Anda di halaman 1dari 9

Kesukuan Daerah: Sebuah Masalah Dasar dalam Otonomi Daerah

OPINI | 17 January 2012 | 16:23 Dibaca: 573 Komentar: 0 Nihil Tulisan ini akan memaparkan pandangan penulis tentang otonomi daerah di Indonesia dalam pelaksanaannya sampai dengan saat ini. Tulisan ini berdasarkan tema Sistem Politik dalam Konteks Sistem Sosial Indonesia, kaitannya dengan tema tersebut, penulis mencoba menganalisis salah satu isu yang sering dilontarkan oleh khalayak umum terhadap pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Otonomi daerah selama ini masih menjadi primadona untuk diperbincangkan, terlebih pada negara kesatuan seperti Indonesia yang menganut demokrasi, sudah selayaknya untuk memberikan kewenangan kepada daerah supaya terjadi kesetaraan antar daerah. Namun dalam pelaksanaannya, otonomi daerah banyak mengalami kendala, salah satu faktornya yaitu sosial budaya masyarakat Indonesia yang multikulturalisme, sehingga menjadi hambatan dalam penyeragaman pelaksanaan otonomi daerah. Dari aspek sosial budaya yang disoroti dalam tulisan ini, kebijakan otonomi daerah merupakan pengakuan terhadap keanekaragaman daerah, baik itu suku bangsa, agama, nilai-nilai sosial, dan budaya serta potensi lainnya yang terkandung di daerah. Pengakuan pusat terhadap keberagaman daerah merupakan suatu nilai penting bagi eksistensi daerah. Dengan pengakuan tersebut, daerah akan merasa setara dan sejajar dengan suku bangsa lainnya, hal ini akan sangat berpengaruh terhadap upaya mempersatukan bangsa dan negara. Pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya lokal dapat lebih ditingkatkan, dimana pada akhirnya kekayaan budaya lokal akan memperkaya khasanah budaya nasional. Sekilas Otonomi Saat Ini Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksud daerah otonom yang selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan yang dimaksud otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah merupakan kebijakan yang sangat bagus untuk diterapkan agar supaya daerah-daerah mempunyai peranan dalam mengatur rumah tangganya secara mandiri. Kebijakan otonomi daerah dengan maksud awal untuk mengubah orientasi pertumbuhan baik itu dibidang ekonomi, sosial budaya, maupun politik ke arah orientasi pemerataan pembangunan antar daerah seperti yang diungkapkan oleh Hadi (1993). Proyek ini selanjutnya ditindaklanjuti dengan

keluarnya repelita, namun repelita saja tidak cukup sehingga keluarlah Undang-Undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Perundangan yang terbaru, Undang-Undang No. 32 tahun 2004 yang berisi pengaturan revisi otonomi daerah. Pratikno dikutip oleh Karim (2003) menegaskan sangat boleh jadi undang-undang tersebut bukan merupakan sebuah pilihan final. Untuk menjadikannya final, diperlukan sebuah penyepakatan komitmen untuk menjadikan desentralisasi itu sebagai referensi utama dalam penataan hubungan pusat dan daerah. Memang selama ini masih terjadi kebingungan pemerintah untuk mengatur perimbangan kekuasaan tersebut, masing-masing daerah tidak seragam dan sangat heterogen. Karim (2003) mengargumentasikan bahwa Indonesia senantiasa kesulitan dalam mencari format ideal bagi desentralisasi politik dan otonomi daerah. Derajat heterogenitas geografis maupun sosial budaya yang cukup tinggi, maka daerah cenderung menuntut kekuasaan yang lebih besar. Padahal jika dirunut dalam manfaat, jika penerapan desentralisasi melalui otonomi daerah dilaksanakan dengan baik dan tanpa hambatan, akan memberikan keuntungan yang lebih bagi daerah maupun pusat sebagai central government. Pratikno (2007) memaparkan keuntungan kerjasama antar daerah dalam konteks desentralisasi. Beberapa diantaranya yaitu manajemen konflik antar daerah, efisiensi dan standardisasi pelayanan, pengembangan ekonomi bersama, dan pengelolaan lingkungan yang menjadi incaran negara-negara