Anda di halaman 1dari 21

Tugas Farmasi

EPILEPSI

Oleh: SITI EFRIDA FIQNASYANI G0007228

. KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA 2011

BAB I PENDAHULUAN Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat pada semua bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita. Insiden tertinggi terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan usia dewasa muda sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut. (Perdossi, 2003) Prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5%-2%. Di Indonesia penelitian epidemiologik tentang epilepsi belum pernah dilakukan, namun bila dipakai angka prevalensi yang dikemukakan seperti dalam rujukan, maka dapat diperkirakan bahwa bila penduduk Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan ditemukan antara 1,1 sampai 4,4 juta penderita penyandang epilepsi. Sedangkan dari semua wanita hamil didapatkan antara 0,3%-0,5% penyandang epilepsi dan 40% masih dalam usia reproduksi. (Yerbi , 1992) Tulisan ini membicarakan mengenai epilepsi dan penatalaksanaan dari epilepsi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI Epilepsi berasal dari kata Yunani epilambanien yang berarti serangan dan menunjukan bahwa sesuatu dari luar tubuh seseorang menimpanya, sehingga dia jatuh. Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal dengan berbagai macam etiologi. Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan nama epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal. Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan cenderung untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat bervariasi dapat berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik (subyektif), gangguan motorik atau kejang (obyektif), gangguan otonom (vegetatif) dan perubahan tingkah laku (psikologis). Semuanya itu tergantung dari letak fokus epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya sehingga dikenallah bermacam jenis epilepsi. (Janz, 2005)

B. ETIOLOGI Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak. Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome

Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%-30%. (Gram, 1995) Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid dan testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi. Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan keadaan hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan menopause. Perubahan kadar hormon ini dapat mempengaruhi frekwensi serangan epilepsi. (Wodley, 1998) C. KLASIFIKASI EPILEPSI Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, epilepsi diklasifikasikan menjadi 2 yakni berdasarkan bangkitan epilepsi dan berdasarkan sindrom epilepsi. Klasifikasi berdasarkan tipe bangkitan epilepsi : 1. Bangkitan Parsial Bangkitan parsial diklasifikasikan menjadi 3 yakni, A. Parsial Sederhana (kesadaran tetap baik) 1. Dengan gejala motorik 2. Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus 3. Dengan gejala autonom 4. Dengan gejala psikis B. Parsial Kompleks (kesadaran menurun)

1.Berasal

sebagai

parsial

sederhana

dan

berekambang

menjadi

penurunan kesadaran 2. Dengan penurunan kesadaran sejak awaitan C. Parsial yang menjadi umum sekunder 1. Parsial sederhana yang menajdi umum tonik-konik 2. Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik 3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks dan menjadi umum tonikkonik

2. Bangkitan Umum A. Absence / lena / petit mal Bangkitan ini ditandai dengan gangguan kesadaran mendadak (absence) dalam beberapa detik (sekitar 5-10 detik) dimana motorik terhenti dan penderita diam tanpa reaksi. Seragan ini biasanya timbul pada anak-anak yang berusia antara 4 sampai 8 tahun. Pada waktu kesadaran hilang, tonus otot skeletal tidak hilang sehingga penderita tidak jatuh. Saat serangan mata penderita akan memandang jauh ke depan atau mata berputar ke atas dan tangan melepaskan benda yang sedang dipegangnya. Pasca serangan, penderita akan sadar kembali dan biasanya lupa akan peristiwa yang baru dialaminya. Pada pemeriksaan EEG akan menunjukan gambaran yang khas yakni spike wave yang berfrekuensi 3 siklus per detik yang bangkit secara menyeluruh. B. Klonik Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Kejang klonik fokal berlangsung 1 3 detik, terlokalisasi , tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik. C. Tonik Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. D. Tonik-klonik /Grand mal Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti sejenak kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang tonik-klonik (gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat serangan, penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca serangan, penderita akan sadar secara perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan tertidur setelahnya. E. Mioklonik Bangkitan mioklonik muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok otot skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya

berlangsung sejenak. Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. F. Atonik Bangkitan ini jarang terjadi. Biasanya penderita akan kehilangan kekuatan otot dan terjatuh secara tiba-tiba. 3. Tak Tergolongkan Klasifikasi untuk epilepsi dan sindrom epilepsi yakni, 1. Berkaitan dengan lokasi kelainanny (localized related) a. Idiopatik (primer) b. Simtomatik (sekunder) c. Kriptogenik 2. Epilepsi umum dan berbagai sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan peningkatan usia a. Idiopatik (primer) b. Kriptogenik atau simtomatik sesuai dengan peningkatan usia (sindrom west, syndrome lennox-gasraut, epilepsi lena mioklonik dan epilepsi mioklonik-astatik) c. Simtomatik 3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal dan umum a. Bangkitan umum dan fokal b. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum 4. Sindrom khusus : bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu. a. kejang demam b. status epileptikus yang hanya timbul sekali (isolated) c.bangkitan yang hanya terjadi karena alkohaol, obat-obatan, eklamsi atau hiperglikemik non ketotik. d. Epilepsi refrektorik

Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung terjadinya serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh dokter, sehingga diagnosis epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan alloanamnesis. Namun alloanamnesis yang baik dan akurat sulit didapatkan, karena gejala yang diceritakan oleh orang sekitar penderita yang menyaksikan sering kali tidak khas, sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu sama sekali bahwa ia baru saja mendapat serangan epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosis penderita epilepsi adalah rekaman elektroensefalografi (EEG). (Perdossi, 2003) D. PATOFISIOLOGI Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah: - Glutamat, yang merupakan brains excitatory neurotransmitter - GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brains inhibitory neurotransmitter. (Meldrum, 2000) Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan asetil kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin, dopamine, serotonin (5-HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan epilepsy belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut. Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi. Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:

Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya

kurang optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata memang mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post sinaptik. Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat normal tapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat di otak.

Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai

potensi untuk mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik. (Cotman, 1998) Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga kejadian yang saling terkait :

Perlu adanya pacemaker cells yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk
menimbulkan bangkitan.

Hilangnya postsynaptic inhibitory controle sel neuron. Perlunya sinkronisasi dari epileptic discharge yang timbul. (Cotman,
1998) Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal, bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis (fokus pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak, stroke, kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat terganggu fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lain-lain.

Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya, Subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama dan serenta dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya eksitasi selesai dimulailah proses inhibisi di korteks serebri, thalamus dan ganglia basalis yang secara intermiten menghambat discharge epileptiknya. Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike menjadi spike and wave yang makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron. (karena kehabisan glukosa dan tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata serangan epilepsi bisa terhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion. Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik) depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan yang berkepanjangan disebut status epileptikus. (Adams, 1993) E. PEMERIKSAAN PENUNJANG Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan. 1. Anamnesis Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obatobatan tertentu. Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi: - Pola / bentuk serangan - Lama serangan

- Gejala sebelum, selama dan paska serangan - Frekwensi serangan - Faktor pencetus - Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang - Usia saat serangan terjadinya pertama - Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan - Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya - Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga (Markam, 2005) 2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebabsebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan unilateral. 3. Pemeriksaan penunjang a. Elektro ensefalografi (EEG) Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat disbanding seharusnya misal gelombang delta. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak

10

yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron). b. Rekaman video EEG Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi. c. Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri (Markam, 2005) F. PENATALAKSANAAN Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup penderita yang optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara lain menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping ataupun dengan efek samping seminimal mungkin serta menurunkan angka kesakitan dan kematian. Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk epilepsi yakni, 1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu pasien dan keluarganya harus terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai tujuan pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut. 2. Terapi dimulai dengan monoterapi

11

3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap sampai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat. 4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis terapi, maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara perlahan. 5. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan tidak terkontrol dengan pemberian OAE pertama dan kedua. Berikut merupakan OAE pilihan pada epilepsi berdasarkan mekanisme kerjanya: 1. Karbamazepin 2. Fenitoin 3. Fenobarbital 4. Valporat 5. Levetiracetam 6. Gabapetin 7. Lamotrigin 8. Okskarbazepin 9. Topiramat 10. Zonisomid glutamate. Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan. Pada anak-anak dengan epilepsi, penghentian sebaiknya dilakukan secara bertahap setelah 2 tahun bebas dari bangkitan kejang. Sedangkan pada orang dewasa penghentian membutuhkan waktu lebih lama yakni sekitar 5 tahun. Ada 2 syarat yang penting diperhatikan ketika hendak menghentikan OAE yakni, : Blok sodium channel konduktan pada neuron, bekerja : Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium : Meningkatkan aktivitas reseptor GABAA , menurunkan : Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan : Tidak diketahui : Modulasi kalsium channel tipe N : Blok konduktan natrium yang voltage dependent : Blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium, : Blok sodium channel, meningkatkan influks GABAjuga pada reseptor NMDA, monoamine dan asetilkolin. dan klorida dan neurotransmitter yang voltage dependen eksitabilitas glutamate, emnurunkan konduktan natrium, kalium dan kalsium. ambang konduktan kalsium (T) dan kalium.

