Anda di halaman 1dari 30

Imunisasi, Investasi Kesehatan Masa Depan

Imunisasi merupakan investasi kesehatan masa depan karena pencegahan penyakit melalui imunisasi merupakan cara perlindungan terhadap infeksi yang paling efektif dan jauh lebih murah dibanding mengobati seseorang apabila telah jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Dengan imunisasi, anak akan terhindar dari penyakit infeksi berbahaya, maka mereka memiliki kesempatan beraktifitas, bermain, belajar tanpa terganggu masalah kesehatan. Namun demikian, sampai saat ini masih terdapat masalah-masalah dalam pemberian imunisasi, antara lain pemahaman orang tua yang masih kurang pada sebagian masyarakat, mitos salah tentang imunisasi, sampai jadwal imunisasi yang terlambat. Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan kerja sama lebih erat lagi antara masyarakat, orang tua, petugas kesehatan, pemerintah, LSM, maupun akademisi. Keberhasilan upaya imunisasi telah terbukti dapat menyelamatkan jiwa manusia dari penyakit infeksi berat seperti polio, difteri, pertusis, tetanus, campak, hepatitis, dll, dikatakan dr Badriul Hegar, Sp.A(K), Ketua Umum PP-IDAI. Pada kesempatan sama, dr Toto Wisnu Hendrarto, Sp.A, Ketua Panitia Simposium, mengatakan, Data terakhir WHO, terdapat kematian balita sebesar 1,4 juta jiwa per tahun akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, misalnya: batuk rejan 294.000 (20%), tetanus 198.000 (14%), campak 540.000 (38%). Di Indonesia sendiri, UNICEF mencatat sekitar 30.000-40.000 anak di Indonesia setiap tahun meninggal karena serangan campak, ini berarti setiap dua puluh menit seorang anak Indonesia meninggal karena campak." Dr.Theresia Sandra Dyah Ratih, Kasubdit Imunisasi Ditjen P2ML Kemenkes RI mengemukakan, Saat ini pemberian imunisasi untuk masyarakat dilakukan di tempattempat pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, klinik bersalin, puskesmas, posyandu, dan praktek dokter swasta. Setiap tahun dilayani imunisasi rutin kepada sekitar 4,5 juta (4.485.000) anak usia 0-1 tahun (diberikan vaksin BCG satu kali, polio empat kali, DPT/HB tiga kali dan campak pada usia 9 bulan satu kali), imunisasi BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah) campak dan Td (tetanus difteri) pada anak kelas satu, imunisasi Td (tetanus difteri) pada anak kelas dua dan tiga, dengan sasaran sekitar 12.521.944 anak sekolah (kelas satu sampai tiga), dan 4,9 juta (4.933.500) ibu hamil dari sekitar 74 juta (74.983.674) WUS (Wanita Usia Subur) untuk sasaran vaksin TT (Tetanus Toxoid). Sasaran tadi belum termasuk pemberian imunisasi tambahan (SIA/Supplement Immunization Activity), misalnya pelaksanaan PIN (Pekan Imunisasi Nasional) pada saat terjadi Kejadian Luar Biasa polio, crash program campak pada daerah risiko terjadi campak, imunisasi Td pada anak sekolah kelas empat, lima dan enam SD di daerahdaerah risiko terjadinya kejadian luar biasa penyakit difteri di Jawa Timur, lanjutnya. Lebih lanjut dikemukakan dr.Theresia, Untuk mencapai cakupan tinggi dan merata di setiap daerah, tentunya tidak bisa bekerja sendiri, sangat dibutuhkan kemitraaan dengan

pihak profesional seperti dengan para petugas medis lainnya. Perawat, bidan, dokter umum maupun para dokter anak untuk turut membantu memberikan pelayanan dan penjelasan pentingnya imunisasi kepada masyarakat. Hambatan program imunisasi antara lain karena geografis negara Indonesia terdiri dari pulau-pulau, ada yang sangat sulit dijangkau, sehingga pelayanan imunisasi tidak dapat dilakukan setiap bulan, perlu upaya-upaya khusus di daerah dan pendekatan luar biasa pada kawasan strategis, perkotaan, pedesaan dan khususnya kawasan terisolir untuk mencapai sasaran, kemitraan dengan program kesehatan lainnya seperti pelayanan KIA (Kesehatan Ibu dan Anak), gizi, UKS (Usaha Kesehatan Sekolah). Khususnya hambatan yang berupa rumor dan isu-isu negatif tentang imunisasi, maka kepada para profesional inilah kami mohon bantuannya untuk memberikan informasi bahwa vaksin yang disediakan pemerintah aman, telah melalui tahapan-tahapan uji klinik dan izin edar dari BPOM. Vaksin yang dipakai program imunisasi juga sudah mendapat pengakuan dari Badan International WHO dan lolos PQ (praqualifikasi). Imunisasi campak sebagai tolak ukur kelengkapan imunisasi, dimana cakupan imunisasi campak tahun 2009 dilaporkan mencapai 92,1%, masih belum merata, masih ada daerah kantong-kantong dengan cakupan imunisasi rendah sehingga dapat menimbulkan kejadian luar biasa. Cakupan imunisasi tahun ini yang telah dilaporkan sampai bulan Agustus/September baru mencapai 66,1%. Ke depan kita akan terus menggiatkan kampanye imunisasi supaya seluruh anak Indonesia mendapatkan pelayanan imunisasi lengkap, sehingga anak-anak Indonesia memiliki kekebalan terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, sehingga dapat menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan. Hal ini akan membantu percepatan pencapaian MDG-4. (Millenium Development Goal point 4), demikian dijelaskan dr Theresia. Sebagai penerus bangsa, anak Indonesia harus sehat secara fisik maupun mental. Imunisasi adalah pilihan terbaik untuk mencegah penyakit. Pemerintah dan orang tua berkewajiban memberi upaya kesehatan terbaik demi tumbuh kembang anak, dikatakan Prof DR dr Sri Rezeki S. Hadinegoro, Sp.A(K), Ketua Satgas Imunisasi IDAI. Terdapat beberapa hal yang menghalangi dilakukannya imunisasi pada bayi, antara lain sulitnya menjangkau populasi yang tidak dapat terakses fasilitas kesehatan, menolak imunisasi, imunisasi yang terlambat, imunisasi ulangan tidak diberikan, persepsi negatif terhadap imunisasi, bahkan pemikiran bahwa imunisasi dapat menyebabkan efek samping berbahaya, yang seharusnya orang tua lebih takut kepada penyakitnya daripada efek samping yang pada umumnya ringan, kegagalan vaksin-vaksin baru dan karena takut pada keamanan imunisasi, tambahnya. Hal yang penting diperhatikan adalah keteraturan dalam pemberian imunisasi. Jadwal disesuaikan dengan kelompok umur yang paling banyak terjangkit penyakit tersebut. Hasil beberapa penelitian melaporkan bahwa kadar kekebalan (antibodi) yang terbentuk pada bayi lebih baik daripada anak yang lebih besar, maka sebagian besar vaksin diberikan pada umur enam bulan pertama kehidupan. Beberapa jenis vaksin memerlukan

pemberian ulangan setelah umur satu tahun, untuk mempertahankan kadar antibodi dalam jangka waktu lama, ditekankan Prof Sri Rezeki. Sementara itu, Prof Dr dr IGN Gede Ranuh, Sp.A(K) mengatakan, Masyarakat seringkali sangat khawatir akan efek samping imunisasi seperti pegal-pegal dan demam daripada penyakitnya sendiri dan komplikasinya yang dapat menyebabkan kecacatan dan kematian. Misalnya anak yang terkena campak akan mengalami demam tinggi yang berpotensi menimbulkan kejang untuk anak yang mempunyai riwayat kejang demam dan dapat mengalami radang paru atau radang otak sebagai komplikasi campak. Sedangkan beratnya demam akibat imunisasi campak tidak seberapa apabila dibandingkan penyakitnya. Reaksi samping imunisasi dapat disebabkan faktor penyimpanan yang kurang memperhatikan sistem rantai dingin (cold chain), cara menyuntiknya karena ada vaksin yang harus disuntikkan ke dalam otot tapi ada juga yang ke lemak. Reaksi samping setelah imunisasi dapat ditemukan reaksi umum (sistemik) seperti demam ringan setelah imunisasi DPT. Demam itu sendiri adalah suatu reaksi tubuh ketika membentuk kekebalan. Untuk mengurangi rasa demam dan tidak nyaman bisa diberikan obat penurun panas, lanjutnya. "Masa depan bangsa Indonesia ditentukan anak-anak yang sehat. Anak-anak sehat akan menciptakan dunia yang sehat. Untuk itu, jagalah kesehatan anak-anak sejak dini dengan memberikan imunisasi, tutupnya. Dikutip dari Press Release Simposium: Imunisasi, Investasi Kesehatan Masa Depan pada tanggal 19 November 2010. (Pada tanggal 19-21 November 2010, Ikatan Dokter Anak Indonesia melalui Satgas Imunisasi IDAI dan bekerja sama dengan IDAI Cabang Jakarta menyelenggarakan Simposium mengenai imunisasi dengan tema: Imunisasi, Investasi Kesehatan Masa Depan.)

Imunisasi Dasar pada Bayi


Berikut adalah lima imunisasi dasar yang wajib diberikan sejak bayi:

Imunisasi BCG (Bacillus Calmette-Guerin) sekali untuk mencegah penyakit Tuberkulosis. Diberikan segera setelah bayi lahir di tempat pelayanan kesehatan atau mulai 1 (satu) bulan di Posyandu. Imunisasi Hepatitis B sekali untuk mencegah penyakit Hepatitis B yang ditularkan dari ibu ke bayi saat persalinan. Imunisasi DPT-HB 3 (tiga) kali untuk mencegah penyakit Difteri, Pertusis (batuk rejan), Tetanus dan Hepatitis B. Imunisasi ini pertama kali diberikan saat bayi berusia 2 (dua)

bulan. Imunisasi berikutnya berjarak waktu 4 minggu. Pada saat ini pemberian imunisasi DPT dan Hepatitis B dilakukan bersamaan dengan vaksin DPT-HB. Imunisasi polio untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit polio. Imunisasi Polio diberikan 4 (empat) kali dengan jelang waktu (jarak) 4 minggu. Imunisasi campak untuk mencegah penyakit campak. Imunisasi campak diberikan saat bayi berumur 9 bulan.

