Anda di halaman 1dari 37

DAFTAR ISI

BAB I 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5

: PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Sistematika Penulisan

BAB II 2.1

: TELAAH PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN MODEL Keinginan Untuk Berhenti 2.1.1. Definisi Keinginan Untuk Berhenti 2.1.2. Faktor-Faktor Pemicu Kenginan Untuk Berhenti 2.1.3. Dampak Turnover

2.2

Iklim Organisasi 2.3.1. Definisi Iklim Organisasi 2.3.2. Sifat-Sifat Iklim Organisasi 2.3.3. Dimensi Iklim Organisasi

2.3

Kepuasan Kerja 2.4.1. Definisi Kepuasan Kerja 2.4.2. Teori-Teori Kepuasan Kerja 2.4.3. Dimensi Kepuasan Kerja

2.4

Hubungan Antar Variable 2.5.1. Iklim Organisasi dan Keinginan untuk Berhenti 2.5.2. Iklim Organisasi dan Kepuasan Kerja 2.5.3. Kepuasan Kerja dan Keinginan untuk Berhenti

BAB III 3.1 3.2 3.3

: METODE PENELITIAN Metode Penelitian Pengembangan Alat Ukur Pengolahan Data

BAB IV 4.1 4.2 4.3 4.4

: ANALISIS DATA DAN INTERVENSI Uji Normalitas, Uji Linearitas, Uji Reliabilitas Analisis Intention To Leave Analisis Iklim Organisasi Analisis Kepuasan Kerja

BAB V 5.1 5.2

: RANCANGAN INTERVENSI Pertimbangan Intervensi Pelaksaan Intervensi

DAFTAR REFERENSI LAMPIRAN LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah Praktek tenaga kerja di negara berkembang selama setengah abad terakhir, ekspor impor barang, jasa, dan modal telah berkembang dengan pesat. Globalisasi menciptakan peluang ekonomi, budaya, dan sosial yang baru, tetapi juga menimbulkan tantangan untuk memastikan bahwa pekerja di seluruh dunia mendapat kesempatan kerja yang lebih besar. Perusahaan Multi Nasional berinvestasi di negara-negara berkembang untuk dapat mengeksploitasi buruh yang tersedia hingga dapat memenuhi tuntutan pasar di seluruh dunia. (Media AAM, 2011) Manusia adalah aset yang paling penting bagi perusahaan. Pernyataan klise selalu diyakini benar, namun pada penerapannya sering kali terabaikan. Sebuah perusahaan tekstil yang telah go public pernah menuliskan kalimat manusia kita adalah.... di dalam laporan tahunannya, meskipun hampir tidak pernah berinvestasi dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). (Media AAM, 2011) Setiap organisasi tidak luput dari bagaimana usahanya dalam memanege karyawan sebagai sumber daya manusia yang sangat penting untuk kemajuan atau perkembangan bisnis di masa yang cukup panjang (Sulistyawati, 2008). Setiap perusahaan atau organisasi selalu berusaha mengurangi tingkat niat keluar karyawannya, terutama yang keluar sukarela. Tingginya karyawan keluar suatu perusahaan atau organisasi merupakan pemborosan biaya dibanding manfaatnya. Keluar sukarela umumnya banyak terjadi pada karyawan berprestasi sehingga kasus seperti ini sangat merugikan perusahaan. (Sumarto, 2009). Dalam era globalisasi, turn-over adalah masalah umum dalam organisasi yang terjadi terus-menerus di setiap jenis dan ukuran organisasi dan pada setiap tingkat organisasi. Pergantian staf adalah masalah serius terutama di bidang manajemen sumber daya manusia. Turn-over menghabiskan banyak biaya bagi sebuah organisasi dan biaya adalah karena biaya pemutusan hubungan kerja, iklan, rekrutmen, seleksi, dan mempekerjakan karyawan baru (Abbasi & Hollman, 2008; dalam Foon, Leon, Osman, 2010). Tingginya tingkat turnover intentions karyawan akan merugikan perusahaan (Petronila, Tjendra&Hartiningsih, 2009). Ketika karyawan meninggalkan organisasi, kemampuan karyawan yang tetap bekerja untuk menyelesaikan tugas

mereka mungkin akan terpengaruh. Kepuasan kerja telah diidentifikasi sebagai faktor penting dalam masa kerja untuk semua kelompok kerja. Karyawan yang puas lebih mungkin untuk berkomitmen untuk organisasi mereka dan menurunkan niat berhenti dari pekerjaan. Selain itu, stres kerja yang dialami karyawan juga merupakan salah satu faktor penting mempengaruhi bagaimana melakukan dengan organisasi. (Foon, Leon, Osman, 2010)
Munandar (2001) menyatakan manusia dalam bekerja mendambakan suatu kepuasan kerja baik itu segi materil maupun dalam segi moril. Kerja merupakan suatu sarana untuk menuju ke arah terpenuhinya kepuasan pribadi dengan jalan memperoleh kekuasaan dan menggunakan kekuasaan itu terhadap orang lain. Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual. Setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbedabeda sesuai dengan sistem nilai-nilai yang berlaku pada dirinya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan pada masing-masing individu.

Berbagai upaya yang telah dilakukan perusahaan terhadap SDM-nya, antara lain menciptakan lingkungan kerja yang baik, pelatihan, memberikan kompensasi, tunjangan-tunjangan, mempromosikan karyawan, memotivasi dan sebagainya. Adanya perasaan senang atau tidak karyawan dalam bekerja sangat ditentukan oleh kondisikondisi di atas akan memberikan dampak pada kepuasan dalam bekerja dan pada akhirnya kepada tingkat perputaran kerja itu sendiri atau turn-over. (Sulistyawati, 2008). Globalisasi merupakan tuntutan dari perkembangan zaman dimana persaingan bisnis menjadi semakin ketat. Oleh karena itu, setiap organisasi baik pemerintah maupun swasta harus senantiasa mengevaluasi dan memperbaiki praktek-praktek bisnis dan iklim kerja. Iklim organisasi adalah status emosi yang ditunjukkan oleh anggota sistem. Iklim ini dapat formal, rileks, defensive, berhati-hati, menerima, percaya, dan sebagainya. (1). Iklim organisasi lebih menekankan pada pendiskripsian atmosfer organisasi dari pada mengevaluasi/mengindikasi reaksi emosional terhadap organisasi. Kepuasan kerja adalah bagian dari iklim organisasi (2) Strategi-strategi perbaikan iklim organisasi dengan prinsip dan praktik peningkatan kualitas akan menghasilkan organisasi yang lebih unggul dalam persaingan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Setiap organisasi mempunyai profil iklim organisasi yang menjadi ciri khas organisasi tersebut bila dibandingkan dengan yang lainnya. (Utami, Jurnal Kesehatan Surya Medika) Iklim organisasi melukiskan internal organisasi dan berakar pada budaya organisasi. Umumnya iklim organisasi dengan mudah dapat dikontrol oleh pemimpin

atau manajer. Iklim organisasi merupakan persepsi anggota organisasi

mengenai

dimensi-dimensi iklim organisasi. Iklim organisasi mempengaruhi kinerja mereka dan kemudian mempengaruhi kinerja organisasi (Wirawan, 2007). Menyadari betapa iklim organisasi memiliki kontribusi yang cukup signifikan terhadap setiap individu di organisasi, yang pada ujung-ujungnya akan pula berpengaruh terhadap kualitas kerja, maka dengan sendirinya perlu pemahaman yang baik tentang iklim organisasi. (Idrus, 2006) Menurut Watkin dan Hubbard (2003), organisasi dengan karyawan berkinerja tinggi memiliki iklim organisasi dengan karakteristik khusus yang dapat terukur tertentu, yang telah menunjukkan bagaimana iklim organisasi secara langsung dapat menjelaskan sampai 30% dari varians dalam ukuran kinerja bisnis utama. Hal ini didukung oleh penelitian yang menguji hubungan antara cara di mana karyawan menggambarkan pekerjaan mereka lingkungan dan keberhasilan kinerja relatif dari lingkungan (Wiley & Brooks, 2000). Watkin dan Hubbard (2003) berpendapat bahwa iklim tidak membuat perbedaan untuk organisasi 'kinerja karena' itu menunjukkan bagaimana energi lingkungan kerja untuk karyawan. Ada, bagaimanapun, jelas lebih pada kinerja organisasi daripada 'karyawan energi' atau adanya organisasi tertentu dan karakteristik kepemimpinan: 'produktivitas ... juga tergantung pada moral yang mengatur upaya diskresioner - kemauan untuk bekerja ekstra. P. Adriyanto, komisaris PT. Sinergi Cahaya Kemuliaan sekaligus advisor/Internal Consultant Columbia Group Citra dalam blog-nya menuliskan Walaupun gaji tinggi, hubungan antar manusia juga baik, bila tidak mencintai pekerjaannya akan menyebabkan karyawan akan selalu berusaha mencari pekerjaan di tempat lain (terjadi mismatch antara pekerjaan dan karyawan). Sebaliknya, seorang karyawan mencintai pekerjaannya, gaji tidak ada masalah, tetapi bila diperlakukan tidak dengan respek sebagai manusia oleh atasannya, dia akan berhenti juga. Citra perusahaan di masyarakat tidak baik, yang dapat dibuktikan oleh sering terjadi pengunduran diri para calon karyawan yang datang untuk di-interview begitu tahu perusahaan apa yang memanggilnya. X adalah perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi manufaktur dan produksi peralatan pertambangan. Berdiri tahun 1917 di Jepang dengan nama XYZ dan berganti nama menjadi X Jepang (XJ) pada bulan Mei 1921. XJ memiliki cabang hampir di seluruh negara maju dan negara berkembang, dan setiap cabang disertai 35

anak perusahaan yang masing-masing memegang peranan berbeda dalam bidang servis pada distributor dan konsumen. Masalah utama yang dihadapi X Indonesia dan hampir seluruh anak cabangnya adalah absennya Departemen SDM. Jajaran pejabat perusahaan berpendapat bahwa pekerjaan yang seharusnya ditangani oleh Departemen SDM dapat diatasi oleh Departemen Keuangan. Hal ini menyebabkan X Indonesia selalu absen dalam melakukan Human Resources System yang layak bagi karyawannya.

