Anda di halaman 1dari 12

Jurnal Hukum, Vol. XIX, No.

19, Oktober 2010: 49 - 62

ISSN 1412 - 0887

49

PENJATUHAN PIDANA MATI DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA


Dr. Woro Winandi, SH. MHum1 Indra Rukmana Lukito2 Abstrak Skripsi ini menyajikan hasil penelitian tentang beberapa masalah mengenai penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika dalam UU no.35 tahun 2009 Ada dua permasalahan pokok yang menjadi obyek penelitian, yaitu : pertama, bagaimanakah penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika menurut UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam praktik peradilan pidana di Indonesia, apakah penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika melanggar hak asasi manusia berdasarkan UUD 1945. Penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika dalam praktik peradilan pidana di Indonesia penerapannya terhadap pengimpor, pengedar narkotika golongan I jenis heroin, kokain, dengan jumlah minimum barang bukti seberat 300 gram, serta memproduksi, mengedarkan, mengimpor dan mengekspor. Kata kunci: hukum pidana, pidana mati, Narkoba PENDAHULUAN Latar Belakang Hukum dibuat untuk mengatur agar kepentingan-kepentingan yang berbeda antara pribadi, masyarakat, dan negara dapat dijamin dan diwujudkan tanpa merugikan pihak yang lain.3 Adalah tugas dari hukum pidana untuk memungkinkan terselenggaranya kehidupan bersama antar manusia, tatkala persoalannya adalah benturan kepentingan antara pihak yang melanggar norma dengan kepentingan masyarakat umum. Karena itu, karakter publik dari hukum pidana justru mengemuka dalam fakta bahwa sifat dapat dipidananya suatu perbuatan tidak akan hilang dan tetap
1 2

Dosen Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Narotama 3 Andi Hamzah,. dan A. Sumangelipu, Pidana Mati Di Dan Di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1993, h. 31.

Indonesia Di Masa Lalu, Kini

50

ada, sekalipun perbuatan tersebut terjadi seizin atau dengan persetujuan orang terhadap siapa perbuatan tersebut ditujukan, dan juga dalam ketentuan bahwa proses penuntutan berdiri sendiri, terlepas dari kehendak pihak yang menderita kerugian akibat perbuatan itu. Kendati demikian, tidak berarti bahwa hukum pidana abai terhadap kepentingan para pihak. Berbagai teori dan praktek hukum pidana yang berlaku di Indonesia saat ini adalah hukum pidana yang berasal dan berlaku juga di negeri Belanda. Di Indonesia masih saja memberlakukan hukum pidana peninggalan kaum penjajah, yang teks aslinya masih bertuliskan dalam bahasa Belanda. Sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, Indonesia sejak lama telah melakukan usaha-usaha untuk memperbaharui hukumnya, termasuk usaha pembaharuan di dalam lingkup hukum pidana. Pada hukum pidana, pembaharuan yang menyeluruh harus meliputi pembaharuan hukum pidana materiil (strafrecht), hukum pidana formal atau hukum acara pidana (strafvorderingsrecht) dan hukum pelaksanaan pidana (stravoll streckungrecht). Ketiga bidang hukum pidana itu harus secara bersama-sama diperbarui, sebab kalau hanya salah satu bidang saja yang diperbaharui, dan yang lain tidak, maka akan timbul kesulitan dalam pelaksanaannya, dan tujuan dari pembaharuan hukum dalam rangka mewujudkan suatu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional (berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945) tersebut tidak akan tercapai sepenuhnya. Dengan adanya arah kebijakan hukum yang jelas, maka diharapkan tercipta suatu kondisi kehidupan masyarakat hukum yang selaras, serasi, dan seimbang dengan adanya suatu peraturan hukum yang benar-benar mencerminkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Rumusan Masalah 1. Apa latar belakang terjadinya penjatuhan hukuman mati dalam tindak pidana narkotika? 2. Apakah penjatuhan pidana mati pada undang-undang Narkotika sesuai dengan tujuan pemidanaan? Metode Penelitian Pendekatan Masalah Penelitian ini tergolong penelitian hukum normatif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), azas-azas hukum, teori-teori hukum, konsep-konsep hukum. Pendekatan yuridis (juridical approach) dalam penelitian ini adalah pendekatan masalah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan pendekatan masalah secara normatis (normative approach) adalah pendekatan masalah yang menelaah hukum dalam UU sehingga dapat ditarik kesimpulan yang bersifat logis, runtun dan sistematis.
51

Sumber Bahan Hukum 1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang- undangan, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (selanjutnya disebut dengan KUHP) dan UU Narkotika.

