Anda di halaman 1dari 14

bagaimana mengkonseptualisasikan apa yang di amati. EMPAT JENIS PERSPEKTIF TEORITIKAL (Littlejohn) 1.

Perspektif Behavioristik Menekankan pada rangsangan dan tanggapan. Teori komunikasi yang menggunakan perspektif ini cenderung untuk menekankan pada cara bahwa orang dipengaruhi oleh pesan. 2. Perspektif Transmisional Menekankan media komunikasi, waktu, dan unsur-unsur konsekuensial. Teori komunikasi yang menggunakan perspektif ini memandang komunikasi sebagai pengiriman informasi dari sumber kepada penerima (linier). 3. Perspektif Interaksional Perspektif ini memandang bahwa pelaku komunikasi secara timbal balik menanggapi satu sama lain. 4. Perspektif Transaksional Menekankan kegiatan saling memberi, dan memandang peserta komunikasi terlibat secara aktif. Komunikasi dipandang secara situasional dan sebagai proses dinamis yang memenuhi fungsi-fungsi individual sosial. Perspektif ini menekankan holisme, yang memandang komunikasi sebagai proses saling menyampaikan makna.
Perspektif pada Teori dan Proses Komunikasi 1) Perspektif Behavioristik. Perspektif ini muncul dari psikologi mazhab perilaku atau mazhab

behavioral, menekankan pada stimuli dan tanggapan ( response). Teori komunikasi yang
menggunakan perspektif ini cenderung menekankan pada cara bahwa orang dipengaruhi oleh pesan. Teori semacam itu selanjutnya, cenderung menyesuaikan diri kepada asumsi-asumsi Pandangan Dunia I, dan biasanya bersifat

non

aksional.

2) Perspektif Transmisional. Perspektif ini memandang komunikasi sebagai pengiriman informasi dari sumber kepada penerima. Mereka menggunakan model linier dari satu lokasi ke lokasi yang lainnya. Perspektif ini menekankan pada media komunikasi, waktu, dan unsur-unsur konsekuensial. Umumnya, perspektif ini berdasarkan pada Pandangan Dunia I dengan asusmsi non aksional. 3) Perspektif Interaksional. Perspektif ini mengakui bahwa para pelaku komunikasi secara timbal balik menanggapi satu sama lainnya. Apabila perspektif transmisional bersifat linier, maka perspektif ini bersifat sirkular. Umpan balik dan efek bersama merupakan kunci konsep. Teori semacam itu berasaskan pada Pandangan Dunia II yang mungkin aksional atau non aksional, bergantung pada derajat pikiran para pelaku komunikasi dalam peranannya sebagai pemilih yang aktif.

4)

Perspektif Transaksional. Perspektif ini menekankan pada kegiatan saling memberi. Ia memandang komunikasi merupakan sesuatu di mana pesertanya terlibat secara aktif. Teori perspektif ini menekankan pada konteks, proses, dan fungsi. Dengan kata lain, komunikasi dipandang sebagai sebuah entitas yang situasional dan sebagai proses dinamis yang memenuhi fungsi-fungsi individual dan sosial. Perspektif ini juga menekankan pada holisme, yaitu membayangkan komunikasi sebagai proses saling menyampaikan makna. Teori trasaksional cenderung menampilkan Pandangan Dunia II, dan menggunakan eksplanasi aksional.

1. 2. 3.

Bagaimana anda mampu menguraikan Sejarah Perkembangan Filsafat Komunikasi melalui pendekatan filsafat sebagai salah satu landasan ilmiah Ilmu Komunikasi Apabila Filsafat Ilmu mampu dibedakan dengan Filsafat, maka bagaimana halnya dengan Filsafat Komunikasi. Uraikan secara sistematis dan teoritik! Filsafat Komunikasi sangat erat kaitannya dengan metodologi penelitian. Coba saudara uraikan melalui faham-faham: a. b. c. Positive, Post-Positive, Kritis

4. a. Bagaimana penerapan komponen-komponen Filsafat Ilmu, seperti ontologis, epistemologis, aksiologis, dan perspektif ke dalam Ilmu Komunikasi; b. Berikan contoh melalui fenomena-fenomena yang aktual di masing-masing komponen di atas! 4. Perkembangan teori komunikasi sekarang sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, sehingga mampu menggeser teori-teori Komunikasi Antar Persona dan Teori-teori Komunikasi Massa menjadi baur. Bagaimana pendapat Anda? Uraikan secara sistematis dan melalui pendekatan komunikasi dengan media. Bagaimana anda mampu mengaitkan antara tugas-tugas "book reading" dengan materi Filsafat Komunikasi.

5.

JAWABAN DAN PEJELASANNYA [Bagaimana anda mampu menguraikan Sejarah Perkembangan Filsafat Komunikasi melalui pendekatan filsafat sebagai salah satu landasan ilmiah Ilmu Komunikasi?] Filsafat Komunikasi tidak bisa dilepaskan dari tiga kompenen filsafat ilmu sebagai salah satu cabang filsafat. Tiga komponen itu adalah Ontologi, epistemologi, dan axiologi. Pada soal berikutnya, akan diulas lebih lengkap mengenai pengertian dan fungsi-fungsi tiga komponen filsafat ilmu tersebut. Untuk kesempan ini, kita hanya mencuplik sekilas pengertian tiga komonen itu: ontologi menyangkut hakikat obyek kajian ilmu dan teoriteorinya; epistemologi menyangkut prosedur dan metode mendapatkan pengetahuan; dan axiologi menyangkut nilai kegunaan suatu ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia. Ketiga komponen ini merupakan pijakan ilmu komunikasi sejak disiplin ini menjadi pengetahuan ilmiah. Menelusuri sejarah perkembangan teori-teori komunikasi berarti kita melakukan pengkajian jejak ontologis ilmu komunikasi. Demikian pula halnya dengan perkembangan metodologi dan dimensi-dimensi moral dan etika ilmu komunikasi, berarti kita melakukan pengkajian mengenai jejak-jejak epistemologi dan axiologi ilmu komunikasi. Ilmuan-ilmuan yang sejak awal melibatkan diri dalam pemikiran ontologis ilmu komunikasi antara lain: Wilbur Schramm, Kurt Lewin, Paul Lazarsfeld, dan Carl I. Hovland. Mereka inilah melahirkan berbagai teori dan penegasan tentang komunikasi sebagai pengetahuan ilmiah. Metode-metode dan model yang dikembangkan dalam ilmu komunikasi sebenarnya berasal dari sejumlah perspektif dan teori di luar khazanah disiplin komunikasi itu sendiri. Kita bisa melihat pendekatan strukturalfungsional dari sosiologi, teori sistem dan informasi dari matematika, perspektif mekanistis dari fisika, perspektif psikologis dari psikologi sosial, dan lain-lain. Itulah hasil-hasil dari pengembangan ilmu komunikasi dari komponen filsafat ilmu, yakni epistemologi. [back to top] [Apabila Filsafat Ilmu mampu dibedakan dengan Filsafat, maka bagaimana halnya dengan Filsafat Komunikasi. Uraikan secara sistematis dan teoritik!]

