Anda di halaman 1dari 5

BAB XI AJARAN SOSIAL GEREJA

11.1 Pengantar

Ajaran sosial gereja didasari oleh keterlibatan Gereja pada nilai-nilai dasariah seperti martabat manusia, hak setiap orang atas kondisi-kondisi yang dibuthkan untuk hidup secara bebas dan bertanggung jawab, pentingnya komunitas manusiawi, paham kepentingan umum sebagai sarana untuk kesejahteraan semua umat manusia,dimana pribadi manusia mendapatkan prioritas dari Negara. Nilai-nilai tersebut berdasar pada kebenaran-kebenaran dasariah mengenai pribadi manusia, kodrat masyarakat dan peranan Gereja. Ajaran sosial gereja bukanlah suatu pernyataan tertutup dan seragam mengenai masalah-masalah sosial . Ajaran sosial gereja tidak dapat dipisaahkan dari situasi ,dari orientasi dan kerangka berpikir tertentu .F.Hengsbagh (1982) mengemukakan tiga tipe ajaran sosial Gereja , yaitu tipe sistem, tipe kritis dan tipe tindakan.
11.2 Tiga Tipe Ajaran Sosial Gereja 11.2.1 Tipe Sistem

Ajaran sosial Gereja dengan kerangka berfikir kategori-kategori teori sisten memandang masyarakat pertama-tama sebagai keseluruhan yang teratur. Teori sistem ini dipengaruhi oleh biolog dan kubernetik modern. Definisi klasik mengemai sistem menghubumgkan keseluruham dengan bagian-bagian. Sistem merupakan keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian, tetapi lebih dari penjumlahan bagian-bagian tersebut. Versi kedua menghubungkan elemen-elemen satu sama lain maupun timbal baliknya; Sistem merupakan banyak elemen-elemen yang aktif dan saling mempengaruhi. Defenisi ketiga menunjukkan segi luar dan segi dalam; sistem merupakam satu-satunya yang terbukadan terpengaruhi oleh lingkungan sekaligus juga mengolah pengaruh-pengaruh dari luar itu. Ajaran sosial Gereja yang mengunakan kerangka berpikir teori sistem memandang masyarakat teruma sebagai kedeluruhan yang teratur.Keseluruhan sistem tampak dalam pola-pola perilaku. Bahasa dan ungkapan-ungkapan komunikasi , simbol-simbol dan norma-norma kurang merupakan pernyataan spontan orangan-perorangan , melainkan lebih merupakan struktur yang ada , yang menimpa orang-perorangan, mengesampingkan rasa tidak aman nereka dan mempertahankan stabilitas. Orang-perorangan pertama-tama merupakam elemen dari suatu sistem. Ajaran sosial gereja yang menggunakan kategori-kategori teori sistem berargumen tasi dengan hukum kodrat. Cara Berargumentasi demikian itu dipengaruhi oleh teradisi kuno, tradisi abad pertengahan dan tradisi modern fajar budi. Bagi Aristoteles apa yang