2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, yang diperoleh melalui bahan- bahan kepustakaan, berupa literatur-literatur seperti buku-buku teks (text books) yang ditulis para pakar hukum yang berpengaruh (de herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi4 dan 3. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus Hukum (black law dictionary), ensiklopedia dan lain-lain. PEMBAHASAN A. LATAR BELAKANG PIDANA NARKOTIKA 1. Pengertian Narkotika. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan pengobatan, narkotika adalah zat yang sangat dibutuhkan. Untuk itu penggunaannya secara legal dibawah pengawasan dokter dan apoteker. Di Indonesia sejak adanya Undang-undang Narkotika, penggunaan resmi narkotika adalah untuk kepentingan pengobatan dan penelitian ilmiah, penggunaan narkotika tersebut di atas diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Narkotika yang bunyinya: Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau pengembangan ilmu pengetahuan. Menurut Ikin A.Ghani Istilah narkotika berasal dari kata narkon yang berasal dari bahasa Yunani, yang artinya beku dan kaku. Dalam ilmu kedokteran juga dikenal istilah Narcose atau Narcicis yang berarti membiuskan.5 Soerdjono Dirjosisworo mengatakan bahwa pengertian narkotika: Zat yang bisa menimbulkan pengaruh tertentu bagi yang menggunakannya dengan memasukkan kedalam tubuh. Pengaruh tersebut bisa berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit,
Johny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Surabaya, Oktober 2005, h. 296 Ikin A. Ghani dan Abu Charuf, Bahaya Penyalahgunaan Narkotika dan Penanggulangannya, Yayasan Bina Taruna, Jakarta, 1985, hal. 5
5 4

PIDANA

MATI DALAM

TINDAK

52

rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut yang diketahui dan ditemukan dalam dunia medis bertujuan dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia di bidang pembedahan, menghilangkan rasa sakit dan lain-lain. Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pasal 1 ayat 1 : Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Salah satu persoalan besar yang tengah dihadapi bangsa Indonesia, dan juga bangsa-bangsa lainnya di dunia saat ini adalah seputar maraknya penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba), yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Saat ini, jutaan orang telah terjerumus ke dalam lembah hitam narkoba, ribuan nyawa telah melayang karena jeratan lingkaran setan bernama narkoba, telah banyak keluarga yang hancur karenanya dan tidak sedikit pula generasi muda yang kehilangan masa depan karena perangkap makhluk yang disebut narkoba ini. Kita tahu bahwa pondasi utama penyokong tegaknya bangsa ini dimulai dari keluarga, ketika keluarga hancur, rapuh pula6 bangunan bangsa di negeri ini. Pada pasal 1 angka 12 Undang-undang Narkotika, dijelaskan bahwa pecandu adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Sementara pasal 1 angka 13 Undang-undang Narkotika, dijelaskan bahwa ketergantungan Narkotika adalah gejala dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus menerus, toleransi dan gejala putus Narkotika apabila penggunaan dihentikan. Sedangkan pasal 1 angka 14 Undang-undang Narkotika, dijelaskan bahwa penyalahguna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter. Sebagaimana yang diamanatkan dalam konsideran Undang-undang Narkotika, bahwa ketersediaan Narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat dimaksudkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, namun di sisi lain mengingat dampak yang dapat ditimbulkan dan tingkat bahaya yang ada apabila digunakan tanpa pengawasan dokter secara tepat dan ketat maka harus dilakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika. Memahami pengertian penyalahguna yang diatur dalam pasal 1 angka 14 Undangundang Narkotika, maka secara sistematis dapat diketahui tentang pengertian penyalahgunaan Narkotika, yaitu pengunaan Narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter. Pengertian tersebut, juga tersirat dari pendapat Dadang Hawari,
6