Untuk membedakan Filsafat Ilmu dan Filsafat (Filsafat Umum), maka mengulas, paling tidak secara singkat, pengertian kedua bidang ini adalah hal yang niscaya. Salah satu dari kedua bidang ini adalah asal usul dan yang satunya adalah ekspansi (pengembangan). Penjelasan singkat berikut ini, disertai dengan ulasan pengertian yang singkat pula, pada akhirnya juga dapat memetakan posis Filsafat Komunikasi, baik pada segi pengertian masingmasing maupun pada perbedaannya. FILSAFAT, secara etimologi, berasal dari bahasa Yunani, Philosophia. Philos berarti suka, cinta, atau kecenderungan akan sesuatu. Sophia berarti kebijaksanaan (sebagaian besar ilmuan memahami kebijaksanaan disepadankan dengan "kebenaran sejati"). Dengan demikian, secara sederhana, filsafat diartikan cinta atau kecenderungan pada kebijaksanaan (Nina Winangsih Syam, 2002: 19) Ada definisi tentang filsafat yang lebih ofensif, yakni yang dibuat oleh G.E. Moore, "Filsafat adalah tentang semua." Baggini menganggap cara ofensif ini sukar dan karena itu ia menawarkan bantuan untuk mendefinisikan filsafat dengan cara membedakan filsafat dengan metodenya (Julian Baggini, 2003: xv xvi). Dalam bukunya "Filsafat Ilmu, sebuah pengantar populer", Jujun S. Suriasumantri tidak dengan tegas mendefinisikan apakah itu filsafat. Namun ia tetap memberikan tiga karakteristik berpikir filsafat: menyeluruh, mendasar, dan spekulatif (Jujun S. Suriasumantri, 1984: 20). Tetapi pada kata pengantar yang ia tulis untuk buku "Ilmu Dalam Perspektif", Jujun mengartikan filsafat sebagai suatu cara berpikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya (Jujun, 1997: 4). Hal penting yang dapat dicatat dari beberapa pengertian di atas adalah bahwa filsafat adalah suatu kegiatan mental (berpikir dengan kesadaran) untuk mencapai kebenaran hakiki. Filsafat dalam hal ini bertugas mengungkap hakikat (eksistensi dan esensi) suatu fenomena. Bagaimana fenomena itu secara detail atau kaitannya dengan kehidupan manusia yang bermanfaat, adalah hal-hal yang berada di luar jangkuan filsafat. Pokok permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi: benar-salah (logika), baik-buruk (etika/filsafat moral), dan indah-jelek (estetika/filsafat seni). Secara keseluruhan, bidang-bidang yang dikaji oleh filsafat adalah sebagai berikut (Jujun, 1984: 32-33): Epistemologi (Filsafat Pengetahuan) Etika (Filsafat Moral) Estetika (Filsafat Seni) Metafisika (teori tentang ada atau hakikat) Politik (Fisafat pemerintahan), Filsafat Agama, Filsafat Ilmu, Filsafat Pendidikan, Filsafat Hukum, Filsafat Sejarah, dan Filsafat Matematika. Dengan pengembangan bidang pokok kajian ini, maka jumlah keseluruhan bidang kajian filsafat (filsafat umum) menjadi 11 bidang. FILSAFAT ILMU merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Sementara ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Filsafat ilmu merupakan telaah secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu yang selanjutnya menjadi tiga landasan filsafat ilmu. Tiga landasan itu adalah ontologis, epistemologis, dan axiologis. Ontologi membahas mengenai obyek apa yang ditelaah oleh suatu ilmu, bagaimana wujud hakekatnya, hubungan dengan daya tangkap manusia (berpikir, merasa dan mengindera). Epistemologi membahas tentang proses pengetahuan didapatkan menjadi suatu ilmu, prosedurnya, apakah pengetahuan itu benar, apakah "benar" itu, apa kriterianya, dan seterusnya. Axiologi menjawab pertanyaan tentang untuk apa ilmu itu dipergunakan, kaitan penggunaan itu dengan kaidah-kaidah moral, obyek yang ditelaah menurut pilihan secara moral, bagaimana kaitan metode operasional ilmu dengan norma-norma moral, dan sebagainya (Jujun, 1984: 34 35).