Efek samping Imunisasi


Imunisasi kadang mengakibatkan efek samping. Ini adalah tanda baik yang membuktikan vaksin betul-betul bekerja secara tepat. Efek samping yang biasa terjadi adalah sebagai berikut: 1. BCG: Setelah 2 minggu akan terjadi pembengkakan kecil dan merah di tempat suntikan. Setelah 23 minggu kemudian pembengkakan menjadi abses kecil dan kemudian menjadi luka dengan garis tengah 10 mm. Luka akan sembuh sendiri dengan meninggalkan luka parut kecil. 2. DPT: Kebanyakan bayi menderita panas pada sore hari setelah imunisasi DPT, tetapi panas akan turun dan hilang dalam waktu 2 hari. Sebagian besar merasa nyeri, sakit, merah atau bengkak di tempat suntikan. Keadaan ini tidak berbahaya dan tidak perlu mendapatkan pengobatan khusus, dan akan sembuh sendiri. Bila gejala tersebut tidak timbul, tidak perlu diragukan bahwa imunisasi tersebut tidak memberikan perlindungan, dan imunisasi tidak perlu diulang. 3. Polio: Jarang timbuk efek samping. 4. Campak: Anak mungkin panas, kadang disertai kemerahan 410 hari sesudah penyuntikan. 5. Hepatitis B: Belum pernah dilaporkan adanya efek samping.

1. CAMPAK Penyakit campak (Rubeola, Campak 9 hari, Measles) sangat menular, ditandai dengan demam, batuk, konjungtivitis (peradangan selaput ikat mata/konjungtiva) dan ruam kulit. Penyakit campak disebabkan infeksi virus campak golongan Paramyxovirus. Penularan virus campak terjadi karena menghirup percikan ludah penderita campak. Penderita campak bisa menularkan virus campak dalam waktu 2-4 hari sebelum timbulnya ruam kulit dan 4 hari setelah ruam kulit ada. Sebelum vaksinasi campak digunakan meluas, wabah campak terjadi setiap 2-3 tahun, terutama pada anak-anak usia pra-sekolah dan anak-anak SD. Jika seseorang pernah menderita campak, maka seumur hidupnya dia akan kebal terhadap campak.

Penyebab
Campak, rubeola, atau measles adalah penyakit infeksi yang sangat mudah menular (infeksius) sejak awal masa prodromal, yaitu kisaran 4 hari pertama sejak munculnya ruam. Campak disebabkan paramiksovirus (virus campak). Penularan virus campak terjadi melalui percikan ludah dari hidung, mulut maupun tenggorokan penderita campak (air borne disease). Masa inkubasi adalah 10-14 hari sebelum gejala campak muncul. Kekebalan terhadap campak diperoleh setelah vaksinasi dan infeksi aktif. Kekebalan pasif diperoleh seorang bayi yang lahir dari ibu yang telah kebal (berlangsung selama 1 tahun). Orang-orang yang rentan terhadap campak adalah: bayi berumur lebih dari 1 tahun, bayi yang tidak mendapatkan imunisasi campak, remaja dan dewasa muda yang belum mendapatkan imunisasi campak kedua.

Gejala
Gejala campak mulai timbul dalam waktu 7-14 hari setelah terinfeksi, yaitu berupa: badan panas, nyeri tenggorokan, hidung meler (coryza), batuk (cough), bercak Koplik, nyeri otot, mata merah (conjunctivitis). 2-4 hari kemudian muncul bintik putih kecil di mulut bagian dalam (bintik Koplik). Ruam (kemerahan di kulit) yang terasa agak gatal muncul 3-5 hari setelah timbulnya gejala di atas. Ruam campak bisa berbentuk makula (ruam kemerahan mendatar) maupun papula (ruam kemerahan menonjol). Pada awalnya ruam tampak di wajah, yaitu di depan dan di bawah telinga serta di leher sebelah samping. Dalam waktu 1-2 hari, ruam menyebar ke batang tubuh, lengan dan tungkai, sedangkan ruam di wajah mulai memudar. Pada puncak penyakit campak, penderita merasa sangat sakit, ruamnya meluas serta suhu tubuhnya mencapai 40o Celsius. 3-5 hari kemudian suhu tubuhnya turun, penderita campak mulai merasa baik dan ruam yang tersisa segera menghilang. Demam, kecapaian, pilek, batuk dan mata radang dan merah selama beberapa hari, diikuti dengan ruam jerawat merah yang mulai pada muka dan merebak ke tubuh dan ada selama 4 hingga 7 hari.

Komplikasi
Pada anak yang sehat dan gizinya cukup, campak jarang berakibat serius. Beberapa komplikasi yang bisa menyertai campak:

Infeksi bakteri : pneumonia dan infeksi telinga tengah. Kadang terjadi trombositopenia (penurunan jumlah trombosit), sehingga penderita mudah memar dan mudah mengalami perdarahan.

Ensefalitis (inteksi otak) terjadi pada 1 dari 1.000 kasus. Diagnosa Diagnosis campak ditegakkan berdasarkan gejala dan ruam kulit khas. Pemeriksaan lain yang mungkin perlu dilakukan: pemeriksaan darah, pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan IgM anti campak. Pemeriksaan komplikasi campak:

Enteritis Ensephalopati Bronkopneumoni Pengobatan Tidak ada pengobatan khusus untuk campak. Anak sebaiknya menjalani tirah baring. Untuk menurunkan demam, diberikan asetaminofen atau ibuprofen. Jika terjadi infeksi bakteri, diberikan antibiotik. Selain itu, penderita campak juga disarankan istirahat minimal 10 hari dan makan makanan bergizi agar kekebalan tubuh meningkat. Pencegahan Vaksin campak merupakan bagian imunisasi rutin pada anak-anak. Vaksin campak biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi dengan gondongan dan campak Jerman (vaksin MMR/mumps, measles, rubella), disuntikkan pada otot paha atau lengan atas. Jika hanya mengandung campak, vaksin diberikan pada umur 9 bulan. Dalam bentuk MMR, dosis pertama diberikan pada usia 12-15 bulan, dosis kedua diberikan pada usia 46 tahun. Waktu Inkubasi Waktu terpapar sampai kena penyakit campak: 10 sampai 12 hari hingga gejala pertama, dan 14 hari hingga ruam muncul. Waktu pengasingan yang disarankan Disarankan selama sekurang-kurangnya 4 hari setelah ruam muncul. Orang dekat dan tidak mempunyai kekebalan seharusnya tidak menghadiri sekolah atau bekerja selama 14 hari.

2. Vaksin DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) Difteri


Penyakit difteri disebabkan bakteri Corynebacterium Diphtheriae. Difteri mudah menular, menyerang terutama saluran napas bagian atas, dengan gejala demam tinggi, pembengkakan amandel (tonsil) dan terlihat selaput putih kotor yang makin lama makin membesar dan dapat menutup jalan napas. Racun difteri dapat merusak otot jantung, berakibat gagal jantung. Penularan bakteri difteri umumnya melalui udara (batuk/bersin). Selain itu, bakteri difteri dapat menular melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Pencegahan difteri paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus dan pertusis (vaksinasi DPT) sebanyak 3 kali sejak bayi berumur 2 bulan dengan selang penyuntikan 1-2 bulan. Pemberian imunisasi DPT akan memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus. Efek samping imunisasi DPT yang mungkin timbul adalah demam, nyeri dan bengkak pada permukaan kulit. Cara mengatasinya cukup diberikan obat penurun panas.

Pertusis
Penyakit pertusis atau batuk rejan atau Batuk Seratus Hari disebabkan bakteri Bordetella Pertussis. Gejala pertusis khas yaitu batuk terus menerus, sukar berhenti, muka menjadi merah atau kebiruan dan muntah kadang-kadang bercampur darah. Batuk pertusis diakhiri tarikan napas panjang dan dalam dan berbunyi melengking. Penularan bakteri pertusis umumnya melalui udara (batuk/bersin). Bakteri pertusis juga dapat menular melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Pencegahan pertusis paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus dan difteri (vaksinasi DPT) sebanyak 3 kali sejak bayi berumur 2 bulan dengan selang penyuntikan 1-2 bulan.

Tetanus
Penyakit tetanus berbahaya karena mempengaruhi sistem urat saraf dan otot. Gejala tetanus diawali dengan kejang otot rahang (trismus atau kejang mulut), pembengkakan, rasa sakit dan kejang di otot leher, bahu atau punggung. Kejang-kejang segera merambat ke otot perut, lengan atas dan paha. Neonatal tetanus umum terjadi pada bayi baru lahir. Neonatal tetanus menyerang bayi baru lahir karena dilahirkan di tempat kotor dan tidak steril, terutama jika tali pusar terinfeksi. Neonatal tetanus menyebabkan kematian bayi dan banyak terjadi di negara berkembang. Di negara-negara maju, dimana kebersihan dan teknik melahirkan sudah maju, tingkat kematian akibat neonatal tetanus dapat ditekan. Selain itu, antibodi dari ibu kepada jabang bayinya juga mencegah neonatal tetanus.

Infeksi tetanus disebabkan bakteri Clostridium Tetani yang memproduksi toksin tetanospasmin. Tetanospasmin menempel di area sekitar luka dan dibawa darah ke sistem saraf otak dan saraf tulang belakang, sehingga terjadi gangguan urat saraf, terutama saraf yang mengirim pesan ke otot. Infeksi tetanus terjadi karena luka terpotong, terbakar, aborsi, narkoba (misalnya memakai silet untuk memasukkan obat ke dalam kulit) maupun frostbite. Walaupun luka kecil bukan berarti bakteri tetanus tidak dapat hidup di sana. Sering kali orang lalai, padahal luka sekecil apapun dapat menjadi tempat bakteri tetanus berkembang biak. Periode inkubasi tetanus terjadi dalam waktu 3-14 hari dengan gejala mulai timbul di hari ketujuh. Gejala neonatal tetanus mulai pada dua minggu pertama kehidupan seorang bayi. Walaupun tetanus berbahaya, jika cepat didiagnosa dan mendapat perawatan benar, penderita tetanus dapat disembuhkan. Penyembuhan tetanus umumnya terjadi selama 4-6 minggu. Tetanus dapat dicegah dengan pemberian imunisasi sebagai bagian vaksinasi DPT. Setelah lewat masa kanak-kanak, imunisasi tetanus terus dilanjutkan walaupun telah dewasa, dengan vaksin TT (Tetanus Toxoid). Dianjurkan imunisasi tetanus setiap interval 5 tahun: 25, 30, 35 dst. Wanita hamil sebaiknya mendapat imunisasi tetanus dan melahirkan di tempat bersih dan steril.

3. HEPATITIS A
Penyakit hepatitis A disebabkan virus hepatitis A, biasa ditularkan melalui makanan dan minuman yang telah tercemar kotoran/tinja penderita hepatitis A (fecal-oral), bukan melalui aktivitas seksual atau kontak darah. Hepatitis A paling ringan dibanding hepatitis jenis lain (B dan C). Hepatitis B dan C disebarkan melalui media darah dan aktivitas seksual, dan lebih berbahaya dibanding hepatitis A.