1.2

Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apakah iklim organisasi berpengaruh pada turnover intentition? 2. Apakah kepuasan kerja berpengaruh pada turnover intention? 3. Apakah iklim organisasi dan kepusan kerja berpengaruh pada turnover intention?

1.3

Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : 1. Melakukan analisis permasalahan pada PT. XYZ. 2. Memberikan masukkan bagi peningkatan kepuasan kerja karyawan PT. XYZ. 3. Memberikan usulan intervensi untuk mengatasi permasalahan. 4. Memberikan kontribusi ilmu, praktik dan nilai dalam wacana SDM 5. Menambah wawasan penulis tentang iklim organisasi dan kepuasan kerja.

1.4

Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dan tujuan penelitian diatas maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: 1. Ada pengaruh antara iklim organisasi terhadap turnover intention. 2. Ada pengaruh antara kepuasan kerja terhadap turnover intention. 3. Ada pengaruh antara iklim organisasi dan kepuasan kerja terhadap turnover intention.

1.5

Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoristis Penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi praktisi akademisi pada bidang studi Psikologi Sumber Daya Manusia dan Psikologi Industri dan Organisasi mengenai pentingnya Iklim Organisasi dan Kepuasan Kerja dalam organisasi. 2. Manfaat Praktis Rancangan MSDM yang dikembangkan dalam penelitian ini diharapkan dapat memberi masukkan bagi manajemen PT.X untuk dapat melakukan penelitian terhadap iklim organisasi dan kepuasan kerja karyawannya sehingga perusahaan kdapat membangun sistem MSDM yang sesuai dengan organisasi kepuasan karyawan meningkat dan dapat menekan niat karyawan untuk berhenti dari pekerjaan mereka.

1.6

Kerangka Penelitian 1. Kerangka Pemikiran

1. 2. 3.

Komunilkasi Nilai dan Norma Program dan Pengharapan 4. Kebijakkan dan Peraturan 5. Kepemimpinan Davis&Newstrom (1994)

IKLIM ORGANI SASI INTENTI ON TO LEAVE KEPUA SAN KERJA

Nelwan (2008)

Turnover Intentions

Job Insecurity
Joseph Evan Ochola (2008)

Ciri-ciri intrinsik pekerjaan 2. Gaji penghasilan 3. Penyeliaan 4. Rekan Kerja 5. Kondisi kerja yang menunjang Munandar (2001)

1.

Senoritas
Joseph Evan Ochola (2008)

Budaya Organisasi Hofstede (1980)

BAB II TINJAUAN TEORISTIS

2.1 Keinginan Untuk Berhenti 2.1.1 Definisi Keinginan Untuk Berhenti Niat untuk berhenti dengan mengambil tindakkan berhenti memiliki hubungan yang sangat kuat. (Hong&Khaur, 2008) Untuk alasan ini, peneliti sering menggunakan niat untuk meninggalkan sebagai kata lain dari berhenti kerja. Price (1977; dalam Hong&Khaur, 2008) mengembangkan sebuah model dari omset yang menyatakan bahwa niat untuk berhenti dipengaruhi oleh karakteristik pribadi, karakteristik peran terkait, karakteristik fasilitas, kesempatan berhenti, dan karakteristik pekerjaan. Mobley (1982; dalam Hong&Khaur, 2008), menyajikan faktor-faktor eksternal yang menyebabkan karyawan mengundurkan diri yaitu perekonomian, variabel organisasi dan variabel individu. Menurut Zeffane & Gul (1995; dalam Sumarto, 2009) mengartikan niat adalah keinginan yang timbul dari individu untuk melakukan sesuatu. Keluar adalah berhentinya seorang karyawan dari tempat kerja secara sukarela. Berarti niat keluar adalah niat karyawan berhenti bekerja secara sukarela. Beberapa karyawan mungkin merespon dukungan organisasi dengan mengurangi keinginan untuk ke luar. Tetapi karyawan yang tidak puas merespon dengan meningkatkan niat keluar. Bagi karyawan yang tidak puas persepsi dukungan organisasi yang rendah dapat mendorong timbulnya kemungkinan untuk keluar dari organisasi (Meyer & Allen, 1991; dalam Sumarto, 2009). Good et al. (1996; dalam Pareke 2004), keinginan berpindah adalah kecenderungan atau keinginan (intention) seseorang untuk secara actual berpindah (turnover) dari suatu organisasi. Dalam perkembangnya Mobley et al., (1979; dalam Nelwan, 2008) mendefinisikan turnover intention sebagai pemberhentian keterikatan dalam suatu organisasi oleh individu yang menerima kompensasi dari organisasi tersebut. Menurut Arnold and Feldman (1982; dalam Nelwan, 2008) intention to quit adalah keinginan berpindah dari karyawan yang mengacu pada kelanjutan hubungannya dengan perusahaan dan belum diwujudkan dalam tindakan pasti meninggalkan perusahaan tersebut. Menurut Harninda (1999:27): Turnover intentions pada dasarnya adalah sama dengan keinginan berpindah karyawan dari satu tempat kerja ke tempat kerja

lainnya. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa turnover intentions adalah keinginan untuk berpindah, belum sampai pada tahap realisasi yaitu melakukan perpindahan dari satu tempat kerja ke tempat kerja lainnya. Turnover intentions (keinginan berpindah) mencerminkan keinginan individu untuk meninggalkan organisasi dan mencari alternatif pekerjaan (Suwandi&Indriantoro, 1999; dalam Toly, 2001). Abelson (1987; dalam Toly, 2001) menggambarkan hal tersebut sebagai pikiran untuk keluar, mencari pekerjaan di tempat lain, serta keinginan meninggalkan organisasi.

2.1.2

Faktor-Faktor Pemicu Kenginan Untuk Berhenti Memahami hal-hal yang menjadi pendorong timbulnya keinginan berpindah

dan bagaimana cara mengendalikannya, menghasilkan perdebatan panjang dari perspektif teoritis. Sementara pada sisi praktis, keterampilan dan keahlian serta kebijakan-kebijakan yang dapat diterapkan untuk menekan keinginan berpindah di kalangan karyawan menjadi sangat dibutuhkan. (Pareke, 2004) Banyak peneliti mencoba untuk memahami faktor-faktor penentu utama dari keinginan berpindah dan mengembangkan beberapa implikasi manajerial untuk menangani masalah tingkat tingginya turnover (Tuzun, 2007; dalam Foon, Leon, Osman, 2010). Keinginan keluar merupakan inisiatif dari karyawan di mana keinginan organisasi tidak sama dengan harapan yang diinginkan oleh karyawan. Turnover (berpindah kerja) biasanya merupakan salah satu pilihan terakhir bagi seorang karyawan apabila dia mendapati kondisi kerjanya sudah tidak sesuai lagi dengan apa yang diharapkannya. (Triyanto&Santosa, 2009) Dalam studi yang dilakukan Seniati (2006) terhadap dosen Universitas Indonesia, disimpulkan beberapa faktor yang mempengaruhi tetap aktifnya dosen di kampus, antara lain minat yang tinggi untuk mengajar, meneliti, dan memberikan pelayanan pada masyarakat; usia yang sudah terlalu lanjut untuk pindah pekerjaan; merasa tidak memiliki alternatif pekerjaan lain; atau karena adanya komitmen yang tinggi pada universitas. Menurut Ramlall (2003; dalam Sumarto, 2009), pertimbangan intensi karyawan untuk pindah kerja ditentukan oleh faktor kompensasi (59%) dan pengembangan karir (41%). Studi Herpen et al. (2002; dalam Sumarto, 2009) menyatakan desain dan implementasi kompensasi dapat mempengaruhi motivasi

karyawan. Kompensasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan labor turnover intention.

2.1.3

Indikasi Intensi Turn-over Intensi turnove karyawan dapat dilihat dari 5 (lima) indikasi, yakni: absensi

yang meningkat, mulai malas kerja, naiknya keberanian untuk melanggar tata tertib kerja, keberanian untuk menentang atau protes kepada atasan, perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya. Jadi jika perusahaan ingin menekan kemungkinan terjadinya intensi turnover, maka perusahaan harus mampu menerjemahkan kelima indikasi diatas (Nasution, 2009). Gejala lain yang mungkin ditimbulkan seorang karyawan adalah rendahnya prestasi kerja, kurang disiplin, rendahnya hasil yang diperoleh dari kinerja (Triyanto&Santosa, 2009). Setiap perusahaan mempunyai sifat turnover karyawan yang khas. Secara umum perusahaan semakin maju akan semakin rendah pula tingkat turnover karyawannya (Atmajawati, 2006; dalam Sumarto, 2009). Perusahaan yang mempunyai tenaga kerja muda akan mempunyai tingkat turnover yang lebih tinggi dibanding perusahaan yang memiliki pekerja relatif lebih tua (Flinkman, et al., 2006; dalam Sumarto, 2009). Demikian pula perusahaan yang banyak pekerja wanitanya akan mempunyai tingkat turnover yang lebih tinggi dibanding perusahaan yang mempunyai pekerja pria (Atmajawati, 2006; dalam Sumarto, 2009).