Demikianlah filsafat ilmu yang mengkaji tiga aspek hakikat ilmu itu sebagai pengetahuan ilmiah. Jadi, bukan hanya hakekat keilmuan itu yang dibahas oleh filsafat ilmu, melainkan juga nilai-nilai kepatutan dalam kaitan dengan ranah moral dan agama. FILSAFAT KOMUNIKASI dapat juga disebut sebagai penjabaran dari filsafat ilmu melalui tiga hakikatnya sebagai landasan filosofisnya. Aspek-apsek komunikasi sebagai ilmu pengetahuan, seperti fenomena komunikasi manusia (sebagai suatu obyek), bagaimana mendapatkan pengetahuan tentang komunikasi manusia sebagai ilmu secara benar atau berdasarkan cara-cara tertentu, dan untuk apa komunikasi manusia sebagai ilmu pengetahuan digunakan, dan berbagai ragam pertanyaan filsafat ilmu lainnya tentang komunikasi manusia sebagai sebuah obyek adalah merupakan ruang lingkup dan lokus filsafat komunikasi. Uraian sebagai penjabaran dapat dilihat dengan memulai pertanyaan: apa yang menjadi obyek telaah ilmu komunikasi? Pertanyaan ontologis ini tentu harus menjawab sejumlah pertanyaan yang merupakan pertanyaanpertanyaan ontologis seperti wujud dari obyek itu. Katakanlah pesan antar manusia sebagai obyek telaah ilmu komunikasi, apa hakikat pesan-pesan itu, bagaimana wujud pesan-pesan itu. Secara epistemologis, dalam cara tertentu yang memenuhi unsur-unsur ilmiah, pesan-pesan antar menusia ini disusun hingga menjadi sebuah ilmu pengetahuan. Lalu terakhir, apa-apa saja manfaat dan kegunaan ilmu komunikasi itu bagi kehidupan manusia. Jadi, filsafat komunikasi memberikan petunjuk-petunjuk mengenai bagaimana pengetahuan tentang pesan-pesan antar manusia itu dapat diwujudkan sebagai pengetahuan ilmiah. Sampai di sinilah batas kewenangan filsafat komunikasi. Selanjutnya, bagaimana komunikasi itu berkembang dan perkembangannya mengarah ke mana, itu menjadi tugas ilmu pengetahuan, alias tugas ilmu komunikasi itu sendiri. Filsafat komunikasi sesungguhnya bukan hanya penjabaran belaka dari filsafat ilmu untuk melegitimasi eksistensi ilmu komunikasi sebagai disiplin ilmu tersendiri yang dapat dibedakan dari ilmu-ilmu lainnya. Fenomena komunikasi manusia merupakan sentra bagi ilmu-ilmu tentang prilaku manusia. Oleh karena itu, kajian filsafat tentang komunikasi manusia juga sekaligus menjadi petunjuk bagi ilmu-ilmu lain yang menelaah perilaku manusia. [back to top] [Filsafat Komunikasi sangat erat kaitannya dengan metodologi penelitian. Coba saudara uraikan melalui faham-faham: a. Positive, b. Post-Positive, c. Kritis Kesemuanya harus jelas sumber dan asumsi-asumsinya.] Metode (metodologi) ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Metodologi ini secara filsafati termasuk dalam apa yang dinamakan epistemologi. Epistemologi membahas mengenai: Apakah sumber pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sejauh mana manusia mampu menangkap pengetahuan? (Jujun S. Suriasumantri, 1984: 119) Melalui filsafat komunikasi, dari komponen epistemologi, kita telah mengenal sejumlah metode dan model penelitian komunikasi selain teori-teori yang dilahirkan secara ontologis. Metode-metode tersebut dapat dipahami dengan menyimak tiga kelompok paham yang mengembangkan komunikasi secara falsafati. Positive(isme) Asumsi dasar positivisme tentang realitas adalah tunggal, dalam artian bahwa fenomena alam dan tingkah laku manusia itu terikat oleh tertib hukum. Fokus kajian-kajian positivis adalah peristiwa sebab-akibat (Deddy Mulyana, 2001: 25). Dalam hal ini, positivisme menyebutkan, hanya ada dua jalan untuk mengetahui: pertama, verifikasi langsung melalui data pengindera (empirikal); dan kedua, penemuan lewat logika (rasional).

Pendekatan metodologi yang positivis antara lain: empirisme, rasionalisme, behavioristik, behavioral, struktural, fungsionalisme, mekanistik, deterministik, reduksionis, sistemik, dan lain-lain. Para penggagas dan pengasuh metode positive ini antara lain Paul F. Lazarsfeld, Bernard Berelson, Robert K. Merton, Wilbur Schramm, Shannon dan Weaver, dan lain-lain. Mereka-mereka itulah yang komunitasnya dikenal dengan nama Mazhab Chicago. Metode peneltian komunikasi yang tercakup dalam paham antara lain: model mekanistis, model komunikasi Shannon dan Weaver, pendekatan behaviorisme, analisis isi klasik-kuantitatif, dan lainlain. Komponen-komponen pokok teori dan metodologi positivis adalah sebagai berikut: Metode penelitian: kuantitatif Sifat metode positivisme adalah obyektif. Penalaran: deduktif. Hipotetik Post-Positive(isme) [humanistik] Asumsi dasar post-positivie tentang realitas adalah jamak individual. Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tindak tunggal melainkan hanya bisa menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan. Fokus kajian post-positivis adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai ekspresi dari sebuah keputusan. Pendekatan metodologi penelitian kualitatif: interaksionisme simbolik, fenomenologi, etnometodologi, dramaturgi, hermeneutika, semiotika, teori feminisme, marxisme sartrian, teori kritis, pascastrukturalisme, dekonstruktivisme, teori paska-kolonialis, dan sebagainya (Deddy Mulyana dalam Eriyanto, 2002: IV). Aliran pemahanan ini berasal dari sejumlah ilmuan, antara lain: Max Weber, Charles Horton Cooley, George Hebert Mead, William I. Thomas, Ervin Goffman, dan lain-lain. Metode penelitian komunikasi yang tercakup dalam paham antara lain interaksionisme simbolik, analisis framing, analisis wacana, analisis semiotika, dan lain-lain. Komponen-komponen pokok teori dan metodologi post-positivis adalah sebagai berikut: Kritis Asumsi dasar paham kritisme adalah realitas didominasi oleh status quo. Maksdunya adalah, tidak ada aspek kehidupan yang bebas dari kepentingan, termasuk ilmu pengetahuan. Kesemuanya berada dalam dominasi status quo. Aliran pemahaman kritis diinspirasi oleh pemikiran Karl Marx. Namun paham kritisme ini hanya sedikit berbicara tentang Marxisme (Sasa Djuarsa S., 1994: 392-396). Faham kritisme merupakan merupakan pilar utama mazhab frankfurt. Selanjutnya ditindaklanjuti oleh Juergen Habermas (John B. Thompson, 2004: 487). Fokus kajian mazhab Frankfurt ini adalah sistem tindakan komunikasi manusia (teori tindakan komunikasi). Tokoh aliran ini antara lain: Max Horkheimer, Theodore Adorno, Hebert Markuz, Juergen Habermas, dan lain-lain. Metode penelitian dalam paham ini belum populer penggunaannya dalam penelitian komunikasi. Seperti dikemukakan oleh Habermas sendiri, diskusi tentang metode dan teori tindakan komunikasi adalah proses yang tidak pernah berakhir dan sama sekali belum sampai pada suatu konsensus (Juergen Habermas, 2004: vii). Metode penelitian: kualitatif Sifat metode post-positive: Subyektif Penalaran: Induktif. Interpretatif

