Anda di halaman 1dari 32

Ijma ( )adalah bahasa Arab istilah mengacu pada konsensus dari komunitas Muslim.

. Berbagai sekolah pemikiran dalam hukum Islam dapat menentukan konsensus ini seperti yang dari generasi pertama umat Islam saja; konsensus dari tiga generasi pertama umat Islam , konsensus para ahli hukum dan cendekiawan dunia Islam, atau konsensus ilmiah, atau konsensus dari semua dunia Muslim, baik sarjana maupun orang awam.
Isi
[hide]

1 Penggunaan

1,1 Syiah View

2 Views 3 Lihat pula 4 Referensi 5 Pranala luar

[ sunting ]Penggunaan Para hadits dari Muhammad yang menyatakan bahwa "Warga di tempat saya tidak akan pernah [ rujukan? ] menyetujui sebuah kesalahan" sering dikutip sebagai dukungan untuk keabsahan ijma '. Sunni Muslim hal ijma 'sebagai sumber dasar yang ketiga hukum Syariah, setelah ilahi pewahyuan Al Qur'an , praktik kenabian atau Sunnah . Meskipun ada banyak perbedaan tentang siapa yang dianggap sebagai bagian dari kesepakatan ini, pandangan mayoritas dibagi antara dua kemungkinan: bahwa konsensus agama mengikat adalah konsensus dari masyarakat Muslim seluruh, atau bahwa konsensus [1] agama mengikat hanyalah konsensus dari agama belajar . Malik bin Anas berpegang pada pandangan bahwa konsensus agama mengikat hanya konsensus [2] Muhammad sahabat dan penerus langsung dari mereka sahabat di kota Madinah . Menurut Irak akademik Majid Khadduri , Al-Syafi'i memandang bahwa konsensus agama yang mengikat harus mencakup semua komunitas Muslim di setiap bagian dunia, baik agama belajar dan [3] awam; dengan demikian, jika bahkan satu luar individu jutaan diadakan pandangan yang berbeda, maka konsensus tidak tercapai. Dalam upaya untuk mendefinisikan konsensus dalam bentuk yang lebih mungkin untuk pernah terjadi, Al-Ghazali memperluas definisi al-Syafi'i untuk menentukan konsensus termasuk semua komunitas Muslim dalam hal prinsip-prinsip agama dan membatasi makna untuk hanya [4] agama belajar mengenai perincian yang lebih bagus. Abu Hanifah , Ahmad bin Hanbal dan Dawud al-Zahiri , di sisi lain, dianggap konsensus ini untuk hanya menyertakan para sahabat Nabi Muhammad, tidak termasuk semua generasi yang mengikuti mereka, di [5] [6] Madinah dan tempat lain. Tampilan dalam Islam Sunni bercabang lebih jauh pada generasi kemudian, dengan Muhammad bin Jarir al-Tabari dan Muhammad bin Zakaria ar-Razimendefinisikan bahkan pandangan mayoritas sederhana seperti merupakan konsensus dan Ibnu Taimiyah membatasi konsensus untuk pandangan agama belajar [ 6] saja.

[ sunting ]Lihat

Syiah

Ushul Syiah menerima ijma 'dalam kondisi terbatas sebagai sumber hukum Islam . [ sunting ]Views Banyak penulis Muslim telah mengklaim bahwa penggunaan ijma 'membuat hukum Islam [ Rujukan ] [ siapa? ] kompatibel dengan demokrasi . Berbagai pendukunggerakan liberal dalam Islam mengkritik pandangan tradisional bahwa ijma 'hanya konsensus di antara tradisional Islam ulama [. rujukan? ] ( ulama ) Mereka mengklaim bahwa konsensus benar-benar demokratis harus melibatkan seluruh masyarakat dan bukan kelas kecil dan ulama konservatif, terutama karena tidak ada sistem hirarkis dalam Islam dan tidak ada konsep antara manusia antara seorang Muslim dan Allah. [ sunting ]Lihat
[ siapa? ]

juga

Islam demokrasi Deliberatif demokrasi Preseden Qiyas Ijtihad Ulama Ushul al-fiqh Ashab al-Ijma '

http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Ijma&ei=H5Z1TigLY_yrQeU_6mpDQ&sa=X&oi=translate&ct=result&resnum=6&sqi=2&ved=0CEoQ7gEwBQ&prev=/sear ch%3Fq%3DAL%2BIJMA%2BADALAH%26hl%3Did%26biw%3D1366%26bih%3D631%26prmd%3Dimvns

Al Ijma'
(Catatan Kajian Fiqh Ibadah di Gedung Sarana Jaya bersama ustadz Ahmad Bisyri, MA.)Salah satu sumber hukum Islam adalah Ijma. Dalam bahasa Arab, ijma berarti kesepakatan; secara bahasa berarti: kesepakatan para mujtahidin dari umat nabi Muhammad saw setelah wafatnya beliau dalam segala urusan hukum pada setiap masa. Walaupun ijma' berarti kesepakatan, namun tidak berarti setiap kesepakatan dapat disebut ijma'. Batasan ijma'/kesepakatan yang dapat menjadi sumber hukum Islam adalah yang memenuhi hal-hal sebagaimana definisi diatas, yakni: 1. Kesepakatan tersebut dibuat oleh para mujtahid yang memenuhi syarat. Diantara persyaratan-persyaratan untuk menjadi mujtahid diantaranya: A. Memahami dan menguasai bahasa Arab dengan pemahaman yang mendalam, karena sumber hukum Islam berbahasa Arab. Orang Arab tidak secara otomatis menjadi mujtahid karena belum tentu mampu berbahasa Arab dengan baik sebagaimana disyaratkan. B. Menguasai Al Qur'an dan ilmu-ilmunya; yakni memahami Al Qur'an dan hafal Al Qur'an sehingga ketika mendapati suatu permasalahan, ia dapat dengan cepat mendapatkan referensinya di dalam Al Qur'an. Ilmu-ilmu Al Qur'an meliputi ilmu tafsir, dan sebagainya. C. Menguasai As Sunnah dan ilmu-ilmunya. Sekarang ini ratusan ribu hadits yang muncul dan belum bisa ditentukan yang mana yang shahih, demikian juga buku2 hadits banyak yang bisa dipakai dan banyak yang tidak bisa dipakai untuk bisa dipakai landasan pembuatan ijma. Syarat minimal untuk menjadi mujtahid adalah hafal 500 hadits meliputi sanad (mata rantai) dan matannya (isi).

D. Menguasai ilmu ushul fiqh; yakni metode penarikan hukum islam. E. Menguasai keadaan zamannya ketika mereka hidup. Contoh: seorang mujtahid abad ini harus mengetahui permasalahan bunga bank beserta seluk beluknya sebelum memutuskan suatu hukum berkaitan dengan hal tersebut, karena perkara bunga bank tidak ada di jaman Rasulullah. Untuk itulah diperlukan pemahaman terhadap: Ilmu syariah Seluk-beluk masalah perbankan Jadi bagaimana cara untuk mensiasati persoalan sekarang dimana susah untuk mendapatkan seorang mujtahid? Maka syariat ditentukan dengan Al Ijtihad Al Jamai (kolektif), yaitu dengan mendirikan lembaga atau syarikat dimana terdapat ulama, dokter, pakar ekonomi, pakar politik, dll (sekumpulan orang yang mempunyai kapasitas memadai) untuk membuat ijtihad. 2. Ijma hanya sah jika dilandasi dengan dalil tekstual atau kontekstual. 3. Ijma hanya sah jika terjadi dengan suara bulat 100%. 4. Ijma hanya sah jika terjadi setelah nabi saw wafat. Dengan kriteria demikian, saat ini sulit untuk mendapatkan sosok personal yang menjadi mutjahid, saat ini ijtihad lebih banyak dilakukan yang dilakukan oleh suatu tim, ijtihad jama'i. Ijma' bukanlah kesepakatan yang dilakukan secara bersamaan dalam satu tempat tertentu. Kesepakatan semacam itu disebut ijtihad. Ijma' didapat dari ijtihad yang sama dari berbagai ulama di berbagai tempatnya secara sendiri-sendiri. Adakalanya suatu ijtihad baru menjadi ijma' dalam kurun waktu yang lama, setelah tidak ditemukan pertentangan pendapat. Jika ada beberapa pendapat yang berbeda, maka pendapat mayoritas disebut pendapat jumhur. Selain itu, seorang mujtahid harus menjadi pengikut dan pembela ajaran nabi Muhammad s.a.w. Orang2 sekuler dan orientalis banyak juga yang menguasai apa yang dikuasai seorang mujtahid, tetapi mereka tidak bisa dikatakan sebagai mujtahid karena mereka tidak menjadi pengikut ajaran Rasulullah dan tidak membela ajaran, akan tetapi malah digunakan untuk menjatuhkannya/menjelek-jelekannya. Banyak terdapat studi Islam di negara2 Eropa dan Amerika, tetapi hanya berupa studi saja, tidak dimaksudkan untuk menjadi pengikut ajaran Rasulullah. Legalitas Ijma' sebagai sumber hukum Dalam Al Quran Surat An Nisa ayat 115, Allah swt menegaskan: Dan siapa saja yang menyakiti rasulullah saw setelah ia mendapatkan penjelasan dan petunjuk lalu ia membelot dari jalan ummat islam (mukminin) maka kami akan palingkan dan kami akan nyalakan api neraka sebagai tempat yang buruk. Pada ayat ini Allah swt melarang untuk: 1. Menyakiti/ Menentang Rasulullah. 2. Membelot/ menentang jalan yang disepakati kaum mu'minin. Inilah yang mendasari bahwa Ijma' adalah salah satu sumber hukum dalam Islam. Ayat ini dikemukakan oleh Imam Syafi'i ketika ada yang menanyakan apa dasarnya bahwa kesepakatan para ulama bisa dijadikan dasar hukum. Imam Syafii menunda jawaban atas pertanyaan orang tersebut sehingga tiga hari, beliau mengulang-ulang hafalan Qur'annya hingga menemukan ayat ini. Contoh Ijma': kewajiban shalat lima waktu. Contoh lain: kepemimpinan perempuan di dalam suatu negara. Sudah disepakati oleh para ulama bahwa ar riasatul uzma, yakni dalam kepemimpinan yang sangat independen, yang mempengaruhi semua orang, maka tidak boleh perempuan menjadi pemimpin. Adapun jabatan presiden seperti yang ada saat ini, sebagian kalangan menganggap tidak termasuk dalam ar riasatul uzma. Jenis Ijma' 1. Ijma' Sukuty: kesepakatan para ulama dalam suatu hukum tanpa pernyataan langsung dan hanya ditunjukkan dengan sikap tidak menentang. Tabi'at para ulama adalah tidak membiarkan kemungkaran, mereka sangat concern dengan kemungkaran. Dengan demikian diamnya para ulama juga merupakan persetujuannya. 2. Ijma' Soriih: Kesepakatan para ulama dalam suatu hukum dengan kesamaan pernyataan fatwa. Walaupun terkadang kalimatnya berbeda: "Shalat lima waktu hukumnya wajib", ada yang mengatakan, Jika tidak melaksanakannya berarti telah kafir. Tanya Jawab: 1. Apa keterangan yang menandakan suatu hukum itu ijma'? Apakah ijma' sudah dibukukan? Jawab: Tidak ada pembukuannya secara resmi. Akan tetapi Ibnul Munzir memiliki

