Anda di halaman 1dari 11

Bab 1 Pendahuluan

1.1

Latar Belakang Kebudayaan merupakan hal yang sangat erat hubungannya dengan masyarakat.

Kebudayaan boleh dikatakan sebagai perwujudan tanggapan manusia terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi dalam proses penyesuaian diri mereka dengan lingkungan. Haviland ( 2005 ) seorang ahli antropologi berpendapat bahwa kebudayaan itu dipercaya terbentuk sejak manusia ada dari zaman dahulu kala. Kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta, kata buddhayah yang merupakan jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau kala. Seorang ahli antropologi, Koentjaraningrat ( 1990 ) mengemukakan bahwa, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Sedangkan Maran ( 2001 ) berpendapat bahwa yang dimaksud kebudayaan adalah cara khas manusia beradaptasi dengan lingkungannya, yakni cara manusia membangun alam guna memenuhi keinginan-keinginan serta tujuan hidupnya yang dilihat sebagai proses humanisasi. Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan

lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Setiap negara di dunia ini memiliki budaya ataupun kebiasaan di dalam masyarakatnya yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi, baik itu di dalam kehidupan sehari-hari, pekerjaan, ataupun pemerintahan. Negara Jepang dikenal memiliki budaya ataupun kebiasaan yang unik dan menjadi ciri khas dari masyarakatnya itu sendiri. Mulai dari kesenian tradisional masyarakat Jepang yang banyak menarik minat wisatawan asing dari mancanegara untuk berkunjung ke negara Jepang, hingga pola pikir dan perilaku masyarakat Jepang yang unik dan berbeda. Masyarakat Jepang dikenal sebagai masyarakat yang homogen penduduknya, sehingga pada umumnya pola pikir antara individu satu dengan individu yang lain tidak terlalu berbeda. Masyarakat Jepang mengenal dan menjalani konsep konsep yang mengikat pola pikir dan perilaku mereka didalam setiap aspek kehidupan mereka, baik itu di dalam kehidupan sehari-hari sampai pada tingkat rutinitas pekerjaan dan organisasi sosial didalam masyarakatnya. Bagi masyarakat Jepang, hampir sebagian besar budaya mereka berhubungan erat dengan pola pikir atau konsep pemikiran yang ada dalam masyarakat Jepang, yakni konsep on, giri dan ninjo. Salah satu konsep pemikiran masyarakat Jepang yang penulis ingin analisis adalah konsep giri dan ninjou. Menurut Doi (1992:132 ) , Giri bisa dikatakan sebagai sesuatu yang erat dengan hutang budi, yaitu tindakan seseorang yang dilakukan terhadap orang lain karena adanya hubungan yang telah terbentuk sebelumnya di antara kedua belah pihak.

Sedangkan yang dimaksud dengan ninjo adalah perasaan kemanusiaan yaitu perasaan simpati, emosi seseorang yang dicurahkan kepada orang lain. Perbedaan antara giri dan ninjo adalah dalam hal penekanan keharusan yang lebih kuat pada giri. Sedangkan pada ninjo adalah perasaan yang lebih terlibat karena hubungan ninjo lebih terkait pada adanya hubungan darah dan ikatan kekerabatan. Ninjo lebih hangat dan cerah Menurut seorang ahli filsafat Jepang yang bernama Minamoto Ryoosen ( Doi, 1992:28 ) mengatakan bahwa kalau kita hendak mempelajari dan mengetahui kebudayaan Jepang yang spesifik, sebaiknya kita mempelajari giri dan ninjo. Giri adalah suatu tindakan yang harus dilaksanakan, sebagai kewajiban yang mau tidak mau, suka tidak suka harus dijalankan. Kewajiban ini dilakukan sebagai tindakan berbalasan dalam berinteraksi sosial, misalnya jika mendapat pertolongan dari orang lain, maka kita juga harus memberikan balasan kepada orang yang telah menolong kita. Dalam kehidupan sosialnya dan dalam berinteraksi dengan orang lain, biasanya orang Jepang akan menerima dan memberi budi baik. Bagi orang Jepang yang hidup dan dibesarkan dengan ajaran-ajaran moral yang tercakup dalam budaya haji (), dan budaya hone () yaitu menghargai diri sendiri, maka menerima budi baik orang lain merupakan beban terberat dalam hidup mereka ( Doi, 1992:28 ). Hal ini terwujud dalam berbagai pepatah Jepang yang mengatakan bahwa tidak ada yang lebih berat daripada giri. Giri mencakup suatu daftar kewajiban yang paling heterogen, mulai dari rasa terima kasih atas perbuatan baik yang pernah diterima dahulu sampai pada melaksanakan tugas membalas dendam. Giri muncul sebagai akibat dari penerimaaan on yang diberikan orang lain dan bagi masyarakat Jepang hal inilah yang mengharuskan