2.1.4

Dampak Turn-over
Efek negatif adanya turnover adalah meningkatnya biaya perekrutan. Ramlall

(2003) mengungkap adanya biaya yang tidak masuk akal dari hilangnya seorang karyawan kunci. Perusahaan menghabiskan 50% sampai 60% dari suatu gaji tahun pertama karyawan. Bahkan sampai 100% untuk tenaga spesialis tertentu yang memiliki ketrampilan tinggi, risiko memperkerjakan tenaga baru, asimilasi, pelatihan dan biaya administrasi lainnya (Kurniasari, 2005; dalam Sumarto, 2009). Ketika karyawan

tersebut keluar, sebuah organisasi harus mengeluarkan biaya finansial untuk memilih, merekrut dan melatih karyawan baru. Efek negatif yang ditimbulkan keinginan keluar adalah menghilangnya fungsi integrasi, kohesif dan moral dalam organisasi. (Triyanto&Santosa, 2009)

Efek lain yang tidak kalah penting adalah komunikasi yang makin buruk dan gangguan kinerja organisasi (Kurniasari, 2005; Sumarto, 2009). Karena setiap karyawan yang keluar dari perusahaan akan membawa serta pengalaman, pengetahuan yang telah dikembangkan selama masa kerja (Harris, 2000; Sumarto, 2009) dan tingkat efisiensi yang telah dimilikinya (Atmajawati, 2006; Sumarto, 2009). Harris (2000; Sumarto, 2009) juga mempercayai pengetahuan banyak membantu pemenuhan kebutuhan dan harapan-harapan pelanggan. Termasuk menciptakan serta mendukung keunggulan bersaing organisasi dalam ekonomi global (full competition).

2.2 Iklim Organisasi 2.2.1 Definisi Iklim Organisasi Iklim organisasi memiliki banyak definisi. Definisi pertama dikemukakan oleh Forehand and Gilmers pada tahun 1964, yang menyatakan bahwa iklim organisasi adalah serangkaian deskripsi dari karakteristik organisasi yang bertahan dalam jangka waktu lama. Litwin dan Stringer mendefinisikan iklim organisasi sebagai suatu yang dapat diukur pada lingkungan kerja baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada karyawan dan pekerjaannya dimana tempat mereka bekerja dengan asumsi akan berpengaruh pada motivasi dan perilaku karyawan. (Toulson & Smith, 1994) Gilmer (1984; dalam Satria 2005) menyatakan bahwa iklim organisasi merupakan keadaan di dalam organisasi dimana setiap anggotanya saling berinteraksi, membatasi dan mengenali satu sama lain serta menentu-kan kualitas kerja sama, pengembangan anggota organisasi dan efisiensi yang akan mengubah tujuan menjadi hasil. Kolb et. al (1984; dalam Satria 2005) mendefinisikan iklim organisasi diperankan oleh tujuh aspek yaitu komformitas, tanggungjawab, standart, penghargaan, kejelasan organi-sasi, kehangatan dan dukungan dan kepemimpinan. Gibson dkk. (1994; dalam Satria, 2005) menggunakan istilah iklim organisasi untuk menggambarkan lingkungan atau situasi dari organisasi. Istilah Iklim organisasi dapat juga dipergunakan untuk menggambarkan iklim psikologis atau kepribadian organisasi Stinger mendefinisikan bahwa iklim organisasi sebagai koleksi dan pola lingkungan yang menentukan munculnya motivasi serta berfokus pada persepsipersepsi yang masuk akal atau dapat dinilai, sehingga mempunyai pengaruh

langsung terhadap kinerja anggota organisasi. Tagiuri dan Litwin (dalam Wirawan, 2007) mengatakan bahwa iklim organisasi merupakan kualitas lingkungan internal organisasi yang secara relatif terus berlangsung, dialami oleh anggota organisasi dan mempengaruhi perilaku mereka serta dapat dilukiskan dalam satu set karateristik atau sifat organisasi. Iklim (climate) selalu dilihat sebagai descriptive concept yang tertuju pada fakta tentang lingkungan, di lain pihak iklim digunakan untuk mengevaluasi kepuasan kerja. Iklim organisasi adalah suatu sistem sosial yang selalu dipengaruhi oleh lingkungan baik internal maupun eksternal. Iklim organisasi yang baik penting untuk diciptakan karena merupakan persepsi seorang karyawan tentang apa yang diberikan oleh organisasi dan dijadikan dasar bagi penentuan tingkah laku karyawan selanjutnya. Pengertian iklim organisasi atau suasana kerja dapat bersifat jelas secara fisik, tetapi dapat pula bersifat tidak secara fisik atau emosional. Iklim organisasi merupakan suasana kerja yang dialami oleh karyawan, misalnya lewat ruang kerja yang menyenangkan, rasa aman dalam bekerja, penerangan yang memadai, sarana dan prasana yang memadai jaminan sosial yang memadai, promosi jabatan, kedudukan dan pengawasan yang memadai. Oleh karena itu iklim organisasi merupakan hal yang krusial dan berdampak pada motivasi individu dalam pencapaian suatu hasil (Brown dan Leigh, Neal, Griffin dan Hart, 1996; dalam Sari, 2009).

2.2.2

Sifat-Sifat Iklim Organisasi Menurut Al-Shammri (1998), Slocum mengemukakan 4 sifat iklim

organisasi, antara lain : a) Iklim baik secara organisasi Individu maupun grup, secara keseluruhan bersifat psikologis dan persepsi, individu yaitu persepsi yang diperoleh oleh seluruh anggota dari satuan unit sosial. b) Semua iklim adalah abstrak Orang-orang biasanya memanfaatkan informasi tentang barang lain dan berbagai kegiatan yang terjadi dalam organisasi tersebut untuk membentuk suatu rangkuman persepsi mengenai iklim. Setelah itu digabungkan hasil dari pengamatan mereka dan pengalaman pribadi orang-orang lain untuk dibuat peta kognitif dari orang tersebut.

c) Iklim bersifat abstrak dan perceptual Maka mereka memiliki prinsip-prinsip yang sama dengan persepsi seperti konsep psikologis yang lainnya. Ketika prinsip ini digunakan dalam pengamatan lingkungan kerja maka sebuah deskripsi yang bersifat multidimensi akan dihasilkan. d) Iklim itu sendiri Disadari lebih deskriptif daripada evaluatif, jadi peneliti lebih banyak banyak menanyakan apa yang mereka lihat dalam lingkungan kerja mereka pada seseorang dibandingkan menanyakan kepada mereka untuk menyatakan apakah itu baik atau buruk.

2.2.3

Dimensi Iklim Organisasi Iklim organisasi secara obyektif eksis, terjadi disetiap organisasi, dan

mempengaruhi perilaku anggota organisasi, tetapi hanya dapat diukur secara tidak langsung melalui persepsi anggota organisasi. Ini berarti bahwa peneliti yang menginginkan informasi mengenai iklim suatu organisasi perlu menjaringnya, misalnya dengan menggunakan kuisioner, wawancara dan observasi dari anggota organisasi. Dimensi dan indikator iklim organisasi harus dikembangkan untuk mengembangkan kuisioner guna mengukur iklim organisasi. (Wirawan, 2007) Wirawan juga menuliskan dimensi iklim organisasi adalah unsur, faktor, sifat, atau karakteristik variable iklim organisasi. Dimensi iklim organisasi terdiri atas beragam jenis dan berbeda untuk setiap organisasi. James and Jones menyatakan bahwa iklim organisasi tertuju pada atribut dari organisasi yang meliputi deskripsi organisasi, dan diukur berdasarkan persepsi (Muchinsky, 1977). George H. Litwin dan Robert A. Stringer, Jr. (1976; dalam Sari, 2009) menyatakan bahwa iklim organisasi dapat dilihat dari beberapa dimensi. a) Pertama, dimensi struktur yang menjelaskan langkah dan tindakan dari pihak manajemen, berhubungan dengan peraturan yang ditetapkan, hirarki dalam organisasi dan birokrasi, kejelasan uraian tugas yang diberikan, proses pengambilan keputusan serta kontrol yang

diberlakukan di organisasi. b) Kedua, dimensi interaksi yang menggambarkan suasana interaksi antar karyawan suatu organisasi, seyogyanya dalam suatu organisasi harus

tercipta interaksi yang baik dan harmonis antar karyawan suatu organisasi. c) Ketiga, dimensi imbalan yang memiliki pengaruh yang besar dalam terciptanya iklim organisasi yang baik, dimensi ini menggambarkan sistem imbalan yang ada. d) Keempat, dimensi resiko yang menjelakan bahwa setiap aktivitas organisasi memiliki risiko dan menjadi kewajiban organisasi untuk meminimalkan risiko dan memiliki action plan apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kelima, dimensi tanggung jawab yang menjelaskan rasa tanggung jawab yang ada di dalam organisasi, setiap karyawan diharapkan memiliki tanggung jawab yang tinggi atas pekerjaannya. Sejumlah peneliti, termasuk Jones dan James (1979), Middlemist dan Hitt (1981), dan Joyce dan Slocum (1982) memperdebatkan beberapa faktor yang dapat menjadi dimensi dalam iklim organisasi. Lebih spesifik, Jones dan James merumuskan enam dimensi iklim organisasi: a) Fasilitas dan dukungan kepemimpinan b) Kerjasama kelompok, keramahan, dan kehangatan c) Konflik dan ambiguitas d) Profesional dan semangat organisasi e) Saling percaya (Jones & James 1979; dalam Wallace, Hunt, Ricards, 1999) Klasifikasi dimensi iklim organisasi menurut Litwin dan Stringer (dalam Holbeche, 2005) yaitu : a) Tanggung Jawab Karyawan diberi kebebasan untuk melaksanakan tugas dan