satu buku yang dinamai Al Ijma', berisi kodifikasi permasalahan2 yang bersifat kontroversial. Pemberitahuan mengenai apakah ijma' atau bukan adalah dengan cara tidak adanya perbedaan fatwa para ulama dimanapun. 2. Apakah boleh seseorang membaca do'a iftitah menggunakan beberapa versi dalam shalat-shalatnya? Jawab: Boleh. Yang menjadi Ijma adalah bahwa doa iftitah itu hukumnya sunnah dalam shalat. Adapun isi bacaannya sendiri ada perbedaan pendapat diantara para ulama. 3. Siapa yang berhak mengeluarkan keputusan bersama/ijma'? Bagaimana dengan fatwa untuk menghindari produk-produk yang berkaitan dengan produk dari negara tertentu? Jawab: Yang berhak adalah para mujtahidin yang memenuhi kelima syarat yang disebutkan diatas. Tidak ada batas regional, dan sekarang lebih direpresentasi oleh suatu lembaga. Fatwa bukan merupakan sumber hukum, akan tetapi berupa himbauan. Sebuah fatwa yang dikeluarkan di Jeddah, misalnya, belum tentu disebut Ijma, tetapi baru merupakan Ijtihad. Kalau ijtihad ini sudah seragam dan tidak ada lagi pertentangan tentang perkara itu di seluruh dunia, maka kemudian bisa disebut sebagai ijma. Ada pun tentang fatwa pelarangan menggunakan produk tertentu itu lebih dikarenakan umat Islam disana sedang berperang secara ekonomi dengan kelompok kapitalis, dan pelarangan tersebut dibuat untuk melumpuhkan ekonomi negara kapitalis. 4. Bagaimana menyikapi perbedaan pendapat dalam masalah - masalah pokok? Jawab: Pada dasarnya tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah-masalah pokok. Dari tinjauan hukum Islam, para ulama bersepakat mengenai hukum Ahmadiyah adapun pendapat salah seorang tokoh belakangan ini adalah didasari tinjauan kebangasaan.

http://santrikota.blogspot.com/2008/06/al-ijma.html

ijma'
Written on 31/01/09 | 09:33

A. Pengertian Ijma menurut bahasa adalah sepakat atas sesuatu , sedangkan ijma secara istilah para ulama Ushul fiqh adalah kesempakatan para mujtahid di kalangan umat islam pada suatu masa setelah rasulullah wafat atas hukum syara pada peristiwa yang terjadi. Dalam difinisi tersebut bahwa ijma baru akan terbentuk apabila ada kesepakatan dari para ulama, dan waktunya sesudah wafat Nabi Muhammad karean pada masa Nabi masih hidup ketetapan hukum langsun meruju kepadanya akan tetapi setelah beliu wafat harus ada kesepakan dari beberapa ulama. B. Rukun ijma 1. Adanya beberapa pendapat yang yang menjadi suatu masa tertentu. 2. Adanya kesepakatan pendapat semua mujtahid dari kaum muslimin atas suatu hukum syara mengenai suatu perkara hukum pada waktu terjadinya tampa memandang tempat, kebangsaan dan kelompok mereka. 3. Kesepakatan pendapat itu nyata, baik berupa perkataan atau perbuatan 4. Kesepatan dari seluruh mujtahid itu benar-benar teralisir, apabila hanya sebagian saja dari mereka maka tidak terjadi ijma Menurut Abdul Wahab Khalaf ijma tidak mungkin terjadi apabila diserahkan hanya kepada seseorang, dan munkin terjadi apabila diserahkan kepada pemerintah islam, masing-masing ditanya pendapatnya, dan mujtahid mengukapkan pendapatnya dan

kebetulan pendapatnya mereka sama, maka pendapat itu menjadi ijma dan hukum di ijmakan itu menjadi hukum syara yang wajib di ikuti oleh kaum muslimin. C. Macam-macam ijma 1. al ijma as Sarih adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu masa atas hukum suatu peristiwa dengan menampilkan pendapatnya masing secar jelas, baik dengan perkatan ataupun dengan tulisan atau dengan perbuatan. 2. al ijma as Sukuty adalah jika sebagian mujtahid itu berdiam diri tidak berterus terang mengeluarkan pendapatnya dan diamnya itu bukan karena takut, segan atau karena malu, akan tetapi diamnya itu karena karena betul-betul tidak menangapi atas pendapat yang lain, baik menyetujuai atau menolaknya D. Kedudukan dan kehujjahanya. Para ulama menetapkam bahwa kedudukan ijma sebagai hujjah terletak dibawah deretan Al Quran dan As Sunah. Ijma tidak boleh menyalahi nas yang qati jumhur ulama mengatatakan bahwa hanya ijma sharih saja dapat dijadikan sebagi hujah syariah, akan tetapi ulama hanafiah menbolehkan hujah sukuti sebagai menjadi hujjah Kebanyakan ulama berpendapat nilai kehujjahan ijma adalah dzanni Read more: ijma' IslamWiki http://islamwiki.blogspot.com/2009/01/ijma.html#ixzz1qbAaFywm Under Creative Commons License: Attribution B. http://islamwiki.blogspot.com/2009/01/ijma.html

IJMA SEBAGAI SUMBER HUKUM KETIGA DALAM ISLAM

IJMA SEBAGAI SUMBER HUKUM KETIGA DALAM ISLAM


MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Perbandingan Madzhaib yang dibina oleh Bapak Gazali, H. A. Lc. M.H.I

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PAMEKASAN JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM 2009

KATA PENGANTAR Bismillahhirrahmanirrahim Puji syukur kahadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan karunia, taufiq, dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam semoga tetap mengalir deras pada pejuang kita yang namanya populerj dan berkibar diseluruh dunia yakni Nabi besar Muhammad Saw. Yang mana dengan perjuangan beliau kita dapat berada dalam cahaya islam dan iman. Selanjutnya penulis menyadari bahwa salam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan banyak kekurangan, sehingga penulis makalah ini sangat mengharapkan sadan dan kritik yang konstruktif demi kesempurnaan dalam penulisan makalah selanjutnya. Akhirnya penulis berdoa semoga makalah ini akan membawa manfaat pada penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ijma adalah salah satu dalil syara yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi dibawah dalil-dalil Nas (Al-Quran dan Hadits) ia merupakan dalil pertama setelah Al-Quran dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya ijma itu sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Quran dan Al Hadits, mereka berijtihat dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri (Al-Quran dan Hadits). Ijma muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi. Khalifah Umar Ibnu Khattab ra. misalnya selalu mengumpulkan para sahabat untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum, jika mereka telah sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum yang telah disepakati.

Terkait dengan ijma ini masih banyak komonitas diantaranya, sebagian mahasiswa yang masih minim dalam memahami ijma itu sendiri maka dari itu kami penulis akan membahas tentang ijma dan dirumuskan dalam rumusan masalah dibawah ini. B. Rumusan Masalah a. Pengertian ijma b. Syara-syarat ijma c. Macam-macam ijma d. Kemungkinan terjadinya ijma e. Kehujjaan Ijma menurut pandanga ulama. C. Tujuan Dalam penulisan makalah ini penulis bertujuan agar kita para mahasiswa dapat mengetahui bagaimana cara untuk lebih memahami landasan hukum islam seperti ijma yang telah disepakati oleh para mujtahit yang dijadikan sebagai sumber hukum ketiga setelah Al-Quran dan Hadits. BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Ijma Ijma menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan menurut istilah Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad Umat Nabi Muhammd, sesudah wafatnya pada suatu masa, tentang suatu perkara (hukum).[1] Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma dalam menetapkan suatu hukum, kerena segala persoalan dikembalikan kepada beliu, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui hukumnya. Ijma itu dapat terwujud apabila ada empat unsur. 1. Ada sejumlah mujtahid ketika suatu kejadian, karena kesepakatan (ijma) tidak mungkin ada kalau tidak ada sejumlah mujtahid, yang masing-masing mengemukakan pendapat yang ada penyelesaian pandangan.

2. Bila ada kesepakatan para mujtahid umat islam terhadap hukum syara tentang suatu masalah atau kejadian pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri, kebangsaan atau kelompok mereka. Jadi, kalau mujtahid Makkah, Madihan, Irak, Hijaz saja umpamanya yang sepakat terhadap suatu hukum syara tidak dapat dikatakan ijma menurut syara kalau bersifat regional. Tetapi harus bertahap internasional. Masalah mungkin terjadi ijma atau tidak, lain lagi persoalannya, karena ada diantara ulama yang mengatakan mungkin dan ada pula yagn mengatakan tidak mungkin. 3. Kesepakatan semua mujtahid itu dapat diwujudakan dalam suatu hukum tidak dapat dianggap ijma kalau hanya berdasarkan pendapat mayoritas, jika mayoritas setuju, sedangkan minoritas tidak setuju. Berarti tetap ada perbedaan pendapat. 4. Kesepakatan para mujtahid itu terjadi setelah ada tukar menukar pendapat lebih dahulu, sehinga diyakini betul putusan yang akan ditetapkan.[2] B. Syarat-Syarat Ijma Dari definisi ijma di atas dapat diketahui bahwa ijma itu bisa terjadi bila memenuhi kriteria-kriteria di bawah ini. 1. Yang bersepakat adalah para mujtahid. Para ulama berselisih faham tentang istilah mujtahid. Secara umu mujtahid diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam mengistimbatkan hukum dari dalil-dalil syara. Dalam kita jamul jawami disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang yang fakih. Beberapa pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan, bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dsan mempu mengistimbat hukum dari sumbernya. Dengan demikian, kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka yang belum mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma begitu pula penolakan mereka, karena mereka tidak ahli dalam menelaah hukum-hukum syara. 2. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid.

Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak meskipun sedikit, maka menurut jumhum, hal itu tidak bisa dikatakan jima. Karena ijma itu harus mencakup keseluruhan mujtahid. Sebagaimana ulama berpandangan bahwa ijma itu sah bila dilakukan oelh sebagian besar mujtahid, karena yang dimaksud kesepakatan ijma termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari mereka. Begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup hukum keseluruhan. 3. Para mujtahid harus umat Muhammad SAW. Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW. tidak bisa dikatakan ijma, hal itu menunjukkan adanya umat para nabi lain yang berijma, adapun ijma umat Nabi Muhammad SAW. tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin berijma untuk melakukan kesalahan. 4. Dilakukan setelah wafatnya Nabi. Ijma itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik adna itu dianggap sebagai syariah. 5. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan Syariat. Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yagn ada kaitannya dengan syariat, seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram dan lain-lain.[3] C. Macam-Macam Ijma Ijma ditinjau dari cara penetapannya ada dua: 1. Ijma Sharih; Yaitu para mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap suatu kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing mujtahid mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yan mencerminkan pendapatnya. 2. Ijma Sukuti: Sebagian mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum. Dan sebagian yang lain diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidaknya terhadap pendapat yang telah dikemukakan.[4] D. Kemungkinan Terjadi Ijma

Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan adanya ijma dan kewajiban melaksanakannya. Jumhur berkata, ijma itu bisa terjadi bahkan telah terlaksana. Sedangkan pengikut Nizam dan golongan Syiah menyatakan, ijma itu tidak mungkin terjadi, dengan mengemukakan beberapa argumen, antara lain: Pertama, sesungguhnya ijma yang dimaksudkan oleh jumhur terntang

diharuskannya adanya kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa sehingga harus memenuhi dua kriteria: 1. Mengetahui karakter setiap mujtahid yang dikategorikan mampu untuk mengadakan ijma. 2. Mengetahui pendapat masing-masing mujtahid tentang permasalahan tersebut. Kedua, ijma itu harus bersandarkan kepada dalil, baik yang qathI ataupun yang dhanni. Bila berlandaskan pada dalil qathI maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu tidak membutuhkan ijma. Sebaliknya bila didasarkan pada dalil yang dzanni, dapat dipastikan para ulama akan berbeda pendapat karena masing-masing mujtahid akan mengeluarkan pendapatnya dengan kemampuan berfikir daya nalar mereka, disertai berbagai dalil yagn menguatkan pendapat mereka.[5] E. Kehujjaan Ijma menurut Pandangan Ulama. Jumhur ulama berpendapat, bahwa ijma dapat dijadikan argumentasi (hujjah) berdasarkan dua dalil berikut: Hadits-hadits yang menyatakan bahwa umat Muhammad tidak akan bersepakat terhadap kesesatan. Apa yang menurut pandangan kaum muslimin baik, maka munurut Allah juga baik. Oleh karena itu, amal perbuatan para sahabat yang telah disepakati dapat dijadikan argumentasi.[6] Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kehujjahan ijma, misalnya, apakah ijma itu hujjah syari? Apakah ijma itu merupakan landasan usul fiqih atau bukan? Bolehkah kita menafikan atau mengingkari ijma? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, para ulama berbeda pendapat. Al-Qardawi berpendapat bahwa orang-orang hawn tidak menjadikan ijma itu sebagai hujjah, bahkan dalam sejarahnya dia mengatakan bahwa ijma itu bukan hujjah secara mutlak.

Menurut Al-Maidi, para ulama telah sepakat mengenai ijma sebagai hujjah ygn wajib diamalkan. Pendapat tersebut bertentangan dengan Syiah, Khawarij dan Nizam dari golongan Mutazilah. Al-Hajib berkata bahwa ijma itu hujjah tanpa menanggapi pendapat Nizam, Khawarij dan Syiah. Adapun Ar-Rahawi berpendapat bahwa ijma itu pada dasarnya adalah hujjah. Sedangkan dalam kitab Qawaidul Usul dan Maqidul Usul dikatakan bahwa ijma hujjah pada setiap masa. Namun pendapat itu ditentang oleh Daut yang mengatakan bahwa ijma itu hanya terjadi pada masa sahabat.[7] Kehujjahan ijma juga berkaitan erat dengan jenis ijma itu merupakan sendiri, yaitu sharih dan sukuti, agar lebih jelas maka pendapat mereka tentang ijam akan ditinjau berdasarkan pembagian ijma itu sendiri. 1. Kehujjahan ijma sharih Jumhur telah sepakat bahwa ijma sharih itu merupakan hujjah secar qathi, wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma pada suatu permasalahan maka ita menjadi hukum qathI yang tidak boleh ditentang, dan menjadi menjadi masalah yang tidak boleh diijtihadi lagi. Dalil-dalil yang dikeluarkan oleh jumhur Firman Allah SWT. dalam surat Annisa ayat 115. Artinya : Barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mumin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa: 115) Kehujjahan dalil dari ayat di atas adalah ancaman Allah SWT terhadap mereka yang tidak mengikuti jalannya orang-orang mumin. Disebutkan bahwa mereka akan dimasukkan ke neraka Jahanam dan akan mendapat tempat kembali yang buruk. Hal itu menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang tidak beriman itu adalah batil dan haram diikuti. Sebaliknya, jalan yang ditempuh oleh orang-orang mumin adalah hak dan wajib diikuti. 2. Kehujjahan ijma sukuti

Ijma Sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama. Sebagian dari mereka tidak memandang ijma sukuti sebagai hujjah bahkan tidak mengatakan sebagai ijma. Di antara mereka ialah pengikut Maliki dan Imam SyafiI yang menyebutkan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya. Mereka berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja menyepakati sebagian atau bisa saja tidak sama sekali. Misalnya karena tidak melakukan ijtihad pada satu masalah atau takut mengemukakan pendapatnya sehingga kesepakatan mereka terhadap mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan apakah hal itu qathI atau zanni. Jika demikian adanya, tidak bisa dihalalkan adanya kesepakatan dari seluruh mujtahid. Berarti tidak bisa dikatakan ijma ataupun dijadikan sebagai hujjah. Sebagian besar golong Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa ijma sukuti merupakan hujjah qatI seperti halnya ijma sharih. Alasan mereka adalah diamnya sebagian mujtahid utuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya terhadap pendapat yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid lainnya, bila memenuhi persyaratan adanya ijma sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil tentang kesepakatan mereka terhadap hukum. Dengan demikian, bisa juga dikatakan sebagai hujjah yang qatI karena alasannya juga menunjukkan adanya ijma yang tidak bisa dibedakan dengan ijma sharih.[8] BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ijma adalah suatu dalil syara yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif di bawah dalildalil nas (Al Quran dan hadits). Ia merupakan dalil pertama setelah Al Quran dan hadits. Yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara. Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma dalam menetapkan suatu hukum, karena segala permasalahan dikembalikan kepada beliau, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belaum diketahui hukumnya. Adapun dari ijma itu sendiri harus memenuhi syarat-syarat tertentu, agar dalam kesepakatan para mujtahid dapat diterima dan dijadikan sebagai hujjah/ sumber hukum (ijma)

Dan dari ijma itu sendiri terdapat beberapa macam. Diantaranya: ijma sharih, ijma sukuti. Dari dua versi itu lahirlah perbedaan-perbedaan dalam pandangan ulama mengenai ijma itu sendiri. Seperti ijma sukuti misalkan, pengikut Imam Maliki dan SyafiI memandang bahwa ijma sukuti sebagai hujjah bahkan tidak menganggap sebagai ijma. Sedangkan segolongan dari Imam Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan sebaliknya. B. SARAN DAN KRITIKAN Jadikanlah makalah ini sebagai media untuk memahami diantara sumber-sumber Islam (ijma) demi terwujudnya dan terciptanya tatanan umat (masyarakat) adil dan makmur. Kami sadar, dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Maka dari itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan dan konstruktif demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya. DAFTAR PUSTAKA M. Ali Hasan. Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2007. Drs. Moh. Rifai. Usul Fiqih. Bandung: PT. Almaarif 1973. Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Usul Fiqih. Pustaka Amani, Jakarta 2003. Prof. Dr. Rachmat Syafii. MA. Ilmu Usul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia 2007. Prof. Muhamad Abu Zahrah. Usul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus, Cetakan Pertama 1994., Cetakan Kesembilan 2005.

[1] [2]

Drs. Moh. Rifai. Usul Fiqih. Bandung 1973. hal. 128 M. Ali Hasan Perbandingan Mazhab, Jakarata 2002. hal 24-25 [3] Prof. Dr. Rachmat SyafiI, MA. Ilmu Usul Fiqih Bandung 2007-hal 70-71. [4] Prof. Dr Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Usul Fikih Jakarta 2003 M. Hal. 62 [5] Prof. Dr. Rachmat SyafiI, MA. Ilmu Usul Fiqih Bandung 2007. Hal. 73 [6] Prof. Muhammad Abu Zahrah, Usul Fiqih Jakarta 2005. Hal. 314 [7] Prof. Dr. Rachmat SyafiI, MA. Ilmu Usul Fiqih Bandung 2007. Hal. 73 [8] Prof. Dr. Rachmat SyafiI, MA. Ilmu Usul Fiqih Bandung 2007. Hal. 80.

http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/07/ijma-sebagai-sumber-hukum-ketiga-dalam.html

Ijma Sumber Ajaran Agama Islam


Oleh: AnneAhira.com Content Team
Biasa

Ijma merupakan salah satu dari beberapa sumber hukum Islam atausumber ajaran agama Islam selain Al-Quran, Hadist dan Qiyas. Walaupun sudah banyak kaum muslim yang mengetahui akan sumber-sumber hukum Islam ini, tapi jarang dari kita yang mengerti dan memahaminya. Definisi Ijma adalah suatu kesepakatan yang diambil oleh para ulama mengenaihukum syara tentang suatu masalah yang timbul. Kesepakatan atas masalah inilah yang di sebut dengan Ijma. Sedangkan dasar hukum Ijma itu sendiri berasal dari Al-Quran dan Hadits. Dalam Al-Quran surat An-Nisa: 59 disebutkan, Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu. Mengenai Ijma ini Rasulullah sendiri bersabda Umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi) Rukun Ijma' Menurut syariat Islam, setiap sumber ajaran agama Islam harus memiliki rukun-rukun yang mesti dipenuhi. Adapun rukun yang harus ada dalam suatu Ijma adalah :

Ketika terjadi suatu kesepakatan tersebut, harus di hadiri oleh beberapa orang ulama. Hendaknya di sepakati oleh beberapa ulama di dunia Islam Ijma harus di sepakati dan diumumkan secara tegas oleh alim ulama. Kesepakatan akan Ijma haruslah sebuah kesepakan yang bulat dari semua ulama yang hadir.

Aspek Ijma' Di buku-buku fikih dan kitab ushul fikih diterangkan bahwa Ijma terbagi atau dapat dilihat dari beberapa aspek. 1. Ijma dibedakan dari segi , yaitu :

Ijma Sharih, merupakan kesepakatan ulama tentang suatu kejadian dengan mengemukakan pendapat masing-masing ulama secara jelas dengan memberikan suatu fatwa. Ijma syukuty, Ijma yang dikeluarkan oleh ulama dan memberikan fatwa terhadapnya, sedangkan ulama lainnya tidak memberikan pendapat ataupun menentangnya. ljma`qath`i, Ijma yang sebenar-benar kejadiannya dan tidak ada kemungkinan lain dari kejadian itu menetapkan Ijma dengan hasil yang berbeda. Ijma zhanni, bahwa Ijma yang dihasilkan itu mempunyai kemungkinan yang berbeda dari ijma yang ditetapkan padawaktu yang berbeda.

