Anda di halaman 1dari 20

Qua Vadis TV Swasta Nasional??

Nasib TV Swasta Nasional ke depan Januar NIM :55210110031 Wahyu Alamsyah Putra NIM : 55210110079 POLITIK & EKONOMI MEDIA Dosen : DR Emrus

Sejarah Lembaga Penyiaran Swasta Bagaimana sejarah televisi terresterial di Indonesia??? Televisi terestrial adalah televisi public. Frekuensi, coverage area siaran merupakan milik publik. Sejarah TV dengan frekuensi Public di Indonesia dimulai ketika TVRI hadir. Lahir dengan semangat perjuangan, TVRI hadir ditengah masyarakat melayani kebutuhan informasi masyarakat. Sebagai TV Publik yang dimiliki oleh Negara, TVRI menjadi alat ampuh bagi pemerintah saat itu sebagai alat komunikasi massa .Praktis, TVRI memonopoli lembaga penyiaran public. Selama tiga dasawarsa sebagai alat komunikasi massa yagn hadir secara sendiri, tanpa pesaing, akhirnya pemerintah memperbolehkan swasta melakukan mendirikan lembaga penyiaran . Dimulai oleh RCTI. RCTI pertama mengudara pada 13 November 1988 dan diresmikan 24 Agustus 1989. Pemerintah mengizinkan RCTI melakukan siaran bebas secara nasional sejak tahun 1990 tapi baru terwujud pada akhir 1991 . Baru kemudian diikuti oleh SCTV, TPI[NMC TV], Indosiar, Global TV, Lativi. Passca Runtuhnya rezim Orde Baru dan Hadirnya reformasi membuat iklim industi Penyiaran Swasata kian marak . Dalam kurun dua puluh tahun , hadir Sembilan lembaga penyiaran swasta di Indonesia. Lembaga- lembaga penyiaran swasta ini memiliki izin frekuensi dengan coverage nasional . Namun maraknya kehadiran Industri Penyiaran TV Swasta justru membuat menimbulkan kekhawatiran. Sebagai industri media yang sangat strategis dan memiliki

pengaruh langsugn terhadap masyarakat,diperlukan perangkat Undang-undang yang mampu mengatur lembaga penyiaran swasta di Indonesia. Lahirlah Undang-Undang Penyiaran No 32 Tahun 2002 dengan sejumlah aturan guna membatasi kiprah para pemain di lembaga penyiaran TV Swasta. Ada tiga hal yagn mendapat perhatian serius dari UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 dalam pembatasan industri Penyiaran Swasta Kehadiran dan penambahan TV Swasta dibatasi. Kepemilikan TV Swasta dibatasi Ketentuan dan Kewajiban Siaran Saluran Jaringan

Kepemilikan TV Swasta Nasional Sejarah Indutsri Penyiaran Swasta di Indonesia tak bisa lepas dengan iklim politik yang terjadi pada masanya. Di Era Orde Baru, para pemain TV Swasta adalah mereka yagn dekat dengan kekuasaaan saat itu. Atau lebih di kenal kelompok Cendana dan Kroni-kroninya. Tumbangnya Soeharto dan munculnya reformasi membuat peta kepemilikan lembaga penyiaran Swasta pun juga berubah. Pemilik swasta pun kian beragam meski masih terpusat pada segelintir kelompok dan cenderung konglomerasi. Raja Media TV Swasta Nasional Penulis buku Media, Culture and Politics in Indonesia, yaitu Krishna Sen David T. Hill telah mendalilkan, kehidupan media massa di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari politik dan kepentingan ekonomi. Semakin bertambahnya media semakin sedikit mereka yang memiliki media. Akibatnya, ruang publikyang seharusnya menjadi arena demokratisasi melalui instrumen media, menjadi tersempitkan karena sedikitnya pemilik yang menguasai banyak media.

Ada Lima kelompok terbesar pertelevisian di Indonesia. 1. Harry Tanoe : Media Nusantara Citra (MNC) yang memiliki tiga stasiun: RCTI MNC TV Global TV.

2. Rd. Eddy K. Sariaatmadja = Surya Citra Media (SCM) SCTV yang 86% sahamnya dimiliki oleh Emtek (Elang Mahkota Teknologi Tbk). Anak perusahaan. PT Indosiar Karya Media Tbk (Indosiar) dengan kepemilikan saham 84,77%. . 3. Chairul Tanjung = CT Corp Trans TV Trans 7 SCTV Indosiar Visual Mandiri

4. Abu Rizal Bakrie = PT. Visi Media Tama ANTEVE TVONE

5. Surya Paloh = Media Group Metro TV

Industri Penyiaran Swasta sebagai kekuatan ekonomi dan bisnis SEBAGAI industry, bisnis penyiaran televise memang sangat menggiurkan, meski investasi yang harus ditanamkan pun cukup besar. Pemasukan terbesar bagi industry televise adalag dari IKLAN. Pembagian kue iklan, dari tahun ke tahun ke industri media televisi bertambah besar Lebih besar dari Media Cetak, Radio dan Internet. Media Partners Asia (MPA), penyedia jasa informasi dalam bidang industri media di Asia, menyebutkan pada 2010, televisi menguasai 68% total belanja bersih iklan di media.

