PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER TEKNIK PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS DIPONEGORO 2009
0
KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN BERDASARKAN PRINSIP-PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI ZONA INDUSTRI GENUK, SEMARANG
A. PENDAHULUAN
Isu permasalahan kependudukan dan penurunan kualitas lingkungan hidup menjadi isu global, tidak terkecuali Kota Semarang. Permasalahan lingkungan hidup di Semarang terjadi kurang lebih 20 tahun yang lalu. Hal ini ditandai dengan meluasnya daerah rawan rob, penurunan kualitas air tanah, maupun air permukaan, dan penurunan kualitas udara. Masalah lingkungan hidup yang paling menonjol terjadi di Zona Industri Genuk. Di daerah ini air sumur dangkal tidak dapat dimanfaatkan kembali sebagai sumber air bersih. Masalah yang paling terasa adalah kondisi air sungai yang sepanjang tahun berwarna hijau atau hitam dan berbau. Padahal, kurang lebih 20 tahun yang lalu air sungai tersebut dapat dimanfaatkan untuk mencuci, dan sarana bermain anak-anak (mandi di sungai). Begitupula kondisi udara di Kota Semarang juga sudah tercemar. Menurut Komite Penghapusan Bensin Bertimbal Kantor Kementrian Lingkungan Hidup yang dimuat majalah Tempo (29 Mei 2005) menyebutkan bahwa pencemaran udara akibat timbal (Pb) yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor telah mencemari udara dan sudah dalam ambang kritis. Lebih lanjut, permukiman di zona industri Genuk terancam tidak berkelanjutan yang disebabkan oleh dua faktor utama yaitu pertama tidak implementatifnya kebijakan publik dalam mengakomodasi kebutuhan dan pelayanan masyarakat, kedua kesejahteraan masyarakat (welfare) dari sisi ekonomi masih belum terpenuhi sehingga perhatian masyarakat terhadap aspek lingkungan belum menjadi prioritas utama (Sariffuddin, 2006).
B. RUMUSAN MASALAH
Masalah lingkungan hidup menjadi masalah utama di Zona Industri Genuk. Hampir seluruh wilayah zona industri terjadi pencemaran lingkungan baik tanah, air dan udaranya. Hal ini disebabkan oleh bercampurnya limbah industri, limbah rumah tangga dan saluran drainase. Kondisi tersebut diperparah oleh rob dan banjir yang terjadi rutin tiap tahunnya. Saat rob dan banjir tentunya air limbah meluap dan masuk ke rumah-rumah warga. Namun, meskipun kondisi lingkungan di Zona Industri Genuk terpuruk warga tetap bertahan dan bahkan tidak mau pindah rumah. Salah satu alasannya adalah karena dekat dengan mata pencaharian dan keluarga. (Sariffuddin, 2006). Sehingga dapat ditarik research question apakah kondisi zona industri genuk saat ini memenuhi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan?
berkelanjutan. Sedangkan manfaat yang dapat diambil adalah dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam penyusunan kebijakan publik dan evaluasi pembangunan kota Semarang saat ini.
Penurunan Kualitas Bangunan Penurunan kualitas bangunan disebabkan oleh semakin meluasnya daerah rawan rob
dan banjir serta tingkat kemampuan warga yang masih rendah. Secara umum kualitas bangunan yang menurun adalah rumah-rumah yang kumuh, terletak di sempadan sungai dan dihuni oleh warga pendatang. Rob yang terjadi hampir setiap malam sering menggenangi rumah warga hingga banyak lantai rumah yang bocor karena rob. Air laut muncul lewat selasela ubin atau lantai yang sudah retak, sehingga tidak sedikit lantai rumah warga yang rusak. Kondisi ini semakin diperparah jika terjadi banjir dengan genangan air bisa mencapai 1 meter. Selain itu, juga disebabkan oleh permasalahan penurunan tanah (land subsidence), yang mengharuskan warga meninggikan rumahnya hampir tiap 3 tahun sekali. Karena jika rumah tidak ditinggikan maka rob atau banjir yang terjadi akan semakin tinggi menggenangi rumah warga.