2. Ijma berdasarkan keyakinan terjadinya Ijma : Obyek Ijma' Hal-hal atau kejadian yang boleh dijadikan obyek Ijma` adalah semua kejadian yang tidak mempunyai dasar di dalam Al-Quran dan hadits seperti ibadah ghairu mahdah atau ibadah yang tidak langsung kepada Allah, dan di bidang muamalah (perdagangan), kemasyarakatan dan bidang-bidang lain yang tidak mempunyai dasar di dalam Al-Quran dan Al-Hadits, maka Ijma bisa kita pakai sebagai sumber ajaran agama Islam. Ijma yang dikeluarkan oleh ulama baik para imam ataupun Ijma oleh ulama kita telah ditimbang dan diperhatikan secara sempurna, sehingga kita wajib mentaati. Karena para imam atau ulama telah bermufakat jika ada seseorang yang melanggar Ijma ini bisa di golongkan kepada kafir atau murtad dalam keadaan tertentu. Semoga kita dapat memahami bahwa ijma itu adalah salah satu dari sumber ajaran agama Islam yang wajib ditaati dan membawa kedamaian didalam kehidupan bermasyarakat. Amin.
http://www.anneahira.com/sumber-ajaran-islam.htm

Peran Ijma Dalam Penetapan Hukum Islam


Jumat, 7 Januari 2011 23:03:42 WIB PERAN IJMA' DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM Oleh Ustadz Zainal Abidin

IJMA' MENURUT BAHASA Ijma', secara etimologi berasal dari kalimat ajmaa yujmiu Ijma'an dengan isim maful mujma yang memiliki dua makna. Pertama. Ijma' secara etimologi bisa bermakna tekad yang kuat [1]. Oleh karena itu, jika dikatakan "ajmaa fulan 'ala safar", berarti bila ia telah bertekad kuat untuk safar dan telah menguatkan niatnya, sebagaimana firman Allah

Subhanahu wa Ta'alal :

... Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku).... [Ynus/10:71]. Kedua. Ijma' secara etimologi juga memiliki makna sepakat [2]. Jika dikatakan "ajma' muslimun 'ala kadza", berarti mereka sepakat terhadap suatu perkara, seperti sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak akan menyatukan umat ini di atas kesesatan untuk selamanya.[3] IJMA' MENURUT ISTILAH Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan makna Ijma' menurut arti istilah. Ini dikarenakan perbedaan mereka dalam meletakkan kaidah dan syarat Ijma'. Namun definisi Ijma' yang paling mendekati kebenaran adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihad dari kalangan umat Muhammad setelah wafatnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pada masa tertentu atas suatu perkara agama.[4] Penjelasan Definisi Ini Sebagai Berikut : Para ulama ahli ijtihad terlibat dalam kesepakatan tersebut, baik dalam bentuk keyakinan,ucapan dan perbuatan. Penyebutan kata "para ulama ahli ijtihad" dalam definisi ini memberikan makna kesepakatan kalangan awam tidak termasuk ijma'. Karena kesepakatan dan perbedaan mereka tidak perlu diperhitungkan begitu juga kesepakatan sebagian para ulama juga tidak bisa dianggap ijma. Ijtihad, maksudnya pengerahan kemampuan pikiran secara maksimal untuk menghasilkan putusan hukum.(berdasarkan dalil-dalil syar'i,-red) Setelah wafat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, (maksudnya Ijma' itu terjadi setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, -red). Karena Ijma' pada masa hidup beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak dianggap, lantaran semua hukum diputuskan secara langsung oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melalui perantara wahyu. Pada masa tertentu, ini memberikan penegasan bahwa Ijma' tidak harus muncul dari kesepakatan para ulama sepanjang masa hingga Kiamat, bahkan hanya pada masa hidupnya para ulama ahli ijtihad pada saat terjadinya masalah saja. Perkara agama, yaitu mencakup semua urusan yang terkait dengan masalah syariyah,'aqliyah, 'urfiyah dan bahasa. Maksud umat adalah umat ijabah, atau mereka yang mengikuti ajaran dan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dengan demikian, berarti umat dari kalangan ahli bidah tidak termasuk kelompok ahli ijtihad.[5] Ijma' tidak hanya terjadi pada zaman tertentu saja. Di antara ulama ada yang membatasi Ijma' hanya terjadi pada masa sahabat, seperti pernyataan Ibnu Hazm rahimahullah yang menukil dari Sulaiman bahwa tidak ada Ijma' kecuali Ijma' Sahabat [6]. Ada juga yang berpendapat bahwa Ijma' bisa saja terjadi dalam masalah selain hukum syariat. Begitu pula ada sebagian ulama yang hanya membatasi Ijma' pada masalah hukum syariat saja, dan inilah pendapat yang benar kecuali jika masalah selain agama tersebut ada kaitan erat dengan hukum agama Islam.[7] HAKIKAT IJMA' Hakikat Ijma', seperti ditegaskan Syaikhul-Islam rahimahullah, ialah kesepakatan para ulama kaum muslimin atas hukum tertentu. Bila Ijma' telah diputuskan secara permanen atas suatu hukum, maka tidak boleh bagi siapapun keluar dari keputusan Ijma' tersebut, karena mustahil umat Islam sepakat berada di atas kesesatan. Tetapi boleh jadi, banyak masalah yang diklaim tetap berdasarkan Ijma' ternyata tidak demikian, bahkan pendapat lain lebih kuat dari sisi Al-Qur`n dan Sunnah.[8] Ijma' merupakan dasar agama yang sah dan menjadi sumber hukum ketiga dalam Islam setelah Al-Qur`n dan

Sunnah. Tidak terdapat ketetapan Ijma' yang menentang kebenaran, karena umat Islam tidak mungkin sepakat berada di atas kesesatan, apalagi generasi sahabat dan tabiin; maka Ijma' sebagai sumber hukum qathi tidak tetap, kecuali berdasarkan Al-Qur`n, Sunnah yang shahih -terutama hadits-hadits muttawatir-, logika yang sehat, dan perkara indrawi yang realistis; sehingga mustahil Ijma' bertentangan dengan Al-Qur`n dan Sunnah yang shahih, logika yang sehat, dan perkara indrawi yang realistis.[9] Ibnu Hazm rahimahullah berkata: "Tidak ada Ijma' kecuali pasti berdasarkan nash agama, baik berasal dari ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam secara manqul sehingga pasti terpelihara, maupun dari perbuatan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga (yang) pasti sampai kepada kita secara manqul". [10] PERAN IJMA' DALAM PENETAPAN HUKUM Jumhur ulama berpandangan, Ijma' mempunyai bobot hujjah syariyyah sangat kuat dalam menetapkan hukumhukum yang bersifat ijtihadiyah setelah nash-nash agama; karena Ijma' bersandar pada dalil syari, baik secara eksplisit maupun implisit. Bahkan jumhur ulama berpandangan, Ijma' merupakan hujjah syariyyah yang wajib diaplikasikan. Demikian itu, tidak hanya berlaku untuk Ijma' para sahabat saja, tetapi juga Ijma' para ulama pada setiap generasi dan masa, karena umat Islam telah mendapat jaminan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk tidak bersepakat berada di atas kesesatan. Penolakan dan penentangan terhadap masalah ini tidak perlu diperhitungkan keberadaannya, karena para ulama Islam telah sepakat untuk menjadikan Ijma' sebagai hujjah syari dalam menetapkan hukum-hukum syariat. Yang demikian itu berdasarkan pada Al-Qur`n, Sunnah dan logika. Pertama : Ijma' Menurut Pandangan Al-Qur`n. Pijakan dan landasan Ijma' dari Al-Qur`n sangat banyak, antara lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai. [Ali 'Imrn/3:103] Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. [an-Nis`/4 : 115]. Allah Azza wa Jalla telah mengancam orang-orang yang menyelisihi cara beragama orang-orang beriman dan menentang Ijma' umat Muhammad yang benar. Ayat ini menjadi dalil paling kuat, bahwa Ijma' menjadi hujjah dalam hukum agama yang wajib diikuti. Sesuatu tidak menjadi wajib melainkan setelah menjadi hujjah syariyyah, sehingga apapun kesepakatan mereka dalam hukum pasti menjadi landasan. Dengan demikian, kelompok yang menentang Ijma', berarti telah memecah-belah umat Islam, dan mengikuti cara beragama mereka yang pada akhirnya mereka berhak masuk ke dalam ancaman ayat di atas.[11] Kedua : Ijma' Menurut Pandangan Sunnah. Landasan Ijma' yang berasal dari Sunnah, antara lain ialah: a. Dari 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

Tetaplah bersama jamaah dan waspadalah terhadap perpecahan. Sesungguhnya setan bersama satu orang, namun dengan dua orang lebih jauh. Dan barang siapa yang menginginkan surga paling tengah maka hendaklah bersama jamaah.[12] Imam asy-Syafii rahimahullah berkata: "Jika jamaah mereka berpencar di setiap negara dan tidak ada yang mampu menyatukan badan mereka, mereka tetap bisa membuahkan Ijma'. Namun sebaliknya, walaupun badan mereka berkumpul dalam satu tempat, akan tetapi bercampur dengan berbagai kalangan, baik dari kaum muslimin, kaum kuffar, orang-orang yang bertakwa maupun para penjahat, maka tidak mempunyai arti apa-apa dan tidak mungkin membuahkan Ijma'. Oleh karena itu, menjadi suatu keharusan mengikuti jamaah mereka dalam menetapkan perkara halal dan haram serta ketaatan. Barang siapa yang berpendapat sama dengan pendapat jamaah kaum muslimin maka ia telah berada di atas jamaah mereka. Dan barang siapa yang menyelisihi pendapat jamaah mereka maka ia telah menyelisihi jamaah kaum muslimin". [13] b. Banyak hadits-hadits yang menjelaskan tentang terpeliharanya umat secara kolektif dari kesalahan dan kesesatan. Hadits-hadits tersebut, meskipun tidak sampai pada derajat mutawatir secara lafazh, namun mutawatir dari sisi makna. Di antaranya adalah sabda beliau Shalalllahu 'alaihi wa sallam : Tetaplah kalian bersama jamaah maka sesungguhnya Allah tidak menghimpun umat Muhammad di atas kesesatan.[14] Imam al-Ghazali berkata: "Banyak riwayat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan bermacam redaksi, yang berujung pada satu makna yang menegaskan bahwa umat ini terpelihara dari kesalahan secara bersama-sama (kolektif). Seluruh riwayat di atas telah jelas di hadapan para sahabat dan tabiin hingga masa kita sekarang ini. Tidak ada seorangpun yang menolaknya dari kalangan ahli hadits, baik dari kalangan Salaf maupun Khalaf. Bahkan semua riwayat tersebut diterima sepenuh hati oleh semua pihak, baik yang menerima maupun yang menolak Ijma'. Umat Islam sepanjang zaman selalu berhujjah dengan riwayat-riwayat tersebut dalam masalah ushul dan furu` agama".[15] c. Dari Tsauban Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: . Akan selalu muncul dari umatku sekelompok kaum yang tetap berada di atas kebenaran, tidak mampu menimpakan bahaya orang-orang yang merendahkan hingga datang perkara Allah, mereka dalam keadaan demikian.[16] Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Hadits ini menjadi dasar paling kuat bahwa Ijma' adalah hujjah, sehingga hadits ini menjadi landasan Ijma' paling shahh". [17] Begitu juga hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: . Sesungguhnya, umatku tidak akan sepakat di atas kesesatan. [18] Ketiga : Menurut Dalil Logika. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah penutup para nabi, dan syariatnya berlaku hingga hari Kiamat. Sementara itu, banyak kasus hukum yang muncul tidak ada nash yang qathi, baik dari al-Kitab dan Sunnah, namun para ulama berijma' terhadap satu hukum tertentu. Jika keputusan Ijma' mereka tidak menjadi hujjah dalam agama,

