Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH UJIAN AKHIR SEMESTER IV, S-1 REGULER TAHUN 2011-2012 MATA KULIAH PENGANTAR MEDIA DAN KAJIAN

BUDAYA RACISM IN VIDEO GAMES

Disusun oleh : Langitantyo Tri Gezar, 1006695085

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA Depok 2012

Gambar di samping cukup menunjukkan, bahwa rasisme juga menjadi bagian dari video game. Video game sebagai salah satu produk budaya sekaligus media (yang tergolong baru) banyak menampilkan stereotype dan representasi atas dunia nyata, walau terkadang stereotype dan representasi ini
Gambar 1: Video Game Protagonists

melenceng,

yang

justru

menimbulkan

permasalahan rasisme.

Seperti film, video game banyak menampilkan stereotype dan representasi yang rasis. Rasisme tersebut tidak hanya mengarah pada orang-orang kulit hitam, namun juga pada berbagai ras lainnya, seperti orang Jerman yang diidentikkan dengan Nazi fasis, orang Semit-Arab yang diidentikkan sebagai teroris, semua orang Asia Timur yang diasumsikan ahli Kung-fu, serta orang kulit merah (Indian) yang sering ditampilkan memakai bulu elang di kepala dan dekat dengan hal-hal mistis (dua judul terakhir banyak terlihat pada game bergenre fighting seperti Street Fighter dan Tekken). Ras-ras ini sering mendapat posisi subordinat dibandingkan dengan mayoritas orang kulit putih (terutama orang Amerika). Video game sebagai sebuah media memiliki bias-bias supremasi kulit putih (white supremacy). Custers Revenge (1982) dicatat sebagai video game rasis pertama. Video game yang dimainkan pada konsol Atari 2600 ini memiliki plot cerita yang berada di luar batas kewajaran video game di masanya. Game ini bercerita tentang General Custer; kulit putih yang telanjanghanya memakai topi, sepatu boot, dan a boner, yang harus melalui berbagai rintangan demi berhubungan seks dengan seorang perempuan asli Amerika (Native American) bernama Revenge. Di luar kritisisme atas konten seksual yang berlebihan ini, game ini juga mendapat kritik dari berbagai sudut karena keberadaan trivialisasi kekerasan seksual kepada warga asli Amerika. Game-game lainnya, seperti Ethnic Cleansing (2002) juga memiliki catatan buruk pada masalah rasisme. Game komputer buatan Resistance Records ini dituding memiliki spesialisasi sebagai Neo-Nazi dan supremasis
Gambar 2: Custer's Revenge (1982)

kulit

putih.

Selama

permainan,

protagonis

akan

membunuhi orang-orang kulit hitam dan Latinos, hingga tujuan akhir untuk membunuh seluruh etnis Yahudi demi mendominasi dunia. Pada game lainnya, Call of Duty dan Medal Honor juga mengarah pada rasisme dan mengandung bias

sejarah fasisme Nazi Jerman. Di sisi lain, Left 4 Dead dituding rasis karena mengambil setting New Orleans pasca Badai Katrina. Setting nyata ini dianggap sensitif karena menampilkan mayat-mayat korban bencana secara eksplisit dan juga mayat-mayat hidup (zombie) berkulit hitam yang harus dimusnahkan protagonis . Grand Theft Auto III dan IV adalah contoh lainnya yang lebih populer. GTA IV banyak menampilkan rasisme dan supremasi kulit putih yang sebenarnya secara umum diciptakan juga oleh lebih banyak game desainer mainstream lainnya, yang ditujukan untuk khalayak populer yang jauh lebih banyak daripada yang kita perkirakan. Masalah kekerasan, pornografi, dan rasisme dalam video game seringkali menarik perhatian yang disproporsional dibandingkan dengan media atau produk budaya lain. Hal disebabkan karena mereka adalah; video game, yang mediumnya adalah lensa kamera, yang dapat fokus dan melebihkan (amplifying) segalanyakekerasan, seks, prasangkadi balik nilai-nilai inherennya. Namun yang sering kita lupakan adalah; seberapa jauh kita merasakannya. Salah satu kasus rasisme yang mendapat sorotan luas adalah Resident Evil 5 (2009) (RE 5), yang dianggap mempromosikan stereotype rasial terhadap kelompok kulit hitam. Game buatan Capcom.Ltd yang dikenal di Jepang dengan judul Biohazard 5 ini bertempat di kota fiksional Kijuju, Afrika, di mana Anda akan bermain sebagai laki-laki Amerika kulit putih bernama Chris Redfield, dan juga sebagai perempuan kulit hitam Afrika bernama Sheva Alomar. Tujuan utama dari game ini adalah mencegah penyebaran virus zombie yang telah terlanjur menginfeksi ribuan orang di Afrika. Selama perjalanan, Anda harus melawan segerombolan zombie yang nyaris tak terhingga, yang ingin melanjutkan penyebaran virus. Karena penyebaran virus pertama terjadi di Afrika, maka tidak mengejutkan jika kebanyakan zombie adalah orang-orang kulit hitam. Video Game dalam Kajian Budaya Studi dan penelitian tentang video game terus berkembang dan semakin matang dari waktu ke waktu. Terdapat beberapa perspektif yang telah digunakan untuk mengkaji orientasi dan fenomena antara permainan (gameplay) dan pemain (players), salah satunya melalui kajian budaya (cultural studies) (Mayra, An Introduction to Game Studies, 2008).