adil muncul dari kodrat, berlaku selalu dan dimana-mana, jikalau pandangan umum tidak mengakuinya. Pada abad pertengahan, hukum kodrat itu dipersonifikasi. Allah pencipta yang personal mengadakan hukum kodrat itu. Hukum itu merupakan tuntutan Allah kepada pribadi manusia yang bebas. Pemahaman modern tentang pencerahan menyempitkan hukum kodrat. Hukum kodrat diidentifikasikan dengan dengan hukum positif. Dengan demikian aturan-aturan maupun kebiasaan-kebiasaan dari tata masyarakat yang ada dilegitimasikan. Kecuali itu hukum kodrat juga disempitkan dengan pemahaman yang individualalistis, dimana hak individu semakin kuat dan kodrat manusia semakin dilihat sebagai kenyataan psikosomatis. Argumentasi Leo XIII mengenai hak milik memberikan kesan kerangka-kerangka berfikir teori system. Demikian pula beberapa bagian pandangan Pius XI mengenai insitusi Gereja, Negara, milik maupun tata masyarakat baru. Menurut grundlach (1964,dlm. Hengsbach 1982:293) masalah ajaran sosial Gereja memang mengenai struktur tatanan objektif kehidupan masyarakat. Tata objektif atau harmoni kehidupan masyarakat merupakan suatu yang dikehendaki oleh Allah dan Manusia bertugas untuk mewujudkan dalam perjalanan Sejarah. Terdapat ajaran sosial dengan kerangka berfikir teori sistem ini dapat dikemukakan catatan-catatan kritis sebagai berikut: Pertama, kerangka berfikir ini memandang masyarakat sebagai keseluruhan, sebagai konstruksi harmonis dimana setiap anggota mendapatkan tempatnya. Perbedaanperbedaan-perbedaan minat tidak mendapat tempat. Konflik-konflik kepentingan ditutupi, Dimoralisasikan atau anggapan criminal. Mirip dengan suatu keluarga besar rasa memiliki bersama dan kepercayaan kepada otoritas ditonjolkan. Kedua, intitusi-intitusi diperlakukan cukup abstrak, tanpa terutama diperhatikan elemen-elemennya yang khusus. Negara, Keluarga, milik pribadi memang kerap dikeluhkan. Namun, jarang dibicarakan ketegangan antara system politis perwakilan dan demokrasi basis. Jarang dibicarakan pengaruh pekerjaan pada komunikasi suami-istri atau hak wanita atas pekerjaan. Ditariknya hak ikut menentukan dalam sesuatu perusahaan juga jarang disinggung. Ketiga, argumentasi hukum kodrat dengan penyempitan-penyempitan yang terjadi dewasa ini telah merupakan beban. Kodrat manusiawi tidak dapat direduksikan kepada biologi, fisikosomatik, ekologi ataupun suatu keadaan sekali untuk selamanya. Manusia sendiri juga ikut menciptakan kodratnya yang berciri histories dan hanya dapat menemukan identifikasi diri dalam perkembangannya. Penjelasan mengenai hukum kodrat yang mempuyai cirri umum dan tak terikat pada waktu tertentu lebih cenderung untuk mempertahankan status quo dan mengntungkan kelompok-kelompok masyarakat yang mendapat pripilese daripada untuk mencari jalanjalan baru yang menguntungkan kaum miskin. Prinsip-prinsip hukum kodrat yang tak dibatasi waktu cenderung menjadi sangat

umum, tanpa isi konkret. Kenyataan bahwa manusia berada dalam proses belajar dan penyesuaian dilupakan. Maka Pius XII membedakan hukum kodrat yang tak berubah dengan bagian hukum kodrat yang terbatas pada situasi histories dan membawa tuntutan-tuntutan baru. Yohanws XXIII menunjuk apa adanya hierarki kebenaran-kebenaran sehingga tidak semua pernyataan mengikat secara sama.
11.2.2 Tipe Kritis