menyelesaikannya, diberi motivasi yang lebih untuk melaksanakan tugas tanpa harus selalu mencari persetujuan manajer, diberi keberanian menanggung resiko dari pekerjaan tanpa rasa takut dimarahi. b) Fleksibilitas Karyawan diberi kebasan untuk lebih inovatif c) Standar Diperlukan untuk mencapai hasil yang memuaskan ditandai dengan adanya dorongan untuk maju

d) Komitmen Tim Orang akan memberikan apa yang terbaik yang mereka bisa lakukan jika mereka memiliki komitmen terhadap organisasi dan bangga berada di dalamnya. e) Kejelasan Kejelasan terhadap apa yang menjadi tujuan, tingkatan tanggung jawab, nilai-nilai organisasi. Hal ini penting diketahui oleh karyawan agar mereka tahu apa yang sesungguhnya diharapkan dari mereka dan mereka dapat memberikan kontribusi yang tepat bagi orgganisasi. f) Penghargaan Karyawan dihargai sesuai dengan kinerjanya. Manajer harus lebih banyak memberikan pengakuan daripada kritikan. Sistem promosi harus dibuat untuk membantu karyawan meraih puncak prestasi. Kesempatan berkembang harus menggunakan penghargaan dan peningkatan kinerja. g) Gaya Kepemimpinan Ketika gaya kepemimpinan sesuai dengan situasi yang ada maka hasil akan dicapai. Pada salah satu tulisannya Robbins (1996; Idrus, 2006) secara detil menjelaskan beberapa hal yang dinyatakannya sebagai dimensi iklim organisasi yaitu: a) Individual initiatve, yaitu tingkat tanggung jawab dan kemandirian yang dimiliki tiap anggota; b) Risk tolerance, tingkat resiko yang boleh atau mungkin dipikul oleh anggotanya untuk mendorong mereka menjadi agresif, inovatif, dan berani mengambil resiko; c) Integration, tingkat unit-unit kerja dalam organisasi yang mendorong untuk beroperasi dalam koordinasi yang baik; d) Management support, tingkat kejelasan komounikasi, bantuan dan dukungan yang disediakan manajemen terhadap unit kerja di bawahnya; e) Control, sejumlah aturan/peraturan dan sejumlah pengawasan yang digunakan untuk mengtur dan mengawasi perilaku karyawan; f) Identity, tingkat identifikasi diri tiap anggota organisasi secara keseluruhan melebihi group kerja atau bidang profesi masing-masing;

g) Rewards, tingkat alokasi dan penghargaan (promosi jabatan dan honor) berdasarkan h) Kinerja pegawai sebagai lawsan dari senioritas, anakmas dan lain-lain; i) Conflict tolerance, tingkat toleransi terhadap konflik dan kritik keterbukaan yang muncul dalam organisasi; j) Communications patterrus, tingkat keterbatasan komunikasi dalam organisasi yang sesuai otorisasi pada hirarki formal. Wirawan (2007) menyimpulkan iklim organisasi dari beberapa hasil penelitian menjadi tujuh dimensi yaitu: a) Keadaan lingkungan fisik Lingkungan fisik adalah lingkungan yang berhubungan dengan tempat kerja, peralatan, dan proses kerja. b) Keadaan lingkungan sosial Interaksi antara anggota organisasi. c) Pelaksanaan sistem manajemen Pola proses pelaksanaan manajemen organisasi. d) Produk Barang dan atau jasa yang dihasilkan organisasi. e) Konsumen, klien dan nasabah yang dilayani Konsumen yang dilayani dan untuk siapa produk ditujukan. f) Kondisi fisik dan kejiwaan anggota organisasi Persepsi mengenai kondisi fisik dan kejiwaan organisasi. g) Budaya organisasi Merupakan suatu konstelasi umum mengenai kepercayaan, kebiasaan, nilai, norma, perilaku, dan cara melakukan bisnis yang unik bagi setiap organisasi yang mengatur pola aktivitas dan tindakkan organisasi, serta melukiskan pola implisit, perilaku dan emosi yang muncul yang menjadi karakteristik dalam organisasi. (Tunstall, 1983; dalam Wirawan 2007) Merupakan karakteristik organisasi, bukan individu anggotanya. Budaya organisasi akan membentuk perilaku organisasi anggotanya. (Wirawan, 2007) Dimensi-dimensi ini merupakan metode yang berguna untuk mengukur iklim organisasi (Ryder dan Southey, 1990; dalam Wallace, Hunt, Ricards, 1999). Singkatnya, iklim telah ditetapkan sebagai konstruksi yang cukup menarik dalam

bidang penelitian perilaku organisasi, terutama sebagai akibat dari pengaruh nyata terhadap efektivitas organisasi (Likert, 1961; Franklin, 1975; Kanter, 1983; Mudrack, 1989; dalam Wallace, Hunt, Ricards, 1999).

2.3 Kepuasan Kerja 2.3.1 Definisi Kepuasan Kerja Kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai perasaan secara keseluruhan tentang pekerjaan atau karir dalam hal aspek tertentu dari pekerjaan atau karier (Thompson, Thompson & Orr, 2003; dalam Nadeem&Abbas, 2009). Kepuasan atau ketidakpuasan kerja adalah suatu sikap yang mencerminkan sejauh mana seorang individu bahagia atau puas dengan pekerjaannya. (Griffin, 2002) Kepuasan kerja merupakan orientasi individu yang berpengaruh terhadap peran dalam bekerja dan karakteristik dari pekerjaannya. Yang membedakan dengan komitmen organisasional adalah pada luasnya karakteristik yang dirasakan individu. (Toly, 2001) Dipboye dkk. (1994; dalam Satria, 2005) mendefinisikan kepuasan kerja merupakan derajat perasaan individu secara positif maupun negatif terhadap pekerjaaannya. Kepuasan kerja merupakan sikap umum seorang individu terhadap pekerjaanya. Masing-masing individu memiliki tingkat kepuasan berbeda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dalam dirinya. Semakin banyak aspek yang sesuai dengan keinginan individu tersebut maka semakin tinggi kepuasan kerjanya. Dari deskripsi tersebut dapat dikatakan bahwa kepuasan kerja merupakan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya dengan mempertimbangkan aspek yang ada didalam pekerjaannya sehingga timbul dalam dirinya suatu perasaan senang atau tidak senang terhadap situasi kerja dan rekan sekerjanya. Apa yang dirasakan individu tersebut dapat positif atau negative tergantung dari persepsi terhadap pekerjaan yang dilakukan. (Wexley dan Yulk, 1992; dalam Waridin dan Masrukhin, 2006)

2.3.2

Teori-Teori Kepuasan Kerja a) Abraham Maslow dalam Needs Hierarchy Theory Mengungkapkan 5 (lima) kebutuhan dasar manusia, Kebutuhan Psikologis, Kebutuhan Keamanan, Kebutuhan Cinta, Kebutuhan Penghargaan dan Kebutuhan Aktualisasi Diri. Kebutuhan-kebutuhan ini

berkembang dalam suatu urutan hierarkis, dengan kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan paling kuat hingga terpuaskan dan mempunyai pengaruh atas kebutuhan-kebutuhan lainnya selama kebutuhan tersebut tidak terpenuhi. Suatu kebutuhan pada urutan paling rendah tidak perlu terpenuhi secara lengkap sebelum kebutuhan berikutnya yang lebih tinggi menjadi aktif. (Robbins, 2010) Teori Maslow dalam Gibson (2006; dalam Sari 2009) membahas kebutuhan hierarki dasar manusia yaitu physiological needs, safety needs, belonging needs and love, esteem needs, self-actualization. Maslow menjelaskan, bahwa materi merupakan faktor mendasar yang mutlak ada sebelum munculnya kebutuhan-kebutuhan yang lain bersifat nonmateri. Dengan demikian, motivasi dapat berbentuk dua hal, yaitu materi dan non materi. Kepu-asan kerja karyawan terdapat pada kombinasi dari teori Maslow tersebut, karyawan membutuhkan pekerjaan guna memenuhi kebutuhannya, rasa aman atas pekerjaannya, perasaan diperlukan oleh lingkungannya dan bentuk aktualisasi diri masing-masing. Apabila hal ini dipenuhi, kepuasan kerja karyawan akan meningkat. b) Theory Dual Factor oleh Frederick Herzberg Frederick Herzberg menemukan adanya sekelompok aspek atau ciri pekerjaan yang berhubungan dengan kepuasan kerja yang ia namakan faktor motivasi dimana dimana motivasi kerja menimbulkan kepuasan kerja (Munandar, 2001). Herzberg mendatabulasikan dan

mengkategorikan respon-respon manusia menyangkut apa yang mereka inginkan dari pekerjaan mereka. (Robbins, 2010) Hasil yang didapat Herzberg, yang merasa senang dengan pekerjaannya akan mengharapkan faktor-faktor intrinsik seperti kemajuan, prestasi, pengakuan, dan tanggung jawab akan mereka temui dalam pekerjaan mereka. Sebaliknya responden yang tidak merasa puas dengan pekerjaan mereka cenderung mengharapkan faktor-faktor ekstrinsik seperti pengawasan, gaji, kebijaksanaan perusahaan dan kondisi pekerjaan. Inti dari teori ini adalah, lawan kepuasan adalah tidak ada kepuasan dan lawan dari ketidakpuasan. (Robbins 2010). ketidakpuasan adalah tidak ada