Mereka adalah, pertama, Media Nusantara Citra (MNC) yang memiliki tiga stasiun: RCTI, MNC TV, dan Global TV. Jika ketiganya digabung, MNC menguasai 37% pangsa pemirsa dan pasar industri periklanan bruto Indonesia. Kedua, Surya Citra Media (SCM), yang 86% sahamnya dimiliki oleh Emtek (Elang Mahkota Teknologi Tbk). Anak perusahaan, Surya Citra Televisi (SCTV), 99,9% sahamnya dimiliki oleh SCM. SCTV menguasai 16% pangsa pemirsa TV di Indonesia per 2010 dan 14% pangsa pasar iklan bruto Ketiga, Trans Corpora. Trans TV merupakan stasiun televisi utama milik Trans Corpora (sekarang berada di bawah CT Corp, yang digawangi pengusaha Chairul Tanjung). Stasiun ini bersiaran awal pada Desember 2001, dengan saudaranya, Trans 7, yang diluncurkan Agustus 2006, setelah kelompok usaha CT ini mengakuisisi bagian saham pengendali TV7 dari KompasGramedia. Trans TV dan Trans 7 menguasai 24% pangsa pemirsa dan 22% pangsa iklan bruto per 2010 Keempat, Visi Media Asia, yang menaungi tvOne dan ANTV. Pemegang saham utama adalah kelompok usaha Bakrie. ANTV diluncurkan pada tahun 1993. Gabungan ANTV dan tvOne memiliki pangsa pemirsa televisi sebesar 12% dari seluruh pemirsa televisi dan 15% pangsa pasar pemasangan iklan bruto pada tahun 2010. Iklan Hidup Mati Industri TV Swasta Mengapa iklan menjadi hal mutlak bagi kelangsungan hidup TV Swasta? Pemasukan atau pendapatan terbesar bagi sebuah industri TV berasal dari iklan. Hampir mencapai 90 % kelangsungan hidup mereka dari iklan. Ada beberapa Format Iklan dan Mekanisme sebagai pendapatan dan pemasukan bagi TV Swasta 1. Spot Iklan = Penempatan Iklan dalam sebuah program . Pemasangan berdasarkan rating dan share program. Kian tinggi Rating dan Share semakin mahal tarif iklan yang dipasang. Iklan dengan tarif spot tinggi berada dalam slot

program yang bersifat prime time [ Pkl 19.00-22.00]. Tarif satu spot Iklan komersial bias mencapai : Rp 15-17 Juta per spot dengan durasi 30 second-1 menit . Tarif Iklan PSA [ Layanan Masyarakat ] lebih murah hanya mencapai Rp 5-8 juta dengan durasi 30-1,5 menit 2. Blocking Time : Penggunaan slot program Tarif untuk blocking time sekitar Rp 40-50 juta rupiah untuk slot program dengan durasi 15-20 Menit 3. OFF AIR adalah Kegiatan atau event yang bersifat promosi dan komersial yang dilakukan oleh TV Swasta. Fenomena TV Berita Ada fenomena yang menarik ketika Metro TV hadir tahun 2001, MetroTV disusul TVONE pada tahun 2008. Ini berbeda dengan tujuh stasiun TV yang lebi dahulu hadir yang melabelkan diri sebagai TV Hiburan. Atau supermarket TV. Dalam Industri televisi, program pemberitaan tidak dinilai sebagai progam yang tidak menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. Rating dan share program berita rendah. Liputan 6 SCTV adalah salah satu progrma berita TV yang dianggap berhasil. Baik secara shre dan rating maupun angka pemasukan iklan. Puncaknya ketika berita kasus kekerasan di IPDN. Rating berita LIputan Enam mendapai 4-5 dengan share nyaris mendekati 40-45 persen penonton. Salah satu kurang menjualnya program berita disebabkan budaya mayarakat yang masih melihat TV sebagai alat hiburan. Namun, gagasan TV Berita yang di usung Metro, meski semula dianggap sebelah mata ternyata cukup berhasil. Lalu munculnya TVONE yang juga mengusung sebagai TV Berita. Hasilnya cukup mengejutkan. TVONE yang mengkombinasikan format news sebagai entertainment, dianggap berhasil dan mencuri perhatian masyarakat. Meski dalam perolehan