Gambar 3: Analogi Rasisme RE 5 (2009)

Video game adalah wujud budaya media baru yang lahir dari perkembangan komputer, inovasi teknologi, dan proses kreatif yang eksponen. Popularitasnya yang terus menanjak juga turut membuat video game memiliki pengaruh signifikan terhadap kebudayaan pada masyarakat modern. Pengaruh ini dapat terbentuk secara kognitif dan behavioral/perilaku. Video game merupakan wujud media digital, maka video game dapat disebut pula sebagai digital game. Digital game adalah bentuk baru dari media, di mana terjadi interaksi yang tinggi antara pengguna (users) dengan media. Terry Flew dkk. (Games: Technology, Industry, Culture, 2005) menyebutkan bahwa tidak seperti media satu arah layaknya televisi, film, atau buku, digital game menempatkan penggunanya pada hubungan produktif. Dengan kata lain, pengguna memiliki kuasa penuh untuk menciptakan setiap kata dan tindakan mereka pada media digital game. Digital game juga menempatkan penggunanya pada posisi yang berkuasa. Pemain game (players) memiliki kekuasaan penuh untuk mengontrol aktor di dalam game. Flew (2005) melanjutkannya, the engangement comes because the player is the performer, and the game evaluates the performance and adapts to it. Pemain bebas untuk menentukan nasib aktor di dalam game, tidak hanya terpaku pada narasi, dan hal ini mengarah pada berbagai kemungkinan tak terbatas. Kemungkinankemungkinan ini juga dapat berbentuk percobaan genocide pada ras tertentu di dalam video game. Rasisme dalam video game, dibuat-buat maupun tidak, seakan-akan menjadi populer. Kita dapat melihat dengan menembus batasan pixel dan polygon dan menganalisis setiap kisah dibaliknya. Kisah-kisah ini ingin mendorong respon emosional di antara kita. Pengembang (developers) video game sekarang terus mencari setiap sudut pandang yang mereka pikir dapat membuat orang-orang membicarakan aspek kontroversial dari jalan cerita (stroyline), dari genosida dan perang antar ras, sampai sekadar praduga umum (general prejudice). Game rasis seperti menjadi pemikat (hook) yang baru. Rasisme dalam Kajian Ras dan etnisitas dipandang sebagai konstruksi performatif-diskursif dan merupakan ciptaan kultural yang sementara dan tidak stabil. Mereka bukanlah benda yang universal atau secara mutlak telah eksis. Identitas ras dan etnisitas (termasuk nasionalitas) tidak bersifat arbitrer karena distabilkan secara temporer oleh praktik-praktik sosial. Konsep ras mengacu pada karakteristik biologis dan fisik, yang diyakini menonjolkan pigmentasi warna kulit. Atribut-atribut ini dikaitkan dengan intelegensia dan kapabilitas, yang digunakan untuk membentuk hierarki sosial antar kelompok ras dalam

