Anda di halaman 1dari 5

Mengurai Problematika Deponering Kasus Bibit-Chandra

Selasa, 8 Feb 2011 02:29 WIB

JAKARTA, RIMANEWS.comKasus deponering Bibit-Chandra bak api dalam sekam. Tiba-tiba saja membuncah setelah kalangan DPR, terutama dari fraksi yang merasa kadernya dirugikan akibat penangkapan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus suap Miranda Goeltom, akhirnya berakhir dengan kisruh seputar status Bibit-Chandra yang masih debatebel seputar statusnya. Prof Dr. Yusril Ihza Mahendra dalam kesempatan bincang-bincang bersama wartawan di sela-sela hari lahirnya, di Jakarta. Mengungkapkan keprihatinannya atas sikap DPR. Namun, sikap tersebut dinilainya wajar, sebab kasus Bibit-Chandra memang masih problematik. Padahal, persoalannya juga terletak apakah pertimbangan hukum ketika hendak disusun deponering itu sudah berdasarkan kerangka hukum atau tertib ketatanegaraan, menurutnya, itu tentu masih harus dicek sejauhmana pertimbangan hukum, termasuk pertimbangan hukum dari kalangan DPR saat deponering hendak dinyatakan untuk BibitChandra. Seharusnya memang status Bibit-Chandra sudah pulih, meski bukan berarti tak cukup bukti. Itu kewenangan jaksa agung. Tapi, apakah saat keputusan deponering itu DPR memberi pertimbangan hukum dengan menolak? Atau sebaliknya menyetujui? Itulah persoalannya, terang Yusril. Yusril menambahkan, kalau saat itu DPR memberi pertimbangan menolak, maka wajar kalau mereka mempertanyakan. Tapi, sebaliknya jika saat keputusan deponer mereka diam atau

menyetujui, sikap tersebut tentu aneh. Sebab, bagaimana pun deponer merupakan pertimbangan semua lembaga, termasuk presiden, ujar Yusril. Kondisi inilah yang saya khawatirkan dulu, ketika isu deponer mencuat, imbuh Yusril. Jauh sebelum kisruh kasus tersebut, ahli hukum tata negara ini memang pernah menuliskan seputar problematika deponering Bibit-Chandra. Melalui blog pribadinya, www.yusrilihzamahendra.com, Yusril pernah menelisik problematika seputar deponering dan meramalkan keputusan tersebut bakal controversial nanti. Sebagai salah satu figur terhormat, nasib Bibit-Chandra tentu terapung-apung oleh keputusan tersebut, sehingga bagai api dalam sekam kasus tersebut kembali mencuat. Untuk memperjelas duduk perkara, karena ini kasus hukum dan tata negara yang rumit, berikut kami muat artikel utuh yang pernah ditulis pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, yang diposting 12-Oktober-2010 lalu: PROBLEMATIKA DEPONERING KASUS BIBIT-CHANDRA Oleh Yusril Ihza mahendra (Mantan Mensesneg Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I dan Pakar Hukum tata Negara) Belum lama ini, Plt Jaksa Agung Darmono mengatakan bahwa langkah apapun yang akan diputuskan Kejaksaan Agung dalam menyikapi penolakan kasasi permohonan pra-peradilan kasus Bibit-Chandra, adalah ibarat buah simalakama. Deponering seperti banyak diusulkan berbagai pihak, bukannya tidak bermasalah. Demikian pula, jika kasus diteruskan ke pengadilan. Kisruh kasus ini sudah berbulan-bulan lamanya tak kunjung selesai. Ini adalah warisan Hendarman Supandji, Jaksa Agung yang menurut Presiden SBY punya tugas-tugas ajaib di Kejaksaan Agung. Kasus Bibit-Chandra, barangkali adalah salah satu tugas ajaib para petinggi Kejaksaan Agung dalam menangani perkara. Setelah kisruh karena berbagai protes, Kejaksaan telah menerbitkan SKPP, meskipun kasus sudah siap dilimpahkan ke pengadilan. Anggoro mempraperadilankan SKPP itu. Karena alasan penerbitan SKPP lemah, maka SKPP itu dibatalkan oleh hakim pra-peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ketika Kejaksaan banding, Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan putusan PN Jakarta Selatan. Menurut KUHAP, sampai di sini perkara selesai. Artinya, Kejaksaan wajib meneruskan perkara Bibit-Chandra ke pengadilan. Namun Kejaksaan Agung masih coba-coba mengajukan PK ke Mahkamah Agung. Biarpun mereka tahu PK itu tidak dimungkinkan oleh undang-undang, tokh mereka coba juga. Akhirnya MA memutuskan tidak berwenang mengadili permohonan PK itu. Dua kali Kejaksaan Agung lemah dalam memahami dan menerapkan hukum. Pertama, alasan penerbitan SKPP, dan kedua, mengajukan PK atas putusan banding praperadilan. Para pejabat Kejaksaan Agung telah mempermalukan dirinya sendiri ke hadapan publik karena kelemahannya dalam memahami dan menerapkan hukum. Pantaslah jika Presiden SBY menyebut tugas-tugas Kejaksaan Agung itu ajaib. Tugas mereka sebenarnya tidaklah ajaib. Tetapi dalam melaksanakan tugasnya itulah telah terjadi hal-hal yang ajaib. Kalau keajaiban itu membawa kebaikan dan manfaat yang luar biasa, hal