iklan , kedua TV ini masih jauh dibandingkan TV-TV HIburan lainnya, namun dalam perkembangannya perolehan iklan keduanya terus meningkat. TV SWASTA Nasional dan POLITIK Krishna Sen dan David T. Hill secara tegas dalam bukunya media, culture and politics in Indonesia politik menyebutkan bahwa pada dasarnya kehidupan media massa di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari politik dan kepentingan ekonomi. Dua stasiun berita, METRO TV dan TVONE yang dimiliki tokoh-politik, yakni Surya Palo , Ketua Partai Nasional Demokrat dan Abu Rizal Bakrie, Ketua Partai Golkar, secara gamblang membawakan misi partai dalam lembaga penyiarannya. Bahkan Harry Tanoe sebaga pemilik MNC group juga telah secara terang, berkiprah dalam Partai Nasional Demokat [ Nasdem ]. Media pada akhirnya menjadi kendaraan politik bagi pemilik tv. Mau Kemana TV Swasta Nasional??? Melihat proses dan fenomena kehadiran lembaga penyiaran Swasta di Indonesia, pada akhirnya timbul pertanyaan apa dan bagaimana nasib TV Swasta Nasional di Indonesia ke depan , mengingat paradoks dan ambigunya aturan penegakan undang-undang? Ada tigal yang menjadi persoalan dan perhatian utama yakni : 1. Sistem Siaran Jaringan UU Penyiaran tahun 2002, telah mengeluarkan amanat bagi berlangsungnya sistem penyiaran berjaringan di Indonesia. Setiap stasiun televisi swasta memiliki jangkauan siaran terbatas sesuai dengan wilayah jangkauan siaran yang ditetapkan. Jadi, sebuah stasiun televisi di Jakarta, jangkauan siarannya adalah Jakarta dan sekitarnya. Satu- satunya lembaga

penyiaran televisi yang diizinkan melakukan iaran nasional secara langsung adalah TVRI. Siaran sebuah stasiun televisi swasta dapat menjangkau daerah di luar wilayah jangkauan siarannya hanya dengan perantaraan stasiun televisi yang berada di wilayah tersebut. Stasiun

televisi swasta yang hendak melakukan siaran nasional dapat melakukannya dengan perantaraan

rangkaia Sebuah jaringan televisi nasional harus memiliki izin penyelenggaraan penyiaran di setiap daerah yang dimasuki siarannya. Ironisnya, setelah 10 tahun setelah dikeluarkannya UU Penyiaran Tahun 2002, sistem pertelevisian Indonesia sama sekali belum berubah. Sistem Siaran Jaringan yang harus segera dijalankan oleh Lembaga Penyiaran Swasta Jasa Penyiaran Televisi (LPS TV) mulai 28 Desember 2009, tidak pernah menjadi perhatian serius. Hingga kini belum ada stasiun TV Swasta yang telah menerapkan Stasiun Siaran Jaringan secara konsisten dan memenuhi targetnya. Kepemilikan Persoalan kepemilikan menjadi hal yang juga bersifat dan ambigu jika menilik pasal yang ada dalam UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 UU Pokok Penyiaran Tahun 2002 Pasal 18 (1) Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi. (2) Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara Lembaga Penyiaran Swasta dan perusahaan media cetak, serta antara Lembaga Penyiaran Swasta dan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi. Semua Lembaga Penyiaran Swasta Nasional kini telah menjelma menjadai sebuah bisnis konglomerasi yagn mbersifat monopoli. Pembatasan kepemilikan yang diamanatkan oleh UU Penyiaran NO 32 tahun 202 , tidak berlaku .

Konglomerasi dan monopoli dalam industri TV Swasta di Indonesia telah begitu menggurita dan terus menjadi anomali bisnis yang akan terus dipertahankan oleh para pemilik TV meski undang undang mewajbkan dan mengamanatkan bahwa monopoli, konglomerasi terlarang. Susanya, pasal-pasal pembatasan kepemilikan media juga tidak secara tegas menyebutkan jumlah yagn dibatassi. Hal ini menjadikan munculnya multitafsir yagn melahirkan ambiguitas dalam pelaksanaan dan penerapan UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 di tingkat operasionalnya. Kompetisi dengan TV KABEL dan penetapan Siaran digital Bisnis TV kabel, secara perlahan tumbuh dengan pesat baik dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir.Kian terjangkaunya biaya TV Kabel, cukup membuat kini pemirsa beralih. Program dan acara TV Luar negeri juga dengan bebas bisa dinikmati sebagai kompetisi program tv swasta nasional. Hal yang menjadi penting adalah penerapan siaran digital bagi setiap stasiun penyiaran swasta. Televisi digital atau DTV adalah jenis televisi yang menggunakan modulasi digital dan sistem kompresi untuk menyiarkan sinyal gambar, suara, dan data ke pesawat televisi. Televisi digital merupakan alat yang digunakan untuk menangkap siaran televisi digital, perkembangan dari sistem siaran analog ke digital yang mengubah informasi menjadi sinyal digital berbentuk bit data seperti komputer. Menjadi persoalan ketika penerapan siaran digital akan diterapkan, setiap TV Swasta Nasional dipaksa menggunakan sebuah teknologi digital dengan meningalkan system analog yang selama ini dipakai. Investasi biaya dari konvergensi media ini cukup besar.

