Anda di halaman 1dari 3

Masalah dari Penggunaan Zat Pengawet?

Anda tentu tidak pernah memikirkan bahwa zat pengawet merupakan bagian penting dari produk perawatan kulit serta kosmetik Anda. Hal ini sebetulnya tak perlu dipertanyakan lagi-jelas bahwa produk perawatan kulit serta kosmetik memerlukan zat pengawet. Hal ini terutama berlaku bagi produk-produk yang mengandung ekstrak tanamanpikirkan saja berapa lama sayur selada dapat bertahan di dalam kulkas Anda. Tanpa adanya zat pengawet, produk-produk yang Anda gunakan setiap hari seperti pembersih/cleanser, lotion, toner, blush, foundation, ataupun maskara akan dipenuhi dengan berbagai bakteri, kapang, dan jamur, dan membuatnya berbahaya bagi kulit, mata, dan membran mukus/lendir. Akan tetapi, seberapapun pentingnya zat pengawet bagi keamanan penggunaan produk kosmetik, mereka juga banyak dikritik selama bertahun-tahun. Sebagai contohnya, pada awal tahun 90an, ditemukan bahwa zat pengawet yang melepas formalin/formaldehyde-releasing (seperti 2-bromo-2-nitropane 1-3 diol atau DMDM hydantoin) dikombinasikan dengan amines (seperti triethanolamine), sesuatu yang disebut dengan bentuk nitrosamine, dan nitrosamine (dalam berbagai bentuknya), ternyata bersifat karsinogenik (berpotensi menimbulkan kanker). Masalah ini dilihat tidak signifikan untuk produk kosmetik karena jumlah zat pengawet yang digunakan di dalam produk kosmetik sangat sedikit. Tidak ada uji coba yang menunjukkan bahwa zat pengawet menyebabkan masalah bagi orang yang menggunakan makeup ataupun perawatan kulit. Penelitian yang berhubungan dengan properti karsinogenik dari nitrosamine dilakukan dengan meminumkannya kepada tikus percobaan. Walau begitu tetap saja bukan hal yang menyenangkan mengetahui kosmetik Anda, seperti apapun bentuknya, memiliki asosiasi dengan kata karsinogenik. Sebagai akibatnya, di samping keefektifannya, zat pengawet yang berbahan dasar formaldehyde/formalin tidak sepopuler sebelumnya. Kelompok zat pengawet lainnya (paraben) sekarang berada dalam posisi sulit seperti formaldehyde, dan hal ini sering menjadi pertanyaan dari pembaca saya. Paraben bisa hadir dalam bentuk butylparaben, ethylparaben, isobutylparaben, methylparaben, atau propylparaben, dan telah dihubungkan (dalam penelitian terbatas dengan sedikit subjek) dengan kanker payudara sehubungan dengan aktifitas estrogenik mereka yang lemah dan keberadaan mereka dalam tumor kanker payudara. Walaupun penelitian tersebut terbatas, beberapa orang tetap merasa khawatir, terutama karena diperkirakan bahwa lebih dari 90% dari semua produk kosmetik mengandung satu atau lebih paraben. Faktanya, paraben merupakan zat pengawet yang paling banyak digunakan di dunia karena keberhasilannya, rendahnya resiko iritasi yang mungkin mereka timbulkan, dan stabilitasnya. Kekhawatiran mengenai penggunaan paraben berawal dari sebuah penelitian yang diterbitkan oleh Journal of Steroid Biochemistry and Molecular Biology (Januari 2002, halaman 4960) yang mengevaluasi aktivitas estrogenik paraben pada sel-sel kanker payudara manusia. Hasil yang sangat teknis dari penelitian ini, yang melibatkan penggunaan zat tersebut secara oral maupun injeksi ke kulit tikus, menunjukkan efek estrogenik yang lemah terhadap sel-sel yang dapat menjadi bermasalah dalam berikatan dengan reseptor yang dapat menyebabkan proliferasi/meningkat pesatnya sel-sel kanker payudara MCF-7.