2.3.3

Dimensi Kepuasan Kerja Kepuasan kerja mengacu pada perasaan atau persepsi seseorang mengenai

sifat dasar pekerjaan mereka. Kepuasan kerja dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya kompensasi, kualitas hubungan seseorang dengan atasan mereka, kualitas lingkungan fisik di mana mereka bekerja (Murdor, Toksoon, 2011). Job Description Index (JDI) dapat digunakan untuk mengukur kepuasan kerja dari lima hal yaitu pekerjaan itu sendiri, supervisor langsung diatasnya, gaji, rekan kerja dan peluang untuk promosi (Downey, 1975; dalam Sari, 2009). Pegawai akan merasa puas dalam bekerja apabila aspek pekerjaan dan individunya saling menunjang sehingga dapat dikatakan bahwa kepuasan kerja berkenaan dengan perasaan seseorang tentang menyenangkan atau tidaknya pekerjaan karyawan. Aspek yang mempengaruhi kepuasan kerja ini dapat dipelajari dan diteliti guna mengetahui aspek yang paling mempengaruhi kepuasan kerja karyawan. (Sari, 2009) Spector (1997; dalam Sari 2009) menjelaskan komponen lain selain gaji dan fasilitas yang mempengaruhi kepuasan kerja biasanya terdiri dari penghargaan yang diberikan kepada karyawan, komunikasi, hubungan dengan atasan dan teman kerja, kondisi pekerjaan, keamanan dan lain lain. Kepuasan kerja bersifat dinamis, yang berarti berkembang terus tergantung harapan yang ada di lingkungan kerja. Ruvendi (2005) menjabarkan indikator kepuasan atau ketidakpuasan kerja pegawai dapat diperlihatkan oleh beberapa aspek diantaranya : a) Jumlah kehadiran pegawai atau jumlah kemangkiran. b) Perasaan senang atau tidak senang dalam melaksanakan pekerjaan. c) Perasaan adil atau tidak adil dalam menerima imbalan. d) Suka atau tidak suka dengan jabatan yang dipegangnya. e) Sikap menolak pekerjaan atau menerima dengan penuh tanggung jawab. Robbins (2010) menyatakan faktor-faktor yang sering disertakan dalam kepuasan kerja adalah suasana pekerjaan, pengawasan, tingkat upah saat ini, peluang promosi dan hubungan dengan mitra kerja. Locke (1976) menjelaskan bahwa bagi para peneliti untuk memahami sikap pekerjaan, mereka perlu memahami dimensi pekerjaan, yang kompleks dan secara alami saling terkait. Ia menyebutkan dimensi umum kepuasan kerja sebagai "gaji kerja, promosi,

pengakuan, manfaat, kondisi kerja, pengawasan, rekan kerja, perusahaan dan manajemen " (Locke, 1976; dalam Sempane, Rieger, Roodt, 2002).

2.3.4

Dampak Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja Menurut Strauss dan Sayles (dalam Handoko, 2001) kepuasan kerja juga

penting untuk aktualisasi, karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kematangan psikologis, dan pada gilirannya akan menjadi frustasi. Karyawan yang seperti ini akan sering melamun, mempunyai semangat kerja yang rendah, cepat lelah dan bosan, emosi tidak stabil, sering absen dan melakukan kesibukan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang harus dilakukan. Menurut Locke (dalam Munandar, 2001) tenaga kerja yang puas dengan pekerjaannya merasa senang dengan pekerjaannya. Keyakinan bahwa karyawan yang terpuaskan akan lebih produktif daripada karyawan yang tak terpuaskan merupakan suatu ajaran dasar diantara para manajer selama bertahun-tahun (Robbins, 2010). 2.3.4.1 Dampak Terhadap Produktivitas Seringkali terjadi produktivitas kerja karyawan menurun

dikarenakan kemungkinan adanya ketidaknyamanan dalam bekerja, upah yang minim dan ketidakpuasan dalam bekerja. Permasalahan tentang produktivitas kerja ini merupakan permasalahan umum yang sering terjadi di setiap perusahaan. Kadang produktivitas dari seorang karyawan cenderung menurun dan pengaruhnya adalah merosotnya suatu perusahaan. Bila tidak segera diatasi dengan baik maka perusahaan tersebut akan cenderung mengalami penurunan yang signifikan. Data Depnaker (1993; Nurmalini, 2008), sekitar 80% kasus terjadinya pemogokkan pekerja adalah karena ulah pengusaha yang hanya melihat produktivitas para pekerjanya, sedangkan faktor mendasar dalam menunjang produktivitas kerja adalah seperti upah, kondisi kerja serta untuk memenuhi jumlah dan mutu yang memadai tidak diperhatikan. 2.3.4.2 Dampak Terhadap Ketidakhadiran Ditemukan hubungan negatif yang konsisten antara kepuasan dan keabsenan, namun korelasi tersebut moderat umumnya kurang dari +40.

Meski belum tentu masuk akal bahwa karyawan yang tidak puas berkemungkinan lebih besar absen dari pekerjaannya. (Robbins, 2010) 2.3.4.3 Dampak Terhadap Kesehatan Salah satu temuan yang penting dari kajian yang dilakukan oleh Kornhauser tentang kesehatan mental dan kepuasan kerja, ialah bahwa untuk semua tingkatan jabatan, persepsi dari tenaga kerja bahwa pekerjaan mereka menuntut penggunaan efektif dari kecakapan-kecakapan mereka berkaitan dengan skor kesehatan mental yang tinggi. Skor-skor ini juga berkaitan dengan tingkat dari kepuasan kerja dan tingkat dari jabatan. (Munandar, 2001) Meskipun jelas bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan kesehatan, hubungan kausalnya masih tidak jelas. Diduga bahwa kepuasan kerja menunjang tingkat dari fungsi fisik dan mental dan kepuasan sendiri merupakan tanda dari kesehatan. Tinmgkat dari kepuasan kerja dan kesehatan mungkin saling mengukuhkan sehingga peningkatan dari yang satu dapat meningkatkan yang lain dan sebaliknya penurunan yang satu mempunyai akibat yang negatif juga pada yang lain. (p. 368)

2.4 Korelasi Iklim Organisasi dan Keinginan untuk Berhenti Iklim organisasi terkait erat dengan proses penciptaan lingkungan kerja yang kondusif, sehingga dapat tercipta hubungan dan kerjasama yang harmonis diantara seluruh anggota organisasi. Upaya untuk menciptakan iklim organisasi yang kondusif, khususnya hubungan kerja antara karyawan yang satu dengan karyawan yang lain dalam hubungan antara karyawan dengan pimpinan diarahkan terwujudnya kerjasama kerja yang serasi. Dengan demikian, iklim organisasi yang harmonis dapat mewujudkan kinerja yang semakin lebih baik pada diri karyawan. (Vivi&Rolen, 2007) Penelitian terbaru di layanan sektor publik telah meneliti dampak dari budaya organisasi dan iklim terhadap sikap kerja (yaitu, kepuasan kerja dan komitmen organisasi) dan akhirnya, turnover (Aarons & Sawitzky, 2006). Menurut Glisson dan James (2002; dalam Jing, Avery, & Bergsteiner, 2011), iklim mencerminkan persepsi karyawan dari, tanggapan emosional, dan karakteristik lingkungan kerja. Peneliti lain (Aarons & Sawitzky, 2006; Carmazzi & Aarons, 2003; Jing, Avery, & Bergsteiner, 2011) menunjukkan iklim yang krusial mempengaruhi sikap kerja karyawan, dan juga dapat digunakan untuk memprediksi pergantian staf (turnover).

Mempertahankan karyawan merupakan salah satu masalah kompetitif yang penting bagi perusahaan hari ini karena karyawan yang terlatih akan menjadi aset yang paling berharga dalam bisnis apapun. Sudah menjadi keharusan bagi perusahaan untuk serius dalam bidang mempertahankan karyawan yang berkualitas yang telah dimiliki, bukan perekrutan dan pelatihan karyawan baru. Perekrutan karyawan menghabiskan banyak biaya, mempertahankan karyawan dapat menjadi jalan keluar yang secara langsung akan mempengaruhi kinerja organisasi (Jing, Avery, & Bergsteiner, 2011). Beberapa peneliti (Aarons & Sawitzky, 2006; Glisson & James, 2002; Hong & Kaur, 2008; Morris & Bloom, 2002; Jing, Avery, & Bergsteiner, 2011) juga menunjukkan bahwa iklim mempengaruhi sikap kerja karyawan dan turnover. Baik budaya organisasi dan iklim merupakan karakteristik organisasi yang sama pentingnya dalam mempengaruhi sikap karyawan (Aarons & Sawitzky, 2006; Carmazzi & Aarons, 2003; Glisson & Hemmelgarn, 1998; Aarons & Sawitzky, 2006) dan sikap kerja, khususnya, memprediksi turnover (Van Breukelen, Van Der Vlist, & Steensma, 2004; Aarons & Sawitzky, 2006). Hasil penelitian yang dilakukan Zhang dan Liu (2010) menemukan bahwa iklim organisasi memiliki efek signifikan terhadap kinerja dari lima jenis manajemen sumber daya manusia, seperti keinginan berpindah (turnover intentions), kepuasan kerja, dan kemanjuran dan sebagainya. Secara khusus, bila persepsi iklim organisasi individu adalah lebih positif, kepuasan kerja dan efektivas mereka lebih tinggi, sehingga keinginan berpindah (turnover intentions) dan stres kerja lebih rendah. Pengamatan ini menunjukkan bahwa menciptakan iklim organisasi yang lebih baik adalah salah satu pendekatan kardinal untuk meningkatkan kepuasan kerja dan keefektifan staf anggota, menghindari kehilangan bakat dan mengurangi stres kerja. Boeyens (1985) dan Hutcheson (1996) melihat iklim organisasi sebagai deskripsi "obyektif" dari variabel organisasi seperti struktur, ukuran, kebijakan dan gaya kepemimpinan, oleh karyawan berfungsi sebagai ukuran (Sempane, Rieger, Roodt, 2002). Iklim organisasi persepsi individu atau perasaan tentang

organisasi. Iklim organisasi termasuk gaya manajemen atau kepemimpinan, partisipasi dalam pengambilan keputusan, ketentuan pekerjaan yang menantang untuk karyawan, pengurangan rasa bosan dan frustrasi, penyediaan manfaat, kebijakan personil, penyediaan baik kondisi kerja dan penciptaan tangga karir yang cocok untuk akademisi (Nicholson dan Miljus, 1992; dalam Adenike, 2011). Sebagai upaya untuk menekan terjadinya turnover karyawan, perusahaan dapat menerapkan kebijakan-kebijakan yang dapat menarik minat seorang karyawan untuk

tetap bekerja dan berkarya dengan sumber daya yang dimilikinya. Usaha untuk menekan turnover ini harus dimulai dari upaya untuk menekan keinginan untuk keluar kerja (turnover intention). (Nasution, 2009). Purbaningrum (2004; dalam Nasution, 2009) berpendapat bahwa dengan kebijakan-kebijakan yang dapat meningkatkan pengalaman kerja seorang karyawan, akan membuat seorang karyawan lebih memiliki intensitas untuk serius bekerja pada perusahaan yang merekrutnya dan mampu menekan perasaan untuk keluar kerja dari perusahaan.