Kesimpulan Pentingnya penataan sistem penyiaran karena media penyiaran beroperasi dengan menggunakan frekuensi yang jumlahnya terbatas. Frekuensi siaran tersebut adalah ranah publik yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat yang berdaulat atas frekuensi tersebut.. Sistem Siaran Jaringan [SSJ] bukan hanya soal muatan lokal. Dengan sistem siaran yang tersentralisasi, uang iklan hanya mengalir ke Jakarta. Segenap keuntungan ekonomi hanya terpusat di Jakarta. Di daerah di luar Jakarta, masyarakat hanya menjadi hanya jadi penonton. Dalam sistem pertelevisian terpusat seperti sekarang ini, indutstri tv hanya terpusat kepada satu pemilik yang pada akhirnya stasiun televisi di luar Jakarta tak dapat berkembang dengan sehat. Kepemilikan yang berperilaku konglomerasi dengan system monopoli pada akhirnya akan bertabrakan dengan Undang-undang . Tingginya biaya proses penerapan tv digital akan berimbas kepada efesien besar-besaran yang di lakukan oleh pemilik TV. Apa yang terjadi di Indonesia saat ini mengingkari asas manfaat tersebut. Stasiun-stasiun televisi nasional di Jakarta dapat menjangkau lebih dari seratus juta rakyat Indonesia dengan memanfaatkan frekuensi siaran di berbagai wilayah tersebut tanpa membawa manfaat apa-apa bagi masyarakat daerah tersebut, baik secara ekonomi, politik, budaya dan social. Perlu UU Penyiaran yang tegas dan jelas, sehingga pasal-pasal yang ada dalam UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 tidak bersifat ambigu dan multi tafsir. Misalnya, soal jumlah pembatasaan kepemilikan TV QUO VADIS TV SWASTA?? Mau kemana nasib industri tv swasta di Indonesia ke depannya???

****************

Para Pembujuk Massa Politik Merujuk sebuah riset di Amerika Serikat, 60% pemilih menyatakan televisi merupakan sumber utama informasi bagi mereka berkaitan dengan pemilihan presiden. Theophilus J. Riyanto dalam artikel berjudul Kekuatan Media Massa dalam Kampanye Kepresidenan di Amerika Serikat, mengatakan, the mass political persuader mencoba menggunakan media untuk mendapatkan keuntungan maksimal bagi kandidat presidennya. Meyakinkan warga negara untuk memilih kandidatnya merupakan tujuan yang cukup jelas.

Kegalauan yang berhubungan dengan monopoli kepemilikan media massa di Indonesia, terutama televisi, yang berpotensi pada dominasi opini dan sumber-sumber kapital politik, direspons oleh lembaga bernama Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) yang mengajukan uji materi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK). Saat ini pemeriksaan perkara masih berlangsung di MK.

Pasal yang diuji adalah Pasal 18 Ayat (1) dan Pasal 34 Ayat (4) UU Penyiaran terhadap Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28F dan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.

Pasal 18 Ayat (1) UU Penyiaran menyebutkan: Pemusatan kepemilikan dan penguasan lembaga penyiaran swasta (LPS) oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran dibatasi.

Sementara Pasal 34 Ayat (4) UU Penyiaran menyebutkan: Izin Penyelenggaraan Penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain.

Dalam permohonannya Nomor 78/PUU/IX/2011, KIDP menilai pasal- pasal tersebut kerap disalahtafsirkan oleh konglomerat media, bahkan pemerintah sebagai pengawas dan regulator. Akibatnya, LPS tetap dimiliki oleh segelintir pihak dan terjadi pemusatan kepemilikan; satu badan hukum dapat memiliki lebih dari satu LPS di satu wilayah.

"Seseorang atau satu badan hukum dengan mudah membeli lembaga penyiaran sekaligus Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP)," kata Eko Maryadi, Koordinator KIDP, dalam permohonannya.