Soedjono Dirjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1990, hal. 3

53

yang menyatakan bahwa ancaman dan bahaya pemakaian Narkotika secara terusmenerus dan tidak terawasi dan jika tidak segera dilakukan pengobatan serta pencegahan akan menimbulkan efek ketergantungan baik fisik maupun psikis yang sangat kuat terhadap pemakaianya, atas dasar hal tersebut, secara sederhana dapat disebutkan bahwa penyalahgunaan Narkotika adalah pola penggunaan Narkotika yang patologik sehingga mengakibatkan hambatan dalam fungsi sosial. 7 Hambatan fungsi sosial dapat berupa kegagalan untuk memenuhi tugasnya bagi keluarga atas temantemannya akibat perilaku yang tidak wajar dan ekspresi perasaan agresif yang tidak wajar, dapat pula membawa akibat hukum karena kecelakaan lalu lintas akibat mabuk atau tindak kriminal demi mendapatkan uang untuk membeli Narkotika.8 B. PENJATUHAN SANKSI PIDANA MATI DALAM UNDANGUNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA 1. Subyek Hukum Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika (selanjutnya disebut UU Narkotika 2009), pada dasarnya mengklasifikasi pelaku tindak pidana (delict) penyalahgunaan narkotika menjadi 2 (dua), yaitu : pelaku tindak pidana yang berstatus sebagai pengguna (Pasal 116, 121 dan 127) dan bukan pengguna narkotika (Pasal 112, 113, 114, 119 dan 129), untuk status pengguna narkotika dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua), yaitu pengguna untuk diberikan kepada orang lain (Pasal 116 dan 121) dan pengguna narkotika untuk dirinya sendiri (Pasal 127). Yang dimaksud dengan penggunaan narkotika untuk dirinya adalah penggunaan narkotika yang dilakukan oleh seseorang tanpa melalui pengawasan dokter. Jika orang yang bersangkutan menderita kemudian menderita ketergantungan maka ia harus menjalani rehabilitasi, baik secara medis maupun secara sosial, dan pengobatan serta masa rehabilitasinya akan diperhitungkan sebagai masa menjalani pidana, sedangkan, pelaku tindak pidana narkotika yang berstatus sebagai bukan pengguna diklasifikasi lagi menjadi 4 (empat), yaitu : pemilik (Pasal 111 dan 112), pengolah (Pasal 113), pembawa dan pengantar (Pasal 114 dan 119), dan pengedar (Pasal 129). Yang dimaksud sebagai pemilik adalah orang yang menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai dengan tanpa hak
7

Dadang Hawari, Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1991 h. 15-28 dalam Kusno Adi, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, UMM Press, Malang, 2009, h. 19 h. 6,
8

Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-Anak Remaja, Armico, Bandung, 1983,

54

dan melawan hukum. Yang dimaksud sebagai pengolah adalah orang memproduksi, mengolah mengekstrasi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika dengan tanpa hak dan melawan hukum secara individual atau melakukan secara terorganisasi. Yang di kualifikasi sebagai pembawa atau pengantar (kurir) adalah orang yang membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika dengan tanpa hak dan melawan hukum secara individual atau secara teroganisasi. Sedangkan, yang dimaksud pengedar adalah orang mengimpor, pengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjadi pembeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli. Atau menukar narkotika dengan tanpa hak dan melawan hukum secara individual maupun secara terorganisasi. 9 2. Macam-Macam Sanksi Dalam Undang-Undang Narkotika. a. Pengertian Sanksi Pidana. Sanksi pidana merupakan penjatuhan hukuman yang diberikan kepada seseorang yang dinyatakan bersalah dalam melakukan perbuatan pidana. Jenis-jenis pidana ini sangat bervariasi, seperti pidana mati, pidana seumur hidup, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda yang merupakan pidana pokok, dan pidana pencabutan hakhak tertentu, perampasan baran-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim yang kesemuanya merupakan pidana tambahan. Tujuan dari sanksi pidana menurut Bemmelen adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat, dan mempunyai tujuan kombinasi untuk menakutkan, memperbaiki dan untuk kejahatan tertentu membinasakan.10

b. Jenis-Jenis Sanksi Pidana. Secara eksplisit bentuk-bentuk sanksi pidana tercantum dalam pasal 10 KUHP. Bentuk-bentuk sanksi pidana ini dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan. Dibawah ini adalah bentuk-bentuk pidana baik yang termasuk pidana pokok maupun pidana tambahan yaitu: a. Pidana Pokok 1. Pidana mati 2. Pidana Penjara 3. Pidana Kurungan 4. Pidana Tutupan 5. Pidana Denda
9