2.5 Korelasi Iklim Organisasi dan Kepuasan Kerja Menurut Sempane, Rieger, Roodt (2002) Iklim organisasi dan budaya organisasi (meskipun jauh lebih sulit untuk berubah) dapat dipromosikan untuk memfasilitasi tercapainya kepuasan kerja dan tujuan organisasi. Pengukuran iklim dan budaya dapat berfungsi sebagai titik awal dalam mendiagnosa dan mempengaruhi seperti perubahan organisasi. Kepuasan kerja selain dipengaruhi oleh komitmen organisasi, menurut Kelner (1998; dalam Satria, 2005) juga dipengaruhi oleh iklim organisasi. Ia menyatakan bahwa iklim organisasi yang kondusif dan hubungan kerja yang baik dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Iklim organisasi lebih menekankan pada pendiskripsian atmosfer organisasi dari pada mengevaluasi/mengindikasi reaksi emosional terhadap organisasi. Kepuasan kerja adalah bagian dari iklim organisasi. Strategi-strategi perbaikan iklim organisasi dengan prinsip dan praktik peningkatan kualitas akan menghasilkan organisasi yang lebih unggul dalam persaingan untuk mencapai hasil yang diinginkan. (Lussier, 1999) Menurut Steers (1988; dalam Nelwan, 2002) bahwa pekerjaan yang memberikan lebih banyak motivasi menunjukkan lebih banyak variasi, otonomi, tanggung jawab, umpan balik dan identitas tugas (lengkapnya tugas). Penelitian Utomo (2002; dalam Nelwan, 2002) menunjukkan bahwa kepemimpinan yang efektif akan selalu memberikan dampak dengan meningkatnya kepuasan kerja dan komitmen dari bawahannya.

2.6 Korelasi Kepuasan Kerja dan Keinginan untuk Berhenti Karyawan yang memiliki kepuasan kerja cenderung jarang absen, memberikan kontribusi-kontribusi positif, dan mau tinggal lebih lama di dalam organisasi. Sebaliknya karyawan yang tidak puas cenderung lebih sering absen, mungkin

mengalami stress yang mengganggu rekan kerja, dan mungkin terus-menerus mencari pekerjaan baru (Griffin, 2002). Menurut Ramlall (2003; dalam Sumarto, 2009), pertimbangan intensi karyawan untuk pindah kerja ditentukan oleh faktor kompensasi (59%) dan pengembangan karir (41%). Studi Herpen et al. (2002; dalam Sumarto, 2009) menyatakan desain dan implementasi kompensasi dapat mempengaruhi motivasi karyawan. Kompensasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan labor turnover intention. Kepuasan kerja juga terbukti berpengaruh terhadap keinginan berpindah
seseorang (Raza, 2007).

Tinggi rendahnya kepuasan kerja dan komitmen organisasi dari seorang karyawan pada organisasinya akan menentukan lama tidaknya ia bersama organisasi tersebut. Argumen ini, dijelaskan oleh Siagian (1998) bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan kesenjangan antara usaha yang dilakukan bagi kepentingan organisasi dan imbalan yang diterima. Artinya, apabila seorang karyawan mempunyai persepsi bahwa imbalan yang diterimanya tidak memadai, maka terdapat kemungkinan bahwa karyawan tersebut akan berusaha mencari imbalan yang lebih besar di tempat lain. Sikap demikian secara teoritis dikenal dengan istilah turnover intention. (Nelwan, 2002) Karyawan dapat keluar dari organisasi secara sukarela maupun karena hal lain, seperti lingkungan kerja yang tidak nyaman, pekerjaan tersebut tidak cocok dengan tujuan karirnya, atau adanya gaji yang lebih tinggi pada organisasi yang lain. (Triyanto&Santosa, 2009). Hubungan antara kepuasan kerja terhadap turnover intention dijelaskan oleh Handoko (2001; dalam Nelwan, 2002) bahwa kepuasan kerja misalnya mengenai penentuan tingkat upah sangat penting bagi perusahaan, karena mencerminkan upaya organisasi untuk mempertahankan sumberdaya manusianya. Tujuannya adalah agar sumberdaya tersebut tidak memiliki keinginan untuk keluar atau pindah. Berdasarkan fenomena di lapangan yang sangat transparan mengenai keterkaitan antara kepuasan kerja dan intensi turnover ini, maka kepuasan kerja bukan lagi sebuah rujukan namun lebih merupakan suatu keharusan untuk diwujudkan guna menekan terjadinya turnover karyawan. (Nasution, 2009). Kepuasan kerja ini menurut Wood, et al (1998; dalam Nasution, 2009) bahwa kepuasan kerja terdiri dari pekerjaan, kualitas dari aktivitas supervisi, hubungan dengan sesama pekerja, kesempatan promosi, dan gaji. Flinkman et al. (2006; dalam Sumarto, 2009) menunjukkan hasil penelitian bahwa job satisfaction adalah prediktor penting untuk mengantisipasi turnover karyawan.

2.7 Kerangka Pemikiran Teoristis Bagi Litwin dan Stringer (dalam Wirawan, 2007) Iklim organisasi merupakan suatu konsep yang melukiskan sifat subjektif atau kualitas lingkungan organisasi. Unsur-unsurnya dapat dipersepsikan dan dipahami oleh anggota organisasi dan dilaporkan melalui kuesioner yang tepat. Berdasarkan telaah pustaka yang disajikan di muka telah didapatkan beberapa hipotesis. Untuk lebih memahami hipotesis maka dapat dilihat pada kerangka pemikiran teoritis di bawah ini :

Komunilkasi Nilai dan Norma Program dan Pengharapan 4. Kebijakkan dan Peraturan 5. Kepemimpinan Davis&Newstrom (1994)

1. 2. 3.

IKLIM ORGANI SASI INTENTI ON TO LEAVE KEPUA SAN KERJA

Nelwan (2008)

Turnover Intentions

Job Insecurity
Joseph Evan Ochola (2008)

1. Ciri-ciri intrinsik pekerjaan 2. Gaji penghasilan 3. Penyeliaan 4. Rekan Kerja 5. Kondisi kerja yang menunjang Munandar (2001)

Senoritas
Joseph Evan Ochola (2008)

Budaya Organisasi Hofstede (1980)

2.7.1

Variable Iklim Organisasi Sementara itu, dimensi-dimensi iklim organisasi menurut Davis &

Newstrom (1996): a) Kualitas kepemimpinan Kepemimpinan adalah serangkaian proses yang dilakukan agar anggota dari organisasi bekerja bersama demi kepentingan organisasi. (Griffin, 2002) Kualitas kepemimpinan menekankan pada sikap atasan dalam memperlakukan bawahan atau anggotanya dengan baik. Pemimpin yang berkualitas memiliki kemampuan memperhatikan karyawannya, dan memberikan dukungan serta semangat kepada para karyawannya.

b) Kepercayaan Dalam situasi penuh kepercayaan, anggota suatu organisasi meyakini akan integritas, karakter, dan kemampuan rekan-rekannya (Robbins, 1996, hal. 333). Adanya kepercayaan di antara atasan dan bawahan serta sesama rekan kerja menunjukkan iklim yang menyenangkan dalam bekerja karena tidak ada prasangka dalam lingkungan organisasi tersebut. c) Komunikasi Komunikasi menjalankan empat fungsi utama di dalam kelompok atau organisasi: pengendalian, motivasi, pengungkapan emosi dan informasi. Komunikasi berfungsi mengendalikan perilaku anggota dengan beberapa cara. Komunikasi memperkuat motivasi dengan menjelaskan ke para karyawan apa yang harus dilakukan, seberapa baik mereka bekerja, dan apa yang dapat dikerjakan untuk memperbaiki jika kinerja mereka di bawah standar. (Robbins, 2010). Komunikasi efektif di antara atasan bawahan atau di antara karyawan ditandai dengan adanya kejelasan informasi dan kehangatan hubungan. Situasi yang mengandung komunikasi efektif mengindikasikan iklim organisasi yang positif. d) Perasaan melakukan pekerjaan yang bermanfaat Catatan lain yang diajukan Jewell dan Siegall (1989) adalah bahwa ada dua faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap pengaruh suhu ekstrem di tempat kerja, yaitu sifat kerja yang dilakukan dan lamanya karyawan bekerja pada suhu ekstrem tersebut. Lebih lanjut diungkap Jewell dan Siegall (1989) bahwa karyawan yang melakukan tugas kognitif dan kerja di kantor dan kerja manual yang ringan biasanya paling efektif dan nyaman dilakukan pada suhu efektif tidak lebih dari 80, sedangkan untuk kerja manual yang berat umumnya dilaksanakan lebih baik pada suhu udara yang lebih sejuk. Jika merujuk pada paparan di atas, persepsi seseorang tentang suhu, jelas akan mempengaruhi unjuk kerja yang ditampilkannya. (Idrus, 2006) Indikasi adanya perasaan ini yaitu individu merasa kerjanya bermanfaat bagi organisasi dan dirinya. Pekerjaannya memiliki kontribusi terhadap tujuan organisasi, organisasi menghargai pekerjaannya, dan individu merasa pekerjaannya menantang dan kondusif untuk pertumbuhan