Padahal, menurut Eko, berdasarkan UU Penyiaran, IPP sebagai hak yang diberikan oleh negara kepada lembaga penyiaran setelah dipenuhinya persyaratan, seharusnya dikembalikan kepada negara saat tidak mampu lagi menyelenggarakannya.

"Peristiwa ini seperti halnya seseorang yang membeli perusahaan maskapai penerbangan atau pesawat pribadi dan seolah-olah bisa terbang seenaknya meski tanpa memiliki izin terbang yang dikeluarkan oleh pihak regulator penerbangan," papar Eko.

Menurut KIDP, pemusatan kepemilikan LPS mengancam pelanggaran konstitusi. Kerugian yang dimaksud adalah mengancam kemerdekaan berpendapat dan berbicara, membuat dominasi opini publik, terbatasnya pilihan masyarakat untuk mendapatkan informasi yang beragam, ketidakadilan pengalokasian frekuensi oleh negara, kerugian pemberitaan yang tidak jujur dan transparan akibat campur tangan para pemilik lembaga penyiaran, serta tidak adanya kesempatan berusaha yang sama akibat pemusatan kepemilikan.

Padahal, regulasi untuk penyiaran seharusnya disesuaikan dengan tujuan negara sebagaimana termaktub dalam UUD 1945, memajukan kesejahteraan, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. KIDP menegaskan, amanat itu sebenarnya sudah ditegaskan dalam konsideran menimbang Huruf b UU Penyiaran.

"Spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat," tegas Eko, menjabarkan bunyi konsideran UU Penyiaran.

Dilanjutkan dia, contoh konkrit pelanggaran UU Penyiaran terkait pemusatan kepemilikan, seperti MNC Group yang memiliki tiga lembaga penyiaran sekaligus, RCTI, MNC TV dan Global TV, kemudian EMTK Group yang memiliki SCTV, O Channel dan Indosiar. Lalu Viva Group yang memiliki tvOne dan ANTV serta Para Group (kini CT Corp) yang memiliki Trans TV dan Trans 7.

Multi penafsiran, menurut KIDP, contohnya bisa dilihat saat PT Visi Media Asia Tbk (Viva Group) melakukan divestasi sebagian besar kepemilikan di ANTV dan tvOne. Dalam prospektus ringkas awal Viva yang diterbitkan 2011, perseroan itu mengakui adanya multi penafsiran yang berisiko dipermasalahkan perihal pemusatan kepemilikan LPS.

Belum adanya pembatasan secara resmi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menjadi dalih perseroan tersebut. Namun, dalam pendapatnya, PT Visi Media Asia Tbk berkukuh, bahwa pembatasan kepemilikan LPS telah diatur dalam PP Nomor 50/2005 tentang Penyelenggaraan LPS.

Perseroan itu menilai pembatasan kepemilikan LPS hanya untuk pelaksanaan sistem stasiun televisi berjaringan. Yang tidak terkena, seperti badan hukum non-LPS, dapat dimungkinkan untuk memiliki saham sampai 100% lebih dari satu LPS. "Penafsiran yang berbeda semacam itu menimbulkan ketidakpastian hukum," tegas Eko.

Menyalahartikan juga terjadi dalam Pasal 34 Ayat (4) UU Penyiaran yang melarang

memindahtangankan izin penyiaran. Para pemilik LPS merasa pengambialihan saham atau penjualan tidaklah melanggar ketentuan itu.

Guna mempertajam permohonannya, KIDP memberikan perbandingan. Untuk perbandingan di luar negeri, pengaturannya dilakukan secara ketat, hati-hati dan adil. Sebuah badan hukum tidak boleh mempergunakan lebih dari satu frekuensi untuk penyiaran di satu daerah dan daya jangkau siaran.

Misalnya di Amerika Serikat, berlaku sistem stasiun televisi jaringan dan stasiun televisi lokal. Pengaturan kepemilikan dan penguasaan stasiun televisi diatur berdasarkan luas jangkauan dari stasiun televisi yang dimiliki. Berdasarkan Telecommunication Act 1996 seseorang atau badan hukum dapat memiliki stasiun televisi lokal (bukan televisi jaringan) sebanyak-banyaknya selama jangkauannya tidak melebihi 35% dari nations tv homes atau tvs household. Batas itu kemudian diubah menjadi 39%, sebagai bentuk kompromi karena FCC mengajukan angka 45%.