hubungan kekuasaansuperioritas material dan inferioritas/subordinasi. Sedangkan konsep ras hooks (1990) dan Gilroy (1987) dipandang bukan sebagai hasil kemutlakan kultural atau biologis, namun lebih kepada makna yang terkandung di dalamnya, yang mengarah pada isu-isu kekuasaan. Relasi-relasi kekuasaan dan hierarki inilah yang menjadi akar rasisme. Rasialisasi atau pembentukan ras memberi penekanan pada kekuasaan, kontrol, dan dominasi, kendati rasisme benar-benar merupakan suatu diskursus tentang perbedaan dan brutalitas (Jordan dan Weedon, 1995). Sisi kekuasaan, kontrol, dan dominasi ini terjadi melalui representasi yang menghasilkan stereotype dan prejudice. Terdapat konstruksi sistematis warga kulit hitam sebagai obyek, korban, dan masalah melalui ambivalensi representasi yang kasar dan ambigu. Representasi meliputi sejumlah pertanyaan inklusi dan eksklusi yang selalu berimbas pada soal kekuasaan. Representasi ini kerap kali memunculkan stereotype. Stereotype ditampilkan jelas dan menjadi representasi sederhana yang mereduksi keberadaan orangorang ke dalam serangkaian karakteristik yang dibesar-besarkan dan cenderung negatif. Pemberian ciri negatif kepada orang yang berbeda mengarah pada operasi kekuasaan dalam eksklusi orang lain dari tatanan simbol, simbolis, dan normal. Mereka yang distereotype-kan dikeluarkan dari tatanan normal, dan secara simultan menempatkan siapa kita dan siapa mereka. Stereotype telah mereduksi, mendasarkan, mengalamiahkan, dan mematok perbedaan (Hall, 1997c: h.258). Stereotype terjadi ketika seseorang mengkategorikan pengalaman terhadap kelompok lain dan membiarkan kategorisasi ini menjadi acuan perilaku mereka. Strereotype mengacu norma perilaku terhadap keseluruhan kelompok, bukan individu. Prejudice adalah perasaan yang kuat atau sikap-sikap terhadap kelompok sosial tertentu. Sedangkan rasisme adalah perluasan dari stereotype dan prejudice. Rasisme menjadi cara untuk menurunkan kepercayaan atas superioritas ras tertentu. Menolak konsep kesamaan dasar manusia dan korelasi keahlian dengan komposisi fisik. Rasisme mengasumsikan bahwa keberhasilan dan kegagalan dalam segala kehidupan sosial lebih tergantung pada turunan-turunan genetis ketimbang lingkungan dan akses kesempatan (Leone, 1987). Orang yang rasis (racists) akan sering melakukan diskriminasi terhadap orang dari ras lain. Di Inggris, Amerika, dan Australia, formasi historis ras adalah bentuk kekuasaan dan subordinasi, yang menempatkan masyarakat kulit berwarna secara struktural menempati posisi subordinat dalam segala dimensi, antara lain kesempatan hidup. West

(1992) berpendapat bahwa sejarah modern Amerika Serikat dimulai dengan perampasan wilayah dan genosida warga asli Amerika dan terus berlanjut hingga sejarah perbudakan. Media Amerika terlalu lama terlena di dalam dunia kulit putih, walaupun mungkin pernah memandang di luar dunia itu, namun tetap dengan mata laki-laki kulit putih dan perspektif kulit putih (Komisi Kerner, 1968: h.389). Media Amerika seakan-akan menunjukkan ketidakacuhan dan ketidakpedulian di kalangan kulit putih Amerika terhadap keadaan dunia di luar dirinya. Di negara Barat, warga kulit berwarna ditampilkan sebagai sekumpulan masalah, obyek, dan korban (Gilroy, 1987). Warga kulit hitam dikonstruksikan sebagai obyek sejarah yang dianggap tidak mampu mengerjakan aktivitas (malas) dan tidak mampu