modulasi aktivitas chanel. Mediated chloride, modulasi efek reseptor GABAA. : Blok sodium, potassium, kalsium channel. Inhibisi eksitasi

12

1. Syarat umum yang meliputi : - Penghentian OAE telah diduskusikan terlebih dahulu dengan pasien/keluarga dimana penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkitan. - Gambaran EEG normal - Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan dalam jangka waktu 3-6bulan. - Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan utama. 2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE - Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya. - Epilepsi simtomatik - Gambaran EEG abnormal - Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan. - Penggunaan OAE lebih dari 1 - Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi - Mendapat terapi 10 tahun atau lebih. - Kekambuhan akan semaikn kecil kemungkinanya bila penderita telah bebas bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka pengobatan menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian evaluasi. G. PROGNOSIS Pasien epilepsi yang berobat teratur,1/3 akan bebas dari serangnan paling sedikit 2 tahun,dan bisa lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat dihentikan,pasien tidak mengalami sawan lagi,dikatakan telah mengalami remisi. Diperkirakan 30% pasien tidak mengalami remisis meskipun minum obat dengan teratur. Sesudah remisi,kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering didapat pada sawan tonik-klonik dan sawan parsial kompleks. Demikian pula usia muda lebih mudah mengalami relaps sesudah remisi.

13

BAB III ILUSTRASI KASUS I. IDENTITAS PENDERITA Nama Umur Jenis Kelamin Agama Pekerjaan Alamat No. RM : Sdr. B : 17 tahun : laki-laki : Islam : Pelajar : Jebres, Surakarta : 87 38 90

A. Keluhan Utama : Kejang


B. Riwayat Penyakit Sekarang : Penderita datang ke RSDM dibawa oleh guru dan keluarganya. Dari anamnesa, didapatkan bahwa pasien 10 menit sebelumnya mengikuti upacara bendera. Tiba-tiba pasien kejang, dengan mata mendelik ke atas.. Saat dibawa ke rumah sakit, pasien masih kejang. C. Riwayat Penyakit Dahulu :

a. Riwayat penyakit serupa (kejang)


b. Riwayat kejang demam

: (+), kambuh-kambuhan : (+) : (-) : (-)

c. Riwayat alergi d. Riwayat Keluarga


II. PEMERIKSAAN FISIK A. B Keadaan Umum Tanda Vital Compos mentis

Tensi : 120/ 80 mmHg Nadi : 110 x/ menit RR : 23 x/ menit Suhu : 36,8 0C Bentuk mesocephal, rambut warna hitam (-), mudah rontok (-), luka (-) Mata cekung (-/-), konjunctiva pucat (-/-), SI(-/-),

C. E.

Kepala Mata

14

perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+), edema F. G. H. I. Telinga Hidung Mulut Leher palpebra (-/-), strabismus (-/-) Membran timpani intak, sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-), Berdenging(-) Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), fungsi penghidu baik Sianosis (-), gusi berdarah (-), bibir kering (-), pucat (-), lidah tifoid (-),stomatitis (-), luka pada sudut bibir (-) JVP R+2cm (tidak meningkat), trakea di tengah, simetris, pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran limfonodi J. Thorax cervical (-), leher kaku (-), distensi vena-vena leher (-) Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan = kiri, retraksi intercostal (-),pernafasan torakoabdominal, sela iga melebar (-), pembesaran KGB axilla (-/-), atropi m pectoralis (-) Jantung : Inspeksi Palpasi Perkusi Iktus kordis tidak tampak Iktus kordis tidak kuat angkat Batas jantung kanan atas : SIC II linea sternalis dextra Batas jantung kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dekstra Batas jantung kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra Batas jantung kiri bawah : SIC V 1 cm medial linea medioklavicularis sinistra Pinggang jantung : SIC II-III parasternalis sinistra Auskultasi Pulmo : Inspeksi konfigurasi jantung kesan tidak melebar HR : 100 kali/menit reguler. Bunyi jantung I-II, bising (-), gallop (-). Normochest, simetris, sela iga melebar (-),iga mendatar (-). Pengembangan dada kanan = kiri, sela iga melebar, Palpasi Perkusi Auskultasi K. Punggung retraksi intercostal (-) Simetris. Pergerakan dada ka = ki, penanjakan dada ka = ki, fremitus raba kanan = kiri sonor / sonor Suara dasar vesikuler intensitas normal, tdak didapatkan suara tambahan kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-), nyeri ketok