Di Australia seseorang tidak boleh mengontrol atau menguasai melalui kombinasi izin televisi yang menjangkau lebih dari 75% penduduk. Kemudian tidak boleh terdapat lebih dari satu izin di satu daerah. Di Australia terdapat sekitar 56 izin televisi komersial dengan kelompok perusahaan, antara lain sebagai berikut; 1.The Seven Network memiliki 6 izin dan menjangkau 73% penduduk; 2. The Nine Network (PBL) memiliki 4 izin dan menjangkau 52%; 3. Network Ten memiliki 5 izin dan menjangkau 66%, dll.

Eko menegaskan, perbedaan penafsiran UU Penyiaran di Indonesia telah menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28F dan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Oleh sebab itu, KIDP meminta MK memberikan tafsir dengan tegas.

MK harus menyatakan bunyi Pasal 18 Ayat (1) UU Penyiaran secara keseluruhan sebagai, "Pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau satu badan hukum baik badan hukum pemegang izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) yaitu lembaga penyiaran swasta (LPS) maupun badan hukum apapun dan ditingkat manapun yang menguasai dan memiliki LPS tidak boleh memiliki lebih dari satu IPP dalam satu wilayah siaran," kata Eko

Maryadi, Koordinator KIDP, dalam permohonannya.

Eko menegaskan, perbedaan penafsiran UU Penyiaran di Indonesia telah menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28F dan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Oleh sebab itu, KIDP meminta MK memberikan tafsir dengan tegas.

Terakhir, MK harus menyatakan Pasal 34 Ayat (4) UU Penyiaran seutuhnya harus dimaknai sebagai berikut; "IPP dilarang dipindahtangankan dengan cara diberikan, dijual, dialihkan kepada perorangan atau badan hukum yang berbentuk LPS yang memiliki IPP juga badan hukum apapun, di tingkat manapun."

Dimintai pendapatnya secara terpisah, Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Komunikasi dan Media Massa, Henry Subianto, mengakui, pemerintah memang membutuhkan penyusunan peta jalan (roadmap) penyiaran karena fakta di lapangan menunjukkan indikasi banyaknya aplikasi penyiaran yang disetujui oleh pemerintah atas rekomendasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di berbagai daerah. Parahnya, pemberian aplikasi ini juga tanpa memperhatikan kemampuan daerah tersebut sehingga menimbulkan kekacauan jaringan frekuensi. "Pemerintah pun menyiasati dengan mengambil frekuensi sekunder, sementara LPS (Lembaga Penyiaran Swasta) mengambil frekuensi publik," kata Henry kepada gresnews.com di Jakarta, Jumat (13/1).

Hantu monopoli kepemilikan dan dominasi opini seperti diungkap oleh KIDP, membuat politisi bergeming. Seolah tak mengindahkan kekhawatiran matinya demokrasi dalam ruang publik. Diwawancarai oleh gresnews.com, mengenai kemungkinan penunggangan opini publik melalui monopoli kepemilikan media, seusai acara Pelantikan Pengurus Pergerakan Restorasi Jakarta seDKI Jakarta di Padepokan Pencak Silat Taman Mini Indonesia Indah, di Jakarta, Sabtu (14/1), Presiden Direktur MNC Group Hary Tanoesoedibjo berkilah, "Itu semua kan sudah diatur."

Malah, menurut Ketua Dewan Pakar Partai Nasdem, itu justru keadaan akan sebaliknya, dimana pemilik media dan partai akan saling melengkapi satu sama lain.

Selain itu, Hary Tanoe pun tidak sepakat bila disebut peran media yang massif sebagai alat kampanye sangat berbahaya bagi eksistensi partai politik dan demokrasi. "Saya tidak sepakat soal itu," kata dia.

Menurut Ketua Umum Partai Nasdem Patrice Rio Capela, dua kelompok media besar (MNC dan Media Group) akan menjadikan Partai Nasdem lebih mudah untuk menyosialisasikan programprogram partai. "Tapi Partai Nasdem akan menaati aturan yang berlaku bila ada aturan tentang waktu tayang partai politik," kata dia.

Namun, ia menambahkan, Partai Nasdem tak akan tergantung pada media massa untuk menyosialisasikan program partai. "Memang lebih mudah dalam sosialisasi partai. Tapi Partai Nasdem tidak tergantung pada media massa walaupun petinggi Nasdem pemilik media besar," kata Patrice.

Diwawancarai secara terpisah, Direktur Pemberitaan Metro TV Suryopratomo menegaskan, medianya akan tetap menjaga independensi jurnalistik pascalahirnya Partai Nasdem. "Metro TV sudah punya pengalaman panjang untuk menerapkan profesionalisme dalam jurnalistik," kata Suryopratomo.

Menurut dia, bukan kali ini saja Surya Paloh terlibat dalam dunia politik. "Pada Pemilu 2004 dan 2009, Surya Paloh menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Golkar. Metro TV tidak dikatakan sebagai televisi Partai Golkar," ujarnya.