mengendalikan nasib mereka sendiri. Mereka dianggap tidak mampu mengangkat peradaban kulit putih, sehingga paling baik diletakkan sebagai subordinat kulit putih. Mereka ditampilkan sebagai kebudayaan asing yang mengontaminasi dan sering menimbulkan masalah karena ditampilkan sering melakukan tindakan kriminal. Dialektika Rasisme dalam Video Game Dalam perdebatan rasisme Resident Evil 5, muncul pendapat-pendapat dan kritik rasisme yang mengarah pada penolakan konten game ini. Seperti Kym Platt, penulis di Black Looks, sebuah blog yang berdedikasi untuk mengeksplorasi isu-isu mengenai perempuan Afrika, yang mengajukan opini, This is problematic on so many levels, including the depiction of Black people as inhuman savages, the killing of black people by a white man in military clothing, and the fact that this video game is marketed to children and young adults. Start them young... fearing, hating, and destroying Black people. Platt melihat bahwa rasisme yang kental dalam video game adalah hal yang berbahaya, apalagi dalam bentuk genosida virtual. Pernyataan ini merujuk pada trailer Resident Evil 5 di Electronic Entertainment Expo (E3) 2007. Dari trailer
Gambar 4: Trailer RE 5 di E3 (2007)

ini,

banyak yang kulit

orang

mempertanyakan seorang dan

tayangan protagonis

memperlihatkan putih yang

menembaki

membunuhi musuh-musuh kulit hitam di sebuah desa terpencil di Afrika. Editor Newsweek, NCai Croal juga mengkritik,

"There was a lot of imagery in that trailer that dovetailed with classic racist imagery." Sedangkan pada trailer kedua game ini, yang dirilis pada 31 Mei 2008, diperlihatkan lebih banyak musuh dari berbagai kelompok ras, dan juga kehadiran Sheva, seorang agen BSAA yang membantu protagonis. Dalam preview di Eurogamer, Februari 2009, Dan Whitehead menunjukkan perhatian tentang kontroversi dari game yang muncul. Dia menjelaskan bahwa jalan cerita dan permainan yang berlangsung di Benua Hitam ini seperti memainkan game yang dibuat di era 1920-an, yang artinya sangat menunjukkan subordinasi orang-orang kulit hitam. Kehadiran tokoh Sheva seakan-akan hanya menambah masalah, bukannya memudahkan masalah rasisme yang ada. Pendapat lain diajukan oleh Glenn Bowman, dosen senior anropologi sosial di University of Kent, Canterbury, menyatakan bahwa Resident Evil 5 tidaklah rasis. Senada dengan Sue Clark, Kepala Komunikasi British Board of Film Classification (BBFC), yang juga menyatakan tidak ada masalah rasisme di sini. Walau terdapat pro dan kontra terkait isu rasisme, sang desainer, Jun Takeuchi, menolak bahwa komplain mengenai rasisme mempengaruhi perubahan desain awal Resident Evil 5. Takeuchi berkomentar bahwa kontroversi rasisme ini mengejutkan pihak produser. Pada sebuah wawancara di MTV, dia menjelaskan bahwa staff Capcom terdiri dari berbagai ras dan mengakui bahwa budaya-budaya berbeda mungkin memiliki opini berbeda mengenai trailer ini. Sedangkan pada wawancara dengan Computer and Video Games, produser Masachika Kawata berkomentar, "We can't please everyone. We're in the entertainment business we're not here to state our political opinion or anything like that. It's unfortunate that some people felt that way." Gambaran rasis (racist imagery) pada Resident Evil 5 secara murni tidak disengaja. Hanya orang-orang rasis yang menganggapnya demikian. Perusahaan besar seperti Capcom sepertinya tidak mungkin mengambil risiko besar dengan menempatkan diri pada posisi race inequality. Walaupun mungkin ada anggotanya yang rasis, Capcom tidak akan pernah mengizinkan pengaruh rasismenya terlihat pada karya mereka, dan ini juga ditujukan pada seluruh pengembang dan publisher mayor lainnya. Sebenarnya, semua game tidak harus diseimbangkan dengan pandanganpandangan multikulturalisme, multi-etnis, maupun keseimbangan seksualitas dan gender. Sejarah abad ke-19 di Inggris Raya, abad pertengahan Eropa, dan Amerika Serikat masa sekarang selalu memperlihatkan banyaknya orang-orang kulit putih di sekitar kita. Mengubah representasi ini melalui video game terkesan terlalu memaksakan. Kita tidak