maju saat ini. Namun dari manfaat yang akan didapat selama penerapan desentralisasi, faktanya untuk saat ini masih banyak masyarakat merasa kurang puas akan hasil yang dicapai otonomi daerah. Pengaturan yang dilakukan hendaknya perlu penanganan khusus dikarenakan kondisi Indonesia sangatlah kompleks. Sebagaimana pendapat Ratnawati (1993), mengatur dan melaksanakan desentralisasi di negara kesatuan seperti Indonesia tidaklah semudah seperti pada negara-negara kecil yang wilayahnya tidak begitu luas dengan kondisi sosial budaya yang relatif rendah heterogenitasnya. Sepakat dengan pendapat tersebut, terlepas dengan berbagai dugaan tentang keburukan otonomi daerah yang lain, perlu digarisbawahi pada aspek sosial budaya Indonesia. Kesukuan Sebagai Masalah dalam Otonomi Daerah Seperti pembahasan pada bab sebelumnya, yang memaparkan tentang penerapan dan permasalahan otonomi daerah, pembahasan selanjutnya akan disinggung mengenai masalah kesukuan yang termasuk dalam daftar permasalahan otonomi daerah pada aspek sosial budaya. Kita semua tahu akan kekayaan material Indonesia, bahkan pulau di Indonesia adalah terbanyak di dunia dikutip dalam majalah Kiprah, Januari 2012, kekayaan tersebut juga diimbangi dengan kekayaan budaya yang banyak dan bersuku-suku. Masing-masing suku mempunyai karakteristik bermacam-macam dan mempunyai semangat masing-masing pula untuk memajukan kelompok keluarganya. Suku biasanya terdiri dari sekelompok keluarga kecil yang bergabung menjadi suatu komunitas dan mempunyai wilayah masing-masing. Sistem kesukuan seperti ini banyak ditemukan di luar pulau Jawa, seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Mayoritas dari keberadaan mereka sangat tradisional dan terikat oleh suatu aturan adat turun temurun dan sama sekali tidak berkaitan dengan nalar

peraturan perundang-undangan negara. Mereka menggunakan suatu kebiasaan nenek moyang mereka untuk melakukan sesuatu, dengan saling percaya sesama komunitas, mereka dapat hidup mengatur rumah tangganya. Dalam Ilmu Sosiologi Keluarga, ada berbagai macam tipe keluarga yang menghiasi bumi nusantara kita, mulai dari keluarga maternal, keluarga paternal, keluarga patrialkal, hingga demokratis modern. Itulah yang membentuk banyak suku dengan beragam sistem sosial yang dipakai dalam mengatur kehidupan rumah tangganya. Khairuddin (2002) memberikan contoh tentang sistem sosial masyarakat Batak Angkola, sistem sosial ini berdasarkan Dalihan Na Tolu, tiga kelompok masyarakat yang mempunyai persesuaian pada situasi dan kondisi. Itulah secara sepintas contoh keragaman budaya di Indonesia, jika dari Batak Angkola tadi dijelaskan peraturan dalam sistem sosialnya pastilah panjang dan kita juga belum tentu paham tentang aturan tersebut. Hanya kelompok atau suku merekalah yang paham betul akan peraturan tersebut. Kecenderungan banyak suku di Indonesia mengarah pada budaya politik Parokial, mereka tidak menyadari adanya sistem politik yang bergulir di daerahnya. Lain tempat, lain pula sistem sosialnya, apalagi dengan kondisi Indonesia yang beribu pulau, terpisahkan oleh lautan, menambah daftar panjang masalah yang dihadapi oleh pemerintahan pusat. Pasalnya kondisi geografis yang berbeda tentu kondisi lapangan juga berbeda, begitu juga manusianya. Pemerintah membuat peraturan desentralisasi juga akan sulit menyesuaikan kondisi fisik di daerah. Apalagi dengan semangat untuk memberdayakan civil society, sudah seharusnya melibatkan peranan masyarakat di daerah yang heterogenitasnya tinggi dalam berbagai hal. Dari suatu daerah saja bisa terdiri dari beberapa suku atau kelompok masyarakat, mereka bisa saling memperebutkan aspirasi tentu saja untuk kelompoknya. Bagi kelompok dengan suara mayoritas mereka tentu akan mengatakan bahwa sistem desentralisasi sangat menguntungkan bagi kelompok mereka. Namun sangat berkebalikan