Masa Inkubasi
Waktu terekspos sampai kena penyakit hepatitis A kira-kira 2 sampai 6 minggu. Penderita hepatitis A akan mengalami gejala-gejala seperti demam, lemah, letih, dan lesu. Pada beberapa kasus hepatitis A, terjadi muntah-muntah terus menerus sehingga menyebabkan seluruh badan terasa lemas. Demam hepatitis A adalah demam terus menerus, tidak seperti demam lainnya yaitu pada demam berdarah, TBC, Typhus, dll.

Gejala
Seringkali tidak ada gejala hepatitis A bagi anak kecil; demam tiba-tiba, hilang nafsu makan, mual, muntah, penyakit kuning (kulit dan mata menjadi kuning), air kencing berwarna tua, tinja pucat. Hepatitis A dapat dibagi menjadi 3 stadium: (1) pendahuluan (prodromal) dengan gejala letih, lesu, demam, kehilangan selera makan dan mual; (2) stadium dengan gejala kuning (stadium ikterik); dan (3) stadium kesembuhan (konvalesensi). Gejala kuning tidak selalu ditemukan. Untuk memastikan diagnosis hepatitis A, dilakukan pemeriksaan enzim hati, SGPT, SGOT. Karena pada hepatitis A

juga bisa terjadi radang saluran empedu, maka pemeriksaan gama-GT dan alkali fosfatase dapat dilakukan di samping kadar bilirubin.

Masa pengasingan yang disarankan


Selama 2 minggu setelah gejala pertama atau 1 minggu setelah penyakit kuning muncul. Pasien hepatitis A disarankan menjaga kebersihan.

Pencegahan
Penularan virus hepatitis A dicegah dengan menjaga kebersihan perorangan seperti mencuci tangan dengan teliti; orang yang dekat dengan penderita mungkin memerlukan terapi imunoglobulin. Imunisasi hepatitis A bisa dilakukan dalam bentuk vaksin hepatitis A sendiri (Havrix) atau bentuk kombinasi dengan vaksin hepatitis B (Twinrix). Imunisasi hepatitis A dilakukan dua kali, yaitu vaksinasi dasar dan booster yang dilakukan 6-12 bulan kemudian, sementara imunisasi hepatitis B dilakukan tiga kali, yaitu dasar, satu bulan dan 6 bulan kemudian. Imunisasi hepatitis A dianjurkan bagi orang yang potensial terinfeksi seperti penghuni asrama dan mereka yang sering jajan di luar rumah.

4. HEPATITIS B
Penyakit hepatitis B disebabkan virus hepatitis B (VHB), anggota family Hepadnavirus. Virus hepatitis B menyebabkan peradangan hati akut atau menahun, yang pada sebagian kasus berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Hepatitis B mula-mula dikenal sebagai "serum hepatitis" dan telah menjadi epidemi pada sebagian Asia dan Afrika. Hepatitis B telah menjadi endemik di Tiongkok dan berbagai negara Asia. Penyebab hepatitis ternyata tak semata-mata virus. Keracunan obat dan paparan berbagai macam zat kimia seperti karbon tetraklorida, chlorpromazine, chloroform, arsen, fosfor, dan zat-zat lain yang digunakan sebagai obat dalam industri modern, juga bisa menyebabkan hepatitis. Zat-zat kimia ini mungkin saja tertelan, terhirup atau diserap melalui kulit penderita. Menetralkan racun dalam darah adalah pekerjaan hati. Jika terlalu banyak zat kimia beracun masuk ke dalam tubuh, hati bisa rusak sehingga tidak dapat lagi menetralkan racun-racun lain.

Diagnosis
Dibandingkan virus HIV, virus hepatitis B (HBV) seratus kali lebih ganas dan sepuluh kali lebih menular (infectious). Kebanyakan gejala hepatitis B tidak jelas terlihat. Hepatitis B kronis merupakan penyakit nekroinflamasi kronis hati yang disebabkan infeksi virus hepatitis B persisten. Hepatitis B kronis ditandai dengan HBsAg positif (>6 bulan) di dalam serum, tingginya kadar HBV DNA dan berlangsungnya proses

nekroinflamasi kronis hati. Carrier HBsAg inaktif diartikan sebagai infeksi HBV persisten hati tanpa nekroinflamasi. Sedangkan hepatitis B kronis eksaserbasi adalah keadaan klinis yang ditandai dengan peningkatan intermiten ALT>10 kali batas atas nilai normal (BANN). Diagnosis infeksi hepatitis B kronis didasarkan pada pemeriksaan serologi, petanda virologi, biokimiawi dan histologi. Secara serologi, pemeriksaan yang dianjurkan untuk diagnosis dan evaluasi infeksi hepatitis B kronis adalah : HBsAg, HBeAg, anti HBe dan HBV DNA. Pemeriksaan virologi, dilakukan untuk mengukur jumlah HBV DNA serum, sangat penting karena dapat menggambarkan tingkat replikasi virus hepatitis B. Pemeriksaan biokimiawi yang penting untuk menentukan keputusan terapi adalah kadar ALT. Peningkatan kadar ALT menggambarkan adanya aktivitas nekroinflamasi. Oleh karena itu, pemeriksaan ini dipertimbangkan sebagai prediksi gambaran histologi. Pasien dengan proses nekroinflamasi menunjukkan kadar ALT lebih berat dibandingkan pada ALT normal. Pasien dengan kadar ALT normal memiliki respon serologi kurang baik pada terapi antiviral. Oleh sebab itu pasien dengan kadar ALT normal dipertimbangkan untuk tidak diterapi, kecuali bila hasil pemeriksaan histologi menunjukkan proses nekroinflamasi aktif. Sedangkan tujuan pemeriksaan histologi adalah untuk menilai tingkat kerusakan hati, menyisihkan diagnosis penyakit hati lain, prognosis dan menentukan manajemen anti viral. Gejala hepatitis B umumnya ringan. Gejala hepatitis B dapat berupa selera makan hilang, rasa tidak enak di perut, mual sampai muntah, demam ringan, kadang-kadang disertai nyeri sendi dan bengkak pada perut kanan atas. Setelah satu minggu akan timbul gejala utama seperti bagian putih mata tampak kuning, kulit seluruh tubuh tampak kuning dan air seni berwarna seperti teh. Ada 3 kemungkinan tanggapan kekebalan tubuh terhadap virus hepatitis B pasca periode akut. Kemungkinan pertama, jika tanggapan kekebalan tubuh adekuat, maka akan terjadi pembersihan virus hepatitis B, pasien sembuh. Kedua, jika tanggapan kekebalan tubuh lemah, maka pasien tersebut akan menjadi carrier hepatitis B inaktif. Ketiga, jika tanggapan tubuh bersifat intermediate (antara dua hal di atas), maka penyakit terus berkembang menjadi hepatitis B kronis.

Penularan
Hepatitis B merupakan bentuk hepatitis yang lebih serius dibandingkan dengan jenis hepatitis lainnya. Penderita hepatitis B bisa dari semua golongan umur.

Ada beberapa cara penularan virus hepatitis B:


Secara vertikal, penularan terjadi dari ibu pengidap virus hepatitis B kepada bayi yang dilahirkan, yaitu pada saat persalinan atau segera setelah persalinan. Secara horisontal, dapat terjadi akibat penggunaan alat suntik yang tercemar, tindik telinga, tusuk jarum, transfusi darah, penggunaan pisau cukur dan sikat gigi secara bersama-sama (Hanya jika penderita hepatitis B memiliki penyakit mulut (sariawan, gusi berdarah, dll) atau luka yang mengeluarkan darah) serta hubungan seksual dengan penderita hepatitis B.

Sebagai antisipasi, biasanya darah-darah dari pendonor dites terlebih dulu apakah reaktif terhadap hepatitis, sipilis dan HIV. Sesungguhnya, tidak semua yang positif hepatitis B perlu ditakuti. Dari hasil pemeriksaan darah, dapat terungkap apakah ada riwayat pernah kena hepatitis B dan sekarang sudah kebal, atau bahkan virus hepatitis B sudah tidak ada lagi. Bagi pasangan yang hendak menikah, dianjurkan memeriksakan pasangannya untuk mencegah penularan hepatitis B.

Perawatan
Infeksi virus hepatitis B menyebabkan sel-sel hati mengalami kerusakan sehingga hati tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Umumnya, sel-sel hati dapat tumbuh kembali dengan sisa sedikit kerusakan, tetapi penyembuhannya memerlukan waktu berbulan-bulan dengan diet dan istirahat cukup. Hepatitis B akut umumnya sembuh. Hanya 10% menjadi hepatitis B kronik (menahun) dan berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Saat ini beberapa perawatan hepatitis B kronis dapat meningkatkan kesempatan hidup bagi penderita hepatitis B. Perawatannya tersedia dalam bentuk antiviral seperti lamivudine dan adefovir dan modulator sistem kebal seperti Interferon Alfa (Uniferon). Selain itu, ada juga pengobatan tradisional hepatitis B. Tumbuhan obat atau herbal yang digunakan untuk mencegah dan membantu pengobatan hepatitis di antaranya mempunyai efek hepatoprotektor, yaitu melindungi hati dari pengaruh zat toksik yang merusak sel hati, juga bersifat anti radang, kolagogum dan khloretik, yaitu meningkatkan produksi empedu oleh hati. Beberapa jenis tumbuhan obat untuk pengobatan hepatitis, antara lain temulawak, kunyit, sambiloto, meniran, daun serut/mirten, jamur kayu/lingzhi, akar alang-alang, rumput mutiara, pegagan, buah kacapiring, buah mengkudu, jombang.

Pencegahan
Penularan virus hepatitis B dicegah dengan memelihara gaya hidup bersih sehat, misalnya menghindari narkotika, tato, tintik badan, hubungan homoseksual, hubungan seks multi partner. Selain itu, pencegahan paling efektif terhadap hepatitis B adalah dengan imunisasi (vaksinasi) hepatitis B. Imunisasi hepatitis B dilakukan tiga kali, yaitu bulan pertama, dua bulan dan enam bulan kemudian. Imunisasi hepatitis B dianjurkan bagi setiap orang dari semua golongan umur. Kelompok yang paling membutuhkan imunisasi hepatitis B yaitu bayi baru lahir, orang lanjut usia, petugas kesehatan, penderita penyakit kronis (seperti gagal ginjal, diabetes, jantung koroner), pasangan yang hendak menikah, wanita pra kehamilan.

