Anda di halaman 1dari 3

Hiruk pikuk pemberitaan kecelakaan pesawat SSJ 100 ini langsung mendominasi pemberitaan dan liputan media, tidak

saja di Indonesia, tetapi juga mancanegara. Begitu pula di media sosial. Berbagai pendapat dan komentar, baik itu dari ahli keselamatan penerbangan, pengamat, Pemerintah (regulator), perusahaan pengimpor SSJ 100, Basarnas, sampai ke Presiden SBY yang hebatnya mengalahkan pemberitaan tentang korupsi, BBM dan isu politik lainnya. Mereka melontarkan berbagai pemikiran, analisa baik teknis sampai asbun (asal bunyi) yang membuat publik tambah bingung. Mereka memperdebatkan mengapa arah pesawat ke Gunung Salak, mengapa pilot minta turun ke 6.000 kaki padahal tinggi pegunungan di sekitar daerah itu di atas 7.000 kaki dan diizinkan oleh Air Traffic Control (ATC) di Cengkareng. Mengapa bukan ATC Halim PK ? Apakah pilot tidak memperhatikan alat avionic, seperti GPWS (Ground Proximity Warning System) dan TAWS (Terrain Awareness Warning System) yang berada di kokpit di pesawat? Apakah petugas ATC tidak melihat layar radar di depannya? Apakah ATC tidak memperhatikan flight plan pesawat tersebut ? Apakah ini upaya persaingan pabrikan pesawat dunia yang semua mau menjual pesawatnya ke Indonesia ? Dan sebagainya. Pendapat saya, biarkan semua pertanyaan itu dijawab oleh pihak yang berwenang, yaitu Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) setelah kotak hitam pesawat ditemukan dan dianalisa isi percakapan terakhir pilot dengan ATC sebelum kecelakaan terjadi. Saat ini yang lebih penting untuk dibahas adalah persoalan ganti rugi pada keluarga korban. Adakah asuransi yang menanggung korban SSJ 100 tersebut, mengingat penerbangan tersebut bukan penerbangan komersial? Kalau tidak ada asuransi yang melindungi korban, apakah Pemerintah Rusia atau Sukhoi Civil Aircraft Manufacturing atau siapa mau menanggung? Bentuk Ganti Rugi Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia terkait dengan ganti rugi penumpang pesawat SSJ 100 yang menabrak Gunung Salak, perlu ada kejelasan segera agar keluarga korban mendapatkan kepastian tentang hak ganti rugi tersebut. Sesuai dengan Peraturan Menteri (PM) Perhubungan No. 77 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan: "Pengangkut adalah Badan Usaha Angkutan Udara, pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentang Penerbangan, dan/atau badan usaha selain Badan Usaha Angkutan Udara yang membuat

kontrak perjanjian angkutan udara niaga." Dari bunyi pasal di atas, memang tidak secara tegas menyatakan bahwa Badan Usaha Angkutan Udara-nya harus teregristrasi di Indonesia atau tidak. Mengapa? Karena pesawat SSJ 100 yang naas tersebut merupakan pesawat demo untuk 'joy flight' bukan komersial yang terdaftar di Kementerian Perhubungan. Satu lagi kalau berdasarkan manifes pesawat SSJ 100, juga tidak jelas karena daftar manifes tidak sesuai. Ada korban, namun namanya tidak tercantum dalam manifes, sebaliknya ada nama korban, tetapi yang bersangkutan batal ikut. Pertanyaannya, berlakukah PM Perhubungan No. 77/2011 tersebut dalam situasi ini? Kalau tidak bagaimana dan kalau berlaku berapa nilai ganti ruginya ? Kepala Bagian Hukum dan Humas Direktorat Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Israful Hayat mengungkapkan kompensasi kepada keluarga korban kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 (SSJ100) sebesar US$50 ribu atau sekitar Rp450 juta belum memenuhi aturan. Pasalnya, nilai asuransi seharusnya diberikan mengikuti perjanjian dalam kontrak ataupun aturan dalam Undang-Undang dari pendaftaran pesawat tersebut. "Belum diketahui dari mana dasarnya nilai kompensasi itu," ujarnya ketika dihubungi, Minggu (13/5). Ia menjelaskan dalam kontrak antara perusahaan penyedia pesawat dengan perusahaan penyuplai PT Trimarga Rekatama seharusnya memiliki kesepakatan bersama, antara lain bentuk, besaran kompensasi, dan aturan yang digunakan. Sehingga, akan tercipta kejelasan bentuk ganti rugi kepada keluarga korban kecelakaan pesawat udara. "Kami akan melihat isi kontraknya," jelasnya. Menurut Israful, Kementerian Perhubungan mengupayakan kompensasi bagi korban meninggal dalam kecelakaan ini mengacu pada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 92 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Tentang Pengangkut Udara yakni Rp1,25 miliar bagi setiap korban kecelakaan pesawat udara. Namun untuk korban kecelakaan Sukhoi ini berbeda. "Sukhoi, registernya atau terdaftarnya hanya untuk joy flight atau promosi. Jadi pesawat ini penerbangannya masih tunduk kepada aturan asing atau Rusia. Jadi berlaku hukum negara di sana," ungkapnya. Israful menuturkan apabila Rusia telah meratifikasi konsesi Warsawa tentang tanggung jawab pengangkut, maka Peraturan Menteri Perhubungan No 92 Tahun 2011 bisa diberlakukan. Permenhub No 92 merupakan perubahan dari Permenhub No 77 Tahun 2011 yang seharusnya

diberlakukan pada 8 November 2011. Sebelumnya Menteri Perhubungan EE Mangindaan juga mengharapkan asuransi kepada ahli waris korban kecelakaan Sukhoi Superjet 100 ini dapat mengacu Peraturan Menteri Perhubungan No 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Tentang Pengangkut Udara. "Karena peristiwa tersebut terjadi di Indonesia, seharusnya aturan yang digunakan juga aturan Indonesia, dimana korban meninggal dunia pesawat udara sebesar Rp1,25 miliar," pungkasnya Besaran Ganti Rugi Jika PM Perhubungan No. 77/2011 berlaku dan berdasarkan Pasal 3 huruf (a) yang menyatakan: "Jumlah ganti kerugian terhadap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a ditetapkan sebagai berikut: a. penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat udara karena akibat kecelakaan pesawat udara atau kejadian yang semata-mata ada hubungannya dengan pengangkutan udara diberikan ganti kerugiansebesar Rp.1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang". Maka itulah besaran yang harus di terima keluarga korban. Jika PM ini tidak berlaku, maka ganti rugi yang harus diberikan oleh Sukhoi Civil Aircraft Manufacturing atau Perusahaan Pengimpor Sukhoi tersebut atau Pemerintah Russia, minimal besaran ganti rugi yang harus diterima oleh keluarga korban sebesar Rp 1,25 miliar. Jika ternyata ada korban hidup, maka santunannya juga harus mengikuti PM No. 77 tahun 2011 tersebut. Supaya tidak terjadi perdebatan yang tidak perlu di media dan menambah kebingungan dan kesedihan keluarga yang ditinggalkan, sebaiknya pemerintah bersama-sama dengan pihak berwenang dan terkait segera membahasnya dengan pihak Sukhoi. Terakhir, jangan ada yang sampai 'menyunat' uang ganti rugi tersebut.

Anda mungkin juga menyukai