dengan kelompok yang suaranya lemah di ranah daerah tersebut, dapat berakhir dengan suatu diskriminasi terhadap kelompok tersebut. Lay (2001) menambahkan bahwa hal semacam itu juga sudah menjadi keluhan umum dicukup banyak daerah, sekalipun bisa diperkirakan sejak awal bahwa ini merupakan fenomena transisi yang akan bisa disudahi seiring dengan diberlakukannya aturan main yang lebih menjamin. Masalah yang timbul banyak diantaranya soal kekuasaan atas tanah leluhurnya. Banyak suku-suku yang rela untuk memperebutkan bagian dari wilayahnya yang diklaim oleh suku lainnya bahkan memasuki era modern tanah tersebut juga diklaim oleh pemerintah. Kesulitan untuk bernegoisasi dengan para tetua suku dan pemilik tanah adat menjadi tantangan bagi pemerintahan daerah. Apalagi di bawah tanah yang diperebutkan tersimpan kekayaan alam yang melimpah. Seperti yang terjadi di tanah Freeport yang dimiliki oleh tujuh suku dan kemudian dibawah tanah tersebut tersimpan berton-ton emas dan uranium. Namun suku-suku di Papua tetap saja banyak yang hidup berada dibawah garis kemiskinan, aspirasi mereka dipermainkan oleh oknum tertentu dan swasta asing. Masyarakat yang lemah akan kemampuan mereka cenderung dibodohi oleh oknum negara sendiri dengan dalih otonomi daerah untuk pemberdayaan manusia dan sumber daya alam yang melimpah. Menjadi potensi untuk kemajuan yang semu, toh mereka yang dijanjikan untuk bekerja juga sebagai kuli kasar bukan sebagai pemilik, hanya dibayar beberapa puluh dollar

saja sudah bungkam tanpa suara, karena memang mereka tidak mempunyai jalan pemikiran yang modern. Contoh kesulitan lain yang dihadapi pemerintah dalam kaitannya masalah kesukuan, menurut Maddick (2004) kesulitan administratif dan program pembangunan untuk sistem simetri. Masalah pembangunan atau modernisasi dalam tubuh kesukuan, dinilai dari satu sisi sebagai perusakan terhadap keanekaragaman juga dianggap sebagai ancaman terhadap nilai kesukuan. Namun disisi yang lain pemerintah juga perlu meningkatkan taraf peradaban dari sebuah komunitas masyarakatnya. Maddick (2004) menambahkan lebih lanjut program pembangunan mungkin juga sangat berhasil dalam mengurangi ketegangan dan kedukaan, dengan memperluas kesempatan ekonomi dan sosial suku. Peranan suku dalam bidang sosial politik sama halnya seperti masyarakat modern-nya Burgess dan Locke. Seperti dalam mata kuliah Sistem Sosial Politik yang selama ini fokus pada pembahasan mengenai sistem politik menurut Gabriel A. Almond bahwa ada tahapan-tahapan yang memutar dan kontinyu sehingga membentuk seperti bola lampu pijar. Dalam sisi awal ada proses input yang berisikan masukan dan dukungan, pemerintah dalam memperoleh masukan dan dukungan selama ini dirasa kurang begitu adil. Masukan dan dukungan biasanya didapat hanya dari kelompok mayoritas dalam sistem masyarakat, dan peran suku-suku atau komunitas yang kalah suara dipastikan tidak akan didengar oleh pemerintah, baik itu daerah maupun pemerintah pusat. Sangat ironis memang, disaat pemerintah menggembor-gemborkan pemberdayaan dan hak asasi manusia, justru kelompok minoritas sangat sulit untuk memberikan input kepada pemerintah sebagai jembatan aktor. Ditambah lagi jika suku itu bersifat sangat tradisional, mereka cenderung tidak mau tahu dengan keadaan di luar sana, yang terpenting bagi mereka adalah mencari makan sesuai dengan aturan adatnya, belum sampai dalam benak mereka untuk berpacu membangun bersama daerahnya. Masyarakat yang heterogen, mempunyai kesempatan besar sebenarnya saat ini untuk menyampaikan aspirasi daerahnya. Artikulasi dalam penyampaian kepentingan sangat terbuka lebar, namun dalam hal agregasi kepentingan sepertinya pemerintah baik daerah maupun pusat merasa kewalahan dalam menampung aspirasi masyarakat yang sebegitu bermacam-macam. Sebagaimana diungkapkan Haryanto (2003), kondisi ini