5. Haemophilus Influenza type B (Hib)


Penyakit Hib disebabkan bakteri Haemophilus Influenza type B (Hib). Hib biasa menyerang anak di bawah 5 tahun. Anak-anak dapat tertular bakteri Hib dari anak lain yang sakit atau orang dewasa yang membawa bakteri Hib, namun tidak sakit. Kuman tertular melalui kontak dengan penderita Hib. Jika bakteri Hib berada di rongga hidung atau tenggorokan, mungkin tidak menyebabkan sakit. Namun bakteri Hib dapat masuk ke paru-paru dan peredaran darah dan menyebabkan penyakit serius. Sebelum ditemukannya vaksin Hib, penyakit Hib merupakan penyebab utama radang selaput otak (meningitis) pada anak di bawah 5 tahun. Meningitis menyebabkan kerusakan otak dan medulla spinalis. Hib juga menyebabkan pneumonia, infeksi berat di tenggorokan, infeksi pada persendian, tulang dan selaput jantung, bahkan kematian. Anak-anak perlu mendapatkan vaksinasi Hib pada usia: 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 12-15 bulan. Anak di atas 5 tahun tidak perlu mendapatkan vaksin Hib. Namun dalam kondisi tertentu, vaksinasi Hib perlu diberikan, seperti penderita sickle cell, HIV, pengangkatan limpa, transplantasi sumsum tulang atau penderita kanker yang sedang menjalani kemoterapi. Vaksin Hib beresiko menimbulkan efek samping ringan. Berikut efek samping vaksinasi Hib yang pernah dilaporkan: merah dan bengkak di tempat penyuntikan dan demam tinggi. Keluhan tersebut biasanya hilang sendiri dalam 2-3 hari.

6. HUMAN PAPILOMA VIRUS Virus HPV (Human Papilloma Virus) sangat umum dijumpai di seluruh dunia. Virus HPV berbasis DNA dan stabil secara genetis. Stabilitas genetik ini berarti infeksi virus HPV dapat dicegah melalui vaksinasi HPV untuk jangka waktu lama.

HPV Penyebab Kanker Serviks


Kanker serviks (leher rahim) disebabkan infeksi virus HPV tipe onkogenik (berpotensi menyebabkan kanker). Telah terbukti bahwa HPV merupakan penyebab utama kanker serviks. Angka prevalensi karsinoma serviks di dunia adalah 99,7%.

HPV Onkogenik
Setiap wanita berisiko terhadap infeksi virus HPV onkogenik, yang dapat mengakibatkan kanker serviks (leher rahim). Kurang lebih 100 tipe virus HPV telah teridentifikasi. 40

tipe virus HPV menyerang wilayah genital. Dari 40 tipe tersebut, 15 virus HPV merupakan tipe onkogenik dan dapat menyebabkan kanker serviks atau lesi pra kanker pada permukaan serviks. Secara global, virus HPV tipe 16 dan 18 menyebabkan 70% dari seluruh kejadian kanker serviks. Selain itu, virus HPV tipe 45 dan 31 menduduki urutan ketiga dan keempat tipe HPV penyebab kanker serviks. Tipe 16, 18, 45 dan 31 secara bersamaan bertanggung jawab atas 80% kejadian kanker serviks di seluruh dunia.

Penularan HPV
Setiap wanita berisiko terkena infeksi virus HPV onkogenik yang dapat menyebabkan kanker serviks (leher rahim). Virus HPV dapat dengan mudah ditularkan melalui aktivitas seksual. Penularan virus HPV tidak membutuhkan penetrasi seksual. Cukup melalui sentuhan kulit di wilayah genital (skin to skin genital contact) saja, virus HPV sudah bisa menular. Dengan demikian, setiap wanita yang aktif secara seksual memiliki risiko terkena kanker serviks. Diperkirakan 50-80% wanita dapat terkena infeksi virus HPV sepanjang hidupnya dan 50% infeksi tersebut merupakan tipe onkogenik.

Deteksi HPV
Infeksi virus HPV di area genital dapat dikenali secara klinis dan dapat didiagnosis secara pasti melalui metode-metode deteksi molekuler.

Pencegahan Kanker Serviks


Seiring perkembangan vaksin HPV untuk mencegah infeksi HPV onkogenik, vaksinasi melawan kanker serviks telah menjadi kenyataan. Tersedia vaksin HPV yang menargetkan HPV 16 dan HPV 18 yang mampu mencegah 70% kanker serviks.

Beberapa model memprediksi bahwa vaksin HPV bersamaan dengan screening akan mengurangi resiko kanker serviks dibandingkan hanya melakukan screening saja, dan secara signifikan akan mengurangi hasil screening abnormal yang membutuhkan tindakan lebih lanjut. Vaksinasi terbaik yang dapat dikembangkan untuk melawan kanker serviks adalah kombinasi vaksin HPV yang dapat memberikan cakupan lebih luas terhadap tipe-tipe HPV onkogenik dan mampu memberikan perlindungan lebih lama.

7. Influenza
Penyakit influenza disebabkan virus influenza. Influenza mudah menular dan menyerang saluran pernapasan. Penularan virus influenza terjadi melalui udara pada saat berbicara, batuk dan bersin. Virus influenza sangat menular bahkan sejak 12 hari sebelum gejala influenza muncul, itulah sebabnya penyebaran virus influenza sulit dihentikan.

Berlawanan dengan pendapat umum, influenza bukan batukpilek biasa yang tidak berbahaya. Gejala utama influenza adalah: demam, sakit kepala, sakit otot di seluruh badan, pilek, sakit tenggorokan, batuk dan badan lemah. Umumnya penderita influenza tidak dapat bekerja/bersekolah selama beberapa hari. Di negara empat musim, setiap tahun pada musim dingin terjadi ledakan influenza yang banyak menimbulkan komplikasi dan kematian pada orang-orang beresiko tinggi:

Usia lanjut (>60 tahun) Anakanak penderita asma Penderita penyakit kronis (paru, jantung, ginjal, diabetes) Penderita gangguan sistem kekebalan tubuh Di negara-negara tropis seperti Indonesia, influenza terjadi sepanjang tahun. Setiap tahun influenza menyebabkan ribuan orang meninggal di seluruh dunia. Biaya pengobatan, biaya penanganan komplikasi, dan kerugian akibat hilangnya hari kerja (absen dari sekolah dan tempat kerja) sangat tinggi. Berbeda dengan batuk pilek biasa, influenza dapat mengakibatkan komplikasi berat. Virus influenza menyebabkan kerusakan sel-sel selaput lendir saluran pernapasan sehingga penderita influenza sangat mudah terserang kuman lain, seperti pneumokokus, yang menyebabkan radang paru (pneumonia) yang berbahaya. Selain itu, apabila penderita influenza sudah mempunyai penyakit kronis lain sebelumnya (penyakit jantung, paru-paru, ginjal, diabetes dll), penyakit-penyakit itu dapat menjadi lebih berat akibat influenza. Setiap orang dapat terserang influenza tanpa membedakan usia dan tingkat sosial. Cara mencegah agar kita tidak terserang penyakit influenza adalah dengan memelihara gaya hidup sehat, yakni dengan makanan sehat dan berolah raga teratur serta istirahat cukup. Cara lain adalah vaksinasi influenza. Vaksinasi influenza paling efektif dan aman dan dapat memberikan perlindungan selama satu tahun terhadap serangan penyakit influenza. Bagi umat Islam yang akan menunaikan ibadah haji, baik haji umroh maupun haji biasa, sebaiknya mendapat imunisasi influenza. Bila jamaah terjangkit penyakit influenza, maka pelaksanaan ibadah hajinya tentu akan terhambat. Dengan melakukan imunisasi (pencegahan), kiranya lebih mudah daripada bila jamaah haji sudah terkena penyakit influenza ini. Gejala Gejala influenza dapat berupa:

Demam mendadak disertai menggigil Sakit kepala Badan lemah

Nyeri otot dan sendi Gejala influenza bertahan selama 37 hari. Bila influenza bertambah berat, gejala tersebut di atas akan berganti dengan gejala penyakit saluran pernafasan seperti batuk, pilek dan sakit tenggorokan. Kadang-kadang juga disertai gejala sakit perut, mual dan muntah. Pada pemeriksaan fisik: muka kemerahan, mata kemerahan dan berair serta kelenjar getah bening leher dapat teraba. Komplikasi Komplikasi penyakit influenza yang ditakutkan adalah timbulnya infeksi sekunder, seperti: radang paru-paru (pneumonia), myositis, sindroma Reye, gangguan syaraf pusat. Di samping itu, penderita/pengidap penyakit kronis dapat bertambah berat bila terkena penyakit influenza. Beberapa penyakit kronis tersebut, seperti asma, paruparu kronis, jantung, kencing manis, ginjal kronis, gangguan status imunitas tubuh, kelainan darah dll.

8. Invasive Pneumococcal Disease (IPD)


Penyakit IPD disebabkan bakteri pneumokokus (Streptococcus Pneumoniae). Bakteri IPD secara cepat masuk ke dalam sirkulasi darah dan merusak (invasif) serta dapat menyebabkan infeksi selaput otak (meningitis atau radang otak). Penelitian menunjukkan, sebagian besar bayi dan anak di bawah usia 2 tahun pernah menjadi pembawa (carrier) bakteri pneumokokus (IPD) di dalam saluran pernapasan mereka. Oleh karena itu, bayi baru lahir hingga bocah usia 2 tahun beresiko tinggi terkena IPD. Yang paling fatal bila bakteri pneumokokus (IPD) menyerang otak. Pada kasus-kasus meningitis seperti ini, kematian akan menyerang 17% penderita hanya dalam kurun waktu 48 jam setelah terserang IPD. Kalaupun dinyatakan sembuh dari IPD, umumnya meninggalkan kecacatan permanen, semisal gangguan pendengaran dan gangguan saraf yang selanjutnya memunculkan gangguan motorik, kejang tanpa demam, keterbelakangan mental dan kelumpuhan. Dari ketiga bakteri yang biasa menyebabkan meningitis (Streptococcus Pneumoniae, Haemophilus Influenzae type B, dan Neisseria Meningitis), Streptococcus Pneumoniae merupakan bakteri yang seringkali menyerang anak di bawah 2 tahun. Meningitis karena bakteri pneumokokus (IPD) ini dapat menyebabkan kematian hanya dalam waktu 48 jam. Bila sembuh pun, seringkali meninggalkan kecacatan permanen. Vaksinasi IPD dipercaya sebagai langkah protektif terbaik mengingat saat ini resistensi bakteri pneumokokus terhadap antibiotik semakin meningkat. Karena anak-anak di bawah usia 1 tahun memiliki resiko paling tinggi menderita IPD, maka amat dianjurkan agar pemberian imunisasi IPD dilakukan sedini mungkin. Untungnya, saat ini sudah ditemukan vaksin pneumokokus (IPD) bagi bayi dan anak di bawah 2 tahun.