Ia mengatakan, justru aneh kalau keterlibatan Surya Paloh di Partai Nasdem dipertanyakan. "Aneh jika baru sekarang Metro TV dikhawatirkan tidak bisa menjaga independensinya karena dikaitkan dengan Partai Nasdem," tuturnya, seraya berkata, Metro TV telah menerapkan aturan bagi karyawannya yang terlibat dalam Partai Politik. "Siapa yang terlibat dalam politik praktis harus mengundurkan diri. Sugeng Suparwoto tidak lagi di Metro TV setelah jadi Waketum Partai Nasdem," ujarnya.

Namun ia mengungkapkan, tidak bisa mencegah karyawan bergabung dalam Partai Nasdem.

"Semua orang punya hak politik. Tidak ada orang yang bisa dipaksa untuk menggunakan haknya apalagi di zaman kebebasan seperti sekarang. Semua partai boleh menawarkan janji tapi mereka tidak akan pernah bisa dipaksa. Metro TV menerapkan merit system berdasarkan kinerja bukan keterkaitan dengan parpol," ujar Suryopratomo.

"Keharusan politik" karyawan media untuk menjadi anggota partai politik yang digawangi sang pemilik, diungkapkan oleh Bendahara Umum Partai Golkar Setya Novanto. Menurut Setya, ribuan karyawan yang bekerja di perusahaan media milik Ical sudah seharusnya menjadi anggota Partai Golkar.

"Secara naluriah, karyawan yang bekerja di media milik Pak Ical sudah seharusnya menjadi anggota Partai Golkar. Karena sudah bekerja di media yang dimiliki Ketua Umum, yang artinya sudah ada rasa simpatik dari karyawan, maka tak perlu disuruh lagi menjadi anggota Golkar," kata Setya Novanto kepada gresnews.com, Jumat malam (13/1), di Jakarta.

Ketua Fraksi Golkar itu menyebutkan, dengan menjadi anggota Partai Golkar akan semakin menambah perolehan suara Golkar pada Pemilu 2014 mendatang dan pencalonan Pak Ical sebagai calon presiden akan menjadi kuat.

"Pasti ya, ada pengaruhnya karyawan yang bekerja di media Pak Ical untuk meningkatkan popularitas menuju RI 1," kata Setya.

Ia juga menyebutkan, peranan media sangat membantu popularitas seseorang termasuk calon presiden untuk meraih kesuksesan.

"Peranan media sangat penting menunjang popularitas. Apalagi saat ini Pak Ical telah dinobatkan jadi capres namun menunggu hasil survei. Dengan peran media, survei bisa meningkatkan popularitas Ical karena peranan media, termasuk media yang dimiliki Pak Ical," kata dia.

Rekonstruksi Aturan Main Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bereaksi keras terhadap dorongan dari pemilik media untuk

mengintegrasikan karyawannya sebagai anggota parpol. Ketua Umum AJI Eko Maryadi meminta supaya insan pers mendapatkan perlindungan agar terhindar dari aksi politik pemilik media yang terafiliasi dengan parpol.

"Saya menyarankan tiap wartawan bergabung dengan organisasi (wartawan) yang ada. Silakan pilih yang cocok dengan kondisi masing-masing," kata Eko Maryadi kepada gresnews.com, di Jakarta, Jumat (13/1). Eko menambahkan, wartawan juga bisa memilih untuk bekerja di kantor media yang memberikan jaminan kesejahteraan dan profesional.

Terkait dengan independensi pemberitaan, Eko mengingatkan publik yang menerima langsung pesan dalam suatu berita untuk lebih pintar dari pembawa berita dalam menanggapi pemberitaanpemberitaan yang terafiliasi dengan parpol).

"Penonton (penerima langsung) harus lebih kritis dan pintar juga, jangan langsung percaya dengan cara banyak membandingkan, membaca media yang beragam," kata Eko.

Selain itu, kata Eko, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus lebih tegas dalam menegakkan aturan tentang netralisasi isi siaran TV dan berani menegur stasiun TV bila bertentangan dengan ketentuan penyiaran.

"KPI harus berani menegur stasiun TV yang menggunakan frekuensi penyiaran secara serampangan dan tidak mempertimbangkan kepentingan publik yang lebih luas," ujarnya.

Diwawancarai secara terpisah, Direktur Eksekutif LBH Pers Hendrayana menegaskan, lembaga penyiaran harus kembali ke kiblatnya, dalam arti tidak ada pemusatan kepemilikan kepada segelintir orang. Keragaman isi (diversity of content) adalah keragaman pemilik (diversity of ownership).