menyebabkan semakin besarnya kemungkinan bagi munculnya benturan antar kelompok yang satu dengan yang lain. Dengan kata lain, perubahan yang terjadi membuka kemungkinan bagi munculnya konflik horizontal antar daerah. Kesukuan tidak bisa menjalankan multisistem, dalam pengaturan rumah tangganya ditambah dengan sistem peraturan dari pemerintahan daerah yang dibuat secara kasar, dalam artian tanpa melihat kondisi nyata daerah masing-masing. Penggunaan dua sistem yang dipaksakan akan menimbulkan banyak konflik seperti yang penulis sebutkan paragraf sebelumnya. Solusi bagi Pemerintah Daerah Adanya masalah kesukuan yang ditandai dengan adanya perebutan kekuasaan antar suku dan sulitnya bernegosiasi terhadap pihak suku sehingga lambat laun akan menjadi konflik secara horizontal di daerah. Untuk menyelesaikan masalah kesukuan semacam ini yang lebih

bertanggungjawab adalah pemerintahan daerah sebagai aktor utama namun perlu juga bantuan dari pemerintahan pusat sebagai mentor dari pemerintahan daerah juga peranan dari masyarakat itu sendiri. Memegang kunci kendali terhadap tetua adat, tidak hanya saat dibutuhkan saja mereka dirangkul namun sedikit demi sedikit daerah mulai melakukan pendekatan secara baik-baik, penulis yakin bahwa pola seperti ini akan menumbuhkan kembali sikap saling percaya antara daerah dan kepala suku atau tetua adat. Sistem dalam otonomi daerah seharusnya dikaji ulang dimulai dari aspek yang paling dasar dalam penyelenggaraannya yaitu proses input berupa tuntutan dan dukungan. Pemerintah daerah juga harus jeli memandang sebuah fenomena, termasuk dalam implementasi kebijakan. Jika sedari awal aspek-aspek dasar diperhatikan maka berjalannya sebuah kebijakan tentu bukan barang mustahil akan berjalan lancar sesuai dengan tujuan awal yang akan dicapai, yakni pemberian wewenang kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya secara mandiri. Memang agak sulit mendengarkan semua aspirasi dari masyarakat daerahnya, namun memang seperti itulah tantangannya, adanya pemerintah daerah adalah untuk mencari solusi dari segala benturan kepentingan masyarakatnya. Prof. Soepomo dikutip oleh Soenyono (2011) menyatakan bahawa otonomi daerah sebagai prinsip berarti menghormati kehidupan regional menurut riwayat adat dan sifat-sifat sendiri-sendiri, dalam kadar negara kesatuan. Tiap daerah mempunyai historis dan sifat khusus yang berlainan dari riwayat dan sifat daerah lain. Karena itu, pemerintah harus menjauhkan segala urusan yang bermaksud akan menguniformisir seluruh daerah menurut satu model. Memang benar pernyataan tersebut, jika tidak adanya tuntutan dari masyarakatnya berarti kehidupan sudah berjalan tentram dengan sendirinya dan masyarakat atau suku-suku tidak memerlukan pemerintah di daerah, sama halnya tidak adanya kehidupan yang bergulir. Sebagai penutup tulisan ini, penulis menekankan bahwa memang salah satu yang menjadi permasalahan adalah persoalan tentang kesukuan di daerah. Namun tidak menutup kemungkinan yang lain bahwa masih banyak permasalahan lain selain sosial budaya yang berpengaruh langsung terhadap implementasi kebijakan otonomi daerah. Solusi yang ditawarkan oleh penulis hanya sebatas analisis dan perlu pengkajian ulang. Haryanto (2003) berpesan bahwa peran apapun yang dilakukan pemerintah daerah harus didasarkan pada pertimbangan untuk pemenuhan kepentingan masyarakat yang ada di wilayahnya serta pertimbangan lain yang tidak kalah pentingnya yaitu bahwa peran yang dilakukan tersebut tidak akan mengakibatkan lepasnya daerah atau wilayah dari ikatan bingkai NKRI. Purworejo, 06 Januari 2012 Referensi : Buku Khairuddin, H. Drs H.SS. 2002. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta: Liberty. Pratikno, Dr. M.Soc.Sc. (ed). 2007. Kerjasama Antar Daerah: Kompleksitas dan Tawaran Format Kelembagaan. Yogyakarta: Jogja Global Media.