berarti kebenaran meleset dari mereka, atau mereka sepakat di atas kesesatan. Yang demikian itu memberi konsekwensi bahwa syariat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak bertahan sepanjang masa. Akhirnya, syariat mengalami kepunahan, dan demikian itu jelas suatu kemustahilan. Sehingga tidak ada pilihan lain kecuali menjadikan Ijma' mereka sebagai hujjah, agar ajaran syariat bertahan selamanya. SYUHBAT SEPUTAR IJMA' Telah dinisbatkan kepada Imam Ahmad rahimahullah bahwa beliau mengingkari adanya Ijma' dan mereka menyatakan bahwa beliau berkata: "Barang siapa yang mengklaim adanya Ijma' maka ia telah berdusta".[19] Para ulama meluruskan pernyataan beliau sebagai berikut. Pertama : Maksud Imam Ahmad rahimahullah, bahwa mustahil Ijma' hanya diketahui oleh segelintir ulama, sedangkan yang lain tidak mengetahuinya, karena kalau benar-benar keputusan Ijma' atas suatu hukum telah terjadi, maka ulama lainnya pasti mengetahuinya, bahkan pasti telah sampai kepada hampir seluruh para ulama. Kedua: Pernyataan beliau menunjukkan kehati-hatian, agar seseorang tidak sembarangan mengklaim adanya Ijma', karena bisa jadi ada perbedaan di antara para ulama namun perbedaan pendapat tersebut belum sampai kepada ulama yang mengklaim Ijma' tersebut. Oleh karena itu, sebaiknya tidak memastikan adanya Ijma'. Sehingga 'Abdullah, putera Imam Ahmad rahimahullah menukil dari bapaknya, ia berkata: Barang siapa yang mengklaim adanya Ijma' maka ia telah berdusta, karena tidak tertutup kemungkinan para ulama lain berbeda pendapat. Akan tetapi, sebaiknya berkata, "Kami tidak mengetahui perbedaan di antara para ulama dalam masalah ini". Inilah pelurusan yang dipilih Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. [20] Atau seperti pernyataan Imam Syafii rahimahullah : "Saya belum pernah mengetahui para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini". Beliau rahimahullah mengucapkan pernyataan di atas dalam konteks membantah dan mengingkari pemikiran para fuqaha Mutazilah yang sering mengklaim Ijma' umat untuk menguatkan pemikiran mereka. Padahal pengetahuan mereka sangat kerdil terhadap pendapat para sahabat dan tabiin, sehingga mereka menolak kebenaran dengan dalih Ijma' palsu. [21] Ketiga : Imam Ahmad rahimahullah tidak mengingkari Ijma', namun beliau ingin menegaskan bahwa sangat sulit terjadinya Ijma' pasca generasi sahabat, karena para ulama berpencar di seluruh penjuru dunia, sehingga yang paling baik dikatakan bahwa di antara para ulama tidak berbeda pendapat dalam masalah. Pernyataan yang terbaik untuk meluruskan pendapat Imam Ahmad rahimahullah adalah pendapat Ibnu Qayyim rahimahullah, bahwa ini bukanlah pernyataan Imam Ahmad rahimahullah, namun dari Bisyr al-Murisyi dan al-Asham, yang keduanya merupakan tokoh sentral Mu`tazilah [22]. Mereka berkata dalam riwayat Ibnu Harits, bahwa tidak sebaiknya seseorang mudah mengklaim Ijma' karena barangkali umat manusia berbeda pendapat. Dengan penjelasan demikian itu, tidak berarti Imam Ahmad rahimahullah menolak adanya Ijma', tetapi Imam Ahmad rahimahullah dan para ulama ahli hadits direpotkan dengan orang yang mengklaim Ijma' untuk menolak Sunnah shahhah, sehingga Imam Syafii rahimahullah dan dan Imam Ahmad rahimahullah menepisnya bahwa klaim itu dusta, dan Sunnah tidak boleh ditolak karena berdalih adanya Ijma' seperti itu. IJMA' TIDAK BISA BATAL KARENA IJMA' Jumhur ulama berpendapat bahwa Ijma' bersandar pada dalil. Imam al-Amidi meriwayatkan, ulama telah bersepakat dalam hal itu dan tidak perlu dihiraukan pendapat lain yang menyelisihinya. Adapun sandaran dalil Ijma', bisa berasal dari al-Kitab dan Sunnah, baik mutawatir atau khabar ahad atau Qiyas, atau indikasi kuat adanya kebenaran.[24] Ijma' tidak boleh dibatalkan dengan Ijma' serupa, terutama Ijma' generasi Salaf dari kalangan sahabat dan tabiin, karena mereka tidak mungkin sepakat di atas kesesatan, bahkan seluruh generasi berikutnya wajib mengikuti

manhaj dan prinsip agama mereka secara baik. Syaikh bin Baz rahimahullah berkata: "Generasi terakhir tidak boleh menyelisihi kesepakatan ulama sebelum mereka, karena Ijma' adalah sebuah kebenaran dan termasuk sumber hukum syariat ketiga yang wajib menjadi rujukan hukum agama, yaitu al-Kitab, Sunnah dan Ijma'.[25] Meski demikian, tidak semua kesepakatan umat Islam bisa dianggap Ijma' yang mutabar. Ijma' yang hakiki hanyalah Ijma' para ulama, sedangkan Ijma'nya orang-orang awam tidak bisa menjadi hujjah. Sehingga Ijma' tentang hukum fikih bisa diakui bila berasal dari ahli fikih. Ijma' tentang perkara 'aqidah bisa dianggap bila berasal dari ulama Ushuluddin Ijma' tentang ilmu nahwu, bisa dinyatakan sah bila muncul dari ulama ahli nahwu, dan selain mereka termasuk katagori awwam. Ijma' yang sejati, ialah Ijma' para ulama Salaf dari kalangan para sahabat, karena umat setelah mereka telah timbul ikhtilaf sangat banyak dan menyebar di tengah umat.[26] Menurut seluruh umat Islam, ahli Qiblat bahwa Ijma' memiliki bobot hujjah yang qathi dan secara pasti memberi faidah ilmu, sehingga tidak perlu dihiraukan kelompok yang menyelesihi Ijma', seperti an-Nadzdzam al-Mutazili, Syiah dan sebagian kaum Khawarij; karena kelompok minoritas yang tumbuh setelah terjadinya kesepakatan untuk menerima Ijma' menjadi sumber hukum agama. Apalagi landasan Ijma' sangat jelas, baik dari al-Kitab, Sunnah, dan logika serta realita indrawi".[27] FAIDAH IJMA' DALAM PENETAPAN HUKUM Para ulama yang menyatakan Ijma' bisa menjadi hujjah, dan mereka berbeda pendapat apakah Ijma' memberi faidah qathi atau zhanni? Perbedaan pendapat dalam menyikapi masalah ini, terbagi menjadi tiga kelompok [28]. Pertama : Menurut pendapat as-Asfahani, dan inilah pendapat yang masyhur dari kebanyakan para ulama bahwa Ijma' menjadi hujjah qathi dalam agama Islam. Kedua. : Ijma' tidak berfaidah kecuali ketetapan yang bersifat zhanni, baik Ijma' itu bersandar pada dalil yang qathi maupun dalil zhanni. Ketiga : Harus dibedakan antara Ijma' yang disepakati sehingga menjadi hujjah yang qathi, dengan Ijma' yang masih diperselisihkan, seperti Ijma' sukuti. Ijma' seperti ini hanya memberi faidah dan ketetapan hukum secara zhanni. Dan inilah yang shahh seperti dikuatkan Ibnu Taimiyya rahimahullahh. HUKUM MENOLAK IJMA' Kelompok yang menolak Ijma' bisa berbentuk penolakan Ijma' sebagai dalil atau menolak hukum yang tetap berdasarkan Ijma': Pertama : Mengingkari Ijma' sebagai hujjah dan dalil dalam agama, menurut sebagian ulama hukumnya kafir. Sebagaimana telah ditegaskan penulis kitab Kasyful-Asrar, ia menegaskan, barang siapa yang mengingkari Ijma' maka ia telah membatalkan seluruh agamanya karena kebanyakan landasan usuluddin berasal pada Ijma' kaum muslimin. Namun secara umum, pokok-pokok ajaran agama Islam bersumber dari Al-Qur`n dan Sunnah, dan keduanya menunjukkan adanya Ijma' secara zhanni, tidak qathi. Sehingga, seorang yang mengingkari Ijma', ia tidak dikafirkan, namun bisa dinyatakan sebagai ahli bidah atau fasiq. Kedua : Menolak hukum yang tetap berdasarkan Ijma', maka sebagian ulama menyatakan bahwa pendapat yang mengkafirkan orang yang menolak hukum yang tetap berdasarkan Ijma' adalah kurang tepat, karena hukum yang tetap berdasarkan Ijma' bertingkat-tingkat. a. Hukum yang dikenal secara mudah oleh setiap orang, baik dari kalangan para ulama atau kaum awam, seperti masalah tauhid, Allah paling berhak disembah, kenabian Muhammad n dan beliau sebagai penutup para nabi, datangnya kiamat, kebangkitan, alam akhirat, hisab, surga dan neraka. Begitu juga masalah dasar-dasar syariat, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Atau haramnya bangkai, darah dan daging babi. Barang siapa yang mengingkari dalam masalah ini maka jelas ia telah kafir.

b. Hukum yang tetap berdasarkan Ijma' yang qathi, seperti haramnya menghimpun antara wanita dengan bibinya dalam satu ikatan pernikahan, haramnya berdusta atas nama Rasulullah, dan semisalnya. Sehingga seseorang yang mengingkari hukum seperti ini, maka bisa dikafirkan, karena dia mengingkari hukum syari yang tetap berdasarkan dalil yang qathi. c. Hukum yang tetap berdasarkan Ijma' zhanni, seperti Ijma' Sukuti atau hukum yang hampir tidak ada yang menyelisihinya kecuali sangat langka. Maka orang menolak Ijma' ini divonis sebagai ahli bidah atau fasiq; dan ia tidak boleh dikafirkan lantaran menyelisihi dan menolak dalil yang wajib diamalkan menurut jumhur ulama, meskipun bobotnya zhanni. IJMA' DALAM MASALAH 'AQIDAH Ahli kalam dan ahli filsafat mengingkari adanya Ijma' dalam bidang 'aqidah. Alasan mereka bahwa aqidah termasuk masalah yang menjadi garapan dan penemuan akal. Sedangkan penemuan akal tidak membutuhkan dalil pendukung lain, baik berupa Ijma' maupun lainnya. Kata mereka, dalil logika bersifat qathi, tidak membutuhkan kesepakatan dan juga tidak terpengaruh dengan adanya perselisihan. Oleh karenanya, menurut mereka, Ijma' tidak bisa memberi pengaruh sedikitpun pada perkara 'aqidah. Sebagian mereka ada yang membedakan antara masalah 'aqidah yang tidak bisa terlepas dari Ijma', seperti adanya sang pencipta, keabsahan risalah, kejujuran utusan Allah, dengan masalah 'aqidah yang tidak membutuhkan terhadap Ijma', seperti tauhid rububiyah dan umumnya perbuatan Allah. Azza wa Jalla. Kesimpulannya : Semuanya termasuk bidahnya para tokoh ahli kalam dan ahli filsafat yang mencemari hukumhukum Islam melalui jasa sebagian ulama ushul fiqih, karena mereka membagi ilmu menjadi dua, yaitu ilmu syari dan ilmu logika. Dengan begitu, mereka menganggap bahwa kebanyakan ushuluddin tetap berdasarkan gagasan dan penemuan logika. Sedangkan penemuan akal bersifat qathi berbeda dengan ketetapan syariat. Sehingga terjadi pertentangan harus mendahulukan dalil 'aqli dari pada dalil syari, karena menurut mereka- akal lebih mulia dan utama dari pada syariat. Sebagian ulama Hanafi menolak adanya Ijma' dalam masalah ghaib yang belum terjadi, seperti tanda-tanda kiamat, alam akhirat dan semisalnya. Alasan, karena yang demikian itu termasuk perkara ghaib yang tidak ada medan ijtihad, dan sama sekali tidak bisa dijangkau oleh pendapat manusia. Jawabannya: Ijma' bisa menjadi hujjah dalam masalah 'aqidah karena terhimpunnya dalil-dalil dalam satu masalah yang berakhir dengan Ijma', dan itu sangat mungkin terjadi. Sehingga masuknya Ijma' dalam masalah 'aqidah, berperan untuk menguatkan dan mengikat sangatlah mungkin. Adapun menolak anggapan salah (tidak adanya Ijma) dalam masalah 'aqidah, karena dasarnya dalil zhanni. Anggapan ini lenyap berkat dukungan Ijma' yang mengangkat menjadi qathi. Sejumlah ulama Islam telah menyatakan, Ijma' bisa menjadi hujjah dalam masalah 'aqidah. Seperti halnya Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Hazm rahimahullah, meskipun dalam hal-hal tertentu ada perbedaan di antara mereka. Syaikhul-Islam rahimahullah dalam mensifati Ahli Sunnah wal-Jamaah, beliau rahimahullah berkata: "Mereka dinamakan Ahli Sunnah wal-Jamaah karena mereka sekelompok jamaah yang sepakat berada di atas kebenaran yang menjadi lawan dari firqah, yaitu kelompok perpecahan. Ijma' menjadi dasar ketiga dan sebagai pedoman dalam ilmu dan agama, sehingga Ahli Sunnah menimbang seluruh masalah agama, baik ucapan dan perbuatan dhahir maupun batin yang terkait dengan agama berdasarkan tiga landasan itu". [31] Akan tetapi, Ijma' yang penuh dengan kepastian hanyalah Ijma' generasi Salafush-Shlih, karena setelah generasi mereka banyak terjadi perselisihan dan para ulama telah menyebar di seluruh penjuru dunia. Wallahu Ta'ala a'lam bish-Shawab.