Penelitian selanjutnya mengidentifikasi adanya paraben dalam sampel tumor payudara pada 20 orang pasien. Fokus utama penelitian ini adalah penggunaan deodoran yang mengandung paraben dan bukannya kosmetik secara umum, tetapi telah dijadikan landasan untuk industri kosmetik secara keseluruhan, mendorong banyak konsumen untuk memeriksa daftar bahan dari produk yang mereka gunakan. Satu kesepahaman yang dicapai oleh semua peneliti yang menyelidiki isu ini adalah informasi ini tidak meyakinkan dan tidak jelas; dibutuhkan penelitian lebih jauh mengenai paraben. Sebagai contohnya, adanya paraben di dalam tumor payudara manusia tidak berarti mereka merupakan penyebab utama terjadinya tumor. Selain itu, juga tidak diketahui apakah keberadaan paraben dalam kosmetik akan menyebabkan masalah ataukah hanya ketika ia digunakan sebagai deodorant saja, seperti yang telah dihipotesakan oleh para peneliti (Sumber Journal of Applied Toxicology, JanuariFebuari 2004, halaman 14, SeptemberOktober 2003, halaman 285288, dan MaretApril 2003, halaman 8959; dan Journal of the National Cancer Institute, Agustus 2003, halaman 11061118). Hal lainnya yang penting untuk diketahui adalah paraben juga digunakan dalam produk-produk makanan (Sumber: Food Chemistry and Toxicology, Oktober 2002, halaman 13351373), yang juga dapat menjadi sumbernya. Hingga kini tidak ada seorangpun yang mengetahui (ataupun mengevaluasi) apakah konsumsi paraben ataukah penggunaannya di kulit yang sesungguhnya bertanggung jawab terhadap keberadaan mereka di dalam jaringan tubuh manusia. Dan tidak ada seorangpun yang tahu apa artinya keberadaan paraben di dalam tubuh manusia itu sendiri. Apakah hal ini berarti Anda harus berhenti membeli produk-produk yang mengandung paraben? Pertanyaan yang baik, tetapi jawabannya tidaklah sederhana ataupun pasti, bahkan oleh standar dari penelitian itu sendiri. Jelas ini merupakan isu yang serius, dan FDA sedang melakukan penelitian mereka sendiri untuk menentukan pengaruhnya terhadap kesehatan tubuh manusia (Sumber: The Endocrine Disruptor Knowledge Base (EDKB), http://edkb.fda.gov/index.html). Sebagai titik acuan, penting untuk mengetahui bahwa paraben bukanlah satu-satunya zat yang memiliki efek estrogenik terhadap tubuh. Isunya adalah sumber estrogen manapun, termasuk yang dihasilkan oleh tubuh kita ataupun jenis yang diasosiasikan dengan ekstrak tanaman, dapat berikatan dengan titik-titik reseptor pada sel, baik secara lemah maupun kuat. Hal ini dapat menstimulasi reseptor untuk mengimitasi efek dari estrogen tubuh kita sendiri dengan cara yang positif, atau bisa juga menghasilkan respons estrogen yang abnormal. Ada kemungkinan bahwa estrogen yang terikat lemah dapat membantu tubuh, tetapi ada kemungkinan bahwa estrogen yang terikat kuat dapat memperburuk masalah. Sebagai contohnya, ada sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa kopi merupakan masalah untuk penyakit fibrocystic breast, kemungkinan karena kopi memperkuat efek estrogenik pada sel-sel payudara (Sumber: Journal of the American Medical Women's Association, Musim Semi 2002, halaman 8590; American Journal of Epidemiology, Oktober 1996, halaman 642644; dan Annals of the New York Academy of Science, Maret 2002, halaman 1122). Sebuah penelitian yang dilakukan di Departemen Obstetrics (kebidanan) dan Gynecology (kandungan) di Perguruan Tinggi Kedokteran Baylor di Houston, Texas, menyelidiki efek estrogenik dari akar licorice, cohosh hitam, dong quai, dan ginseng terhadap proliferasi sel MCF-7, suatu barisan sel kanker payudara manusia . Hasilnya menunjukkan bahwa Dong

quai dan ginseng secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan sel MCF-7 secara berurutan pada lipatan 16- dan 27-, dibandingkan dengan sel-sel kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan apapun, sementara cohosh hitam dan akar licorice tidak (Sumber: Menopause, Maret April, 2002, halaman 145150). Penelitian yang lebih baru menyimpulkan bahwa produkproduk yang dijual bebas yang mengandung kedelai, semanggi merah, dan kombinasi herbal mempengaruhi peningkatan kecepatan proliferasi MCF-7 [kanker payudara], mengindikasikan aktifitas estrogen-antagonistic. (Sumber: Menopause, MeiJuni 2004, halaman 281289). Saya sungguh berharap ada cara yang lebih mudah dalam menjawab pertanyaan ini, tetapi sayangnya tidak ada. Saya bahkan tidak dapat memberitahu Anda untuk menghindari produkproduk yang mengandung paraben karena bila demikian maka tidak akan ada produk yang dapat saya rekomendasikan. Bahkan cosmetic lines yang menyatakan (walaupun dibesar-besarkan) menggunakan bahan-bahan alami seringkali menggunakan paraben sebagai bahan pengawet karena paraben merupakan bahan yang food grade (dapat dimakan). Menarik untuk dibahas disini bahwa paraben sesungguhnya memiliki asal yang alami. Paraben dibentuk dari asam (phydroxy-benzoic acid) yang terdapat di dalam raspberry dan blackberry (Sumber: Cosmetics & Toiletries, Januari 2005, halaman 22). Dengan ini berakhirlah kepercayaan bahwa bahan-bahan alamiah merupakan satu-satunya jawaban untuk produk perawatan kulit. Satu hal lagi yang akan kita bahas, yaitu mengenai kanker payudara sehubungan dengan penggunaan deodoran di ketiak. Sebuah penelitian mengenai permasalahan penggunaan deodoran di ketiak dan kanker payudara dilakukan pada bulan Oktober 2002 oleh Pusat Penelitian Kanker Fred Hutchinson yang terletak di Seattle. Hasil penelitian tersebut dipublikasikan dalam Journal of the National Cancer Institute. Penelitian ini membandingkan penggunaan deodoran di ketiak 810 wanita yang telah didiagnosa terkena kanker payudara serta 793 wanita yang tidak menderita penyakit tersebut. Ketika kedua kelompok tersebut diperbandingkan, para peneliti menemukan tidak ada bukti peningkatan resiko kanker payudara dihubungkan dengan penggunaan antiperspirant atau deodoran, atau penggunaan antiperspirant atau deodoran setelah bercukur menggunakan silet tradisional. Singkatnya, para peneliti percaya bahwa penelitian mereka membuktikan tidak ada hubungan antara penggunaan deodoran di ketiak dengan resiko kanker payudara.

http://www.paulaschoice-indo.com

Anda mungkin juga menyukai