Karim, Abdul Gaffar (ed). 2003. Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indoneisa. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM Pustaka Pelajar. Maddick, Henry. 2004. Desentralisasi dalam Praktek. Yogyakarta: Pustaka Kendi. Jurnal Suprayoga Hadi, 1993, Dari Orientasi Pertumbuhan ke Orientasi Pemerataan Pembangunan Antar-Daerah, Afkar Jurnal Tiga Bulanan Cides, Vol. I/No. 1. April-Juni 1993. Tri Ratnawati, 1993, Desentralisasi Era PJPT II dan Kebijakan Otonomi Daerah dengan Titik Berat pada Daerah Tingkat II, Afkar Jurnal Tiga Bulanan Cides, Vol. I/No. 1. April-Juni 1993. Artikel Indonesia Negara Kepulauan Terbesar Dunia. Kiprah, No. 1 Januari 2012. http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/05/permasalahan-dalam-menyelenggarakan-otonomidaerah-dan-prospeknya-di-masa-mendatang/ ,diakses tanggal 4 Januari 2012 Soenyono, Pengamalan Pancasila dalam Implementasi Otonomi Daerah. 21 September 2011. http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=64&Itemid=1, diakses tanggal 4 Januari 2012
http://politik.kompasiana.com/2012/01/17/kesukuan-daerah-sebuah-masalah-dasardalam-otonomi-daerah/

JAKARTA,SELASA - Distribusi pembagian kekuasan di antara pemerintah pusat, regional dan lokal- atau yang sering disebut otonomi daerah- sebagai salah satu agenda utama dari transisi demokrasi, pada dasarnya digerakkan oleh motif pengaturan kekuasaan yang lebih adil. Namun, faktanya otonomi daerah menjadi sebuah agenda transisi yang terpisah dan terlepas dari rasionalitas demokrasi sejak demokrasi di Indonesia "dipulihkan" pasca reformasi. Hal ini diungkapkan oleh pengamat politik dari Universitas Airlangga Daniel Sparringa dalam Panel I Lokakarya Nasional VII HAM yang diselenggarakan oleh Komnas HAM di Jakarta, Selasa (8/7). Menurut Sparringa, saat ini otonomi daerah menciptakan sejumlah praktik politik lokal yang ganjil, aneh, kontradiktif dan paradoksikal. Orientasinya lebih kepada elite daripada massa, mendorong terjadinya fenomena local boss politics atau timbulnya raja-raja kecil di daerah, meluasnya korupsi serta menghasilkan politik identitas yang tidak saja mengancam HAM dan pluralisme, namun juga multikulturalisme. JAKARTA,SELASA - Distribusi pembagian kekuasan di antara pemerintah pusat, regional dan lokal- atau yang sering disebut otonomi daerah- sebagai salah satu agenda utama dari transisi demokrasi, pada dasarnya digerakkan oleh motif pengaturan kekuasaan yang lebih adil. Namun, faktanya otonomi daerah menjadi sebuah agenda transisi yang terpisah dan terlepas dari rasionalitas demokrasi sejak demokrasi di Indonesia "dipulihkan" pasca reformasi. Hal ini diungkapkan oleh pengamat politik dari Universitas Airlangga Daniel Sparringa dalam Panel I Lokakarya Nasional VII HAM yang diselenggarakan oleh Komnas HAM di Jakarta, Selasa (8/7). Menurut Sparringa, saat ini otonomi daerah menciptakan sejumlah praktik politik lokal yang ganjil, aneh, kontradiktif dan paradoksikal. Orientasinya lebih kepada elite daripada massa, mendorong terjadinya fenomena local boss politics atau timbulnya raja-raja kecil di daerah, meluasnya korupsi serta menghasilkan politik identitas yang tidak saja