pribadinya (Brown&Leigh, 1996). Jika karyawan merasakan bahwa pekerjaan yang ia lakukan bermanfaat bagi dirinya dan perusahaan, hal tersebut menandakan iklim organisasi yang positif. e) Tanggung jawab Adanya tanggung jawab menunjukkan adanya kepercayaan dari atasan bahwa bawahan atau karyawannya mampu menjalani tugas. Adanya tanggung jawab juga menunjuk pada adanya perasaan bahwa karyawan memiliki wewenang atas tugas yang diberikan kepadanya. Jika para karyawan diberikan tanggung jawab masing-masing oleh atasan dalam menjalankan pekerjaanya, maka karyawan akan merasa dipercaya bahwa dirinya mampu menjalankan suatu tugas atau pekerjaan dengan baik. Keadaan tersebut menunjukkan iklim organisasi yang positif. f) Imbalan yang adil Berkenaan dengan masalah kepuasan kerja pegawai tersebut, sebenarnya banyak faktor yang mempengaruhi ketidakpuasan pegawai dalam pekerjaannya diantaranya adalah sistem imbalan yang dianggap tidak adil menurut persepsi pegawai. Karena setiap pegawai akan selalu membandingkan antara rasio hasil dengan input dirinya terhadap rasio hasil dengan input orang lain. Perlakuan yang tidak sama baik dalam reward maupun punishment merupakan sumber kepuasan atau ketidakpuasan pegawai. (Ruvendi, 2005) Imbalan diberikan oleh perusahaan sesuai dengan pekerjaan yang telah dijalankan oleh karyawan akan membuat karyawan merasakan keadilan atas kontribusinya kepada perusahaan dengan yang diberikan oleh perusahaan kepada dirinya. Imbalan yang adil menunjuk pada adanya kesesuaian dan keobjektifan dalam pemberian penghargaan dan hukuman atas pekerjaan yang dilakukan karyawan. Keadaan ini membuat karyawan merasakan iklim organisasi yang menyenangkan. h) Tekanan pekerjaan Tekanan dapat didefinisikan sebagai perasaan subjektif dari ketegangan atau gairah yang dipicu oleh situasi yang berpotensi stres. Namun, di mana tekanan melebihi kemampuan individu untuk mengatasi, hasilnya adalah stres. (Blaugh, Kenyon, Lekhi, 2007). Tekanan pekerjaan berhubungan dengan perasaan terhadap tekanan serta tantangan kerja

yang dialami dan dirasakan karyawan. Tekanan pekerjaan yang masih dalam batas normal dan masuk akal justru dapat memacu semangat kerja karyawan karena karyawan akan merasa tertantang. Sebaliknya, jika tekanan pekerjaan dirasakan karyawan cukup tinggi dan di luar kemampuan karyawan untuk mengatasinya, karyawan justru nantinya akan terbebani dan membuatnya tertekan dalam melakukan

pekerjaannya sehingga iklim organisasi yang muncul negatif. Adanya tantangan kerja dan tekanan kerja yang dalam batas normal dapat memacu semangat kerja karyawan. Keadaan ini mengindikasikan iklim organisasi yang positif. i) Kesempatan Pada dasarnya setiap karyawan menginginkan untuk dapat

mempergunakan kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki serta mempelajari hal-hal yang baru. Selain itu karyawan juga menginginkan promosi dan pengembangan sejajar dengan keamanan pekerjaan yang rasional. Dengan begitu dalam pekerjaan karyawan membutuhkan otonomi, peluang mempertanggungjawabkan pekerjaan dan balikan. (Idrus, 2006) Di Amerika Serikat dikenal istilah Equal Employement Opportunity, merupakan undang-undang yang menetapkan bawa majikan tidak dapat melakukan diskriminasi berdasarkan warna kulit (ras), agama, jenis kelamin atau negeri asal. (Dessler, 1997) Adanya kesempatan ditunjukkan dengan adanya peluang bagi karyawan untuk maju dan lebih baik serta adanya peluang untuk mencapai posisi yang atau jabatan yang lebih tinggi. Jika karyawan memiliki kesempatan, hal tersebut mencerminkan iklim organisasi yang positif. j) Pengendalian terhadap perilaku Pengendalian adalah memonitor kemajuan organisasi dalam mencapai tujuannya (Griffin, 2002). Pengendalian yang dilakukan oleh atasan kepada karyawan akan efektif jika pengendalian yang ada benar-benar terarah dan atasan tidak semena-mena kepada bawahannya sehingga iklim yang dirasakan karyawan bernilai positif. k) Stuktur dan birokrasi Birokrasi adalah model rancangan organisasi yang berdasarkan pada suatu sistem otoritas yang sah dan formal. (Griffin, 2002). Struktur

organisasi dan birokrasi merujuk pada jumlah peraturan, prosedur, dan batasan kerja serta atmosfer kerja yang dirasakan karyawan. Struktur organisasi dan birokrasi beserta pelaksanaannya diketahui dengan jelas dan mengatur ke arah lebih baik serta tidak membebani para anggotanya menunjukkan iklim organisasi yang positif. l) Partisipasi karyawan Pelibatan karyawan adalah proses partisipasi yang menggunakan seluruh kapasita karyawan yang dirancang untuk mendorong peningkatan komitmen demi kesuksesan organisasi. (Robbins, 2010) Perusahaan yang mengikutsertakan karyawan dalam segala kegiatan di organisasi atau perusahaan, termasuk dalam pengambilan keputusan untuk suatu pemecahan masalah dan penetapan peraturan, maka iklim perusahaan tersebut positif. Berikut ini adalah gambar yang menerangkan model variable kepuasan kerja.

X1
Iklim Organisasi

X2 X3 X4 X5

X1 X2 X3 X4 X5

: Komunikasi : Nilai dan Norma : Program dan Pengharapan : Kebijakkan dan Peraturan : Kepemimpinan

Sumber: Davis & Newstrom, 1996

2.7.2

Variable Kepuasan Kerja Munandar (2001) menyimpulkan lima garis besar faktor-faktor penentu

kepuasan kerja yaitu:

a) Ciri-ciri Intrinsik Pekerjaan a) Keragaman keterampilan Banyak ragam keterampilan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan. Semakin banyak keterampilan yang digunakan, makin kurang

membosankan pekerjaan. b) Jati diri tugas Sejauh mana tugas merupakan suatu kegiatan yang keseluruhan yang berarti. Tugas yang dirasakan sebagai bagian dari pekerjaan yang lebi besar dan yang dirasakan tidak merupakan satu kelengkapan tersendiri akan menimbulkan rasa tidak puas. Misalnya pekerjaan pada perakitan. c) Tugas yang penting Rasa pentinganya tugas bagi seseorang. Jika tugas dirasakan penting dan berarti oleh tenaga kerja, maka ia cenderung mempunyai kepuasan kerja. d) Otonomi Pekerjaan yang memberikan kebebasan, ketidakgantungan dan peluang mengambil keputusan akan lebih cepat menimbulkan kepuasan kerja. e) Pemberian balikan pada pekerjaan membantu meningkatkan tingkat kepuasan kerja. b) Gaji Penghasilan, Imbalan yang Dirasakan Adil Uang memang mempunyai arti yang berbeda-beda bagi orang yang berbeda-beda. Di samping memenuhi kebutuhan tingkat rendah (makanan, rumah) uang dapat merupakan simbol dari capaian (achievement), keberhasilan dan pengakuan/penghargaan. (Munandar, 2001) Dengan menggunakan teori keadilan dari Adams dilakukan

beberapa penelitian dan salah satu hasilnya ialah bahwa orang yang menerima gaji yang dipersepsikan sebagai terlalu kecil atau terlalu besar akan mengalami distress atau ketidakpuasan. c) Penyeliaan Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya ada satu ciri kepemimpinan yang secara konsisten berkaitan dengan kepuasan kerja, yaitu penenggangan rasa (consideration). Hubungan antara aspek-aspek lain dari penyeliaan dan kepuasan kerja adalah kurang jelas dan hasilnya saling bertentangan.

d) Rekan-rekan Sejawat yang Menunjang Di dalam kelompok, dimana para pekerjanya harus bekerja sebagai satu tim, kepuasan kerja mereka dapat timbul karena kebutuhan-kebutuhan tingkat tinggi mereka (kebutuhan harga diri, kebutuhan aktualisasi diri) dapat dipenuhi, dan mempunyai dampak pada motivasi kerja mereka. misalnya pada kelompok Gugus Kendali Mutu yang memiliki problem solving team. e) Kondisi Kerja yang Menunjang Bekerja dalam ruangan sempit, panas, dan cahaya lampunya menyolaukan mata, kondisi kerja yang tidak mengenakkan (uncomfortable) akan menimbulkan keengganan untuk bekerja. Orang akan mencari alasan untuk sering-sering keluar ruang kerjanya. Perusahaan perlu menyediakan ruang kerja yang terang, sejuk dengan peralatan kerja yang enak untuk digunakan, meja dan kursi meja yang dapat diatur tinggi-rendah, miringtegak duduknya. Kondisi kerja yang memperhatikan prinsip-prinsip ergonomi. Dalam kondisi kerja seperti itu kebutuhan-kebutuhan fisik dipenuhi dan memuaskan tenaga kerja. Berikut ini adalah gambar yang menerangkan model variable kepuasan kerja. X6 X7