15

kostovertebra (-), L. Abdomen : Inspeksi Auscultasi Perkusi Palpasi Genitourinaria Ekstremitas Dinding perut lebih besar dari dinding thorak, distended (-), venektasi (-), sikatrik (-), stria (-), caput medusae (-) Peristaltik (+) normal Timpani Supel,nyeri tekan (-) Ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-) Akral dingin _ _ _ _ Odem _ _ _

M N.

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Pemeriksaan Laboratorium Darah


Hb AE AL Hct AT = 12,5 g/dl = 4.000.000 = 8.000 = 34,5% = 245.000

Ureum = 35 mg/dl Kreatinin= 0,7% Na K Cl = 142 mmol/L = 5,0 mmol/L = 115 mmol/L

IV. PLANNING Pemeriksaan EEG V. ASSESMENT Epilepsi

16

VI. TUJUAN PENATALAKSANAAN Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup penderita yang optimal . Bila masih kejang, diupayakan untuk menghentikan kejang sesegera mungkin, untuk menjamin oksigenasi serebral yang adekuat, dan untuk mempertahankan pasien dalam status bebas kejang. VII. TERAPI a. Penatalaksanaan untuk status epileptikus 1. Stadium I (0-10 menit) - memperbaiki fungsi kardio dan respirasi - memperbaiki jalan nafas, oksigenasi dan resusitasi bilamana diperlukan. 2. Stadium II (1-60 menit) - pemeriksaan status neurologik - pengukuran tekanan darah, nadi dan suhu - pemeriksaan EEG - pasang infus - ambil 50-100cc darah untuk pemeriksaan laborat - pemberian OAE cito : diazepam 0.2mg/kg dengan kecepatan pemberian 5 mg/ menit IV dapat diulang lagi bila kejang masih berlangsung setelah 5 menit pemberian. 3. Stadium III 90-60/90 menit) - menentukan etiologi - bila kejang terus berkangsung setelah pemberian lorazepam/diazepam, beri Fenitoin IV 15-20mg/kg dengan kecepatan kurang lebih 50mg/menit sambil monitoring tekanan darah. - Atau dapat pula diberikan Phenobarbital 10mg/kg dengan kecepatan kurang lebih 10mg/menit (monitoring pernafasan saat pemberian) - Terapi vasopresor (dopamin) bila diperlukan. - Mongoreksi komplikasi 4. Stadium IV (30-90 menit) - Bila tetap kejang, pindah ke ICU - Beri propofol (2mg/kgBB bolus iv, diulang bila perlu) b. Obat Rawat jalan

17

o Phenobarbital 3 x 30 mg o Vit. B.1 1 x 50 mg


VIII.PROGNOSIS Ad vitam Ad sanam Resep: = baik = baik

Ad fungsionam = baik

a. Obat untuk Status epileptikus


R/ Diazepam injeksi mg 5 amp No.I Cum spuit 3 cc No.I S Imm R/ Ringer Laktat infus flab no.I Cum infus set No.I IV catheter no.22 No.I S Imm Pro. Sdr. B (17 tahun) Bila masih kejang setelah pemberian diazepam, diberikan: R/ Natrium phenitoin injeksi amp No.I Cum spuit 3 cc No.I S Imm Pro. Sdr. B (17 tahun)

b. Obat rawat jalan R/ Phenobarbital mg 30 No.XXX S 3 dd tab 1 R/ Vit.B1 mg 50 No.X