Ajaran sosial kritis menmpatkan diri sebagai protes profesi melawan situasi yang ada. Teori kritis mengenai masyarakat berlawanan dengan pemahaman masyarakat dari teori system. Masyarakat manusiaw ditandai dengan cirri personal anggota-anggotanya. Masyarakat adalah persekutuan komunikasi tempat pribadi-pribadi saling berhubunan dalam dialog. Insitusi-insitusi mendapatkan legitimilasi sejauh merupakan sarana pengungkapan komunikasi itu. Pola persekutuan manusiawi dan pola dialog yang tidak dikuasai merupakan ukuran kritis untuk menilai masyarakat yang ada, merupakan dasar membenar kankomflik-komflik yang sedang terjadi dalam masyarakat, untuk perjuangan-perjuangan pembebasan, maupun untuk mempertaankan hak-hak dasariah pribadi berhadapan dengan paksaan sitem maupun kekuasaan yang dengan topeng tertib dan harmoni merendahkan kebebasan kereatif dan kesamaan manusia. Tipe ajaran sosial kritis bergerak dalam dua taraf. Taraf pertama menyentuh kanyataan, tempat situasi yang ada digambarkan. Penggambaran propfetis lebih bercorak dramatis dengan gejala-gejala negative. Dengan nada pesimis ditunjukkkan secara tajam penyimpangan, ketidak-adilan dan kedosaan dalam masyarakat. Taraf kedua adalah tahap cita-cita, yaitu visi mengenai masyarakat yang alternative, mengenai kehidupan bersama tanpa ketakutan. Masyarakat baru ini ditandai denagn persaudaan, kasih dan keadilan, bukan kekerasan dan paksaan. Dalam masyarakat baru ini terdapat keprihatian bagi yang lemah. Perubahan hati dan pembebasan manusia dari ketergantungan ekonomis maupun politis merupakan ketegangan antara cita-cita dan kenyataan ditangani. Untuk tipe ajaran sosial kritis ini dapat dikemukakan beberapa contoh. Leo XIII melihat situasi negative kelas buruh dan memberi semangat agar mereka mengorgasasi diri untuk membela kepentingan mereka sendiri. Pius XI menggambarkan konsentrasi kekuatan modal. Ajaran yohanes XXIII yang menggunakan kata kuncitanda-tanda zaman dapat digolongkan dalam tipe kritik propetis ini. Dapat kita ingat kritik paus VI terdapat kapitalisme, yang mengandung penilaian skeptis terhadap perdagangan bebas dan kebebasan formal perjanjian antara para partner dengan adikuasa dari Negara-negara industri pada situasi ekonomis yang tidak seimbang.
STAKPN Tarutung 2010 68

elemen kunci dalam proses

perubahan, tempat komflik-komflik mendapatkan penyelesaiannya. Dalam proses itulah

Dapat kita ingat pula penggambaran ajaran Gereja mengenai komfilik utara-selatan; dan lebih jelas lagi adalah sinode para uskup di Roma yang menggambarkan antagonismeantagomisme global, kegagalan politik perkembangan, lingkaran-lingkaran setan yang telah menjadi system amupun bahaya-bahaya neokolonialisme yang mempermainkan dunia ketiga bagi kekuatan ekonomi pribadi. Disuarakan pula jeritan pula jeritan korban kekerasan dan system-sistem maupun mekanisme yang tidak adil. Ensiklik-ensiklik Yohanes Paulus II juga memperluhatkan cirri dialektis-profetis, bersifat kritis terhadap system, meskipun ditampilkan dari hukum kodrat. Dia menggambarkan situasi pesimis masyarakat konsumtif barat, dan mempeerjuangkan hakhak manusia dalam dimensi kebebasan pribadi maupun dimensi sosialnya. Paus menunjukkan gambaran-gambaran dramatis dari dunia dewasa ini: komplik militer yang mengancam, produksi senjata yang berlebihan, sarana-sarana teknis penindasan dan penguasaan, peradaban materialistis dan penyalahgunaan kebebasan, antagonisme antara kelimpahan dan kelaparan, ketidaksamaan yang semakin meningkat, tiadanya tertib moral sturuktur(bdk. PaulusVI,OA,1971:40). Tipe ajaran sosial kritis ini mempunyai bahasa yang sangat mengesan dengan menampilkan situasi konkret penderitaan manusia maupun masyarakat alternative yang ideal. Namun timbul pertanyaan, bagaimanakah langkah-langkah berikutnya. Misalnya, bagaimanakah melaksanakan prioritas kerja terhadap modal? Ajaran sosial tipe kritis ini memberi nilai yang tinggi terhadap pribadi manusia dalam rangka perubahan sturuktur. Tujuan-tujuan yang ditampilakan dapat memberikan motivasi kearah suatu gerakan. Keterbatasan tipe ajaran sosial kritis ini terletak pada keterbatasan analisisnya, namun juga tidak tertutup untuk suatu analisis lebih lanjut.
Tipe Tindakan