Metode Penelitian : Analisis Sejarah Sosial (Social History Analysis) - Sifat metodologi: kritis - Penalaran: Dialektika - Meta-theoritical Discourse [back to top] [Bagaimana penerapan komponen-komponen Filsafat Ilmu, seperti ontologis, epistemologis, aksiologis, dan perspektif ke dalam Ilmu Komunikasi; Berikan contoh melalui fenomena-fenomena yang aktual di masing-masing komponen di atas!] ONTOLOGI atau metafisika umum adalah cabang filsafat ilmu yang mempelajari hakikat sesuatu (obyek) yang dipelajari ilmu tertentu. Cabang ini dijalankan untuk menghasilkan definisi, ruang lingkup, dan teori-teori tentang ilmu yang bersangkutan. Ontologi mempelajari hal-hal yang abstrak yang berkaitan dengan realitas (materi) yang ditelaah oleh ilmu pengetahuan sebagai obyek. Komunikasi (komunikasi manusia) merupakan realitas abstrak, yang dapat ditelaah dengan metode-metode postivistis tertentu. Dengan demikian, maka komunikasi dapat merupakan obyek dari pengalaman inderawi manusia. Hal ini berarti bahwa komunikasi adalah suatu pengetahuan yang dipelajari sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Hal-hal yang tercakup dalam komunikasi sebagai ilmu pengetahuan antara lain pesan-pesan (messages) antar manusia yang bersifat transmisional, transaksional, behavioris, dan interaksional. Dalam konteks ontologis inilah kemudian ilmuan-ilmuan komunikasi membangun definisi kerja tentang ilmu komunikasi. Dari definisi ini pula yang sekaligus mempertegas batas-batas pembeda ilmu komunikasi dengan ilmu-ilmu lainnya. Misalnya, secara etimologi, peristiwa di mana satu mesin saling berhubungan pesan dengan mesin-mesin lainnya melaui media kabel atau frekuensi dianggap bukan termasuk dalam lingkup kajian ilmu komunikasi karena tidak ada unsur manusia di dalamnya. Peristiwa ini dimasukkan ke dalam wilayah ilmu tentang gejala alam (fisika). Ada juga yang namanya komunikasi dengan tuhan dalam bentuk doa atau kegiatan ritual (sembahyang), tetapi hal ini tidak dicakup dalam obyek kajian komunikasi sebagai ilmu pengetahuan karena tiadanya instrumen penginderaan untuk membuktikan peristiwa itu. Kejadian ini lebih sebagai kejadian ilahiyah ketimbang sebagai kejadian ilmu pengatahuan. Pesan-pesan manusia sebagai realitas dapat dikenali menurut sifat-sifatnya. Salah satu sifat yang utama adalah realitas itu dapat dicerap oleh panca indera manusia (Onong 1993: 323). Dalam realitas ini, komunikasi akhirnya dapat menjeneralisasi realitas komunikasi sehingga realitas itu dapat dikonsepsi menjadi suatu teori tentang komunikasi manusia yang dapat menjelaskan berbagai fenomena (Nina Winangsih Syam, 2002). Di luar konteks realitas komunikasi manusia, realitas lain pun akan diperlakukan sama oleh cabang filsafat ini. Misalnya, kecenderungan perilaku manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya menurut cara-cara tertentu adalah sebuah realitas (realitas sosial). Realitas ini dapat dijangkau oleh pengalaman manusia sehingga dapat dibuktikan keberadaannya (being). Ketika kegiatan berpikir manusia menemukan hukum-hukum yang membingkai realitas itu bagaimana ia berkerja, maka itulah yang disebut pengetahuan Ekonomi. Materi dari realitas inilah yang kemudian mendasari pembuatan teori-teori dalam ilmu ekonomi, definisi tentang ilmu ekonomi itu sendiri sehingga dapat dibedakan dari ilmu-ilmu lainnya. Hal yang dapat dicatat dalam penjelasan tentan ontologi adalah bahwa cabang filsafat ini memungkinkan kegiatan mental manusia berpikir dapat menghasilkan pengetahuan, pengetahuan tentang sesuatu (being). EPISTEMOLOGI adalah cabang filsafat ilmu yang menyelidiki asal, sifat, metode, dan gagasan pengetahuan manusia. Singkatnya, cabang filsafat ilmu ini menjawab pertanyaan mengenai cara mendapatkan atau mencapai suatu pengetahuan tentang realitas sebagai sebuah ilmu. Secara etimologi, epistemologi berarti teori pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki manusia, seperti disebutkan sebelumnya, belumlah serta-merta menjadi ilmu (ilmiah). Sebab untuk menjadi ilmu, pengetahuan itu harus disusun secara benar, tidak serampangan atau spekulatif saja. Ketika kita bertanya bagaimana menyusun pengetahuan itu secara benar, maka kita telah mencoba bergerak di wilayah cabang filsafat ilmu yang disebut epistemologi. Landasan epistemologi ilmu adalah metode ilmiah (Suriasumantri, 1984: 105).

