendiri, antigen ini dapat menjadi

komponen normal dari membran. Bisa juga suatu benda asing seperti agens farmakologis, yang melekat pada permukaan sel hospes itu sendiri. Antibody yang diproduksi pada sel darah merah hospes sendiri dapat menimbulkan anemia hemolitik autoimun. Sel ini dirusak oleh reaksi pada permukaannya baik oleh fagosit atau lisis. Efeknya pada hospes bergantung pada jumlah dan tipe sel-sel yang rusak. Contoh dari respon hipersensitivitas ini mencakup reaksi hemolitik, seperti anemia hemolitik autoimun, eritroblastosis petalis, dan kerusakan sel sasaran spesifik. c. Tipe III: Penyakit Kompleks Imun Penyakit kompleks imun mengakibatkan pembentukan kompleks antigenantibody yang mengaktifasi berbagai faktor serum, khususnya komplemen. Ini mengakibatkan pengendapan kompleks dalam area yang rentan, yang menimbulkan inflamasi sebagai akibat aktifasi komplemen. Akibat akhirnya adalah proses inflamasi intrafaskuler, sinovial, endokardial, dan proses inflamasi membran lain yang mempengaruhi kerentanan organ. d. Tipe IV: Hipersensitivitas selular Respon tipe IV adalah akibat dari limposit T yang disensitisasi secara khusus tanpa partisipasi antibody. Aktifitas menyebabkan respon tipetertunda. Respon hipersensitivitas tertunda dihubungkan dengan interaksi khusus sel-T dengan antigen. Sel-T bereaksi dengan antigen dan melepaskan limpokin yang menarik makrofag kedalam area tersebut. Makrofag melepas monokin. Zat ini meningkatkan respon inflamasi yang menghancurkan benda asing. Respon tuberkulin adalah contoh paling baik dari respon hipersensitivitas tertunda dan digunakan untuk menentukan apakah seseorang telah tersensitisasi terhadap penyakit ini. Respon hipersensitivitas granulomatosa adalah bentuk paling penting dari hipersensitivitas tertunda, karena ini adalah akibat dari pembentukan granuloma dalam are tubuh yang lain. Granoluma dikelilingi oleh fibrosis, dan bahan nekrosis dapat terkandung didilamnya. Suatu reaksi kulit alergis umum, dermatitis kontak tampak menjadi respon sel-T denagn reaksi tertunda. Ini terjadi pada kontak dengan kimia rumah tangga umum, kosmetik, dan toksin tanaman. Area kontak menjadi merah dan menonjol. C. Autoimunitas Penelitian tentang autoimunitas telah dipacu oleh penemuan antibody yang mengarah pada sel spesifik pada orang tertentu. Banyak orang menunjukkan auto-antibody serum tetapi tidak menunjukkan adanya penyakit. Terutama ini terjadi pada lansia, dan banyak riset berhubungan

dengan kehilangan toleransi diri karena proses penuaan sedang barjalan. Bahkan pada orang yang menderita infark miokardia dapat menunjukkan auto antibody miokardiak tetapi tidak menunjukkan gangguan miokardial lanjut. Pada diabetes melitus, auto antibody pada sel-sel pulau langerhans pankreas sering terlihat, yang memunculkan teori bahwa beberapa bentuk diabetes mellitus dapat diakibatkan dari serangan autoimun pada sel-sel ini. Respon luar dari autoimun telah dibagi secara klinis kedalam penyakit non organ spesifik dan organ spesifik. Hubungan reaksi autoimun destruktif ditunjukkan secara jelas pada miastenia grafis, penyakit grave, artristis reumatoid (AR), sistemik lupus eritematosus (SLE), dll. Observasi terhadap fenomena autoimun telah menimbulkan generalisasi ini: 1. Fenomena autoimun spesifik terjadi dengan frekuensi yang lebih besar pada keluarga tertentu, yang menunjukkan gangguan genetik yang dihubungkan dengan gangguan dasar kontrol imun timik. 2. Penyakit autoimun lebih umum pada wanita daripada pria, yang menunjukkan hubungan antara hormon sex dan respon imun. 3. Individu lansia mempunyai prevalensi auto antibody yang lebih besar, yang mungkin hasil dari kesalahan genetik karena kelelahan sistem imun sepanjang proses penuaan. 4. Virus dapat memainkan peran dalam kekambuhan autoimunitas karena kemampuannya untuk mengganggu sistem imun pada suatu tingkatan manapun. 5. Jaringan asing (protein dan jaringan yang tidak secara normal kontak dengan sel-T dan sel-B) dapat dipanjankan pada sel ini melalui penyakit atau gangguan. 6. Jaringan antigen sendiri (self-antigen) diubah oleh penyakit atau cedera, sehingga hospes tidak lagi mengelainya sebagai diri sendiri (self).

Anda mungkin juga menyukai