http://almanhaj.or.id/content/2944/slash/0

Ijtihad kolektif, Keniscayaan Modernitas dan Kewajiban Agama (2)


Minggu, 16 Oktober 2011 08:47 | | |

Zaman kita sekarang sangat membutuhkan ijtihad yang serius dan membangun, ijtihad kontemporer yang berdiri di atas dasar syariat, ilmu dan wawasan untuk menghadapi berbagai perubahan sosial, perkembangan produksi, persoalan ekonomi kontemporer, problematika politik, perkembangan militer dan kemajuan teknologi. Peran Ijtihad Kolektif di Era Modern Bisa kita sebutkan beberapa faktor yang membuat Ijtihad kolektif begitu penting pada zaman sekarang, di antaranya: Pertama: untuk merealisasikan metode penetapan hukum yang ditradisikan Rasulullah Saw dalam menghadapi persoalan baru. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan Sayyid bin Musayyib dari Ali ra, ia berkata: aku berkata: Ya Rasulallah, jika datang kepada kami perkara yang tidak ada penjelasannya dalam al-Qur`an dan tidak pula dalam sunnah, apa yang engkau perintahkan? Rasulullah Saw bersabda, berkumpullah para ahli fikih! atau dalam sabda lain, para ahli ibadah dari kaum muslimin, bermusyawarahlah di antara kalian dan janganlah diputuskan dengan satu pendapat saja. Inilah yang dipraktekkan para sahabat Nabi Saw dan para imam setelahnya. Al-Amidi berkata, Sesungguhnya musyawarah hanya berkaitan dengan sesuatu yang diputuskan dengan ijtihad dan bukan diputuskan dengan wahyu. Kedua: mengatasi pengaruh ruang, waktu dan keadaan dalam menciptakan seorang mujtahid mutlak, baik secara kualitas maupun kuantitas dan mencegah timbulnya bahaya yang diakibatkan kelangkaan ulama dan ahli fikih yang layak menjadi mujtahid mutlak. Tidak ragu lagi, ijtihad adalah sebuah karunia Allah Swt yang akan terus dinikmati kaum muslimin dengan kerja keras para mujtahid yang mumpuni di setiap waktu dan tempat, dan tidak berlaku khusus untuk satu zaman atau tempat saja. Meskipun demikian, dunia Islam sedang menghadapi problem klasik yang terus berkembang, yaitu merosotnya semangat dan melemahnya tekad untuk mendalami ilmu syariat dan bahasa yang membuat pemiliknya memenuhi kriteria dan layak disebut sebagai mujtahid. Tidak ragu lagi, kekacauan situasi politik, sosial dan ekonomi memberikan pengaruh yang sangat besar

atas kelemahan ini dan menjadi alasan sebagian ulama. Bahkan kemudian melenyapkan sosok mujtahid mutlak di panggung perundangan pada zaman sekarang. Terlebih, pada zaman sekarang kita sangat membutuhkan terbentuknya Majlis Syura Islami yang merangkul semua mujtahid yang kompeten dalam berbagai bidang kehidupan; baik dalam bidang ekonomi, politik, administrasi negara, pertahanan, psikologi, pendidikan, bioloigi, kedokteran, ekologi, fisika, kimia dan geografi. Sebuah majlis yang menyatukan ulama-ulama paling cemerlang dan mujtahid dari seluruh dunia, yang berperan sebagai akal berpikir dan pengarah kehidupan kaum muslimin. Sesungguhnya dunia Islam sangat membutuhkan penyatuan pemikiran, tujuan dan visi kedepan. Dan kita berharap, bahasa dan pemikiran para mujtahid ini menyatu dengan semangat dan tuntutan zaman, dimana akan terhapus segala macam dikotomi yang memisahkan antara ilmu syariat dengan ilmu dunia. Ketiga: Metode kolektif dalam perundangan adalah langkah dasar terciptanya persatuan Islam Fikih Islam adalah faktor terbesar terciptanya persatuan Islam dan perekat terkuat yang mengikat elemen di dalamnya. Jika fikih sudah tidak lagi tersisa, hanya berupa formalitas dan cerita saja, maka saat itulah kaum muslimin berada di jurang perpecahan, Allah Swt akan memutuskan segala urusan di antara mereka, kemudian mereka saling mengingkari dan tidak mengenal satu sama lain, generasi terakhir tidak mau merujuk kepada generasi awal, dam kaum terbelakang tidak mau mengambil petunjuk dari kaum terdahulu. Inilah realitas umat kita pada masa ini. Tidak ada jalan keluar dari keterpurukan ini dan menghadapi bahaya besar yang mengancam umat Islam saat ini, kecuali dengan menghidupkan fikih yang berdiri di atas metode kolektif dalam penysariatan hukumnya, dimana keputusan yang diambil harus bersumber dari kesepakan para mujtahid di bawah naungan institusi yang satu. Dengan demikian, terciptalah forum musyawarah internasional yang merupakan salah satu fondasi persatuan umat ini. Allah Swt berfirman, sesungguhnya umat kalian adalah umat yang satu dan Aku adalah Tuhan kalian, maka takutlah kepada-Ku. Umat kita adalah umat yang satu, berdiri di atas satu manhaj perundangan, yang diwujudkan dengan bekerja sama dalam sebuah institusi yang satu. Abdul Wahab Khalaf berkata, Ijtihad Kolektif yang dilakukan para mujtahid yang memenuhi kriteria ijtihad, akan melenyapkan kekacauan perundangan dan perselisihan. Dengan menggunakan metode dan cara yang disediakan syariat Islam untuk berijtihad dengan akal, maka permusuhan akan lenyap dan penentuan hukum Islam akan berjalan sesuai dengan tradisi syariat. Keempat: Melawan berbagai serangan dan tuduhan bathil Sesungguhnya, problematika terkini baik dalam pemikiran, ekonomi atau peradaban yang tengah dihadapi umat secara keseluruhan, yang bertujuan meruntuhkan bangunan nilai perundangan Islam tidak bisa dihadapi kecuali dengan terbentuknya sebuah akal kolektif dan

ruh kebersamaan yang dipenuhi semangat akidah, pemikiran yang orisinil, semangat spiritual, nurani yang luhur, jiwa reformis dan membangun yang universal, keinginan untuk berjuang, menghidupkan kebaikan dan kasih sayang bagi seluruh manusia. Umat tidak bisa bergerak sebagai entitas umum dan peranannya yang universal dalam perlawanan, kebaikan, perjuangan, kecuali jika ia memiliki akal kolektif. Dengan akal inilah kita memahami semua dimensi universalisme, humanisme, peradaban dan mampu memisahkan antara buruknya menutup diri, fanatisme mazhab, keterpaksaan dan taklid buta dengan kerja sama murni dan saling memberi manfaat. Kelima: Melapangkan jalan untuk mengaplikasikan syariat Islam dan berhukum dengan hukum Allah Sesungguhnya, tercerabutnya Ijtihad Kolektif sebagai salah satu bentuk pensyariatan hukum dalam bidang kepemimpinan dan membatasinya dengan fatwa dan kehakiman, demikian pula perpindahan dari era kekhalifahan yang sempurna dalam bentuk Khulafa ar-Rasyidin kepada khilafah tidak sempurna sampai saat sekarang ini, akan mengakibatkan kelemahan dan kekurangan dalam mengaplikasikan syariah secara ideal, bahkan menjadi palu godam pertama yang menghancurkan aplikasi ideal metode rabbani. Bisa kita saksikan kondisi sekarang, bagaimana kita dicekoki teori dan hukum-hukum positif, bagaimana sebagian kelompok Islam meninggalkan al-Qur`an, menghancurkan kita sehancur-hancurnya, dan menjauhkan kita sejauh-jauhnya dari mewujudkan manhaj jamai dalam pensyariatan melalui forum ijma dan ijtihad. Urusan ini akan semakin berbahaya jika kita tidak segera bangun dari tidur lelap kita dan menghadapi realita dengan solusi yang sesuai dengan syariat. Agar kita lebih netral, kita harus mencatat adanya upaya, baik dalam level perseorangan ataupun kolektif untuk membukukan undang-undang syariat Islam dan mengedapankan solusi syariah terhadap persoalan baru yang datang kepada umat ini. Akan tetapi, upaya ini sebatas pada koridor penataran dan formatif, padahal kita sangat membutuhkan segi aplikasi atas apa yang telah dihasilkan dari berbagai keputusan, Apa yang tidak bisa dicapai seluruhnya, maka tidak boleh ditinggalkan seluruhnya. Keenam: Kebutuhan yang sangat mendesak untuk mereformasi fikih Islam dan mengemasnya dalam bentuk modern. Kaum muslimin telah mengalami fase yang sangat panjang dalam kubangan kebekuan dengan menutup pintu ijtihad, mungkin karena takut akan campur tangan beberapa penguasa atau mungkin mereka sudah merasa cukup dengan apa yang mereka warisi dari khazanah fikih klasik. Apapun sebabnya, kita tengah berada di gerbang abad baru, dimana banyak standar dan nilai banyak berubah, permasalahan baru banyak menyebar dalam bidang politik, sosial dan ekonomi, semua mengharuskan adanya reformasi fikih dan memformulasikannya kembali sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.