Komunikasi manusia sebagai realitas adalah merupakan pengetahuan. Disebut pengetahuan karena diperoleh dari kegiatan mental manusia (kesadaran) berpikir dan berkontemplasi tentang realitas itu. Agar dapat disebut sebagai pengetahuan ilmiah (ilmu pengetahuan), maka realitas ini sebagai pengetahuan harus disusun secara benar menurut metode tertentu. Dalam ilmu komunikasi, terdapat dua jenis metode **, yaitu postivistik dan postpositivistik. Metode yang menganut paradigma positivistik merupakan metode kuantitatif. Metode ini tertata secara linear. Perspektif behaviorisme dalam psikologi komunikasi sangat kental dengan pendekatan linear ini, dikenal dengan nama "S-R" (Sources and Receive). Paradigma postivistik inilah yang mendominasi metode riset ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, termasuk secara institusional masih mayoritas dalam penyusunan skripsi, tesis dan disertasi mahasiswa dan dosen ilmu komunikasi di tanah air (Deddy Mulyana, 2002). Inilah metode penelitian obyektif, atau dalam ilmu komunikasi disebut Perspektif Hukum Peliput (covering-law perspective). Banyak model dalam komunikasi yang dihasilkan oleh perspektif ini seperti teori informasi, teori jarum hipodermik, teori belajar sosial Albert Bandura, teori kultivasi, dan sebagainya. Metode yang menganut paradigma post-positivistik merupakan metode ilmiah yang melihat realitas tidak tunggal. Metode ini disebut metode penelitian kualitatif dengan pendekatan subyektif (intepretif). Contoh metode ini dalam ilmu komunikasi adalah interaksionisme simbolik, analisis wacana, analisis framing, dan sebagainya. Hingga belakangan ini, pengembangan ilmu komunikasi masih didominasi oleh metode postivistik-obyektif. Oleh karena itu, realitas komunikasi manusia tetap ditelaah secara kuantitatif dengan pendekatan linearobyektif. Pada intinya, cabang kedua filsafat ilmu ini memungkinkan pengetahuan manusia menyangkut realitas komunikasi manusia dapat dipelajari sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Pada kenyataannya, memang ilmu komunikasi sendiri telah mengembangkan berbagai model dan metode, sekalipun diakui belum ada teori umum (grand teori) yang dapat menjadi payung terhadap semua model dan motode dalam pendekatan komunikasi (Nina Winangsih Syam, 2002: 6). AKSIOLOGI adalah cabang filsafat ilmu yang mempelajari nilai-nilai. Nilai-nilai yang dipelajari oleh axiologi sebagai cabang filsafat ilmu adalah yang berkaitan dengan pengembangan dan kegunaan dari ilmu-ilmu itu. Materi pokok dalam axiologi adalah Apakah ilmu (ilmu pengetahuan) itu bebas nilai? Tesis umumnya adalah ilmu itu bebas nilai, bersifat netral, ilmu tidak mengenal sifat baik atau buruk, dan si pemilik pengetahuan itulah yang harus mempunyai sikap. Menurut Jujun S. Suriasumantri, pemanfaatan kekuasaan terbesar itu terletak pada sistem nilai si pemilik pengetahuan. Atau dengan perkataan lain, netralitas ilmu hanya terletak pada dasar epistemologisnya saja: alias, jika hitam maka hitam, dan jika putih maka putih; tanpa berpihak kepada siapapun juga selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan axiologis, ilmuan harus mampu menilai antara yang baik dan yang buruk, yang pada hakekatnya mengharuskan mereka menentukan sikap (Jujun S. Suriasumantri, 1992: 35). Pada situasi inilah, filsafat ilmu dengan aspek axiologisnya lalu mengembangkan kajian tentang nilai-nilai moral (agama dan kemanusiaan) dan etika (etika dan estetika) terhadap maksud dan tujuan serta suatu ilmu bagi kelangsungan hidup manusia. Tak dapat dipungkiri bahwa sumbangan ilmu pengetahuan dan teknologi (science and technology) bagi kehidupan umat manusia sangat besar. Contoh adalah pemanfaatan teknologi atom untuk menghasilkan energi listrik. Namun, selain manfaat untuk perdamaian itu, juga ilmuan dihadapkan pada realitas terbalik: bahwa tenaga atom itu juga dapat digunakan untuk membuat teknologi perang dengan daya penghacur yang massal (destruktif). Konteks penggunaan energi atom yang bermanfaat ganda tadi adalah pilihan-pilihan yang bernuansa moral bagi kalangan ilmuan. Dalam perkembangan ilmu komunikasi, kenyataan seperti itu pun juga dapat disaksikan dalam beberapa peristiwa dunia. Dalam Perang Dunia II, kajian komunikasi massa dan psikologi komunikasi sangat besar kontribusinya dalam program propaganda perang yang dijalankan oleh Nazi Jerman dan AS selaku pimpinan pasukan sekutu. Kedua pihak melakukan kontrol dan sensor terhadap berita-berita aktual tentang kenyataan obyektif di medan perang di Perancis (Normandia). Demikian juga, teknik retorika dan opini umum dimanfaatkan oleh penguasa sekutu untuk memanipulasi dukungan dari publik (rakyatnya) untuk meneruskan

perang yang akan terus menambah jumlah korban manusia dan peradaban dalam Perang Dunia II (Walter Lippman, 1991: 236-237). PERSPEKTIF adalah sebuah titik pandang, suatu cara mengkonseptualisasikan sebuah bidang studi. Konfigurasi suatu teori bergantung pada perspektif seorang teoritikus. Perspektif ini memandu seorang teoritkus dalam memilih apa yang akan dijadikan fokus dan apa yang akan ditinggalkan, bagaimana menerangkan prosesnya, dan bagaimana mengkonseptualisasikan apa yang diamati. Walaupun perspektif teoritikal dapat dikonseptualisasikan dalam berbagai cara, Littlejohn menyajikan empat jenis cara yang dinilainya memadai dalam pembahasan masalah kita ini (Dikutip dari Onong Uchjana Effendy, 1993: 333). Perspektif Behaviorisme Perspektif ini yang timbul dari psikologi mazhab perilaku atau mazhab behavioral, menakankan pada rangsangan dan tanggapan (stimulus dan response). Teori komunikasi yang menggunakan perspektif ini cenderung untuk menakankan pada cara bahwa seseorang dipengaruhi oleh pesan. Teori seperti ini cenderung untuk menyesuaikan diri kepada asumsiasumsi Pandangan Dunia I tadi, dan biasanya bersifat non aksional. Perspektif Transmisional Teori transmisional memandang komunikasi sebagai pengimiriman informasi dari sumber kepada penerima. Mereka menggunakan gerakan model linear dari suatu lokasi ke lokasi lain. Perspektif ini menekankan pada media komunikasi, waktu, dan unsur-unsur konsekuensional. Umumnya ini berdasarkan Pandangan Dunia I dengan asumsi non aksional. Perspektif Interaksional Perspektif ini mengakui bahwa para pelaku komunikasi secara timbal balik menanggapi satu sama lain. Apabila perspektif transmisional bersifat linear, perspektif interaksional bersifat sirkular. Umpan balik dan efek bersama merupakan kunci konsep. Teori seperti itu berdasarkan Pandangan dunia II yang mungkin aksional atau non aksional, bergantung pada derajat pikiran para pelaku komunikasi dalam peranannya sebagai pemilih aktif. Perspektif Transaksional Perspektif ini menekankan kegiatan saling beri. Ia memandang komunikasi sesuatu di mana pesertanya terlibat secara aktif. Teori perspektif transsaksional menakankan konteks. Dengan lain perkataan komunikasi dipandang situasional dan sebagai proses dinamis yang memenuhi fungsi-fungsi individual dan sosial. Perspektif ini menakankan holisme, yang membayangkan komunikasi sebagai proses saling menyampaikan makna. Teori transaksional cenderung menampilkan pandangan dunia II, dan menggunakan eksplanasi aksional. [back to top] [Perkembangan teori komunikasi sekarang sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, sehingga mampu menggeser teori-teori Komunikasi Antar Persona dan Teori-teori Komunikasi Massa menjadi baur. Bagaimana pendapat Anda? Uraikan secara sistematis dan melalui pendekatan komunikasi dengan media.] Teori-teori komunikasi dapat dibedakan ke dalam berbagai jenis menurut tujuan terntentu. Dalam ilmu-ilmu sosial, tujuan teori sosial adalah memprediksikan dan mengontrol fenomena sehingga dapat diukur kecenderungannya. Jenis-jenis teori yang diulas berikut ini sebelum berbicara tentang perkembangan teori komunikasi (massa), maka akan dikemukakan terlebih dahulu jenis-jenis teori komunikasi menurut tujuannya (Nurudin, 2003: 155 190), yakni: Teori Hypodermic Needle Theory