mereka untuk membayar kembali on tersebut dengan cara membayar dengan tindakan yang disebut dengan giri. Dalam Kamus Besar Kojien (1998:716), kata giri memiliki beberapa makna, yaitu : 1. 2. 3. 4. Terjemahan : 1. Jalan yang benar untuk melakukan sesuatu hal atau perkara. Budi pekerti. 2. Jalan yang benar yang harus dilalui umat manusia (sebagai ajaran konfusianisme). 3. Hubungan kemanusiaan terutama setelah memasuki Jaman Edo (abad ke-17 hingga ke-19) yang menekankan suatu keharuskan meskipun tidak sesuai dengan kata hati. Diartikan juga kekariban intimacy, penampilan appearance, dan kehormatan honor. 4. Jalinan hubungan sesama orang lain hingga menjadi seperti hubungan saudara.

Giri mencakup semua kewajiban untuk membayar on kepada sesama dan pemenuhan kewajiban dalam hubungan hubungan yang bersifat kontrak, seperti hubungan dengan mertua, atau hubungan dengan atasan. On yang diterima dengan pembayaran kembali dalam bentuk giri, hampir tidak bisa dihindari oleh setiap orang Jepang. Kewajiban pembayaran giri terhadap keluarga mertua terlihat jelas di dalam hirarkhi rumah tangga tradisional masyarakat Jepang atau yang disebut dengan istilah Ie, di mana di dalam hirarki Ie ini wanita yang menikah harus mengabdi dan dikenakan giri terhadap bapak dan ibu mertuanya dan bila ia meninggal harus dimakamkan di pemakaman keluarga mereka. Selain itu giri bukan saja hanya terbatas pada cangkupan keluarga masyarakat Jepang saja, tetapi sudah menjadi sikap yang universal dalam kehidupan masyarakat Jepang. Hubungan atasan dengan bawahan didalam pekerjaan

pun terkait dengan pembayaran giri ini. Hubungan senpai-kohai yang terjadi dalam pekerjaan merupakan suatu rangkaian yang berkaitan dengan tindakan giri ini. Peraturan-peraturan giri bukanlah merupakan peraturan-peraturan pembayaran kembali yang wajib. Peraturan - peraturan itu bukanlah seperangkat peraturan moral seperti sepuluh perintah tuhan yang ada dalam ajaran agama Kristen. Kalau seseorang dipaksa dengan giri, maka dianggap bahwa ia mungkin harus mengesampingkan rasa keadilannya dan orang sering berkata,Saya tidak dapat berbuat benar karena giri (Benedict, 1996:141). Giri mempunyai dua pembagian yang jelas, yaitu giri kepada dunia dan yang kedua adalah giri kepada nama sendiri. Seseorang yang dipojokkan dengan giri sering terpaksa membayar kembali utang utang yang semakin membesar dengan berlalunya waktu. Seseorang dapat meminta bantuan kepada seorang pedagang kecil, karena ia adalah keponakan dari guru si pedagang ketika pedagang itu masih anak-anak. Karena waktu masih kecil, si pelajar tidak dapat membayar kembali giri kepada gurunya. Utang itu menumpuk selama bertahun-tahun dan pedagang itu harus memberi dengan penuh keenganan untuk menghindari permintaan maaf dari dunia, dengan kata lain dia harus membayar giri-nya kepada dunia (Benedict, 1996:144). Ninjo adalah perasaan kasih sayang manusia yang dicurahkan kepada sesamanya. Perasaan ini adalah perasaan yang murni dari hati yang paling dalam dan dipunyai oleh setiap umat manusia didunia ini. Setiap individu di dunia ini pastilah ia memiliki perasaan kasih sayang yang ada di dalam hatinya, baik ia seorang penjahat ataupun seseorang yang individual sekalipun . Ninjo dilakukan oleh seseorang terutama bila ia melihat orang lain sedang dalam kesulitan dan membutuhkan pertolongan (Doi, 1992).