Undang-Undang no. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Bening, Jogjakarta, h. 82-97.

J.M van Bemmelen Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Material Bagian Umum), Terjemahan Hasnan, Bina Cipta, Bandung 1987, h. 128, dalam Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi Kajian Relevansi Sanksi Tindakan Bagi Penanggulangan Kejahatan Korporasi, Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2008 h. 137.

10

55

b. Pidana Tambahan 1. Pencabutan Hak-Hak Tertentu 2. Perampasan Barang Tertentu 3. Pengumuman Putusan Hakim c. Teori Pemidanaan Pemidanaan berasal dari kata pidana yang sering diartikan pula dengan hukuman. Jadi pemidanaan dapat pula diartikan dengan hukuman. Kalau orang mendengar kata hukuman.Sudarto, mengemukakan:11 pidana tidak hanya enak dirasa pada waktu dijalani, tetapi sesudah orang yang dikenai itu masih merasakan akibatnya yang berupa cap oleh masyarakat, bahwa ia pernah berbuat jahat. Cap ini dalam ilmu pengetahuan disebut stigma. Jadi orang tersebut mendapat stigma, dan kalau ini tidak hilang, maka ia seolah-olah dipidana seumur hidup. d. Syarat-syarat pemidanaan. Ada pendapat, seperti yang dikemukakan oleh van Feuerbach, bahwa pada hakikatnya ancaman pidana mempunyai suatu akibat psikologis yang menghendaki orang itu tertib, berhubung pidana itu merupakan sesuatu yang dirasakan tidak enak bagi terpidana. Oleh karena itu, ditentukan syarat-syarat atau ukuran-ukuran pemidanaan. Baik yang menyangkut segi perbuatan maupun yang menyangkut segi orang atau si pelaku, pada segi perbuatan dipakai asas legalitas dan pada segi orang dipakai asas kesalahan.12 Asas legalitas menghendaki tidak hanya adanya ketentuan-ketentuan yang pasti tentang perbuatan yang bagaimana dapat dipidana, tetapi juga menghendaki ketentuan atau batas yang pasti tentang pidana yang dapat dijatuhkan. Asas kesalahan menghendaki agar hanya orang-orang yang benar-benar bersalah sajalah yang dapat dipidana, tiada pidana tanpa kesalahan. Dalam hal ini Sudarto, mengemukakan sebagai berikut: syarat pertama untuk

memungkinkan adanya penjatuhan pidana ialah adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Ini adalah konsekuensi dari asa legalitas. Rumusan delik ini penting artinya sebagai prinsip kepastian. Undang-undang
Sudarto, masalah-masalah hukum nomor 11, 1973 dikeluarkan oleh Fakultas hukum Undip, Semarang, halaman 22-23. Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung jawaban Pidana, Centra, Jakarta, 1968, halaman 28
12 11

56

pidana sifatnya harus pasti. Di dalamnya harus dapat diketahui dengan pasti apa yang dilarang atau apa yang diperintahkan.13 e. Tujuan Pemidanaan. Pemerintah dalam menjalankan hukum pidana senantiasa dihadapkan suatu paradoxalitiet yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut: pemerintah Negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tetapi, kadang-kadang sebaliknya pemerintah Negara menjatuhkan hukuman, dan justru menjatuhkan hukuman itu, maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah Negara diserang misalnya, yang bersangkutan dipenjarahkan. Jadi, pada pihak satu, pemerintah Negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serabgan siapapun juga, sedangkan pada pihak lain pemerintah Negara menyearang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu.14 Biasanya teori pemidanaan dibagi dalam tiga golongan besar, dapat diuraikan sebagai berikut: a. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorieen); Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. 15 b. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen); Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mampunyai tujuan tertentu yang bermafaat. Dasar pembenar adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang yang membuat kejahatan (quia peccatum est) melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan (ne peccetur). Menurut teori ini, pemidanaan merupakan sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.16 c. Teori gabungan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pidana itu mempunyai tiga macam sifat, yaitu:
13 14

Sudarto, Op.cit. hal. 24 Ultercht, hukum pidana I, penerbit Universitas Bandung, 1967, halaman 158-159.