Audiens (Receiver/R) dalam teori ini dipandang bersikap pasif dan segala informasi yang diterima, dengan sendirinya juga audiens terpengaruhi sikapnya. Makanya teori ini disebut teori jaum hipodermik, karena daya serap audiens yang efektif seperti sedang menerima suntikan. Cultivation Theory Teori ini melihat masyarakat mempelajari budaya dan dunia kehidupan melalui layar televisi. Dari televisilah masyarakat mengembangkan norma-normanya. Cultural Imperialism Theory Asumsi dasarnya adalah bahwa dunia barat mendominasi peradaban dunia. Berarti pula, media barat mendominasi media di seluruh dunia. Dengan alasan tambahan bahwa media barat memilik potensi efek yang sangat besar. Media Equation Theory Asumsi teori ini menyamakan manusia dengan media. Media merupakan mitra komunikasi manusia, demikian juga sebaliknya. Spiral of Silence Theory Teori memandang adanya kecenderungan minoritas mengambil sikap diam di tengah situasi yang didominasi mayoritas. Diam dapat berarti, menyesuaikan pendapat dengan mayoritas atau menyembunyikan pendapat agar tidak terisolasi dalam kepungan mayoritas. Technological Determinism Theory Cara-cara manusia berkomunikasi akan mempengaruhi kehidupannya. Teknologi cukup berkembang mempengaruhi cara-cara manusia berkomunikasi. Tingkat kehidupan manusia menentukan teknologi yang dapat dicapainya. Diffusion of Innovation Theory Teori ini menempatkan orang yang memiliki informasi atau penemuan sebagai orang yang memiliki potensi mempengaruhi secara massal. Uses and Gratifications Theory Teori kegunaan dan kepuasan memandang pengguna media mempunyai kesempatan untuk menentukan pilihan-pilihan media sumber beritanya. Dalam hal ini, pengguna media berperan aktif dalam kegiatan komunikasi untuk memenuhi kepuasannya. Agenda Setting Theory Teori ini menetapkan titik temu antara asumsi media tentang kebutuhan publik akan informasi dan harapan publik terhadap informasi yang disajikan oleh media. Tetapi ini tidak selalu berhasil, dan yang kerap teradi adalah media mensetting pikiran khalayak. Media Critical Theory Teori ini seperti sejatinya teori kritis tetap konsisten dalam melihat media massa sebagai instrumen sosial. Media massa dianggap ikut melindungi status quo yang menyebabkan ketidakadilan sosial. Praktisi media membuat dirinya sengaja terbatas untuk melawan status quo.

Itulah jenis-jenis media yang dirangkum oleh Nurudin (2003) dari sejumlah sumber. Merujuk pada materi soal di atas, kemungkinan yang dimaksukan oleh soal tersebut mengenai pengaruh perkembangan teknologi terhadap perkembangan teori komunikasi adalah kontek Technological Determinism Theory atau teori determinisme teknologi. Teori determinisme teknologi mempunyai ide dasar, yakni bahwa perubahan yang terjadi pada berbagai macam cara berkomunikasi akan membentuk pula keberadaan manusia itu sendiri. Teknologi membentuk individu bagaimana cara berpikir, berperilaku dalam masyarakat. Dan teknologi tersebut akhirnya mengarahkan manusia untuk bergerak dari satu abad teknologi ke abad teknologi yang lain. Teori ini digagas oleh Marshall McLuhan pertama kali tahun 1962 dalam bukunya: "The Guttenberg Galaxy: The Making of Typographic Man". McLuhan berpikir bahwa budaya kita dibentuk oleh bagaimana cara kita berkomunikasi. Paling tidak, ada beberapa tahapan yang layak disimak untuk hal ini. Pertama, penemuan dalam teknologi komunikasi menyebabkan perubahan budaya; kedua, perubahan dalam jenis-jenis komunikasi akhirnya membentuk kehidupan manusia; dan ketiga, sebagaimana dikatakan McLuhan bahwa kita membentuk peralatan untuk berkomunikasi, dan akhirnya peralatan untuk berkomunikasi yang kita gunakan itu akhirnya membentuk atau mempengaruhi kehidupan kita sendiri" (Nurudin: 2003: 174). KOMUNIKASI MASSA adalah komunikasi antara komunikator dengan publik dengan empat tanda pokok: 1) bersifat tidak langsung, alias melalui media/channel, 2) Bersifat satu arah, artinya tidak ada interaksi antara komunikator dan komunikan, 3) Bersifat terbuka, artinya ditujukan kepada publik yang tidak terbatas dan anonim, dan 4) mempunyai publik yang secara geografis tersebar (Elizabeth-Noelle Neuman, 1973: 92). Menurut Jalaluddin Rakhmat (1984), karena perbedaan teknis, maka sistem komunikasi massa juga mempunyai karakteristik psikologis yang khas dibandingkan dengan sistem komunikasi interpesonal. Ini tampak pada pengendalian arus informasi, umpan balik, simulasi alat indera, dan proporsi unsur isi dengan hubungan. Tanda-tanda pokok dan karakter psikologis komunikasi massa akan ditinjau menurut perkembangan teknologi mutakhir dengan implikasi teoritis terhadap teori komunikasi antar persona dan komunikasi massa menjadi baur. Tanda pokok pertama adalah komunikasi bersifat tidak langsung atau dengan kata lain bermedia. Artinya proses komunikasi harus melalui mekanisme teknis, yakni media atau channel. Teknologi informasi sekarang memperkaya variasi media secara teknis dan kian menciptakan ketergantungan dalam proses komunikasi massa. Secara tegas, ruang pertemuan, lapangan, alat pengeras suara (microfon dan speaker) tidak dimaksudkan sebagai media atau channel dalam hal ini. Tentang varian media terhadap pilihan-pilihan pengunderaan akan dibahas secara terpisah. Perkembangan teknologi ini sekaligus berdampak pula pada tanda pokok kedua komunikasi massa, yaitu bersifat satu arah. Komunikasi massa yang berbasis cybernet (internet) memungkinkan terjalinnya komunikasi berlangsung dua arah antara komunikan dan komunikator. Pengaruh teknologi dalam hal ini sangat signifikan. Media komunikasi massa seperti ensiklopedia telah tersedia dalam format web browser dengan fasilitas akses langsung oleh pembaca sehingga dapat mengedit atau menambahkan salah satu naskah dalam eksiklopedia tersebut (misalnya http://www.wikipedia.org). Bandingkan dengan ensiklopedia yang kemas dalam bentuk cetak seperti yang ada selama ini. Proses sejenis ini dapat pula kita lihat pada fasilitas linking (hyperlink) dialog pada web browser internet yang telah dimiliki hampir semua media massa cetak (majalah dan surat kabar). Tanda pokok komunikasi massa yang ketiga dan keempatseperti juga tanda pokok pertamatidak mengalami pergeseran paradigma secara subtansial oleh kemajuan teknologi informasi. Justru information technology memperkuat dua tanda pokok komunikasi yang terakhir ini. Media massa yang berbasis media internet mempunyai komunikan yang jauh lebih anonim ketimbang publikasi yang berbasis cetak. Dalam konteks karakteristik psikologis, perkembangan teknologi tidak mengakibatkan pergeseran paradigmatikteoritik dalam komunikasi massa itu sendiri. Misalnya, pengendalian arus informasi Audiens (komunikan) tidak dapat mengintervensi komunikan dalam menata informasi yang dikirimkan. Alasan keterbatasan untuk intervensi adalah karena komunikasi ini berlangsung melalui media, di mana media itu sendiri terikat oleh ruang dan waktu untuk mengikutkan komunikan berpartisipasi dalam proses produksi pesan bersama komunikator.