Pemberian imunisasi IPD pada anak usia:


<6 bulan: diberikan dasar 3 kali dengan jarak 2 bulan, dan booster pada usia 1215 bulan. 6-12 bulan: diberikan dasar 2 kali, dan booster pada usia 1215 bulan. 1224 bulan: diberikan dasar 2 kali, tidak perlu booster. >24 bulan: diberikan 1 kali.

Ada dua jenis vaksin pneumokokus yang sudah beredar di Indonesia:


Prevenar atau PCV7, berisi 7 serotype (4, 6B, 9V, 14, 18C, 19F, 23F). Vaksin IPD ini aman diberikan sejak bayi berusia 2 bulan. Harganya relatif mahal. Pneumo23, berisi 23 serotype (1, 2, 3, 6B, 7F, 8, 9N, 9V, 10A, 11A, 12F, 14, 15B, 17F, 18C, 19A, 19F, 20, 22F, 23F, 33F). Vaksin pneumokokus ini aman diberikan pada anak berusia lebih dari 2 tahun dan orang lanjut usia. Harganya lebih murah. Pemberian imunisasi IPD tidak menghapus jadwal imunisasi lain. (seperti HiB, tetap seperti jadwalnya).

9. Japanese B Encephalitis (JE) Penyakit Japanese B Encephalitis (JE) disebabkan virus yang menimbulkan infeksi JE pada otak. Virus JE dibawa nyamuk Culex yang hidup di daerah Asia (dari India Timur ke Korea, Jepang, dan Indonesia). Sumber alami virus Japanese B Encephalitis adalah babi dan burung liar. Japanese Encephalitis dapat menyebabkan demam, sakit kepala, leher kaku dan sawan. Tiap satu dari lima kasus Japanese Encephalitis bisa berakibat fatal. Pencegahan Japanese Encephalitis paling efektif adalah dengan imunisasi (vaksinasi) Japanese Encephalitis. Imunisasi Japanese Encephalitis diberikan melalui suntikan pada hari ke-0, 7, dan 28. Dilakukan vaksinasi booster Japanese Encephalitis setahun kemudian. Vaksinasi Japanese Encephalitis diulang setiap 3 tahun. 10. Meningitis Meningitis adalah radang membran pelindung sistem syaraf pusat. Penyakit meningitis dapat disebabkan mikroorganisme, luka fisik, kanker, atau obat-obatan tertentu. Meningitis adalah penyakit serius karena letaknya dekat otak dan tulang belakang, sehingga dapat menyebabkan kerusakan kendali gerak, pikiran, bahkan kematian. Kebanyakan kasus meningitis disebabkan mikroorganisme, seperti virus, bakteri, jamur, atau parasit yang menyebar dari darah ke cairan otak. Daerah "sabuk meningitis" di Afrika terbentang dari Senegal di barat ke Ethiopia di timur. Daerah sabuk meningitis ini ditinggali kurang lebih 300 juta manusia. Pada 1996 terjadi wabah meningitis di mana 250.000 orang menderita meningitis dengan 25.000 korban jiwa.

Pencegahan meningitis paling efektif adalah dengan imunisasi (vaksinasi) meningitis. Vaksinasi meningitis paling efektif dan aman dan dapat memberikan perlindungan selama tiga tahun terhadap serangan penyakit meningitis. Vaksin meningitis dianjurkan bagi orang lanjut usia dan penderita penyakit kronis seperti asma, paru-paru kronis, jantung, diabetes, ginjal, gangguan sistem imunitas tubuh, kelainan darah, dll. Vaksin meningitis diwajibkan bagi jemaah haji. Tanpa imunisasi meningitis, dikhawatirkan para jemaah yang tertular meningitis ketika menunaikan ibadah haji, akan membawa pulang kuman meningitis dan menimbulkan wabah meningitis di Indonesia.

11. MMR
Vaksin MMR (Mumps Measles Rubella) adalah campuran tiga jenis virus yang dilemahkan, yang disuntikkan untuk imunisasi melawan campak (measles), gondongan (mumps) dan rubella (german measles). Vaksin MMR umumnya diberikan kepada anak usia 1 tahun dengan booster diberikan sebelum memasuki usia sekolah (4-5 tahun). Di Amerika Serikat, vaksin MMR diijinkan pada tahun 1963 dan boosternya dimulai pada pertengahan tahun 1990-an. Vaksin MMR digunakan secara luas di seluruh dunia sejak diperkenalkan pada awal 1970-an. Vaksin MMR yang tersedia: MMR II dari Merck, Priorix dari GlaxoSmithKline, Tresivac dari Serum Institute of India, Trimovax dari Sanofi Pasteur.

Mumps (parotitis atau gondongan)


Penyakit mumps (parotitis) disebabkan virus mumps yang menyerang kelenjar air liur di mulut, dan banyak diderita anak-anak dan orang muda. Semakin tinggi usia penderita mumps, gejala yang dirasakan semakin hebat. Kebanyakan orang menderita penyakit mumps hanya sekali seumur hidup. Pencegahan mumps paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan campak dan rubella (vaksinasi MMR) sebanyak 2 kali dengan selang penyuntikan 1-2 bulan. Setelah lewat masa kanak-kanak, imunisasi mumps terus dilanjutkan walaupun telah dewasa, bersamaan dengan campak dan rubella (vaksinasi MMR). Pemberian imunisasi MMR akan memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit mumps, campak dan rubella.

Measles (campak)
Penyakit measles (campak) disebabkan virus campak. Gejala campak yaitu demam, menggigil, serta hidung dan mata berair. Timbul ruam-ruam pada kulit berupa bercak dan bintil merah pada kulit muka, leher, dan selaput lendir mulut. Saat penyakit campak memuncak, suhu tubuh bisa mencapai 40oC. Pencegahan campak paling efektif adalah dengan imunisasi campak. Imunisasi campak diberikan saat bayi berumur 9 bulan. Campak juga dapat dicegah dengan pemberian imunisasi sebagai bagian vaksinasi MMR. Setelah lewat masa kanak-kanak, imunisasi

campak terus dilanjutkan walaupun telah dewasa, bersamaan dengan mumps dan rubella (vaksinasi MMR). Imunisasi MMR diberikan sebanyak 2 kali dengan selang penyuntikan 1-2 bulan.

Rubella (campak Jerman)


Penyakit rubella disebabkan virus rubella. Rubella mengakibatkan ruam pada kulit menyerupai campak, radang selaput lendir, dan radang selaput tekak. Ruam rubella biasanya hilang dalam waktu 2-3 hari. Gejala rubella berupa sakit kepala, kaku pada persendian, dan rasa lemas. Biasanya rubella diderita setelah penderita berusia belasan tahun atau dewasa. Bila bayi baru lahir atau anak balita terinfeksi rubella, bisa mengakibatkan kebutaan. Bila wanita hamil terinfeksi rubella, dapat mempengaruhi pertumbuhan janin. Bayi umumnya lahir dengan cacat fisik (buta tuli) dan keterbelakangan mental. Pencegahan rubella paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan campak dan mumps (vaksinasi MMR) sebanyak 2 kali dengan selang penyuntikan 1-2 bulan. Setelah lewat masa kanak-kanak, imunisasi rubella terus dilanjutkan walaupun telah dewasa, bersamaan dengan campak dan mumps (vaksinasi MMR). Wanita usia subur sebaiknya mendapat 2 dosis imunisasi MMR selambat-lambatnya 3 bulan sebelum kehamilan untuk mencegah kecacatan dan kematian bayi. Setelah imunisasi MMR, dianjurkan menunda kehamilan selama 3 bulan, untuk menghindari kecacatan bayi.

12.Pneumonia
Radang paru-paru (Pneumonia) adalah penyakit paru-paru di mana pulmonary alveolus (alveoli) yang bertanggung jawab menyerap oksigen meradang dan paru-paru terisi cairan lendir bercampur kuman. Pneumonia dapat disebabkan infeksi bakteri, virus, jamur, atau parasit. Pneumonia juga dapat disebabkan iritasi zat-zat kimia atau cedera fisik pada paru-paru, atau sebagai akibat penyakit lainnya, seperti kanker paru atau berlebihan minum alkohol. Gejala pneumonia termasuk batuk, sakit dada, demam, dan kesulitan bernapas Diagnosa pneumonia termasuk sinar-X dan pemeriksaan dahak. Perawatan tergantung penyebab pneumonia; pneumonia yang disebabkan bakteri dirawat dengan antibiotika. Pneumonia umum terjadi di seluruh kelompok umur, dan merupakan penyebab utama kematian orang lanjut usia dan penderita penyakit kronis (menahun). Pencegahan pneumonia adalah dengan vaksin pneumonia. Vaksin pneumonia dianjurkan untuk anak berusia lebih dari 2 tahun dan orang lanjut usia. Vaksin pneumonia juga dianjurkan bagi penderita penyakit kronis seperti asma, paru-paru kronis, jantung, diabetes, ginjal, gangguan sistem imunitas tubuh, kelainan darah, dll. Prognosis perseorangan tergantung dari jenis pneumonia, perawatan yang cocok, komplikasi lainnya, dan kesehatan orang tersebut.

Salah satu kasus pneumonia dengan tingkat kematian tinggi saat ini adalah kasus pneumonia akibat flu burung. 13. POLIO Poliomielitis (polio) adalah penyakit paralisis (lumpuh) yang disebabkan virus polio. Virus penyebab polio, poliovirus (PV), masuk ke tubuh melalui mulut, menginfeksi saluran usus. Virus polio dapat memasuki aliran darah dan mengalir ke sistem saraf pusat, menyebabkan melemahnya otot dan kadang kelumpuhan (paralisis). Etimologi Kata polio berasal dari bahasa Yunani atau bentuknya yang lebih mutakhir, dari "abuabu" dan "bercak". Sejarah Polio sudah dikenal sejak zaman pra-sejarah. Lukisan dinding di kuil-kuil Mesir kuno menggambarkan orang-orang sehat dengan kaki layu berjalan dengan tongkat. Kaisar Romawi Claudius terserang polio ketika masih kanak-kanak dan menjadi pincang seumur hidupnya. Virus polio menyerang tanpa peringatan, merusak sistem saraf, menimbulkan kelumpuhan permanen, biasanya pada kaki. Sejumlah besar penderita meninggal karena tidak dapat menggerakkan otot pernapasan. Ketika polio menyerang Amerika selama dasawarsa seusai Perang Dunia II, penyakit itu disebut momok semua orang tua, karena menyerang anak-anak terutama yang berumur di bawah lima tahun. Di sana para orang tua tidak membolehkan anak mereka keluar rumah. Gedung-gedung bioskop dikunci, kolam renang, sekolah dan bahkan gereja tutup. Virus Polio Poliovirus adalah virus RNA kecil yang terdiri atas tiga strain berbeda dan amat menular. Virus polio menyerang sistem saraf dan kelumpuhan dapat terjadi dalam hitungan jam. Polio menyerang tanpa mengenal usia, lima puluh persen kasus polio terjadi pada anak berusia antara 3 hingga 5 tahun. Masa inkubasi polio dari gejala pertama berkisar dari 3 hingga 35 hari. Polio dikategorikan sebagai penyakit peradaban. Poliovirus menular melalui kontak antar manusia. Polio dapat menyebar luas diam-diam karena sebagian besar penderita polio tidak memiliki gejala sehingga tidak tahu kalau mereka sendiri sedang mengidap polio. Virus polio masuk ke dalam tubuh melalui mulut ketika seseorang memakan makanan atau minuman yang terkontaminasi feses. Setelah seseorang terinfeksi polio, virus polio akan keluar melalui feses penderita polio selama beberapa minggu dan saat itulah dapat terjadi penularan virus polio.