Penurunan Keselamatan Bangunan Keselamatan bangunan dipengaruhi oleh kualitas bangunan dan lokasi rumah.
Penurunan tanah (land subsidence) telah menyebabkan meluasnya daerah rawan rob dan banjir serta potensi genangan air yang semakin tinggi. Penurunan tanah juga menyebabkan penurunan keselamatan bangunan, terutama menyebabkan terjadinya retakan-retakan pada dinding-dinding rumah dan kaca jendela pecah. Pada daerah tertentu banyak warga yang membangun rumahnya di bantaran sungai dan bahkan sebagian rumahnya justru di sungai, yaitu dengan membuat tiang-tiang penyangga rumah di sungai. Rumah-rumah warga tersebut sebagian berada di sungai dan sebagian yang lain berada di daratan. Aliran air sungai menjadi tidak lancar, bahkan ada kecenderungan warga membuang sampah di sungai dan selokan sekitar rumah mereka. Sampah dan rumah menjadi penghambat aliran air, padahal sungai tersebut dimanfaatkan pula sebagai tempat pembuangan limbah rumah tangga dan wc/kakus.
Penurunan Kualitas Air Tanah Penurunan kualitas air tanah dipengaruhi oleh pencemaran limbah industri dan
limbah rumah tangga yang meresap ke sumur dangkal. Pencemaran ini dirasakan warga terjadi sekitar 10 tahun terakhir dengan ditandai oleh warna, bau dan rasa air sumur yang sama dengan kondisi air permukaan. Sebelumnya air dari sumur dangkal dapat dimanfaatkan warga untuk mencuci dan mandi sedangkan untuk memasak dan minum berasal dari sumur artesis. Akan tetapi, saat ini hanya air dari sumur artesis saja yang dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan warga, karena air sumur dangkal telah tercemar. Indikasi pencemaran tersebut adalah berwarna hitam pada musim kemarau dan berwarna hijau pada musim penghujan dan berbau anyir.
Air sumur dangkal dan air sungai dapat dimanfaatkan Air sumur dangkal dapat dimanfaatkan dan air sungai tidak dapat dimanfaatkan Air sumur dangkal dan air sungai sama-sama tidak dapat dimanfaatkan
E. KAJIAN TEORI
1) Paradigma Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan mulai didengung-dengungkan sejak tahun 1980-an. Pertama kali paradigma tersebut muncul dalam World Conservation Strategy dari the International Union for the Conservation of Nature (1980). Tahun 1992 merupakan puncak dari proses politik, yang akhirnya pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, paradigma pembangunan berkelanjutan diterima sebagai sebuah agenda politik pembangunan untuk semua negara di dunia. Hingga saat ini hasil dari pelaksanaan paradigma tersebut belum dapat dirasakan secara riil. Wujud nyata dari kegagalan implementasi paradigma tersebut adalah tidak terpenuhinya sasaran utama pembangunan yaitu penurunan kemiskinan, dan perbaikan masalah lingkungan hidup. Menanggapi masalah tersebut, banyak ahli yang angkat bicara, seperti Keraf (2002: 191) yang menyatakan bahwa kegagalan itu timbul karena kurang dipahaminya paradigma pembangunan berkelanjutan sebagai etika politik pembangunan, yaitu sebuah komitmen moral tentang bagaimana seharusnya pembangunan itu diorganisir dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Begitupula Poerwanto (2000: 158) yang menyatakan bahwa akar masalah kegagalan tersebut karena orientasi pembangunan masih memprioritaskan sektor ekonomi sebagai
sektor utama sedangkan sosial dan lingkungan hidup kurang diprioritaskan sehingga tujuan dari pembangunan berkelanjutan tidak tercapai.