Dengan adanya teknologi informasi seperti komputer yang berjaringan internet atau program interaktif televisi, maka audiens (komunikan) dapat terlibat secara langsung berkomunikasi dengan komunikator yang memproduksi pesan-pesan. Pembukaan akses telepon bagi pemirsa ke studio, memungkinkan komunikan dapat menentukan frekuensi isi suatu pemberitaan media televisi. Bahkan lebih dari itu; pemirsas (komunikan) pun dapat menyertakan liputannya sendiri misalnya dengan mengirimkan video cassette untuk disiarkan oleh stasiun. Hal ini pula menandai tradisi baru dalam feed-back antara komunitor dan komunikan dalam komunikasi massa akibat perkembangan teknologi yang berlangsung terus menerus. Pada awal hadirnya media cetak, komunikasi massa hanya memungkinkan komunikan menggunakan alat indera penglihatan saja, yakni membaca (komunikasi tertulis) dan melihat foto-foto yang disisipkan di tengah naskah. Perkembangan teknologi selanjutnya menghadirkan teknologi audio record, di mana komunikan dimungkinkan memfungsikan indera pendengaran untuk memperoleh informasi dari radio. Pertengahan abad ke-20, teknologi mencapai tingkatan di mana diciptakannya media komunikasi massa Televisi yang memungkinkan komunikan menggunakan indera pendengaran sekaligus indera penglihatan (menyimak gambar bergerak). Pencapaian teknologi informasi yang terakhir memungkinkan penghilatan tidak hanya untuk baca naskah belaka atau hanya untuk menyimak gambar bergerak, tetapi kedua-duanya sekaligus indera pendengaran. Perangkat komputer dengan berbagai macam software telah memfasilitasi pengideraan yang sudah hampir menyamai penginderaan dalam komunikasi interpersonal. Karakteristik psikologis yang khas dari komunikasi massa adalah proporsi unsur isi dengan hubungan. Sistem komunikasi massa mementingkan struktur unsur isi ketimbang unsur hubungan, berbeda terbalik dengan sistem komunikasi interpersonal. Pengaruh perkembangan teknologi hanya meningkatkan kapasitas storage isi komunikasi massa. KOMUNIKASI INTERPERSONAL dapat ditunjukkan dalam tujuh ciri (Alo Liliweri: 1991: 58): 1) Melibatkan perilaku melalui pesan verbal dan nonverbal; 2) Melibatkan pernyataan/ungkapan yang spontan, sripted, dan contrived, 3) bersifat dinamis, bukan statis, 4) Melibatkan umpan balik pribadi, hubungan interaksi, dan koherensi (pernyataan pesan yang harus berkaitan), 5) dipandu oleh tata aturan yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik, 6) Meliputi kegiatan dan tindakan, dan 7) Komunikasi antar pribadi melibatkan persuasi. Komunikasi interpersonal berlangsung dalam dua bentuk: komunikasi bermedia dan tidak bermedia, alias tatap muka. Komunikasi interpersonal bermedia antara lain melalui telepon, e-mail, surat pos, dan lain-lain. Komunikasi interpersonal yang tidak bermedia melibatkan seluruh instrumen penginderaan: mata untuk melihat, telinga untuk mendengar; hidung untuk membaui, tangan (kulit) untuk meraba, dan lida untuk merasa. Komunikasi antara pribadi yang berlangsung tanpa media jauh lebih komplit ketimbang yang berlangsung dengan media. Kaitan antara komunikasi interpesonal dengan kemajuan teknologi (khususnya teknologi informasi seperti komputer, internet, multimedia electronic device, dan sebagainya) dapat ditelusuri pada tujuh ciri komunikasi interpersonal itu sendiri. Sebagian besar dari tujuh ciri itu tidak mengalami pergeseran teoritis dan paradigmatik. Kecuali pada ciri keempat, melibatkan umpan balik pribadi, hubungan interaktif, dan koheren (pernyataan pesan berkait dan berkesinambungan). Komunikasi antarpribadi yang bermedia dapat menjelaskan ciri keempat ini, di mana media itu sendiri semi-inheren dengan perkembangan teknologi. Fasilitas yang ditawarkan oleh teknologi informasi misalnya, kerap menggiring tanggap (umpan balik) komunikasi interpersonal tidak lagi bersifat pribadi akibat begitu kompleksnya teknologi informasi. Kecenderungan menunjukkan bahwa karena teknologi informasi telah memangkas jarak dan waktu, akhirnya komunikasi interpersonal pun cerderung lebih berlangsung melalui media. Akibatnya pada umpan balik, sangat tergantung pada sifat media yang digunakan. Dari pemaparan tentang pengaruh signifikan perkembangan teknologi terhadap komunikasi interpersonal, hal yang penting dicatat dari kedua jenis komunikasi ini adalah aspek umpan balik dalam proses yang berlangsung pada dua jenis komunikasi tersebut. Pertama: media massa yang perkembangannya didukung oleh teknologi canggih menyebabkan sifatnya yang satu arah berubah menjadi interaktif dengan komunikan (khalayak). Kedua, sebaliknya pada komunikasi interpersonal yang bermedia, umpan balik yang sifatnya pribadi bergeser menjadi lebih terbuka dan umpan balik dan efektivitasnya sangat tergantung jenis teknologi media yang digunakan. [back to top]