Jenis Polio Polio non-paralisis Polio non-paralisis menyebabkan demam, muntah, sakit perut, lesu, dan sensitif. Terjadi kram otot leher dan punggung, otot terasa lembek jika disentuh. Polio paralisis spinal Strain poliovirus paralisis spinal menyerang saraf tulang belakang, menghancurkan sel tanduk anterior yang mengontrol pergerakan batang tubuh dan otot tungkai. Meskipun strain ini dapat menyebabkan kelumpuhan permanen, kurang dari satu dari 200 penderita polio paralisis spinal akan mengalami kelumpuhan. Kelumpuhan paling sering terjadi pada kaki. Setelah virus polio menyerang usus, virus polio akan diserap pembuluh darah kapiler pada dinding usus dan diangkut ke seluruh tubuh. Virus polio menyerang saraf tulang belakang dan syaraf motorik -- yang mengontrol gerakan fisik. Pada periode inilah muncul gejala seperti flu. Pada penderita polio paralisis spinal yang tidak memiliki kekebalan atau belum divaksinasi, virus polio biasanya akan menyerang seluruh bagian batang saraf tulang belakang dan batang otak. Infeksi polio akan mempengaruhi sistem saraf pusat -- menyebar sepanjang serabut saraf. Seiring dengan berkembang biaknya virus polio dalam sistem saraf pusat, virus akan menghancurkan saraf motorik. Saraf motorik tidak memiliki kemampuan regenerasi dan otot yang berhubungan dengannya tidak akan bereaksi terhadap perintah dari sistem saraf pusat. Kelumpuhan pada kaki menyebabkan tungkai menjadi lemas -- kondisi ini disebut acute flaccid paralysis (AFP). Infeksi parah pada sistem saraf pusat dapat menyebabkan kelumpuhan pada batang tubuh dan otot toraks (dada) dan abdomen (perut), disebut quadriplegia. Polio bulbar Polio bulbar disebabkan tidak adanya kekebalan alami sehingga batang otak ikut terserang polio. Batang otak mengandung syaraf motorik yang mengatur pernapasan dan saraf kranial, yang mengirim sinyal ke berbagai syaraf yang mengontrol pergerakan bola mata; saraf trigeminal dan saraf muka yang berhubungan dengan pipi, kelenjar air mata, gusi, dan otot muka; saraf auditori yang mengatur pendengaran; saraf glossofaringeal yang membantu proses menelan dan berbagai fungsi di kerongkongan; pergerakan lidah dan rasa; dan saraf yang mengirim sinyal ke jantung, usus, paru-paru, dan saraf tambahan yang mengatur pergerakan leher. Tanpa alat bantu pernapasan, polio bulbar dapat menyebabkan kematian. Lima hingga sepuluh persen penderita polio bulbar akan meninggal ketika otot pernapasan mereka gagal bekerja. Kematian biasanya terjadi setelah terjadi kerusakan saraf kranial yang bertugas mengirim 'perintah bernapas' ke paru-paru. Penderita polio bulbar juga dapat meninggal karena kerusakan fungsi menelan; korban dapat 'tenggelam' dalam sekresinya sendiri kecuali dilakukan penyedotan atau diberi perlakuan trakeostomi untuk menyedot cairan yang disekresikan sebelum masuk ke dalam paru-paru. Namun trakeostomi juga sulit dilakukan apabila penderita telah menggunakan 'paru-paru besi' (iron lung). Iron

lung membantu paru-paru lemah dengan menambah dan mengurangi tekanan udara di dalam tabung. Kalau tekanan udara ditambah, paru-paru akan mengempis, kalau tekanan udara dikurangi, paru-paru akan mengembang. Dengan demikian udara terpompa keluar masuk paru-paru. Infeksi yang jauh lebih parah pada otak dapat menyebabkan koma dan kematian. Tingkat kematian karena polio bulbar berkisar 25-75% tergantung usia penderita. Hingga saat ini, mereka yang bertahan hidup dari polio bulbar harus hidup dengan paru-paru besi atau alat bantu pernapasan. Polio bulbar dan spinal sering menyerang bersamaan dan merupakan sub kelas dari polio paralisis. Polio paralisis tidak permanen. Penderita polio yang sembuh dapat memiliki fungsi tubuh mendekati normal. Anak-anak dan Polio Anak-anak kecil yang terkena polio seringkali hanya mengalami gejala ringan dan menjadi kebal terhadap polio. Karenanya, penduduk di daerah dengan sanitasi baik justru menjadi lebih rentan terhadap polio karena tidak menderita polio ketika masih kecil. Vaksinasi polio saat balita sangat membantu pencegahan polio di masa depan karena polio menjadi lebih berbahaya jika diderita orang dewasa. Orang yang telah menderita polio bukan tidak mungkin akan mengalami gejala tambahan di masa depan seperti layu otot; gejala ini disebut sindrom post-polio. Vaksin efektif pertama Vaksin efektif polio pertama dikembangkan Jonas Salk. Salk menolak mematenkan vaksin polio karena menurutnya, vaksin polio milik semua orang seperti halnya sinar matahari. Namun vaksin yang digunakan untuk inokulasi masal adalah vaksin polio yang dikembangkan Albert Sabin. Inokulasi pencegahan polio anak untuk pertama kalinya diselenggarakan di Pittsburgh, Pennsylvania pada 23 Februari 1954. Polio hilang di Amerika pada tahun 1979. Usaha pemberantasan polio Pada tahun 1938, Presiden Roosevelt mendirikan Yayasan Nasional Bagi Kelumpuhan Anak-Anak, yang bertujuan menemukan pencegah polio, dan merawat mereka yang sudah terkena polio. Yayasan itu membentuk March of Dimes. Ibu-ibu melakukan kunjungan dari rumah ke rumah, anak-anak membantu melakukan sesuatu untuk orang lain, bioskop memasang iklan, semuanya bertujuan minta bantuan satu dime, atau sepuluh sen. Dana yang masuk waktu itu digunakan untuk membiayai penelitian dokter Jonas Salk yang menghasilkan vaksin efektif polio pertama. Tahun 1952, di Amerika terdapat 58 ribu kasus polio. Tahun 1955 vaksin polio Salk mulai digunakan. Tahun 1963, setelah puluhan juta anak divaksin polio, di Amerika hanya ada 396 kasus polio. Pada tahun 1955, Presiden Dwight Eisenhower mengumumkan bahwa Amerika akan mengajarkan kepada negara-negara lain cara membuat vaksin polio. Informasi ini diberikan secara gratis kepada 75 negara, termasuk Uni Soviet.

Tahun 1988, Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mensahkan resolusi untuk menghapus polio sebelum tahun 2000. Pada saat itu masih terdapat sekitar 350 ribu kasus polio di seluruh dunia. Meskipun pada tahun 2000 polio belum terbasmi, tetapi jumlah kasusnya telah berkurang hingga di bawah 500. Polio tidak ada lagi di Asia Timur, Amerika Latin, Timur Tengah atau Eropa, tetapi masih terdapat di Nigeria, dan sejumlah kecil di India dan Pakistan. India telah melakukan usaha pemberantasan polio yang cukup sukses. Sedangkan di Nigeria, penyakit polio masih terus berjangkit karena pemerintah Nigeria mencurigai vaksin polio dapat mengurangi fertilitas dan menyebarkan HIV. Tahun 2004, pemerintah Nigeria meminta WHO melakukan vaksinasi polio lagi, setelah penyakit polio kembali menyebar ke seluruh Nigeria dan 10 negara tetangganya. Konflik internal dan perang saudara di Sudan dan Pantai Gading juga mempersulit pemberian vaksin polio. Meskipun banyak usaha telah dilakukan, pada tahun 2004 angka infeksi polio meningkat menjadi 1.185 di 17 negara dari 784 di 15 negara pada tahun 2003. Sebagian penderita polio berada di Asia dan 1.037 ada di Afrika. Nigeria memiliki 763 penderita polio, India 129, dan Sudan 112. Pada 5 Mei 2005, dilaporkan terjadi ledakan infeksi polio di Sukabumi akibat strain virus yang menyebabkan wabah polio di Nigeria. Virus polio diduga terbawa dari Nigeria ke Arab dan sampai ke Indonesia melalui tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Arab atau orang yang bepergian ke Arab untuk haji atau hal lainnya.

14. Rabies Rabies adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan virus rabies. Virus rabies ditularkan ke manusia melalui gigitan hewan, misalnya anjing, kucing, kera, rakun, dan kelelawar. Rabies disebut juga penyakit anjing gila. Etimologi Kata rabies berasal dari bahasa Sansekerta kuno rabhas (artinya melakukan kekerasan atau kejahatan). Dalam bahasa Yunani, rabies disebut Lyssa atau Lytaa (artinya kegilaan). Dalam bahasa Jerman, rabies disebut tollwut, yang berasal dari bahasa Indojerman Dhvar (artinya merusak) dan wut (artinya marah). Dalam bahasa Perancis, rabies disebut rage, berasal dari kata robere (artinya menjadi gila). Sejarah Rabies bukanlah penyakit baru dalam sejarah perabadan manusia. Catatan tertulis mengenai perilaku anjing yang tiba-tiba menjadi buas ditemukan pada Kode Mesopotamia yang ditulis 4000 tahun lalu serta pada Kode Babilonia Eshunna yang ditulis pada 2300 SM. Democritus pada 500 SM juga menuliskan karakteristik gejala penyakit menyerupai rabies.