Seseorang yang telah menerima ninjo dari orang lain tidak akan bisa melupakannya. Kebaikan yang diterimanya akan tertanam di dalam hati sanubari, dan pada suatu saat ia harus dapat membalas kebaikan itu. Ia tidak akan merasa lega bila ia tidak dapat membalas kebaikan tersebut, perasaan ninjo yang dimilikinyalah yang memberikan rasa keharusan untuk melakukan sesuatu hal kepada orang yang telah memberikan kebaikan kepadanya. Maka sejak saat itulah akan timbul jalinan hubungan manusia di antara kedua belah pihak, yang tentunya di dalam hubungan itu terdapat tindakan-tindakan, norma-norma yang harus dilaksanakan seperti misalnya giri. Seseorang sering harus membuang ninjo karena ada giri yang harus dilaksanakan dan dirasakan lebih penting untuk dilakukan. Pada zaman Tokugawa di Jepang, kisah-kisah hubungan sikap mereka dengan para tuannya yang terkait dengan giri dan ninjo sangat terkenal. Misalnya saja, para samurai dilarang menyerah pada rasa lapar sebagai bagian dari tindakan pendisiplinan diri atau yang dikenal dengan istilah bushido. Samurai ( ) adalah istilah untuk perwira militer kelas elit sebelum zaman industrialisasi di Jepang. Kata "samurai" berasal dari kata kerja "samorau" asal bahasa Jepang kuno, berubah menjadi "saburau" yang berarti "melayani", dan akhirnya menjadi "samurai" yang bekerja sebagai pelayan bagi sang majikan (Benedict, 1996:108). Hubungan giri para samurai terhadap para tuannya pun tercermin dalam kehidupan mereka sehari-hari. Mereka dituntut untuk menjaga nama baik klan nya masing-masing sebagai tindakan pembayaran giri mereka atas perlakuan baik yang diterima dari tuannya, baik itu imbalan berupa uang, makanan, maupun asuhan bela diri yang diajarkan kepada mereka semenjak kecil. Seringkali pada masa inipun terjadi konflik antara kepentingan giri dengan ninjo dimana samurai tersebut

harus memutuskan untuk membela kepentingan keluarganya atau membela klannya bila ada tugas berbahaya yang harus dilaksanakan walaupun ia harus rela mengorbankan dirinya sendiri (Benedict, 1996:144). Hubungan yang erat antara giri dan ninjou tidak hanya terlihat dalam kehidupan bermasyarakat saja, hal ini juga memberikan inspirasi dalam dunia perfilman Jepang. Banyak sekali film-film yang mengangkat tema mengenai konsep giri maupun ninjou dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satunya adalah film yang berjudul Twilight Samurai ( ) karya salah satu sutradara terkenal asal Jepang, Yoji Yamada. Film ini diproduksi pada tahun 2002 dan memenangkan 12 penghargaan film Jepang untuk nominasi gambar terbaik, aktor pria dan wanita terbaik, sutradara terbaik dan skenario film terbaik. Selain itu pula dinominasikan pada penghargaan Oscars ke-76 tahun 2004 dalam kategori nominasi film bahasa asing pilihan terbaik. Film ini berbeda sekali dibandingkan dengan film-film lain yang bertema kan samurai, dimana film ini lebih memfokuskan kepada perjuangan hidup sehari-hari si samurai dan bukan memfokuskan kepada pertarungan antar samurai. Film ini bercerita tentang kehidupan seorang samurai bernama Seibei Iguchi