2) Konsep dan Prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan merupakan konsep pembangunan yang holistik tidak hanya menempatkan manusia sebagai satu-satunya unsur yang bertanggungjawab tetapi juga dipengaruhi oleh kebijakan. Kondisi internal menjadi modal dasar (Asset-based) yang mencerminkan suatu kondisi masyarakat kota yang berinteraksi sesamanya, dengan lingkungan hidup sebagai ruang dan sebagai penyedia kebutuhan dan ekonomi sebagai suatu usaha/aktivitas dalam pemenuhan kebutuhan (Metter, 1999: 8). Sedangkan kebijakan berperan sebagai pedoman yang mengarahkan kondisi masyarakat menuju suatu keberlanjutan secara sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Sehingga keberlanjutan suatu kota dipengaruhi oleh kondisi internal kota yang berperan sebagai modal dasar (integrasi sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup) dipengaruhi oleh kebijakan sebagai pengatur kelangsungan aktivitas internal kota. Suatu kota yang berkelanjutan mesti memiliki basis ekonomi yang kuat, keseimbangan lingkungan yang terpelihara, keadilan sosial dan kekentalan komunitas. Adapun prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai berikut:
4. 5.
Pola Kemitraan
Peran Serta Penduduk 6. Sistem Pemerintahan Sumber: Research Triangle Institute, 1996 dalam Budiharjo, 1997
(Gessellschaft) Kurang terjalin pola kemitraan antar pemerintah, swasta dan masyarakat Peran serta penduduk sangat terbatas Terlalu terpusat (sentralisasi)
(Gemeinschaft) Jalinan yang kuat antara pemerintah, swasta dan masyarakat Jalinan yang kuat antara pemerintah, swasta, dan masyarakat Otonomi daerah (desentralisasi)
3) Temuan Penelitian Sebelumnya Banyak perilaku bercirikan budaya masyarakat desa yang diterapkan di kota oleh para pendatang. Penduduk yang dekat dengan sungai lebih cenderung memanfaatkan sungai sebagai media pembuangan limbah cair dan padat. Sungai sebagai media saluran limbah dan dimanfaatkan pula untuk jamban/WC. Kondisi tersebut dapat dijumpai di Kelurahan Terboyo Kulon, Terboyo Wetan, dan Trimulyo. Kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan sampah juga rendah. Masyarakat juga belum memisahkan antara drainase dengan limbah rumah tangga. Disamping itu partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan permukiman juga rendah. Partisipasi/gotong royong sering dilakukan masyarakat jika sarana dan prasarana lingkungan yang rusak seperti jalan rusak atau jembatan rusak tetapi partisipasi dalam mengelola kebersihan lingkungan, kebersihan sungai, drainase dan lain-lain masih rendah. Pengelolaan tersebut hanya dilakukan oleh beberapa keluarga dan berlokasi pada sekitar rumahnya. Permasalahan lingkungan semakin terpuruk dan menjadi masalah sosial. Masyarakat merasa terganggu oleh keberadaan lingkungan yang semakin lama semakin buruk, kotor, dan tempat bersarangnya vektor-vektor penyakit. Namun masyarakat tidak dapat melakukan suatu tindakan untuk menyelesaikan masalah. Warga menganggap bahwa pengelolaan lingkungan saat ini merupakan suatu tindakan yang percuma, karena lingkungan yang sudah dikelola dan diperbaiki dapat dipastikan akan rusak kembali. Sebagai contoh rusaknya jalan karena penurunan tanah (land subsidence), jika jalan tersebut diperbaiki ataupun ditinggikan tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal karena akan rusak kembali. Sehingga secara prinsip masalah lingkungan yang disebabkan oleh perilaku masyarakat terjadi karena pertama ketidaktahuan warga dalam mengelola lingkungan permukiman, kedua
ketidakmampuan mengelola dan mengembalikan kondisi lingkungan menjadi lebih baik, ketiga ketidakmauan karena pengelolaan lingkungan merupakan suatu tindakan yang percuma.
Warga pendatang tidak tahu harus berbuat apa dalam mengelola lingkungan permukiman Lingkungan permukiman semakin terpuruk sehingga warga tidak mampu lagi menanganinya Warga tidak mau mengelola lingkungan permukimannya kembali karena percuma.