[Bagaimana anda mampu mengaitkan antara tugas-tugas "book reading" dengan materi Filsafat Komunikasi?] Seperti telah dikemukakan sebelumnyadengan salah satu definisi filsafat oleh G.E. Moore bahwa filsafat adalah tentang segala hal, maka untuk kebutuhan menjawab pertanyaan yang terakhir ini, fokus pada kajian filsafat ilmu menjadi latar belakang. Maksudnya adalah bahwa berlajar tentang Filsafat Komunikasi berarti kita belajar tentang segala hal yang menyangkut seluruh ruang lingkup komunikasi manusia secara menyeluruh, mendalam (vestehen), dan spekulatif. "Book reading" merupakan lapangan yang sangat luas untuk mengembangkan khazanan keilmuan dalam mengembangkan ilmu komunikasi. Pertimbangannya adalah fenomena komunikasi merupakan sentra bagi ilmuilmu tentang perilaku manusia (Nina Winangsih Syam, 2002: 23). Willbur Schramm mengibaratkan komunikasi dengan kampung Bab elh-Dhra pada lebih kurang 5000 tahun silam. Tempat itu dikunjungi oleh setiap musafir karena kandungan air tawar yang dimiliki kampung itu. Demikian pula halnya komunikasi yang telah ditelaah dari berbagai ilmu (Jalaluddin Rakhmat, 1985: 6 7). Secara falsafati, ilmu komunikasi dapat ditelusuri awal muawal atau asalnya dari sejumlah akar ilmu pengetahuan. Ilmu-ilmu yang ikut memberi kontribusi atau yang telah mengkaji fenomena komunikasi antara lain: antropologi, biologi, ekonomi, sosiologi, linguistik, psikologi, politik, matematik, engineering, neurofisiologi, filsafat, dan sebagainya (Jalaluddin Rakhmat, 1985: 7). Nina Winangsih Syam menambahkan akar ilmu komunikasi tersebut melalui perspektif pohon komunikasi: Fisika dan Psikologi Sosial (Nina Winangsih Syam, 2002: 18). Mempelajari ilmu komunikasi secara menyeluruh, mendalam dan spekulatif, berarti mempelajari filsafat komunikasi. Karena sifatnya yang luas itulah, maka kajian filsafat komunikasi sebagai langkah penelusuran akar ilmu komunikasi membutuhkan referensi dalam berbagai varian dan jenisnya menurut ruang lingkup akar komunikasi itu sendiri. Ketersediaan buku-buku referensi tentang akar-akar ilmu komunikasi adalah hal yang mesti. Secara filosofis dan teoritis, misalnya, untuk mendalami psikologi sebagai akar ilmu komunikasi, maka penelaahan tentang perspektif-perspektif psikologi dan psikologi sosial misalnya, harus didukung oleh sejumlah hasil penelitian lapangan dan uji teoritis secara keilmuan. "Book reading" menyiapkan hampir semua tentang bahan-bahan itu.

Daftar Pustaka Baggini, Julian, 2003, Making Sense, Filsafat di Balik Headline Berita. Penerjemah, Nurul Qomariah; Editor, Eko Wijayanto; Penyelaras bahasa, M. Zain D.J. Jakarta: Teraju. Effendy, Onong Uchjana, 1993, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Eriyanto, 2002, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Kata pengantar: Deddy Mulyana. Yogyakarta: LKiS. Habermas, Juergen, 2004, Krisis Legitimasi. Penerjemah, Yudi Santoso; Penyunting: Muhammad Syukri dan Dede Nurdin. Yogyakarta: Penerbit Qalam. Liliweri, Alo, 1991, Komunikasi Antarpribadi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Lippman, Walter, 1998, Opini Umum. Kata pengantar baru oleh Michael Curtis; Kata pengantar edisi Indonesia, Mochtar Lubis; penerjemah, S. MaimoenEd. 1, Cet. 1.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Mulyana, Deddy, 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nurudin, 2003, Komunikasi Massa. Editor, Wina Ekamawati. Yogyakarta: Cespur. Rakhmat, Jalaluddin, 1985, Psikologi Komunikasi, Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sendjaja, S. Djuarsa, 1994, Materi Pokok Teori Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka. Suriasumantri, Jujun S., 1997, Ilmu Dalam Perspektif: sebuah kumpulan karangan tentang hakekat ilmu. Penyunting, Jujun S. SuriasumantriJakarta: Yayasan Obor Indonesia. ____________, 1984, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Syam, Nina Winangsih, 2002, Rekonstruksi Ilmu Komunikasi, Perspektif Pohon Komunikasi dan Pergeseran Paradigma Komunikasi Pembangunan dalam Era Globalisasi. Disampaikan sebagai bahan Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran Bandung pada tanggal 11 September 2002. Thompson, John B., 2004, Kritik Ideologi Global, Teori Sosial Kritis tentang Relasi Ideologi dan Komunikasi Massa. Penerjemah, Haaqul Yaqin; Penyunting, Endang Hartatik dan Arif Fahruddin. Yogyakarta: IRCiSoD.

Empat jenis yang dinilainya memadai dalam pembahasan perspektif, yaitu : 1. Perspektif Behavioristik (behavioristic perspective); Timbul dari psikologi mazhab perilaku atau behavioral, menekankan pada rangsangan dan tanggapan (stimulus dan response) yang cenderung menekankan pada cara bahwa orang dipengaruhi oleh pesan. 2. Perspektif Transmisional (transmissional perspective); Memandang komunikasi sebagai pengiriman informasi dari sumber kepada penerima, menggunakan gerakan model linier dari suatu lokasi ke lokasi lain. Menekankan pada media komunikasi, waktu dan unsur-unsur konsekuensial. 3. Perspektif Interaksional (interactional perspective); Mengakui bahwa para pelaku komunikasi secara timbal balik menanggapi satu sama lain. Umpan balik dan efek bersama merupakan kunci konsep. 4. Perspektif Transaksional (Transactional perspective); Menekankan kegiatan saling beri. Memandang komunikasi sesuatu di mana pesertanya terlibat secara aktif, menekankan konteks, proses dan fungsi. Komunikasi dipandang situasional dan sebagai proses dinamis yang memenuhi fungsi-fungsi individual dan sosial

Anda mungkin juga menyukai