(Hiroyuki Sanada) yang hidup di akhir abad ke-19 tepatnya tahun 1868. Sepeninggal istrinya yang wafat karena sakit TBC, Iguchi yang pendiam dan rendah hati itu harus terus melanjutkan hidupnya yang sederhana. Sebagai seorang juru tulis dengan upah rendah ia dan keluarganya yang terdiri dari dua orang anak perempuan serta seorang ibu yang telah renta dan pikun serta hidup serba pas-pasan. Bahkan seringkali mereka tidak mempunyai beras untuk makan esok hari. Kendati demikian mereka selalu tampak bahagia. Ia mencintai kedua orang putrinya dan mengizinkan mereka sekolah dan

membaca buku seperti anak-anak lelaki. Sikapnya tersebut menjadi istimewa untuk ukuran kehidupan di Jepang pada masa itu yang umumnya hanya mengajari anak-anak perempuan mereka dengan pengetahuan menjahit dan memasak. Iguchi tak pernah bercita-cita memilih jalan pedang alias menjadi seorang samurai sepanjang sisa umurnya. Ia lebih suka bertani dan berkebun di pekarangan rumahnya yang tak seberapa luas itu bersama putri-putri tercintanya. Ia juga tak pernah berniat untuk menikah kembali sampai pada suatu hari ia berjumpa dengan sahabat lamanya yang kemudian mengubah jalan hidupnya. Melalui sahabatnya ini ia dipertemukan kembali dengan kekasih dari masa remajanya, Tomoe Iinuma (Rie Miyazawa). Tomoe adalah mimpi masa lalunya yang hadir kembali. Wanita cantik adik Iinuma itu, kini berstatus janda karena tak tahan hidup sebagai istri seorang pemabuk yang sering memukul. Malam itu, saat Iguchi mengantarkan Tomoe pulang, menjadi awal baru kehidupan mereka. Iguchi terpaksa menerima tantangan berduel mantan suami Tomoe yang merasa tersinggung karena Iguchi ikut campur melerai pertengkarannya dengan Tomoe. Maka keesokan harinya, pada jam dan tempat yang telah ditentukan, bertarunglah mereka. Pemenangnya tentu saja Iguchi. Sejak itu, tersebarlah dari mulut ke mulut cerita tentang kemenangannya tersebut. Teman-temannya yang semula sering mengolok-oloknya dengan sebutan Twilight Iguchi berubah sikap menghormatinya. Bukan itu saja, hubungannya dengan Tomoe pun lalu makin dekat. Tomoe jadi sering mengunjungi ke rumahnya, mengurusi kedua putri Iguchi dan mengajari mereka dengan pengetahuan-pengetahuan baru. Kisah tentang kemenangannya itu pula yang akhirnya membawanya ke jalan pedang untuk menjadi seorang samurai tanpa bisa ditolaknya. Majikannya memerintahkannya untuk bertarung sampai mati dengan Zenemon Yogo (Min Tanaka) dengan imbalan

dihapusnya semua utang selama pengobatan hingga meninggalnya istri Iguchi. Pada akhirnya Iguchi tidak mempunyai pilihan lain selain menerima tugas tersebut. Film ini sendiri sebenarnya diangkat dari kisah novel berjudul Tasogare Seibei oleh Shuuhei Fujisawa, terbit pada tahun yang sama, yaitu 2002. Film ini berdurasi dua jam sembilan menit yang diproduksi oleh Studio film Jepang, Shochiku Co.ltd. Penulis merasa film ini mencerminkan hubungan giri dengan ninjo dengan alur cerita yang menarik, karena hal inilah penulis merasa tertarik untuk menjadikannya bahan penelitian skripsi.