mengancam HAM dan pluralisme, namun juga multikulturalisme. JAKARTA,SELASA - Distribusi pembagian kekuasan di antara pemerintah pusat, regional dan lokal- atau yang sering disebut otonomi daerah- sebagai salah satu agenda utama dari transisi demokrasi, pada dasarnya digerakkan oleh motif pengaturan kekuasaan yang lebih adil. Namun, faktanya otonomi daerah menjadi sebuah agenda transisi yang terpisah dan terlepas dari rasionalitas demokrasi sejak demokrasi di Indonesia "dipulihkan" pasca reformasi. Hal ini diungkapkan oleh pengamat politik dari Universitas Airlangga Daniel Sparringa dalam Panel I Lokakarya Nasional VII HAM yang diselenggarakan oleh Komnas HAM di Jakarta, Selasa (8/7). Menurut Sparringa, saat ini otonomi daerah menciptakan sejumlah praktik politik lokal yang ganjil, aneh, kontradiktif dan paradoksikal. Orientasinya lebih kepada elite daripada massa, mendorong terjadinya fenomena local boss politics atau timbulnya raja-raja kecil di daerah, meluasnya korupsi serta menghasilkan politik identitas yang tidak saja mengancam HAM dan pluralisme, namun juga multikulturalisme.

JAKARTA,SELASA - Distribusi pembagian kekuasan di antara pemerintah pusat, regional dan lokal- atau yang sering disebut otonomi daerah- sebagai salah satu agenda utama dari transisi demokrasi, pada dasarnya digerakkan oleh motif pengaturan kekuasaan yang lebih adil. Namun, faktanya otonomi daerah menjadi sebuah agenda transisi yang terpisah dan terlepas dari rasionalitas demokrasi sejak demokrasi di Indonesia "dipulihkan" pasca reformasi. Hal ini diungkapkan oleh pengamat politik dari Universitas Airlangga Daniel Sparringa dalam Panel I Lokakarya Nasional VII HAM yang diselenggarakan oleh Komnas HAM di Jakarta, Selasa (8/7). Menurut Sparringa, saat ini otonomi daerah menciptakan sejumlah praktik politik lokal yang ganjil, aneh, kontradiktif dan paradoksikal. Orientasinya lebih kepada elite daripada massa, mendorong terjadinya fenomena local boss politics atau timbulnya raja-raja kecil di daerah, meluasnya korupsi serta menghasilkan politik identitas yang tidak saja mengancam HAM dan pluralisme, namun juga multikulturalisme. JAKARTA,SELASA - Distribusi pembagian kekuasan di antara pemerintah pusat, regional dan lokal- atau yang sering disebut otonomi daerah- sebagai salah satu agenda utama dari transisi demokrasi, pada dasarnya digerakkan oleh motif pengaturan kekuasaan yang lebih adil. Namun, faktanya otonomi daerah menjadi sebuah agenda transisi yang terpisah dan terlepas dari rasionalitas demokrasi sejak demokrasi di Indonesia "dipulihkan" pasca reformasi. Hal ini diungkapkan oleh pengamat politik dari Universitas Airlangga Daniel Sparringa dalam Panel I Lokakarya Nasional VII HAM yang diselenggarakan oleh Komnas HAM di Jakarta, Selasa (8/7). Menurut Sparringa, saat ini otonomi daerah menciptakan sejumlah praktik politik lokal yang ganjil, aneh, kontradiktif dan paradoksikal. Orientasinya lebih kepada elite daripada massa, mendorong terjadinya fenomena local boss politics atau timbulnya raja-raja kecil di daerah, meluasnya korupsi serta menghasilkan politik identitas yang tidak saja mengancam HAM dan pluralisme, namun juga