Tipe ajaran sosial ini menampilkan tindakan manusia sebagai pusat penjelasan mengenai masyarakat maupun perusahaannya. Namun pribadi manusia tidak terlepas dari hubunagan sosialnya. Tindakan kemasyarakatan merupakan proses keputusan yang mempunyai cirri kolektif. Keputusan adalah suatu reaksi terhadap situasi yang mengandung banyak atau beberapa kemungkinan untuk memilih. Dan keputusan kolektif lahir dari interaksi orang-orang atau kelompok dengan penilaian yang berbeda-beda. Dalam suatu masyarakat pluralisme komplik-komplik yang muncul diijinkan, agar ide-ide kreatif dan dasar argumentasi dapat fikembangkan. Proses keputusan kolektif ini dilalui untuk menemukan jalan keluar yang lebiha baik. Keputusan kolektif bukan hanya hasil deduksi logis. Keputusan kolektif merupkan kehendak dan keberanian bersama. Keputusan kolektif bias dilaksanakan melalui perwakilan. Pengaturan semacam ini dapat dibenarkan sejauh ada hubungan ang sehat antara kelompok-kelompok dengan wakil-wakilnya dan sejauh control terhadap wakil-wakilnya itu dapat dijalankan.

Ajaran sosial dengan pemahaman yang beriorientasi pada tindakan mencerminkan proses keputuan kolektif berjalan melalui tahap-tahap yang saling berhubungan secara berurutan sebagai berikut: Fase pertama adalah penggambaran situasi yang muncul dari pengalaman langsung mengenai orang-orang yang menderita dan dirugikan. Fase kedua adalah penjelasan mengenai situasi yang negative itu. Fase ini merupakan analitis mengenai sebab-sebab dari situasi tersebut. Penjelasan meliputi bermacam-macam segi, seperti misalnya segi individual, kolektif, histories,alkitabiah dll. Fase ketiga adalah pertemuan tujuan. Macam-macam tujuan dirumuskan suatu persatuan dalam keseluruhan tuuan yang ingin dicapai. Fase keempat adalah memilih sarana untuk untuk memnghapuskan sebab-sebab situasi negative itu dan untuk mencapai tujuan. Dampak samping dari sarana-sarana itu juga diperhitungkan. Pelaksanaan sarana dapat menyangkut taraf personal, yaitu perusahaan gaya hidup, maupun menyangkut taraf sturuktural, yaitu yang menyangkut perubahan masyarakat. Jalan yang ditempuh dalam proses keputusan bersama adalah dialog. Kesediaan untuk dialog kemasyarakatan mengandaikan tida syarat sebagai berikut: setiap perserta dialog mempunyai kesempatan yang sama untuk mengemukakan pandangannya. Para peserta dialog saling mengakui hak dan tuntutan masing-masing. Para peserta dialog menmpatkan minat masing-masing pada kepentingan yang muncul dalam dialog kemasyarakatan tersebut. Dialog kemasyarakatan mengkonfrontasikan setiap persertadengan pertanyaan-pertanyaan yang asing. Melalui proses belajar mengajar bersama diharapkan muncul keputusankolektif mengenai suatu alternative tindakan. Tipe ajaran sosial tindakan ini tampak misalnya pada Yohanes XXIII(MM,1961:238), Paulus VI(OA,1971:4,25,17,50) Barangkali pertanyaan-pertanyaan tertentu tipe ajaran sosial tindakan ini meberikan kesan semacam teori keputusan kemasyrakatan mengenai ekonomi atau politik. Namun haruslah diakui bahwa refleksinya mengenai hal-hal tertentu dalam terang iman Kristen sungguh sangat berharga, misalnya mengenai kesamaan laki-laki dan perempuan, makna pekerjaan, solidaritas internasional dan sebagainya. Ajaran sosial tipe tindakan ini mengingatkan gereja akan kenyataan bahwa kepercayaan terhadap apa yang diajarkan oleh gereja bergantung pada praksis sosial Gereja sendiri.

STAKPN Tarutung 2010

70

Anda mungkin juga menyukai