Tidak tahu
Sumber: Penyusun berdasarkan wawancara dengan warga dan tokoh masyarakat, 2006
Gambar 4 Hubungan Jenjang Penyebab Perilaku Warga Terhadap Penurunan Kualitas Lingkungan
G. PEMBAHASAN
Keberlanjutan Lingkungan permukiman di Zona Industri Genuk dapat dinilai berdasarkan kriteria dalam prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Tabel berikut menunjukkan penilaian keberlanjutan lingkungan permukiman di Zona Industri Genuk. Warna merah menunjukkan kecenderungannya pada kota yang tidak berkelanjutan sedangkan warna hijau menunjukkan kecenderungan pada kota yang berkelanjutan, adapun penilaiannya dapat dilihat pada tabel: Tabel 2: Penilaian Keberlanjutan Lingkungan Permukiman di Zona Industri Genuk Berdasarkan Prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan
No 1. Prinsip Dasar Pertumbuhan ekonomi Kota yang tidak Berkelanjutan Kompetisi, mengutamakan industri besar, hanya aktivitas bisnis tertentu yang dikembangkan Peningkatan kemampuan SDM kurang diperhatikan Terlalu banyak peraturan dan birokrasi Tidak ada tax insentive bagi pengelolaan pembangunan yang berwawasan lingkungan Orientasi formalisme dan fungsionalisme Penggunaan sumber-sumber daya alam secara berkelebihan; Pencemaran lingkungan; Tata guna lahan tunggal Kurang koordinasi transportasi Taman-taman dan beralih fungsi dengan sistem Kota yang berkelanjutan Kerjasama strategis dan aneka industri dan bisnis
Deregulasi dan debirokratisasi Dirintis adanya tax insentive bagi pengelolaan pembangunan yang berwawasan lingkungan Orientasi sistemik dan humanisme Konservasi sumber daya alam
Pencegahan pencemaran Tata guna lahan campuran Koordinasi dengan sistem transportasi
kawasan
lindung
Penciptaan taman-taman dan kelestarian kawasan lindung Kepadatan tinggi dibatasi di area-area tertentu saja Pengurangan kesenjangan ekonomi
3.
Kekentalan Komunitas
Disparitas yang meningkat antar berbagai kelompok pendapatan Kecenderungan eksklusivisme Masyarakat patembayan (Gessellschaft) Kurang terjalin pola kemitraan antar pemerintah, swasta dan masyarakat Peran serta penduduk sangat terbatas
Kebersamaan/ solidaritas sosial Masyarakat paguyuban (Gemeinschaft) Jalinan yang kuat antara pemerintah, swasta dan masyarakat Jalinan yang kuat antara pemerintah, swasta, dan masyarakat Otonomi daerah (desentralisasi)
5.
6.
Sumber: Analisis, 2009 berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dari Research Triangle Institute, 1996 dalam Budiharjo, 1997
Berdasarkan prinsip-prinsip dasar pembangunan berkelanjutan tersebut dapat diketahui bahwa lingkungan permukiman di zona industri Genuk terancam tidak berkelanjutan. Permasalahan ketidak berlanjutan lebih dominan disebabkan oleh prinsip dasar (1) pertumbuhan ekonomi (2) keserasian lingkungan, (3) Pola Kemitraan, (5) Peran Seta Penduduk dan (6) Sistem pemerintahahan. Sedangkan prinsip kekentalan komunitas dan sistem pemerintahan mendukung keberlanjutan lingkungan permukiman di zona industri genuk Hal ini dapat dilihat dari grafik kecenderungan kota yang tidak berkelanjutan (ditunjukkan pada grafik merah) dibandingkan yang berkelanjutan (grafik hijau), dengan alasan sebagai berikut: 1) Pertumbuhan ekonomi, kompetisi perekonomian lebih mengandalkan industri besar yang padat karya, kurang memperhatikan SDM dan lebih mementingkan skill dasar dan kurangnya tax (pajak) khusus untuk pengelolaan lingkungan. 2) Keserasian lingkungan, penggunaan sumber daya yang berlebihan, hal ini dapat dilihat dari pemanfaatan sumur dalam (artesis) yang banyak terdapat di Zona Industri Genuk dan menjadi satu-satunya sumber air bersih masyarakat. Disamping itu, rata-rata satu industri/pabrik memiliki minimal satu sumur artesis. Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah industri dan limbah rumah tangga telah mencemari hampir seluruh wilayah kota. Kurang terkoordinasinya sistem transportasi sehingga kemacetan menumpuk di Jalan Kaligawe. 3) Kekentalan komunitas, sesuai dengan kultur jawa yang sangat kuat budaya kebersamaannya, masyarakat di Zona Industri Genuk sangat erat kekerabatannya, untuk kegiatan lingkungan tidak ada eksklusivme antar warga. Sebuah hipotesa dari perilaku masyarakat adalah bahwa budaya pedesaan sangat kuat di lingkungan permukiman Zona Industri Genuk. Sebagai contoh, masih menyatunya kehidupan masyarakat dengan alam seperti membangun jamban di sungai dan lain-lain. 4) Pola kemitraan, Kemitraan antar pemerintah, swasta dan masyarakat sangat rendah. Sebagai contoh, keterbatasan air bersih. Pemerintah kota tidak menyediakan air bersih untuk masyarakat sehingga untuk memenuhi kebutuhannya masyarakat terpaksa membuat sumur dalam (artesis), padahal keberadaan sumur artesis tersebut menjadi salah satu penyebab land subsidance. 5) Peran serta penduduk, jalinan kebersamaan masyarakat untuk dilibatkan dalam perencanaan ataupun pembangunan kota masih rendah. 6) Sistem pemerintahahan, kota semarang sudah desentralisasi, yang memiliki hak dan kewajiban mengelola kotanya.
keberadaannya sangat terancam tidak berkelanjutan. Dari analisis singkat ini dapat ditarik kesimpulan permasalahan ketidak berlanjutan Zona Industri Genuk disebabkan oleh: Kebijakan yang kurang mengakomodasi permasalahan lingkungan hidup: Kebijakan pemerintah kota yang belum mengakomodasi permasalahan lingkungan di sekitar Zona Industri Genuk. Sebagai contoh permasalahan rob, land subsidance dan banjir di sekitar Zona Industri Genuk belum dapat tertangani dengan maksimal. Padahal salah satu akar permasalahannya telah diketahui yaitu eksploitasi air bawah tanah (sumur artesis) yang terlalu banyak sehingga terjadi penurunan tanah. Namun kondisi tersebut belum terpecahkan. Selanjutnya, proses monitoring lingkungan (AMDAL) lebih bersifat lokalistik yaitu hanya dilakukan pada pabrik-pabrik/industri-industri semata namun belum dilakukan hingga ke permukiman dan lingkungan sekitarnya. Tidak adanya kerjasama pengelolaan bersama yang dilakukan oleh swasta. Salah satu sumber penyebab permasalahan lingkungan adalah pihak swasta sendiri yaitu dari limbah yang ditimbulkan. Namun tidak ada suatu proses swakelola lingkungan hidup yang dilakukan oleh pihak swasta. Perilaku masyarakat yang relatif cuek terhadap lingkungan sekitarnya. Banyak rumahrumah yang membuang limbah rumah tangganya di saluran air limbah yang pada akhirnya menyatu (bercampur) dengan drainase.
2) Rekomendasi Untuk dapat mewujudkan Zona Industri Genuk yang berkelanjutan dapat dilakukan proses sebagai berikut: 1. Mengakomodasi permasalahan lingkungan, pengelolaan yang komprehensif dan menyeluruh pada kebijakan kota. 2. Perlu adanya kerjasama dengan pihak swasta dalam proses pengelolaan lingkungan hidup 3. Perlu adanya pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup yang dikelola secara rutin dan perlu adanya proses social learning terkait dengan lingkungan sehat.
10
DAFTAR PUSTAKA: Budihardjo, Eko & Sujarto, Djoko. 1997. Kota Yang Berkelanjutan (Sustainable City). Jakarta: Pengembangan pusat Studi Lingkungan (PP PSL) Keraf, A. Sonny. 2002. Etika lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas Metter, Ken. 1999. Neigborhood Sustanbaility Indicator Guidebook. Minnesota; Crossroads Resource Center Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Jakarta: Pustaka Pelajar Reid, David. 1995. Sustainable Development. London : Earthscan Publication Ltd Sariffuddin. 2006. Quality of Life and the Perception of The Community. Makalah seminar pada 2nd International Conference on Environment and Urban Management. Universitas Katolik Soegijopranoto. 2 3 Agustus 2006
11