multikulturalisme. JAKARTA,SELASA - Distribusi pembagian kekuasan di antara pemerintah pusat, regional dan lokal- atau yang sering disebut otonomi daerah- sebagai salah satu agenda utama dari transisi demokrasi, pada dasarnya digerakkan oleh motif pengaturan kekuasaan yang lebih adil. Namun, faktanya otonomi daerah menjadi sebuah agenda transisi yang terpisah dan terlepas dari rasionalitas demokrasi sejak demokrasi di Indonesia "dipulihkan" pasca reformasi. Hal ini diungkapkan oleh pengamat politik dari Universitas Airlangga Daniel Sparringa dalam Panel I Lokakarya Nasional VII HAM yang diselenggarakan oleh Komnas HAM di Jakarta, Selasa (8/7). Menurut Sparringa, saat ini otonomi daerah menciptakan sejumlah praktik politik lokal yang ganjil, aneh, kontradiktif dan paradoksikal. Orientasinya lebih kepada elite daripada massa, mendorong terjadinya fenomena local boss politics atau timbulnya raja-raja kecil di daerah, meluasnya korupsi serta menghasilkan politik identitas yang tidak saja mengancam HAM dan pluralisme, namun juga multikulturalisme.

JAKARTA,SELASA - Distribusi pembagian kekuasan di antara pemerintah pusat, regional dan lokal- atau yang sering disebut otonomi daerah- sebagai salah satu agenda utama dari transisi demokrasi, pada dasarnya digerakkan oleh motif pengaturan kekuasaan yang lebih adil. Namun, faktanya otonomi daerah menjadi sebuah agenda transisi yang terpisah dan terlepas dari rasionalitas demokrasi sejak demokrasi di Indonesia "dipulihkan" pasca reformasi. Hal ini diungkapkan oleh pengamat politik dari Universitas Airlangga Daniel Sparringa dalam Panel I Lokakarya Nasional VII HAM yang diselenggarakan oleh Komnas HAM di Jakarta, Selasa (8/7). Menurut Sparringa, saat ini otonomi daerah menciptakan sejumlah praktik politik lokal yang ganjil, aneh, kontradiktif dan paradoksikal. Orientasinya lebih kepada elite daripada massa, mendorong terjadinya fenomena local boss politics atau timbulnya raja-raja kecil di daerah, meluasnya korupsi serta menghasilkan politik identitas yang tidak saja mengancam HAM dan pluralisme, namun juga multikulturalisme. JAKARTA,SELASA - Distribusi pembagian kekuasan di antara pemerintah pusat, regional dan lokal- atau yang sering disebut otonomi daerah- sebagai salah satu agenda utama dari transisi demokrasi, pada dasarnya digerakkan oleh motif pengaturan kekuasaan yang lebih adil. Namun, faktanya otonomi daerah menjadi sebuah agenda transisi yang terpisah dan terlepas dari rasionalitas demokrasi sejak demokrasi di Indonesia "dipulihkan" pasca reformasi. Hal ini diungkapkan oleh pengamat politik dari Universitas Airlangga Daniel Sparringa dalam Panel I Lokakarya Nasional VII HAM yang diselenggarakan oleh Komnas HAM di Jakarta, Selasa (8/7). Menurut Sparringa, saat ini otonomi daerah menciptakan sejumlah praktik politik lokal yang ganjil, aneh, kontradiktif dan paradoksikal. Orientasinya lebih kepada elite daripada massa, mendorong terjadinya fenomena local boss politics atau timbulnya raja-raja kecil di daerah, meluasnya korupsi serta menghasilkan politik identitas yang tidak saja mengancam HAM dan pluralisme, namun juga multikulturalisme.

Anda mungkin juga menyukai