"Karena kita harus sadar dan tahu bahwa yang namanya frekuensi merupakan domain publik yang terbatas dan seharusnya diatur untuk kepentingan publik yang lebih luas," kata Hendrayana kepada gresnews.com di Jakarta, Jumat (13/1).

Hendrayana pun meminta Mahkamah Konstitusi memutuskan uji materiil UU Penyiaran, supaya tidak ada penafsiran yang serampangan dari para pemilik modal sehingga tidak ada lagi pemusatan kepemilikan dalam penyiaran. "Harus dibatasi satu penyelenggara penyiaran itu hanya boleh satu dalam cakupan wilayah," kata dia. MK harus dapat memberikan tafsiran yang sesuai dengan perkembangan pemusatan kepemilikan media saat ini.

Di sisi lain, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengakui bahwa UU Penyiaran masih abu-abu. Karena itu, jika terdapat lembaga penyiaran swasta (LPS) yang melakukan aksi korporasi seperti pengambialihan saham, KPPU berhak memberikan pendapat tersendiri. Analisisnya, terkait ada atau tidaknya persaingan usaha tidak sehat yang berdampak pada monopoli pasar.

"Kalau ada di antara UU ini saling berbeda, kami juga bisa memberikan pendapat. Kalau ada UU yang berkaitan dengan penilaian yang sedang kami lakukan, tetapi masih dalam konteks abu-abu, KPPU masih bisa memberikan pendapat," kata Komisioner KPPU Erwin Syahril, saat berbincang dengan gresnews.com, Jumat (13/1).

Erwin menegaskan, keputusan KPPU berbeda dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), karena memang memiliki tugas yang berbeda. KPPU melihat lebih kepada ada atau tidaknya monopoli yang dilakukan atau akibat yang ditimbulkan dari aksi korporasi secara ekonomi terhadap masyarakat.

"Kami lihat item-item proses akuisisinya. Apakah ada yang dilanggar. Sepanjang ini kami belum melihat ada yang dilanggar," ungkap Nawir.

Sementara itu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berpendapat, pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran swasta dilarang karena dapat menggiring opini publik. Bahkan, akan lebih berbahaya lagi jika pemiliknya terafiliasi dengan partai politik. Oleh karena itu perlu adanya rekonstruksi pengaturan tentang penyiaran, terkait dengan kepentingan politik. Partai politik memang berhak tayang di televisi, tetapi pengaturan dan pembagiannya harus tegas.

"Perlu adanya rekonstruksi kembali soal aturan, soal kepemilikan yang punya aspirasi kepada partai politik tertentu," kata Komisioner KPI M Riyanto, saat berbincang dengan gresnews.com, Jumat (13/1).

Menurut Riyanto, pemilik lembaga penyiaran swasta (LPS) yang terafiliasi dengan partai politik boleh saja memanfaatkan siarannya. Tapi, jangan sampai parpolnya itu mendominasi isi siaran. Mereka harus membagi rata kesempatan kepada partai politik lainnya.

"Harus direkonstruksi kembali soal regulasinya, baik terkait partai politiknya, maupun terkait penyiaran. Batasannya harus tegas bahwa penyiaran sebagai ranah publik tidak boleh digunakan untuk kepentingan tertentu saja," papar Riyanto.

Terkait dengan pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran, KPI menegaskan hanya bisa memberikan imbauan. Menurut Riyanto, yang berhak melarang dan menegur terjadinya pemusatan kepemililkan melalui pengambilalihan saham atau izin penyiaran adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) atau Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.

Contohnya adalah pendapat hukum KPI yang menyatakan tidak sepakat dan menganjurkan tidak terjadinya pengambilalihan saham PT Indosiar Karya Media Tbk (IDKM/Indosiar) oleh PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK). Sebab, PT EMTK selaku pemilik PT Surya Citra Media Tbk (SCMA/SCTV) seharusnya tidak boleh memiliki LPS lainnya.

"Yang namanya pemindahan kepemilikan itu artinya juga menguasasi izin. Imbauan kami ini bukan berarti ingin mematikan bisnis penyiaran, siapapun berhak investasi tetapi harus dibatasi," kata Riyanto.

Oleh sebab itu, KPI menegaskan, siap memberikan keterangan sebagai pihak terkait di MK dalam perkara uji materi UU Penyiaran yang diajukan KIDP.

"Kalau diminta untuk memberikan respons kami siap. Respons kami kurang lebih sama dengan pendapat hukum atas akuisisi lembaga penyiaran tadi," jelas Riyanto.

TIM SOMASI Editor : Oki Baren (oki@gresnews.com)

http://www.gresnews.com/berita/somasi/1242151-halo-redaksi-ikut-partai-apa

Anda mungkin juga menyukai