18

S 1 dd tab 1 Pro: Sdr.B ( 17 th)

PEMBAHASAN OBAT PADA PENATALAKSANAAN EPILEPSI 1. Golongan hidantoin Contohnya: Phenitoin, merupakan golongan hidantoin yang sering dipakai. Kerja obat ini antara lain penghambatan penjalaran rangsang dari fokus ke bagian lain di otak. Indikasi: epilepsy umum khususnya grand mal tipe tidur, epilepsi fokal dan dapat jugauntuk epilepsi lobus temporalis. Efek samping: Nistagmus, ataksia, penurunan koordinasi dan kebingungan mental. Farmakokinetik: Absorbsi yang diberikan per oral berlangsung lambat, 10% dari dosis oral diekskresi melalui tinja dalam bentuk utuh. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam 3-12 jam. Pemberian phenitoin secara suntikan, menyebabkan phenitoin mengendap kira-kira 5 hari dan absorbs berlangsung lambat. Dosis: dewasa 300-600 mg / hari, anak 4-8 mg / hari, maks. 300 mg / hari. 2. Golongan barbiturate Contohnya: Fenobarbital, merupakan golongan baribiturat yang bekerja lama (long acting). Kerjanya membatasipenjalaran aktivitas serangan dengan menaikkan ambang rangsang.Indikasi: epilepsi umum khusus epilepsi Grand Mal tipe sadar, epilepsi fokal. Efek samping: Agitasi, kebingungan, hiperkinesia, ataksia, depresi SSP, somnolen, gelisah, halusinasi, imsomnia/ Dosis: dewasa 200 mg / hari, anak 3-5 mg/kgBB/hari. 3. Golongan benzodiazepam Contohnya: Diazepam, dikenal sebagai obat penenang, tetapi merupakan obat pilihan utama untuk status epileptik. Efek samping: rasa kantuk, kelelahan dan ataksia, tromosis vena.

19

Dosis: dewasa 2-10 mg im/iv, dapat diulang setiap 4 jam. Anak > 5 tahun 5-10 mg im/iv, anak 1 bulan-5 tahun 0,2-2 mg im/iv. 4. Vit B Indikasi : menghilangkan nyeri akibat neuritis dan neuralgia (nyeri pada saraf). Efek samping: reaksi alergi, agranulositosis Farmakokinetik: Diabsorbsi dengan baik oleh saluran pencernaan, Konsentrasi tinggi dalam plasma dicapai dalam waktu 30-50 mnit dan masa paruh plasma dicapai dalam waktu 1-3 jam.

DAFTAR PUSTAKA Adams RD, Victor M. The nature of the discharging lesion. In Priciples of Neurology. 5 th ed. Mc. Graw Hill, 1993: 284-286

20

American Academy of Neurology Quality Standards Subcommittee. Practice parameter: management issues for women with epilepsy (summary statement). Neurology, 1998; 51: 944-8 Anonim. Obat epilepsi. 2010. http//www.medicastore.com. Diakses 22 juni 2011 Cotman CW, et. al. Excitatory Aminocid neurotransmission. In: Bloom, FE & Kupfer DJ: Psychopharmacology. The fourth generation of progress. Raven Press, New York, 1995: 75-85 Gram L, Dam M. Epilepsy explained. 1st edition. Munksgaard, Copenhagen, 1995: 30-31 Janz D. The teratogenic risk of antiepileptic drugs. Epilepsia, 1975; 16: 159-169 Markam. Penuntun Neurologi. Bina Rupa aksara penuntun ilmu kedokteran. 2009, Jakarta Meldrum BS. Pathophysiology. A text book of epilepsy. Ed. by laidlaw J . , 1988:203-235 Pedoman Tata Laksana Epilepsi. Kelompok studi epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) 2003. Pellegrino TR. Seizures and Status epilepticus in adults. In: Tintinali JE, Ruiz E, Krome RL. Emergency Medicine. 4th ed. Mc Graw Hill. New York, 1996: 456-67 Wodley CS., Schwatzkroin PA. Hormonal effects on the brain. Epilepsia, 1998; 39: S2-S8 Yerby MS, Devinsky O. Epilepsy and pregnancy, Neurological Complications of pregnancy Ed. By Devinsky O. Raven Press, New York, 1994:45-63

21

Anda mungkin juga menyukai