10-11

15

Muladi dan Barda Nawawi, Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, h.
16

Ibid. 12

57

a) Bersifat menakut-nakuti (afschrikking). b) Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering). c) Bersifat membinasakan (onschadelijk maken). f. Pengaturan Sanksi Pidana Mati Dalam Undang-Undang Narkotika. Dalam Undang-Undang no. 35 tahun 2009 tentang Narkotika terdapat sanksi pidana mati pada pasal 113, 114, 118, 119, 121, 144 yang akan penulis sebutkan sebagai berikut: Pasal 113 Ayat 1: Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengeksor atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Ayat 2: dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidanapaling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 114 Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Ayat 2: dalam hal perbuatan menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
58

Pasal 118 Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan dipidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Ayat 2: dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 119 Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak melawan hukum menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan dipidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Ayat 2: dalam hal perbuatan menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 121 Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Ayat 2: dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan II untuk di gunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
59

mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku di pidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda

maksimum pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 144 Ayat 1: setiap orang yang jangka waktu 3 (tiga) tahun melakukan pengulangan tindak pidana sebagaimana di maksud dalam pasal 111, pasal 112, pasal 113, pasal 114, pasal 115, pasal 116, pasal 117, pasal 118, pasal 119, pasal 120, pasal 121, pasal 122, pasal 123, pasal 124, pasal 125, pasal 126, pasal 127 ayat (1), pasal 128 ayat (1), dan pasal 129, pidana maksimum ditambah dengan 1/3 (sepertiga) Ayat 2: ancaman dengan tambahan 1/3 (sepertiga) sebagaimana dimaksud pada pasal ayat (1) tidal berlaku bagi pelaku tindak pidana yang di jatuhi dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Jadi, yang melatar belakangi terjadinya penjatuhan pidana mati dalam tindak pidana narkotika adalah banyaknya peredaran gelap narkotika yang menjadi bahaya besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang akhirnya melemahkan ketahanan dan kemampuan nasional dan juga sangat berdampak bagi kehidupan sosial, ekonomi, politik sehingga membahayakan diri sendiri, orang lain, bangsa dan Negara. 2. Pelaku politik, masyarakat yang marah akan kejahatan, hukuman mati, dan hak untuk hidup, haruslah memperoleh ruang bagi penataan ulang. Hukum adalah produk politik, akan tetapi mekanisme dan perilaku politik itu sendiri mesti diberikan pembatasan agar ia tidak menjadi kekuatan eksesif (excessive) yang dapat merampas hak hidup. Perlindungan masyarakat dari berbagai kejahatan, tidaklah tergantung pada berapa banyak pelaku kejahatan mampu dihukum mati. Hak untuk hidup tidaklah dapat dikorbankan karena kekuasaan menghendakinya, ataupun masyarakat memberikan dukungan untuk melakukan pembalasan terhadap pelaku kejahatan. Legitimasi masyarakat untuk mencabut hak hidup itu juga telah menjadi alat mempertahankan kekuasaan, dan bahkan menjadi ancaman terhadap keselamatan masyarakat itu sendiri, perubahan hukum nasional jelas adalah pintu masuk bagi penghapusan hukuman mati. Kalau dalam konstitusi Negara telah melahirkan pengakuan akan hak untuk hidup tidak dapat dikurangi atas alasan apapun, maka penghapusan penerapan hukuman adalah kewajiban konstitusional.
60