Aristotle, pada 400 SM, menulis di Natural History of Animals edisi 8, bab 22: .... anjing itu menjadi gila. Hal ini menyebabkan mereka menjadi agresif, dan semua binatang yang digigitnya juga mengalami sakit yang sama." Hippocrates, Plutarch, Xenophon, Epimarcus, Virgil, Horace, dan Ovid pernah menyinggung karakteristik rabies dalam tulisan-tulisannya. Celsius, seorang dokter di zaman Romawi, mengasosiasikan hidrofobia (ketakutan terhadap air) dengan gigitan anjing, di tahun 100 Masehi. Cardanus, seorang penulis zaman Romawi, menjelaskan sifat infeksi pada air liur anjing rabies. Para penulis Romawi zaman itu mendeskripsikan rabies sebagai racun (kata Latin bagi virus). Pliny dan Ovid adalah orang yang pertama menjelaskan penyebab lain rabies, yang saat itu disebut cacing lidah anjing (dog tongue worm). Untuk mencegah rabies di masa itu, permukaan lidah yang diduga mengandung "cacing" dipotong. Anggapan tersebut bertahan sampai abad 19, sampai akhirnya Louis Pasteur berhasil mendemonstrasikan penyebaran rabies dengan menumbuhkan jaringan otak yang terinfeksi rabies di tahun 1885. Goldwasser dan Kissling menemukan cara diagnosis rabies secara modern pada tahun 1958 yaitu dengan teknik antibodi imunofluoresens untuk menemukan antigen rabies pada jaringan. Penyebab Rabies disebabkan virus rabies yang masuk ke keluarga Rhabdoviridae dan genus Lysavirus. Karakteristik utama virus keluarga Rhabdoviridae adalah hanya memiliki satu utas negatif RNA yang tidak bersegmen. Virus rabies hidup pada beberapa jenis hewan yang berperan sebagai perantara penularan. Spesies hewan perantara rabies bervariasi pada berbagai letak geografis. Hewan-hewan yang diketahui dapat menjadi perantara rabies antara lain rakun (Procyon Lotor) dan sigung (Memphitis Memphitis) di Amerika Utara, rubah merah (Vulpes Vulpes) di Eropa, dan anjing di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Afrika, Asia, dan Amerika Latin memiliki tingkat rabies tinggi. Hewan perantara rabies menginfeksi inang yang bisa berupa hewan lain atau manusia melalui gigitan. Infeksi rabies juga dapat terjadi melalui jilatan hewan perantara rabies pada kulit yang terluka. Setelah infeksi, virus rabies akan masuk melalui saraf-saraf menuju sumsum tulang belakang dan otak dan bereplikasi di sana. Selanjutnya virus rabies akan berpindah lagi melalui saraf ke jaringan non saraf, misalnya kelenjar liur dan masuk ke dalam air liur. Hewan yang terinfeksi bisa mengalami rabies buas/ganas ataupun rabies jinak/tenang. Pada rabies buas/ganas, hewan yang terinfeksi tampak galak, agresif, menggigit dan menelan segala macam barang, air liur terus menetes, meraung-raung gelisah kemudian menjadi lumpuh dan mati. Pada rabies jinak/tenang, hewan yang terinfeksi mengalami kelumpuhan lokal atau kelumpuhan total, suka bersembunyi di tempat gelap, mengalami kejang dan sulit bernapas, serta menunjukkan kegalakan. Meskipun sangat jarang terjadi, rabies bisa ditularkan melalui penghirupan udara yang tercemar virus rabies. Dua pekerja laboratorium telah mengkonfirmasi hal ini setelah mereka terekspos udara yang mengandung virus rabies. Pada tahun 1950, dilaporkan dua kasus rabies terjadi pada penjelajah gua di Frio Cave, Texas yang menghirup udara di mana ada jutaan kelelawar hidup di tempat tersebut. Mereka diduga

tertular rabies lewat udara karena sama sekali tidak ditemukan adanya tanda-tanda bekas gigitan kelelawar. Manifestasi Klinis Gejala rabies biasanya mulai timbul dalam waktu 30-50 hari setelah terinfeksi. Masa inkubasi virus rabies hingga munculnya penyakit adalah 10-14 hari pada anjing tetapi bisa mencapai 9 bulan pada manusia. Bila disebabkan gigitan anjing, luka yang memiliki risiko rabies tinggi meliputi infeksi pada mukosa, luka di atas daerah bahu (kepala, muka, leher), luka pada jari tangan atau kaki, luka pada kelamin, luka yang lebar atau dalam, dan luka yang banyak. Sedangkan luka dengan risiko rabies rendah meliputi jilatan pada kulit yang luka, garukan atau lecet, serta luka kecil di sekitar tangan, badan, dan kaki. Gejala penyakit rabies meliputi 4 stadium: Stadium prodromal Dalam stadium prodromal sakit yang timbul pada penderita rabies tidak khas, menyerupai infeksi virus pada umumnya, yang meliputi demam, sulit makan yang menuju taraf anoreksia, pusing dan pening, dan lain sebagainya. Stadium sensoris Dalam stadium sensoris penderita rabies umumnya akan mengalami rasa nyeri pada daerah luka gigitan, panas, gugup, kebingungan, keluar banyak air liur (hipersalivasi), dilatasi pupil, hiperhidrosis, hiperlakrimasi. Stadium eksitasi Pada stadium eksitasi penderita rabies menjadi gelisah, mudah kaget, kejang-kejang setiap ada rangsangan dari luar sehingga terjadi ketakutan pada udara (aerofobia), ketakutan pada cahaya (fotofobia), dan ketakutan air (hidrofobia). Kejang-kejang terjadi akibat gangguan daerah otak yang mengatur proses menelan dan pernapasan. Hidrofobia pada penderita rabies terutama karena rasa sakit luar biasa saat berusaha menelan air. Stadium paralitik Pada stadium paralitik, penderita rabies menunjukkan tanda kelumpuhan dari bagian atas tubuh ke bawah yang progresif. Karena durasi penyebaran penyakit rabies cukup cepat, maka umumnya keempat stadium rabies di atas tidak dapat dibedakan dengan jelas. Gejala-gejala rabies yang tampak jelas pada penderita di antaranya nyeri pada luka bekas gigitan dan ketakutan pada air, udara, cahaya, dan suara keras. Sedangkan pada hewan yang terinfeksi, gejala rabies yang tampak adalah dari jinak menjadi ganas, hewan-hewan peliharaan menjadi liar dan lupa jalan pulang, serta ekor dilengkungkan di bawah perut.

Diagnosis Jika seseorang digigit hewan, maka hewan yang menggigit harus diawasi. Satu-satunya uji yang akurat 100% terhadap adanya virus rabies adalah dengan uji antibodi fluoresensi langsung (direct fluorescent antibody test/dFAT) pada jaringan otak hewan yang terinfeksi. Uji dFAT ini telah digunakan lebih dari 40 tahun dan dijadikan standar dalam diagnosis rabies. Prinsipnya adalah ikatan antara antigen rabies dan antibodi spesifik yang telah dilabel dengan senyawa fluoresens yang akan berpendar sehingga memudahkan deteksi rabies. Namun, kelemahannya adalah subjek uji harus disuntik terlebih dahulu (eutanasia) sehingga tidak dapat digunakan terhadap manusia. Akan tetapi, uji serupa tetap dapat dilakukan menggunakan serum, cairan sumsum tulang belakang, atau air liur penderita rabies, walaupun tidak memberikan keakuratan 100%. Selain itu, diagnosis rabies dapat juga dilakukan dengan biopsi kulit leher atau sel epitel kornea mata walaupun hasilnya tidak terlalu tepat sehingga nantinya akan dilakukan kembali diagnosis post mortem setelah hewan atau manusia yang terinfeksi rabies meninggal. Penanganan Bila terinfeksi rabies, segera cari pertolongan medis. Rabies dapat diobati, namun harus dilakukan sedini mungkin, sebelum menginfeksi otak dan menimbulkan gejala. Bila gejala mulai terlihat, tidak ada pengobatan untuk rabies. Kematian biasanya terjadi beberapa hari setelah terjadinya gejala rabies pertama. Jika terjadi kasus gigitan oleh hewan yang diduga terinfeksi rabies atau berpotensi rabies (anjing, sigung, rakun, rubah, kelelawar), segera cuci luka dengan sabun atau pelarut lemak lain di bawah air mengalir selama 10-15 menit, lalu beri antiseptik alkohol 70% atau betadin. Orang-orang yang belum diimunisasi tetanus selama 10 tahun terakhir akan diberikan suntikan tetanus. Orang-orang yang belum pernah mendapat vaksin rabies akan diberikan suntikan globulin imun rabies yang dikombinasikan dengan vaksin. Separuh dari dosisnya disuntikkan di tempat gigitan dan separuhnya disuntikan ke otot, biasanya di daerah pinggang. Dalam periode 28 hari, diberikan 5 kali suntikan vaksin rabies. Suntikan pertama untuk menentukan risiko adanya virus rabies akibat bekas gigitan. Sisa suntikan diberikan pada hari ke-3, 7, 14, dan 28. Kadang-kadang terjadi rasa sakit, kemerahan, bengkak, atau gatal pada tempat penyuntikan vaksin rabies. Pencegahan Pencegahan rabies pada manusia harus dilakukan sesegera mungkin setelah terjadi gigitan oleh hewan yang berpotensi rabies, karena bila tidak, dapat mematikan (letal).

Langkah-langkah mencegah rabies bisa diambil sebelum terjangkit virus rabies atau segera setelah terkena gigitan. Sebagai contoh, vaksinasi rabies bisa diberikan kepada orang-orang yang beresiko tinggi terhadap terjangkitnya virus rabies, yaitu:

Dokter hewan. Petugas laboratorium yang menangani hewan-hewan yang terinfeksi rabies. Orang-orang yang menetap atau tinggal lebih dari 30 hari di daerah yang rabies pada anjing banyak ditemukan. Para penjelajah gua kelelawar. Vaksinasi idealnya dapat memberikan perlindungan seumur hidup. Tetapi seiring berjalannya waktu, kadar antibodi akan menurun, sehingga orang yang berisiko tinggi terhadap rabies harus mendapatkan dosis booster vaksinasi rabies setiap 3 tahun. Pentingnya vaksinasi rabies terhadap hewan peliharaan, seperti anjing, juga merupakan salah satu cara pencegahan rabies yang harus diperhatikan.