Akan tetapi, reformasi ini bukan berarti meruntuhkan apa yang sudah diupayakan para ulama terdahulu, tidak ada seorangpun yang berkata demikian, akan tetapi, maksudnya adalah upaya mengembangkan metode istinbath dalam koridor zhanniyat dan bukan qathiyyat, dalam berbagai bidang yang dibutuhkan umat, serta upaya menyaring sisi negatif atau memilah warisan klasik, dalam mengatasi semua problem kontemporer yang berbeda realitas, tantangan sosial serta pemikirannya dengan masa lalu. Ketujuh: Mencegah pembekuan ijtihad dan mengefektifkan pengaruhnya dalam menghadapi tantangan kolonialisme modern Dr. Muhammad Zarqa berkata, Sekarang ini, banyak sekali orang yang memperdagangkan agama, beberapa di antara mereka mungkin lebih banyak ilmunya dan lebih fasih daripada ulama kita yang saleh dan takwa. Saat ini banyak lulusan pendidikan agama yang menerbitkan buku atau fatwa keliru yang menunjukkan bahwa pemiliknya telah meletakkan ilmunya di bawah tekanan musuh-musuh Islam dari dalam dan luar, untuk menghancurkan tiang-tiang Islam yang tidak bisa dilakukan langsung oleh musuh Islam di balik kedok ijtihad dan kebebasan berpikir. Jika kita ingin mengembalikan syariat, fikih, ruh dan dinamismenya dengan ijtihad yang merupakan wajib kifayah, maka ijtihad harus terus berlangsung dalam umat secara legal. Dan untuk mewujudkan hal itu mengharuskan adanya dua titik konsentrasi; pertama pengorganisasian dan kedua pengajaran. Poin pengorganisasian berupa Ijtihad kolektif dan institusi fikih internasional, sementara poin pengajaran dalam bentuk pengajaran syariat yang membuat seseorang mumpuni sebagai mujtahid. Dan hal ini tidak akan bisa tercapai kecuali dengan menggelorakan semangat ijtihad dan kesadaran semangat pembentukan hukum secara kolektif dengan membangun forum fikih internasional, dimana di dalamnya terpilih semua mujtahid pilihan dari anggota institusi fikih dan orang-orang yang layak untuk masuk dalam institusi ini, yaitu para ulama berbagai negara dan kelompok minoritas Islam, selama syarat-syarat mujtahid terpenuhi dalam diri mereka disertai adanya jaminan kebebaan yang sempurna untuk melakukan ijtihad. Kedelapan: Ijtihad Kolektif lebih detail dan valid serta lebih kuat daripada ijtihad personal Secara tekstual dan konstekstual menegaskan bahwa berkumpulnya ulil amri untuk bermusyawarah dalam menentukan hukum sebuah masalah yang tidak ada hukumnya dalam al-Qur`an maupun As-Sunnah, kemudian sampai pada pendapat yang disepakati, merupakan salah satu bentuk ijtihad dan salah satu sumber pokok hukum Islam, dan mengamalkan keputusan jamaah ketika itu lebih diutamakan daripada melaksanakan hasil ijtihad personal. Ijtihad Kolektif yang independen adalah hujjah yang mengikat semua umat sesuai dengan kaidah: Keputusan pemerintah dalam masalah yang diperselisihkan akan mengangkat perselisihan. Kaidah ini terbatas pada masalah yang tidak bertentangan, dan berdirinya ulil

amri untuk mengatur Ijtihad Kolektif, menjadikannya memiliki nilai praktis dan menambahkan kekuatan hukumnya. Kesembilan: Keniscayaan mengambil metode kolektif dalam pensyariatan hukum untuk mengatasi problematika kontemporer Yang tidak diragukan lagi, bahwa realitas hidup selalu berkembang dan peristiwa yang terjadi selalu datang dalam berbagai bentuk baru sesuai perubahan waktu dan tempat. Setiap masa memiliki problematikanya masing-masing, setiap generasi tentu memiliki masalah sendiri dan setiap peristiwa memiliki ijtihadnya dan dihasilkan sesuai dengan semangat zaman itu. Dan zaman kita sekarang sangat membutuhkan ijtihad yang serius dan membangun, ijtihad kontemporer yang berdiri di atas dasar syariat, ilmu dan wawasan untuk menghadapi berbagai perubahan sosial, perkembangan produksi, persoalan ekonomi kontemporer, problematika politik, perkembangan militer dan kemajuan teknologi, semua membutuhkan Ijtihad Kolektif yang berdiri di atas intelektualitas yang terorganisir dan mampu melakukan analisa, ijtihad, deduksi, istinbath, koreksi dan meninjau ulang dalam naungan cahaya wahyu yang terjaga, keberagaman kemampuan menyesuaikan diri dengan semua perubahan internasional yang sangat cepat, teknologi media massa yang maju, informasi yang lengkap, dan pengetahuan manusia yang tersedia melalui nilai-nilai Islam yang kekal. Dan perlu kami isyaratkan disini apa yang ditegaskan oleh simposium internasional yang diadakan Pusat Penelitian dan Kajian Politik Universitas Kairo yang bekerja sama dengan Jamiah Ulum al-Islamiyyah wa al-ijtimaiyyah di Washington: tatanan dunia baru mengharuskan kaum muslimin untuk bekerja di bawah naungan manajemen kolektif dalam upaya menciptakan adanya solidaritas keislaman yang akan menambah kekuatan negaranegara Islam dan kemampuannya dalam mempengaruhi formasi tatanan dunia baru. Rukun Ijtihad Kolektif Rukun pertama: Berkumpulnya para ulama kaum muslimin Orang yang mempraktekkan Ijtihad kolektif haruslah dari ahli ijtihad, Imam Qurafi berkata, Bagaimanapun kebiasan berubah, maka jadikanlah sebagai pegangang, jika kebiasaan itu tidak berlaku lagi, maka gugurkanlah. Janganlah bersikap kaku sesuai yang tertera dalam buku sepanjang umurmu, jika ada seseorang yang bukan dari penduduk negrimu datang, kemudian ia meminta fatwa, janganlah engkau memaksanya untuk menyesuaikan diri dengan kebiasaan negerimu. Tanyalah kebiasaan di negerinya dan sesuaikanlah dengannya, kemudian berfatwalah bukan dengan kebiasaan negerimu dan apa yang tercatat dalam bukumu. Inilah kebenaran yang amat nyata, sementara kebekuan dengan hanya mengandalkan apa yang ditulis turun temurun adalah kesesatan dalam agama, tidak memahami kemaslahatan kaum muslimin dan kaum salaf yang terdahulu.

Rukun kedua: hendaknya mereka mengerahkan segala kemampuannya dalam berdiskusi dan bermusyawarah Setiap mujtahid memaparkan pendapat dan hujjahnya serta mendengarkan apa yang disampaikan orang lain; baik melengkapi atau menyelisihi, sehingga hilanglah kesamaran, tampaklah apa yang tersembunyi, obyek musyawarah menjadi semakin jelas dan terbuka jalan yang lebar untuk memecahkan persoalan yang sulit ditangani seorang mujtahid atau beberapa orang mujtahid saja, sehingga pada akhirnya, semua menghasilkan satu keputusan yang akan diamalkan umat. Abu Bakar ra, jika ia tidak menemukan hukum sebuah persoalan baik dalam Kitab maupun Sunnah, maka ia akan memanggil tokoh-tokoh dan ulama kaum muslimin, kemudian meminta pendapat mereka, jika mereka menyepakati satu keputusan, maka ia pun memutuskan dengan hal itu. Demikian pula yang dilakukan Umar ra. Rukun Ketiga: Fikih Nazilah

Nazilah dalah bahasa berarti musibah besar yang turun menimpa manusia. Nazilah adalah
sesuatu yang sangat genting yang mengancam komunitas manusia dan menjadi titik gantung kemaslahatannya; baik duniawi maupun agama. Fikih Nazilah yang termasuk salah satu rukun Ijtihad Kolektif adalah fikih akan probelamatika kompleks yang meresahkan kaum muslimin dan menjadi titik tumpu kemaslahatan mereka; dunia maupun agama, dan tidak ada hukumnya secara jelas dalam al-Qur`an, juga tidak termuat dalam sunnah Rasulullah saw. Adapun jika persitiwa itu bukan sesuatu yang krusial dan termasuk hukum-hukum cabang, maka tidak ada keharusan berkumpulnya seluruh ulama kaum muslimin, cukup dengan pendapat satu orang atau beberapa orang mujtahid. Tidak ragu lagi, bahwa perkara nawazil yang berkaitan dengan kemaslahatan kaum muslimin bersifat terbatas. Rukun Keempat: Kesepakatan Yang dimaksud dengan kesepakatan di sini adalah kesepakatan semua mujtahid yang tengah berijtihad dalam masalah-masalah fikih. Jika mereka tidak sepakat, maka ketika itu harus diambil suara mayoritas, Rasulullah Saw bersabda, Sesungguhnya umatku tidak akan

bersepakat dalam kesesatan, jika kalian melihat adanya perselisihan, hendaknya kalian mengambil pendapat mayoritas.
Ijma dan Peluang Terwujudnya Pada Masa Sekarang Ijma secara bahasa berarti kesepakatan dan kebulatan tekad, kata ini bersifat musytarak di antara keduanya. Barangsiapa yang bertekad bulat untuk mengerjakan sesuatu dikatakan: ajmaa al-jamaah, jika mereka bersepakat, dikatakan: ajmauu.