perlu meminta keberagaman kelompok palsu di dalam game, maupun mengatakan bahwa Resident Evil 5 secara mendasar lebih baik jika ikon di dalamnya adalah (kita katakan) orang Asia ketimbang orang kulit putih. Tidak ada yang salah dari orang-orang kulit putih ini. Pengembang video game tidak perlu membuat game dengan memenuhi tuntutan akan fairness secara naif. Keberagaman dalam video game bagi banyak orang akan terasa baik untuk memenuhi rasa dan selera. Tidak lebih dari itu. Representasi di dalam ikon-ikon video game menjadi penting karena gamers membutuhkan karakter yang dapat mereka hubungkan dengan diri mereka. Untungnya, video game yang baru-baru ini dirilis semakin menunjukkan minoritas etnis yang lebih baik. Game Prey dapat menjadi contoh yang bagus, dengan kehadiran karakter-karakter pendukung seperti petugas teknis Korea, Jin Sun-Kwon dan tentara Delta Force berkulit hitam, Douglas Holiday, yang memberikan peran penting dalam F.E.A.R. (organisasi tempat protagonis berada). Alyx Vance dan ayahnya, Eli, dalam Half-Life 2 adalah Afrika-Amerika. Carl Johnson (CJ.) dan saudaranya, Sean, dalam Grand Theft Auto: San Andreas bahkan menjadi tokoh utama yang berkulit hitam. Sedangkan Deus Ex memiliki Tracer Tong, orang China yang berkepribadian solid. Telah terjadi perubahan-perubahan besar dalam tahun-tahun belakangan ini. Video game ikut merefleksikan hal tersebut. Industri game dan para pemainnya telah memang telah melakukan hal-hal buruk. Namun mereka juga telah berusaha melakukan hal-hal baik, untuk menolak rasisme yang terbukti buruk bagi peradaban manusia.

DAFTAR PUSTAKA : Barker, Chris. 2004. Cultural Studies: Theory and Practice. Second Edition. Thousand Oaks, California: SAGE Publications Ltd. Flew, Terry and Humphreys, Sal. 2005. Games: Technology, Industry, Culture. London: Oxford University Press. Samovar, Larry A., Porter, Richard E., and McDaniel, Edwin R. 2009. Communication Betweern Cultures, Seventh Edition. Canada: Wadsworth, Cengage Learning. Chalk, Andy. 2007. A Short History of Race in Games. http://www.escapistmagazine.com/articles/view/columns/the-needles/1353-A-ShortHistory-of-Race-in-Games, diakses pada 30 Mei 2012.

___. http://www.escapistmagazine.com/articles/view/columns/the-needles/1353-A-ShortHistory-of-Race-in-Games.2, diakses pada 30 Mei 2012. Goldstein, Hilary. 2009. Editorial: Is Resident Evil Racist. http://xbox360.ign.com/articles/953/953114p1.html, diakses pada 30 Mei 2012. Mayra, Frans. 2008. Gaming Culture at the Boundaries of Play. http://gamestudies.org/1001/articles/mayra, diakses pada 19 Maret 2012. Orona, Matthew. 2010. Does Racism Exist in Video Games. http://bitmob.com/articles/doesracism-exist-in-video-games, diakses pada 30 Mei 2012. Prince, Akuma. 2011. Is There Racism in Video Games??. http://pshomegazette.com/2011/09/22/is-there-racism-in-video-games/, diakses pada 30 Mei 2012. Southern, Matthew. 2001. The Cultural Study of Games: More Than Just Games. http://www.igda.org/articles/msouthern_culture, diakses pada 19 Maret 2012. Thibodeaux, Duke. 2012. Dont Be An Elf: Racism in Video Games. http://www.altergamer.com/racism-in-video-games/, diakses pada 30 Mei 2012. Young, Shamus. 2012. The Racism Blame Game. http://www.escapistmagazine.com/articles/view/columns/experienced-points/9489-TheRacism-Blame-Game, diakses pada 30 Mei 2012. The Racism in Video Games. A New Norm?. http://blog.chron.com/gamehacks/2009/07/racism-in-video-games-the-new-norm/, diakses pada 30 Mei 2012. http://www.stanford.edu/group/ccr/blog/2009/04/racism_in_video_games.html, diakses pada 30 Mei 2012. http://txstate.academia.edu/NicolasLaLone/Books/448068/Racism_in_Video_Gaming_Conn ecting_Extremist_and_Mainstream_Expressions_of_White_Supremacy, diakses pada 30 Mei 2012. Tema: Etnis, Ras, dan Bangsa Sub-Tema: Rasisme dan Representasi 2464 kata

Anda mungkin juga menyukai