itu sangat mungkin akan membawa ketakjuban. Namun kalau hal-hal ajaib itu membawa mudharat, maka yang ada bukanlah ketakjuban, melainkan keheranan yang membuat orang tercengang tanda tidak mengerti mengapa hal seperti itu bisa terjadi. Apa langkah Kejaksaan Agung setelah penolakan PK oleh Mahkamah Agung? Kemungkinannya tinggal dua: deponering atau meneruskan kasus ini ke pengadilan. Entahlah kalau alternatif ketiga yang ditempuh: sekali lagi menerbitkan SKPP. Kalau ini yang dilakukan, maka bertambah lagi hal-hal ajaib yang dilakukan petinggi Kejaksaan Agung. Staf Khusus Presiden bidang hukum Prof Dr Denny Indrayana, sejak lama menyarankan agar kasus ini di deponering saja. Konon, beliau telah menyarankan hal seperti itu kepada Presiden, sesaat setelah Pengadilan Tinggi Jakarta menolak banding Kejaksaan Agung. Mendeponir atau mengesampingkan suatu perkara memang diatur dalam Pasal 35 huruf c UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Jaksa Agung, menurut pasal itu mempunyai tugas dan wewenang untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Apa yang dimaksud dengan kepentingan umum itu, menurut penjelasan pasal di atas ialah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Nah, jika ini alasannya, maka sudah dapat diprediksi dari sekarang bahwa apabila perkara ini dideponir, maka perdebatan baru akan muncul: apakah benar pendeponiran itu adalah demi kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Banyak argumen akan muncul, masing-masing dengan segala kekuatan dan kelemahannya. Alasan utama untuk mendeponir perkara ini karena Bibit dan Chandra adalah pimpinan KPK yang bertugas memberantas korupsi di negara ini. KPK harus berjalan normal tanpa terganggu dengan kekosongan pimpinannya, andai keduanya diadili. Sebab, kalau keduanya diadili, maka Presiden wajib memberhentikan sementara yang bersangkutan dari jabatannya. Nah, inikah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas itu? Pertanyaan lain yang dapat dikemukakan ialah: benarkah kalau mereka diberhentikan sementara, maka KPK tidak akan berfungsi secara normal dalam menjalankan tugas dan kewajibannya? Apakah tidak ada jalan untuk mengatasi kekosongan itu? Dan seterusnya. Problematika lain ialah, jika deponering dikeluarkan, secara implisit hal itu mengandung pengakuan bahwa Bibit dan Chandra adalah orang yang memang diduga telah melakukan suatu kejahatan dan bukti-bukti untuk itu telah lengkap sebagaimana telah dituangkan Jaksa dalam surat dakwaan. Perlu diketahui, bahwa deponering beda dengan SP3 atau Surat Penghentikan Penyidikan Perkara. SP3 dikeluarkan karena kasus yang disangkakan telah dilakukan, setelah dilakukan penyidikan yang seksama, ternyata buktinya tidak cukup. Atau landasan hukum yang digunakan ternyata tidak kuat. Maka penyidikan perkara itu dihentikan. Kasus kejahatan yang dilakukan Bibit dan Chandra, oleh Kejaksaan Agung diduga dan diakui ada serta cukup bukti, hanya saja tidak dituntut ke pengadilan karena perkaranya dikesampingkan demi kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, seperti telah saya katakan di atas. Tentu saja kalau asas praduga tidak bersalah diterapkan, selamanya mereka tentu mereka harus dianggap tidak bersalah. Belum/tidak ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum

tetap yang memutuskan mereka bersalah. Bagaimana akan ada, kalau perkaranya memang dikesampingkan alias tak jadi dituntut ke pengadilan. Status mereka menjadi menggantung tak jelas ujung pangkalnya. Kalau kedua mereka orang biasa-biasa saja, mungkin depenoring itu biasa-biasa saja. Tapi bagi orang biasa-biasa saja, takkan mungkin ada deponering suatu perkara. Orang biasa-biasa saja kasusnya tidak mungkin dihentikan demi kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Bagi orang biasa tentu takkan ada hal-hal yang luar biasa. Deponering kasus Bibit-Chandra itu tidaklah biasa karena ada keterkaitannya dengan kedudukan keduanya sebagai pimpinan KPK yang bertugas memberantas korupsi. Kalau tugasnya seberat itu, pertanyaan baru mungkin muncul pula: Bagaimana mungkin orang yang diberi amanah memberantas korupsi, sementara mereka diduga dan diakui sebagai pelaku kejahatan yang perkaranya dideponering oleh Jaksa Agung. Pertanyaan ini tidak membawa konsekuensi hukum apa-apa. Konsekuensinya hanya di bidang etis. Nantinya setiap orang yang ditangkap KPK paling-paling hanya ngomel (mungkin tidak dizahirkan, tetapi ada di dalam hati). Ah, saya kok dituduh korupsi oleh orang yang dirinya sendiri saja kejahatan yang mereka lakukan di deponering. Gimana sih. Kira-kira begitu omelannya. Namanya saja orang ngomel, sampai matipun tidak akan membawa konsekuensi hukum apa-apa. Paling-paling sedikit akan mengganggu kewibawaan KPK nantinya. Bibit dan Chandra dikenal sebagai orang baik dan punya reputasi baik. Orang baik dan berreputasi baik, biasanya, hatinya akan merasa tidak enak, kalau ada omelanomelan seperti saya bayangkan tadi. Kalaupun deponering dikeluarkan oleh Jaksa Agung, atau Plt Jaksa Agung, bisakah keputusan deponering itu diperkarakan lagi? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Belum ada yurisprudensi tentang perkara seperti ini. Undang-undang juga tidak berkata apa-apa, tidak membolehkan dan juga tidak melarang. Dalam teori ilmu hukum sebagaimana berkembang di Negeri Belanda deponering adalah pelaksanaan dari opportuniteit beginsel atas asas opportunitas yang dimiliki sebagai hak Jaksa Agung. Namun, Pasal 35 UU No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan tidak menyebut hal itu sebagai hak, melainkan sebagai tugas dan wewenang Jaksa Agung. Kalau itu tugas dan wewenang, maka bukan mustahil keputusan deponering itu akan dapat digugat ke pengadilan, untuk mempertanyakan apakah dalam menjalankan tugas dan wewenang mendeponir perkara itu, Jaksa Agung telah melaksanakan tugas dan wewenang itu dengan alasan yang cukup, yakni sejauh mana deponering itu memenuhi syarat demi kepentingan umum, yakni kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Kalau ada yang memperkarakan keputusan deponering itu nantinya kalau langkah ini yang ditempuh Kejaksaan Agung maka kasus Bibit-Chandra ini akan makin panjang. Bagi kepentingan teoritisi dan praktisi hukum, barangkali orang dapat belajar lebih banyak lagi, dengan membaca apa nanti pertimbangan hukum dan putusan pengadilan tentang makna mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, yakni kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas itu. Kasus ini menjadi sangat menarik bagi mereka yang ingin belajar dan menarik pula menjadi bahan berita media massa. Namun bagi Bibit dan Chandra, apa yang sedari awal dilakukan oleh Kejaksaan Agung dalam menangani kasus mereka, sungguh sangat tidak menyenangkan. Kejaksaan Agung telah membuat nasib dua orang warnganegara yang begitu terhormat

kedudukannya, menjadi seperti tidak menentu. Nasib mereka seperti buih terapung-apung di permukaan air dibawa arus kesana-kemari. Hal seperti ini bisa terjadi pada siapa saja di negara ini. Apa yang menimpa mereka sudah menyangkut harga diri, harkat dan martabat serta nama baik mereka dan keluarganya. Saya dan banyak orang lain, sangat bersimpati kepada mereka, yang menjadi bulan-bulanan keajaiban Kejaksaan Agung dalam menangani kasus mereka. Bagi KPK sendiri, penanganan kasus ini membawa dampak yang tidak kecil pula, karena menyangkut kewibawaan sebuah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Ketetapan MPR dan undangundang. (*Mink

Anda mungkin juga menyukai