Secara terminologi, ijma adalah kesepakatan para mujtahid umat Muhammad Saw setelah wafatnya Rasulullah Saw pada sebuah masa terhadap suatu hukum dari hukum-hukum syariah. Ijma adalah sebuah tema yang kerap diperselisihkan para ahli ushul fikih, sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa Ijma tidak mungkin tercapai, sementara mayoritas ulama berpendapat bahwa ijma adalah hujjah dan mungkin terjadi dalam berbagai masa. Diriwayatkan dari Imam Syafii dan Ahmad, keduanya berpendapat bahwa ijma telah terjadi dalam masalah fara`idh dan dalam hal yang bersifat aksioma ajaran agama (malum minad-din bidh-dharurah). Ini adalah pendapat banyak ahli ushul fikih kontemporer. Bahkan beberapa ulama ushul fikih kontemporer memiliki pandangan khusus terhadap masalah ijma, Dr. Yusuf Qardhawi, misalnya, ia tidak hanya menyerukan untuk berpegang teguh kepada ijma dalam pengertian ushul fikih saja, bahkan ia menyerukan agar kaum muslimin berpegang teguh kepada apa yang disepakati, diyakini, disyariatkan dan dikonsep umat, di atas kesepakatan inilah berdiri nilai dan pokok-pokok tradisinya, dan dari kesepakatan inilah tumbuh adab, etika dan moral sebagai cabangnya. Para ulama telah menyebutkan beberapa bentuk Ijma yang sudah terjadi, dan kita ringkas dalam hal dibawah ini: Bentuk pertama: Ijma yang menghasilkan keyakinan dan kepastian dalam hukum syariat yang sebelumnya bersifat zhanni (tidak pasti), seperti anak perempuan dari anak laki-laki berhak mendapatkan satu perenam dan bersama anak perempuan berserikat dalam dua pertiga, demikian pula kasus nenek tidak mewarisi dengan adanya ibu. Faidah ijma seperti ini memberikan kekuatan dan keyakinan hukum yang sebelumnya bersifat zhanni, karena pada asalnya hukum ini bersandar pada teks yang zhanni, setelah adanya ijma, kekuatan hukumnya berubah menjadi qathi (pasti) dan tidak boleh seorangpun menyelisihinya. Bentuk Kedua: Ijma yang menghasilkan kekuatan hukum yang qathi dalam hukum syariat yang sebelumnya sudah bersifat qathi, seperti ijma akan bagian suami sebesar setengah dari harta waris ketika orang yang mewarisi tidak memiliki keturunan dan mendapatlkan setengah jika mayyit mempunyai cabang keturunan. Faidah dari ijma ini adalah memberikan menguatkan hukum qathi yang sudah dibawa teks sebelum ijma, sehingga tidak boleh ada seorangpun yang menafsirkan teks tersebut dengan penafsiran lain dan keluar dari apa yang telah disepakati. Ijma bentuk ini menafikan datangnya kemungkinan zhanni dan perbedaan dalam menafsirkan teks. Bentuk Ketiga: Ijma dalam pentakwilan teks, sehingga tidak diperbolehkan bagi siapapun untuk keluar dari pentakwilan ini pada generasi yang datang sesudahnya, seperti firman Allah Swt, Dan orang-orang yang menuduh (zina) wanita-wanita yang baik-baik dan mereka tidak

mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera. Tuduhan ini khusus dalam kasus perzinaan, karena para ulama telah berijma bahwa tafsir ramy al-muhshanat adalah menuduh zina. Karena itu, tidak boleh menafsirkannya dengan tuduhan lain, meskipun kata ramy mencakup tuduhan bohong akan pencurian atau penipuan.
Ijma bentuk ini berfungi untuk menetapkan penafsiran teks pada makna yang disepakati para ulama dalam suatu masa. Dalam arti, tidak boleh seorangpun memperbaharui penafsiran ini dengan makna lain yang membatalkan penafsiran yang telah disepakati para ulama. Bentuk keempat: Ijma akan illat (sebab) sebuah hukum syariat dan konsekuensi wajib dengan ijma tersebut, seperti ijma akan illat qishas dan sebab yang mewajibkannya adalah pembunuhan dengan sengaja karena permusuhan, adapun membunuh yang tidak sengaja maka tidak ada kewajiban qisas. Efeknya, karena sebab yang mewajibkan qisas adalah membunuh sengaja, maka hukum ini wajib pula diterapkan atas sekelompok orang, jika mereka membunuh seseorang dengan sengaja dan permusuhan, maka hukum qisas wajib diterapkan atas mereka, seperti yang diputuskan umar ra dan ijma para sahabat lain dalam kasus seorang perempuan Yaman yang membunuh anak tirinya bekerja sama dengan kekasih gelapnya dan rekannya. Bentuk kelima: Kesepakatan atas satu pendapat setelah ikhtilaf seperti [pendapat ahlus sunnah akan] kesepakatan para sahabat mengenai khilafah Abu Bakar ra dan memutuskan sahnya baiat kepadanya setelah mereka berselisih mengenai siapa yang akan menduduki kursi khilafah. Dari apa yang telah dipaparkan, kita bisa mengambil dua faidah yang sangat penting: Faidah pertama: Ijma pada masa sahabat tidak hanya terbatas pada masalah faraidh saja, akan tetapi meliputi masalah lain, di antaranya adalah ijtihad Umar ra alam masalah bagian zakat Muallaf dan daerah-daerah taklukkan kemudian ijma para sahabat atas hal itu setelah mereka berselisih, ijtihad seperti itu bisa berubah dengan berubahnya keadaan. Yusuf Qardhaqi berkata, Sesungguhnya beberapa kondisi ijma naqli masih bisa dijadikan lapangan ijtihad jika teks agama didasarkan pada kepentingan dan kemaslahatan tertentu, dengan berubahnya keadaan atau berubahnya kemaslahatan. Faidah kedua: Sesungguhnya ijma adalah warisan yang ada dalam sistem perundangan, pemikiran dan keyakinan serta perilaku umat, ijma juga adalah pembawaan fitrah yang ada dalam diri para sahabat dan orang-orang setelahnya. Ijma adalah warisan fitrah yang ada turun temurun dari kaum salaf kepada kaum khalaf.

Karena itu, kita bisa meyakinkan terjadinya ijma di setiap masa dan bahwa terjadinya ijma adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri lagi, terutama karena jumhur ulama ushul fikih, terutama ulama terdahulu, berpendapat bahwa ijma mungkin terjadi, baik secara akal maupun adat. Karena Islam adalah agama universal yang mampu menjawab semua permasalahan dan hal-hal baru di setiap masa, dengan tetapnya nilai, prinsip, akidah dan aturannya yang tidak berubah atau berganti dengan berubahnya waktu dan tempat, situasi dan kondisi, Allah Swt berfirman, dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur`an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. As-Shanani berkata, Agama kita yang lurus adalah agama yang universal, kekal dan satusatunya agama yang mampu mengimbangi jalannya peradaban manusia sepanjang zaman dan generasi, mengakomodasi semua perubahan yang datang dan problematika yang muncul dibawah tekanan kondisi dan kepentingan berbagai masyarakat yang berbeda-beda dari timur hingga ke bagian barat bagian belahan bumi, serta mengedepankan solusi yang sesuai dalam naungan hukum-hukum universal dan prinsip-prinsip pokok dari Kitab dan Sunnah. Jika hal di atas adalah sebab utama yang mendorong ijma menjadi hal yang mungkin terjadi pada setiap zaman, maka sesungguhnya keadaan kita sekarang, memiliki beberapa kondisi yang sangat mendukung terjadinya ijma, di antaranya: 1. Mudahnya media komunikasi dan perkembangannya yang menjadikan dunia yang luas ini menjadi rumah yang kecil. Menyebarnya ulama di berbagai belahan bumi bukan lagi menjadi halangan terjadinya ijma dan para pengingkar ijma tidak lagi memiliki alasan mempertahankan pendapatnya, karena jaringan komunikasi bisa mengumpulkan pendapat dan pernyataan semua ulama dan mujtahid di dunia dalam satu waktu mengenai sebuah permasalahan. Akan tetapi, masalahnya, semua ini membutuhkan pengorganisasian dari para ulama dan mujtahid yang merasa cemburu pada agama Allah bekerja sama dengan pemerintah Islam jika memungkinkan. 2. Sesungguhnya zaman kita adalah zaman globalisasi, gurita yang mengancam keberadaan umat baik secara politik, ekonomi, sosial, informasi dan keamanan ini adalah salah satu hal yang memprovokasi kebangkitan ijma, ideologi, perundangan, pemikiran, sensitifitas agama dan etika yang diwarisi dari kaum salaf untuk menghadapi situasi genting ini. 3. Banyaknya persoalan baru dengan tetapnya aturan dan standar baku. Tidak ragu lagi bahwa banyaknya persoalan baru menyebabkan banyak terjadinya perselisihan, akan tetapi, kebakuan standar dan aturan menyebabkan hadirnya peluang, meskipun terbatas, untuk melakukan kesepakatan, atau dengan makna yang lebih tepat, ijma, contohnya seperti masalah kloning. Kloning manusia disepakati secara ijma akan keharamannya secara internasional. Kaum Muslimin, Yahudi dan Nashrani sepakat akan haramnya kloning manusia hasil dari pengembangbiakan satu mahkluk hidup atau lebih, baik dengan cara memindahkan inti sel

somatik kepada sel telur atau dengan memisahkan sel telur yang telah dibuahi setelah membelah diri atau dengan cara apapun yang bisa memperbanyak jumlah manusia. Hubungan Ijtihad Kolektif dengan Ijma Dengan melihat beberapa ijtihad para sahabat terutama dalam hal-hal yang tidak ada teks agama yang menjelaskannya dalam Kitabullah dan tidak ada pula dalam Sunnah Rasulullah Saw, kita temukan bahwa ijma dimulai dengan ijtihad personal, kemudian berkembang menjadi bahan diskusi sekelompok orang, di antara yang menerima dan menolak kemudian berakhir dengan ijma dan penerimaan secara umum oleh semua kaum muslimin; baik tokoh maupun kalangan awamnya. Kami sebutkan sebuah contoh ijtihad para sahabat ra mengenai bumi taklukkan, Abu Ubaid dalam buku al-Amwal meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab ra datang ke kota Jabiyah, ketika ia hendak membagikan tanah kepada kaum muslimin, Muadz berkata, Jika anda membagikan tanah itu sekarang, maka akan menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan. Hasil produk yang melimpah berada dalam genggaman umat, lalu mereka binasa, sehingga akan berputar pada satu lelaki dan perempuan saja. Dan setelah mereka, datanglah generasi baru yang tertutup haknya dari Islam. Mereka tidak mendapatkan apa-apa. Maka pikirkanlah satu hal yang dapat melindungi generasi pertama dan terakhir. Kemudian Umar meminta pendapat sahabat senior dari kalangan Muhajirin, dan mereka berbeda pendapat. Abdurrahman bin Auf ra berpendapat agar Umar membagikan hak-hak mereka, sementara Ali, Thalhah, Utsman bin Affan dan Abdullah bin Umar ra sependapat dengan Umar, dan orang yang sangat menentang kebijakan ini adalah Bilal ra. Umar kemudian berpikir selama dua atau tiga hari hingga terlintas di benaknya firman Allah Swt yang berbunyi, Dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari

harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada RasulNya terhadap apa saja yang dikehendakiNya. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa; Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami. Kemudian Umar menulis surat kepada Saad bin Abi Waqqas ra pada hari penaklukkan
Irak, Amm badu, telah sampai suratmu kepadaku bahwa manusia menuntut pembagian ghanimah di antara mereka dan apa yang Allah jadikan harta fa`i bagi mereka, lihatlah apa yang mereka bawa dari kuda dan harta benda, lalu bagikanlah kepada kaum muslimin yang ikut berperang, dan tinggalkanlah tanah dan sungai tetap digarap pemiliknya, sehingga menjadi sumber logistik kaum muslimin. Jika kita bagikan semuanya di antara yang hadir, maka orangorang setelah mereka tidak akan mendapatkan apa-apa. Dr. Yusuf Mahmud Qasim bekata, Demikianlah, peristiwa ini menegaskan bahwa Ijtihad kolektif memiliki peran yang sangat penting, dan kesepakatan seluruh sahabat menunjukkan

pentingnya jenis ijtihad ini, karena, dengan kesepakatan para sahabat, landasan hukum ini berubah menjadi ijma. Ijtihad kolektif adalah langkah pertama atau fondasi pertama yang menjadi pijakan ijma dalam istilah ushul fikuh, maksudnya, ijma dalam pengertian ulama ushul fikih. Oleh: Dr. Yasar Sharif Damad Oglu Wakil Mufti Yunani

http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=984:ijtihadkolektif-keniscayaan-modernitas-dan-kewajiban-agama-2&catid=38:1388-06-21-07-29-30&Itemid=146

Anda mungkin juga menyukai