1.2 Rumusan Permasalahan Film Twilight Samurai berhasil memperlihatkan eratnya konsep giri dan ninjo di dalam kehidupan bermasyarakat. Konsep - konsep itu terdapat dalam dialog dan tindakan tokoh-tokoh dalam film Twilight Samurai, khususnya pada tokoh Seibei Iguchi yang menggambarkan terjadinya giri dengan ninjo. Oleh karena itu penulis tertarik untuk menganalisis konsep giri dan ninjo tersebut.

1.3

Ruang Lingkup Permasalahan Pada penulisan penelitian ini, penulis akan membatasi penelitiannya pada analisis

hubungan antara giri dan ninjo secara verbal dan non verbal dalam film Twilight Samurai yang dilihat dari tokoh Seibei Iguchi.

1.4 Tujuan dan Manfaat Permasalahan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami konsep giri dan juga konsep ninjo, sebagai salah satu konsep yang mengikat pola pikir dan perilaku orang Jepang, yang 9

digambarkan dalam film Twilight Samurai. Manfaat dari penelitian ini adalah diharapkan agar pembaca dapat mengetahui lebih jelas mengenai konsep giri dan ninjo, yang terjadi pada diri seorang samurai dengan mengunakan film layar lebar sebagai media pembelajaran.

1.5

Metode Penelitian Penulis akan mengunakan metode kajian kepustakaan dengan memanfaatkan data

dan bahan serta buku-buku yang diperoleh dari Perpustakaan Universitas Bina Nusantara, The Japan Foundation, Perpustakaan umum daerah, Perpustakaan Universitas Indonesia, dan dari toko buku di Jakarta. Selain itu penulis juga memperoleh data-data dari Internet untuk mengumpulkan data-data serta teori yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti agar mendapatkan analisis yang akurat dari teori yang tepat. Dengan adanya teori yang tepat maka akan dapat diketahui makna konsep giri dan ninjo lebih mendalam apakah perilaku tokoh utama dalam film Twilight Samurai memegang peranan konsep giri dan ninjo tersebut. Selain itu, Penelitian ini akan dilakukan dengan cara menganalisis film yang berjudul Twilight Samurai untuk membatasi permasalahan yang akan diteliti.

1.6

Sistematika Penulisan Pada bab 1 akan menjelaskan topik yang akan dibahas dalam skripsi yang antara lain

berisi mengenai latar belakang penulis dalam memilih tema, rumusan permasalahan, ruang lingkup permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan juga sistematika penulisan.

10

Pada bab 2 berisikan mengenai uraian-uraian teori tentang konsep giri dan ninjou yang akan digunakan sebagai alat untuk menganalisis perilaku tokoh utama Seibei Iguchi dalam film Twilight Samurai. Selain itu teori penokohan juga akan dijelaskan pada bab ini. Dalam bab 3 penulis akan memaparkan analisis data yang akan dihubungkan dengan teori-teori yang terdapat pada bab 2, dimana hal ini bertujuan untuk menguraikan analisis dan kajian mengenai konsep giri dan ninjou yang terdapat dalam dialog dan perilaku tokoh utama Seibei Iguchi dalam film Twilight Samurai. Pada bab 4 penulis akan menuliskan simpulan yang didapatkan dari hasil analisis yang telah dilakukan dalam bab 3 secara jelas serta dalam bagian ini juga berisi harapan dan saran penulis terhadap pembaca yang berhubungan dengan penelitian. Dalam bab 5, ringkasan yang berisi rangkuman dari seluruh penelitian dari latar belakang, rumusan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, beserta bahasan-bahasan analisis teori dan data serta hasil penelitian secara singkat, padat, dan jelas.

11

Anda mungkin juga menyukai