B. Saran 1. Sudah saatnya Indonesia sebagai bagian dari bangsa-bangsa beradab di dunia untuk menghapuskan pidana mati dari sistem hukum yang berlaku. Penhapusan itu akan memiliki makna yang sangat penting dari sisi upaya perlindungan hak asasi manusia, yang tidak boleh dilanggar sekalipun atas nama hukum dan kekuasaan Negara, karena hukum dan kekuasaan itu memang dimaksudkan untuk melindungi dan memajukan hak asasi manusia. Oleh karena itu, otoritas politik

sudah sepantasnya segera menghapus seluruh ketentuan hukum yang mengatur tentang hukuman mati. Mengingat seluruh aturan itu jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi yang telah mengakui dan menjamin hak hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Tidak ada aturan hukum yang lebih rendah, dan tidak ada kekuasaan yang boleh menafikan hak hidup sebagai hak konstitusional. Hak hidup sebagai non derogable rights tidak dapat dikurangi ataupun dibatasi dalam keadaan apapun karena pengurangan dan pembatasan itu dengan sendirinya bermakna sebagai penghilangan hak. Pada saat hak hidup sudah dihilangkan maka keseluruhan hak asasi manusia tidak memiliki arti apapun. 2. Penghentian eksekusi mati terhadap terpidana hukuman mati serta mengubah hukuman mereka menjadi pidana penjara dan rehabilitasi terutama bagi mereka yang mengalami penundaan eksekusi mati lebih dari lima (5) tahun. Selain itu, mereka juga menjadi korban pelanggaran hukum disebabkan mereka tidak divonis pidana penjara namun meringkuk di dalam penjara menunggu eksekusi. 3. Presiden sebagai kepala Negara sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi memiliki wewenang untuk memberikan amnesty, abolisi dan grasi. Dalam konteks moratorium terhadap praktik hukuman mati, presiden dapat memberikan grasi terhadap setiap permohonan dari terpidana mati sebagai cerminan penghormatan terhadap konstitusi dan HAM. Presiden juga dapat memberikan grasi secara umum bagi seluruh terpidana mati.
61

DAFTAR PUSTAKA
Literatur Team Imparsial, Menggugat Hukuman Mati di Indonesia, Imparsial, Jakarta 2010 J.E. Sahetapy, Pidana Mati Dalam Negara Pancasila, cetakan pertama, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007 J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, cetakan kedua, CV. Rajawali, Jakarta, 1982 C.S.T. Kansil, dan Engelien R. Palandeng, , Altje Agustin Musa, Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nasional, Jala Permata Aksara, Bekasi, 2009 Sudarto, hukum pidana jilid 1A, dikeluarkan oleh Fakultas hukum Undip, Semarang, 1971 Andi Hamzah,. dan A. Sumangelipu, Pidana Mati Di Indonesia Di Masa Lalu, Kini Dan Di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1993 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985 Dadang Hawari, Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1991 Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-Anak Remaja, Armico, Bandung, 1983 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung jawaban Pidana, Centra, Jakarta, 1968

Muladi dan Barda Nawawi, Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998 Tom Brooks, An Idealist Theory of Punishment. Social Sience Research Network. Newcastle: Department of Politics and Newcastle Law School, 2006 J.M van Bemmelen Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Material Bagian Umum), Terjemahan Hasnan, Bina Cipta, Bandung 1987 Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi Kajian Relevansi Sanksi Tindakan Bagi Penanggulangan Kejahatan Korporasi, Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2008 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, Februari 1996 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Press, Jakarta, Oktober 1984 Universitas Indonesia 62

Johny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Surabaya, Oktober 2005 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Keenam, Rineka Cipta, Jakarta, 1993 Kusno Adi, kebijakan kriminal dalam penanggulangan tindak pidana narkotika oleh anak, Umm Press, Malang, 2009 Dit narkoba korserse Polri, penyalagunaan dan peredaran gelap narkoba yang dilaksanakan oleh Polri, Mabes Polri, Jakarta, 2002. Peraturan Perundang-Undangan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika beserta penjelasannya, cetakan ke-1, Bening, Jogjakarta, 2010 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, penerbit PT Inti buku Utama, Jakarta, 1993 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Asa Mandiri, Jakarta, 2005 Sumber Lain Kompas, 23 April 2007 www.liputan6sctv.com www.wikipedia.com www.google.com

Anda mungkin juga menyukai