15. TBC Tuberkulosis (TBC) disebabkan bakteri Mycobacterium Tuberculosis dan ditularkan melalui kontak antar manusia. Penyakit TBC paling sering menyerang paru-paru walaupun pada sepertiga kasus menyerang organ tubuh lain. TBC juga salah satu penyakit tertua yang diketahui menyerang manusia. Jika diterapi dengan benar, tuberkulosis yang disebabkan kompleks Mycobacterium Tuberculosis, yang peka terhadap obat, dapat disembuhkan. Tanpa terapi, tuberkulosis akan mengakibatkan kematian dalam lima tahun pertama pada lebih dari setengah kasus. Indonesia berada dalam peringkat ketiga terburuk di dunia untuk jumlah penderita TBC. Setiap tahun muncul 500 ribu kasus baru dan lebih dari 140 ribu lainnya meninggal. Seratus tahun yang lalu, satu dari lima kematian di Amerika Serikat disebabkan tuberkulosis. Tanggal 24 Maret diperingati dunia sebagai "Hari TBC" oleh sebab pada 24 Maret 1882 di Berlin, Jerman, Robert Koch mempresentasikan hasil studi mengenai penyebab tuberkulosis yang ditemukannya. Penyebab Penyebab TBC adalah bakteri kompleks Mycobacterium Tuberculosis. Mycobacteria termasuk dalam famili Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetales. Kompleks Mycobacterium Tuberculosis meliputi M Tuberculosis, M Bovis, M Africanum, M Microti, dan M Canettii. Dari beberapa kompleks tersebut, M Tuberculosis merupakan jenis terpenting dan paling sering dijumpai. M. Tuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang 5 dan lebar 3, tidak membentuk spora, dan termasuk bakteri aerob. Mycobacteria dapat diberi pewarnaan seperti bakteri lainnya, misalnya dengan pewarnaan gram. Namun, sekali mycobacteria

diberi warna oleh pewarnaan gram, maka warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan asam. Oleh karena itu, mycobacteria disebut Basil Tahan Asam atau BTA. Beberapa mikroorganisme lain yang juga memiliki sifat tahan asam: Nocardia, Rhodococcus, Legionella Micdadei, dan protozoa Isospora dan Cryptosporidium. Pada dinding sel mycobacteria, lemak berhubungan dengan arabinogalaktan dan peptidoglikan di bawahnya. Struktur ini menurunkan permeabilitas dinding sel, sehingga mengurangi efektivitas antibiotik. Lipoarabinomannan, suatu molekul lain dalam dinding sel mycobacteria, berperan dalam interaksi antara inang dan patogen, menjadikan M Tuberculosis dapat bertahan hidup di dalam makrofaga. Penularan Penularan bakteri TBC terjadi karena kontak dengan dahak atau menghirup titik-titik air dari bersin atau batuk dari penderita tuberkulosis. Gejala Gejala utama tuberkulosis ialah batuk selama 3 minggu atau lebih, berdahak, dan biasanya bercampur darah. Bisa juga nyeri dada, mata memerah, kehilangan nafsu makan, sesak napas, demam, badan lemah, dan semakin kurus. Bila tuberkulosis tidak ditangani, bisa terjadi syok hipovolemik atau sesak napas berat yang berujung kematian. Pencegahan Pencegahan paling efektif terhadap TBC adalah dengan imunisasi (vaksinasi) BCG (Bacille Calmette-Guerin). Vaksin BCG dibuat dari baksil TBC (Mycobacterium Bovis) yang dilemahkan dengan dikulturkan di medium buatan selama bertahun-tahun. Vaksin BCG dapat mencegah penularan bakteri TBC selama 15 tahun. 16. Tetanus Penyakit tetanus berbahaya karena mempengaruhi sistem urat saraf dan otot. Gejala tetanus diawali dengan kejang otot rahang (trismus atau kejang mulut), pembengkakan, rasa sakit dan kejang di otot leher, bahu atau punggung. Kejang-kejang segera merambat ke otot perut, lengan atas dan paha. Neonatal tetanus umum terjadi pada bayi baru lahir. Neonatal tetanus menyerang bayi baru lahir karena dilahirkan di tempat kotor dan tidak steril, terutama jika tali pusar terinfeksi. Neonatal tetanus menyebabkan kematian bayi dan banyak terjadi di negara berkembang. Di negara-negara maju, dimana kebersihan dan teknik melahirkan sudah maju, tingkat kematian akibat neonatal tetanus dapat ditekan. Selain itu, antibodi dari ibu kepada jabang bayinya juga mencegah neonatal tetanus. Infeksi tetanus disebabkan bakteri Clostridium Tetani yang memproduksi toksin tetanospasmin. Tetanospasmin menempel di area sekitar luka dan dibawa darah ke sistem

saraf otak dan saraf tulang belakang, sehingga terjadi gangguan urat saraf, terutama saraf yang mengirim pesan ke otot. Infeksi tetanus terjadi karena luka terpotong, terbakar, aborsi, narkoba (misalnya memakai silet untuk memasukkan obat ke dalam kulit) maupun frostbite. Walaupun luka kecil bukan berarti bakteri tetanus tidak dapat hidup di sana. Sering kali orang lalai, padahal luka sekecil apapun dapat menjadi tempat bakteri tetanus berkembang biak. Periode inkubasi tetanus terjadi dalam waktu 3-14 hari dengan gejala mulai timbul di hari ketujuh. Gejala neonatal tetanus mulai pada dua minggu pertama kehidupan seorang bayi. Walaupun tetanus berbahaya, jika cepat didiagnosa dan mendapat perawatan benar, penderita tetanus dapat disembuhkan. Penyembuhan tetanus umumnya terjadi selama 4-6 minggu. Tetanus dapat dicegah dengan pemberian imunisasi sebagai bagian imunisasi DPT. Setelah lewat masa kanak-kanak, imunisasi tetanus terus dilanjutkan walaupun telah dewasa, dengan vaksin TT (Tetanus Toxoid). Dianjurkan imunisasi tetanus setiap interval 5 tahun: 25, 30, 35 dst. Wanita hamil sebaiknya mendapat imunisasi tetanus dan melahirkan di tempat bersih dan steril.

Imunisasi Dasar pada Bayi


Berikut adalah lima imunisasi dasar yang wajib diberikan sejak bayi:

Imunisasi BCG (Bacillus Calmette-Guerin) sekali untuk mencegah penyakit Tuberkulosis. Diberikan segera setelah bayi lahir di tempat pelayanan kesehatan atau mulai 1 (satu) bulan di Posyandu. Imunisasi Hepatitis B sekali untuk mencegah penyakit Hepatitis B yang ditularkan dari ibu ke bayi saat persalinan. Imunisasi DPT-HB 3 (tiga) kali untuk mencegah penyakit Difteri, Pertusis (batuk rejan), Tetanus dan Hepatitis B. Imunisasi ini pertama kali diberikan saat bayi berusia 2 (dua) bulan. Imunisasi berikutnya berjarak waktu 4 minggu. Pada saat ini pemberian imunisasi DPT dan Hepatitis B dilakukan bersamaan dengan vaksin DPT-HB. Imunisasi polio untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit polio. Imunisasi Polio diberikan 4 (empat) kali dengan jelang waktu (jarak) 4 minggu. Imunisasi campak untuk mencegah penyakit campak. Imunisasi campak diberikan saat bayi berumur 9 bulan.

Efek samping Imunisasi


Imunisasi kadang mengakibatkan efek samping. Ini adalah tanda baik yang membuktikan vaksin betul-betul bekerja secara tepat. Efek samping yang biasa terjadi adalah sebagai berikut:

BCG: Setelah 2 minggu akan terjadi pembengkakan kecil dan merah di tempat suntikan. Setelah 23 minggu kemudian pembengkakan menjadi abses kecil dan kemudian menjadi luka dengan garis tengah 10 mm. Luka akan sembuh sendiri dengan meninggalkan luka parut kecil. DPT: Kebanyakan bayi menderita panas pada sore hari setelah imunisasi DPT, tetapi panas akan turun dan hilang dalam waktu 2 hari. Sebagian besar merasa nyeri, sakit, merah atau bengkak di tempat suntikan. Keadaan ini tidak berbahaya dan tidak perlu mendapatkan pengobatan khusus, dan akan sembuh sendiri. Bila gejala tersebut tidak timbul, tidak perlu diragukan bahwa imunisasi tersebut tidak memberikan perlindungan, dan imunisasi tidak perlu diulang. Polio: Jarang timbuk efek samping. Campak: Anak mungkin panas, kadang disertai kemerahan 410 hari sesudah penyuntikan. Hepatitis B: Belum pernah dilaporkan adanya efek samping.

Persepsi Keliru Imunisasi Akibatkan Kekebalan Bayi Kurang Optimal


Persepsi keliru dokter, bidan dan orang tua bayi soal pemberian imunisasi, mengakibatkan banyak bayi tertunda bahkan tidak lengkap mendapatkan imunisasi. Parahnya, bayi akhirnya memiliki kekebalan kurang optimal meskipun sebelumnya telah mendapatkan imunisasi untuk mencegah berbagai penyakit. "Tidak semua dokter, bidan, bahkan orang tua bayi mengetahui syarat pemberian imunisasi. Akibatnya muncul berbagai persepsi keliru mengenai pemberian imunisasi," kata Ketua III Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Soedjatmiko di Jakarta, Rabu(10/12). Soedjatmiko mengatakan, ada tiga hal yang selalu salah dipersepsikan mengenai pemberian imunisasi. Pertama, jika seorang bayi terlambat diberikan imunisasi, maka harus diulang. Padahal, meskipun terlambat, imunisasi tetap dapat diberikan. Sebab, jarak waktu setiap pemberian imunisasi bukan patokan baku. Selanjutnya, ketika bayi telah melampaui batas imunisasi, maka bayi tidak bisa mendapatkan imunisasi. Padahal, dalam imunisasi jika terdapat kasus sampai melampaui, bisa diberikan imunisasi sekaligus tanpa menghilangkan pemberian imunisasi selanjutnya. "Daripada tidak diimunisasi, lebih baik dirangkap sekaligus. Lagipula tidak ada efek sampingnya," tambahnya. Terakhir, kasus tidak dapat menunjukkan Kartu Menuju Sehat (KMS), lanjut Soedjatmiko, biasanya menyebabkan bayi melompat mendapatkan imunisasi bahkan ada yang diulang. Kesalahan persepsi terakhir ini, disebabkan anggapan jika mendahului atau dilakukan dua kali menyebabkan manfaat imunisasi kurang maksimal. Parahnya, hal ini juga disepakati para orang tua.

Maka dari itu, perlu sosialisasi lebih intensif kepada petugas kesehatan dan para orang tua bayi. Persepsi salah yang muncul di masyarakat harus segera diluruskan sekaligus memupuk kesadaran masyarakat untuk teratur mengimunisasikan bayinya. Bayi selama sembilan bulan wajib mendapat imunisasi dasar. Setelah lahir, bayi harus segera mendapatkan imunisasi hepatitis B. Bulan kedua diberikan imunisasi BCG dan Polio. Selanjutnya, setiap bulannya hingga bulan keempat, bayi mendapatkan imunisasi DPT-Hepatitis B dan Polio. Terakhir, bayi harus mendapatkan imunisasi campak ketika telah berumur sembilan bulan.

http://www.imunisasi.net/HPV.html

Anda mungkin juga menyukai