Kepuasan Kerja

X8 X9 X 10

X6 X7 X8 X9

: Ciri-ciri intrinsik pekerjaan : Gaji Penghasilan : Penyeliaan : Rekan Kerja

X 10 : Kondisi Kerja Sumber: Munandar, 2001

2.7.3

Variable Niat Untuk Berhenti Kerja Model meninggalkan pekerjaan dari Mobley, Horner dan Hollingworth

menunjukkan bahwa setelah tenaga kerja menjadi tidak paus, terjadi beberapa tahap (misalnya berfikir untuk meninggalkan pekerjaan) sebelum keputusan untuk meninggalkan pekerjaan diambil. Dari penelitian dengan menggunakan model ini, mereka menemukan bukti yang menunjukkan bahwa tingkat dari kepuasan kerja berkorelasi dengan pemikiran-pemikiran untuk meninggalkan pekerjaan, dan bahwa niat untuk meninggalkan pekerjaan berkorelasi dengan meninggalkan pekerjaan secara aktual. (Munandar, 2001) Variable dari intention to leave yang akan digunakan dalam penelitian ini: a) Turnover Intentions Turnover intentions (keinginan berpindah) mencerminkan

keinginan individu untuk meninggalkan organisasi dan mencari alternatif pekerjaan (Suwandi dan Indriantoro 1999). Abelson (1987) menggambarkan hal tersebut sebagai pikiran untuk keluar, mencari pekerjaan di tempat lain, serta keinginan meninggalkan organisasi. (dalam Toly, 2001). Konsep turnover intention dalam beberapa studi sebelumnya ditemukan beragam istilah dan makna, yang pada intinya merupakan suatu proses tahapan dari sebuah ketidakpuasan kerja seorang karyawan sebagai hasil sosialisasinya, yang pada akhirnya memunculkan keinginan untuk keluar atau meninggalkan organisasi (the intention to leave), dan disertai upaya untuk mengevaluasi keinginannya dan mempertimbangkan biaya pengorbanan bila

meninggalkan organisasi, sampai pada upaya-upaya mencari pekerjaan lain di tempat lain dan (job search activity) sekalipun karyawan tersebut belum keluar dari organisasi yang mempekerjakannya (intention to quit) atau pada akhirnya pun tetap memilih organisasi yang selama ini membesarkannya (stay) (Nelwan, 2008) b) Senoritas U.S. Civil Service Comissions (1977; Mobley, 1986; Novliadi, 2007) menyatakan bahwa pada setiap kelompok tertentu dari orang-orang yang dipekerjakan, dua pertiga sampai tiga perempat dari mereka yang

keluar terjadi pada akhir tiga tahun pertama masa bakti, berdasarkan data ini lebih dari setengahnya sudah terjadi pada akhir tahun pertama. Penelitian yang dilakukan oleh Joseph Evan Ochola (2008) dalam disertasinya menyatakan bahwa variable senoritas memiliki pengaruh yang kuat, baik langsung maupung tidak langsung pada intention to leave. Yang dimaksud dengan senoritas adalah termasuk bidang-bidang seperti masa jabatan, promosi, tingkat karir/jabatan dan lain-lain. c) Job Insecurity Job insecurity, merupakan ketidakberdayaan seseorang secara terus menerus dalam mewujudkan keinginannya pada sebuah situasi kerja yang menakutkan (Greenhalg dan Rosenblatt 1984; Toly, 2001). The direct path from security to satisfaction with job security sugest that tenure and promotion in rank not only protected facultys academic freedom, but also profided them with job security d) Budaya Organisasi
Pasewark dan Strawser (1996) menerangkan mengenai empat variabel pendahulu (anteseden), yang oleh Suwandi dan Indriantoro (1999) disebut prediktor, dari job insecurity berdasarkan hasil studi sebelumnya, yaitu : konflik peran (Katz dan Kahn 1978), ketidakjelasan peran (Greenhalg dan Rosenblatt 1984), locus of

control (Anderson et. al. 1977), dan perubahan organisasi (Schweiger dan Ivancevich
1985).

Berikut gambar indikator yang menerangkan model variable turnover intentions.

X 11

Turnover Intentions

X 12 X 13 X 14

X 11 : Berfikir Untuk Berhenti X 12 : Mencari Pekerjaan Lain X 13 : Memutuskan Untuk Berhenti

X 14 : Berfikir Untuk Tinggal Sumber: Mobley dalam Munandar, 2001

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Profil Perusahaan 3.2. Metode Penelitian 3.3. Sumber Data 3.4. Metode Pengumpulan Data 3.5. Instrumen Penelitian 3.6. Subyek Penelitian 3.6.1. Karakteristik Subyek Penelitian 3.6.2. Jumlah Partisipan 3.6.3. 3.7. Tekhnik Analis Data 3.8.

REFERENSI

Blaugh, R., Kenyon, A., Lekhi, R. (2007). Stress At Work. London: The Work Foundations.

Davis, Keith, dan John W.Newstorm. (1996). Perilaku dalam Organisasi. Diterjemahkan oleh Agus Dharma. Erlangga. Jakarta. 293 hlm.

Gibson, James L., John M. Ivancenvich, James H. Donely, JR. Organizations : Structure, Processes, Behavior, Dallas : Business Publications, Inc, 1973 http://fkgminfo.wordpress.com/2007/05/31/peran-hrd-dalam-perusahaan/ Handoko, T Hani. (2001). Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Edisi Kedua. Cetakan ke- 15. BPFE : Yogyakarta.

Hasibuan, Malayu SP. (2005). Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Revisi. Bumi Aksara : Jakarta.

Holbeche, Linda. (2005). The High Performance Organization : Creating Dynamic Stability and Suistainble Succsess. Oxford : Elsevier Butterworth-Heinemann.

Idrus, Muhamad. Implikasi Iklim Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja dan Kualitas Kehidupan Karyawan. Semarang: Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol. 3 Juni 2006.

Jing, Fenwick F., Avery, C.G., & Bergsteiner, Harald. Organizational Climate and Performance in Retail Pharmacies. Emerald Group Publishing Limited: Leadership & Organization Development Journal, Vol. 32 No. 3, 2011.

Nathalia, Theodosia C. (2010). Prospek Pengembangan Karier Terhadap Intensi Turnover Karyawan Terhadap Karyawan Pada Industri Perhotelan. April 2010: Hospitour Volume 1 Nomor 1.

Nadeem, M.S., Abbas, Q. (2009). The Impact of Work Life Conflict on Job Satisfaction of Employees in Pakistan. International Journal of Bussiness and Management.

Nasution, Wendi A. (2009). Pengaruh Kepuasan Kerja Karyawan Terhadap Intensi Turnover Pada Call Centre Telkomsel di Medan. September 2009: Jurnal Mandiri, Volume 4 Nomor 2.

Noe, R.A., Hollenbeck, J.R., Gerhart, B. & Wright, P.M. (2007). Fundamentals of Human Resources Managements (2nd ed). New York: McGraw Hill.

Pareke, Fahrudin Js. Hubungan Keadilan dan Kepuasan Dengan Keinginan Berpindah: Peran Komitmen Organisasional Sebagai Variable Pemediasi. Desember 2009: Jurnal Siasat Bisnis, Volume 2, Nomor 9.

Raza, Hendra. Analisis Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Keinginan Berpindah Pekerja (Studi Empiris pada Pekerja di Indonesia). Desember 2007: Jurnal Aplikasi Manajemen, Volume 5, Nomor 3.

R.A. Satria, R. Y. Hubungan Antara Komitmen Organisasi dan Iklim Organisasi dengan Kepuasan Kerja Karyawan Universitas Muhammadyah Surakarta. Desember 2005: Benefit: Jurnal Manajemen dan Bisnis, Volume 9, Nomor 2. Robbins, S.P. & Timoty A. Judge. (2006). Organizational Behaviors, 10th ed. Pearson International Edition: Prentice-Hall.

Sari, Elvira. Pengaruh Kompensasi dan Iklim Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja. Jan Apr 2009: Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Volume 16, Nomor 1.

Sempane, M.E., Rieger, H.S., Roodt, G. (2002). Job Satisfaction In Relation To Organizational Culture. SA Journal of Industrial Psychology.

Seniati, Liche. (2006). Pengaruh Masa Kerja, Trait Kepribadian, Kepuasan Kerja, dan iklim Psikologis terhadap Komitmen Dosen pada Universitas Indonesia. Depok: Makara, Soasial Humaniora, Vol. 10 No. 2

Spector, Paul E. (1997). Job Satisfaction: Application, Assessment, Causes and Consequences. USA: Sage Publication.

Sumarto. Meningkatkan Kompensasi, Kepuasan Kerja dan Motivasi untuk Mengurangi Labor Turnover Intention. Maret 2009: Jurnal Riset Ekonomi dan Bisnis Volume 9 Nomor 1.

Toly, Agus A. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Turnover Intensions Pada Kantor Akuntan Publik. November 2001: Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Volume 3 Nomor 2.

Triyanti, Agus., Santosa Santosa, T.E.C. Organizational Citizenship Behavior (OCB) Dan Pengaruhnya Terhadap Keinginan Keluar dan Kepuasan Kerja Karyawan. Mei 2009: Jurnal Manajemen Volume 7 Nomor 4.

Utami, D.R.R.B. Hubungan Iklim Organisasi dengan Kepuasan Kerja Perawat Pelaksana Di Ruang Rawat Inap RS PKU Muhamadiah Karanganyar. Yogyakarta: Jurnal Kesehatan Surya Medika.

Wallace, Joseph., Hunt, C., Richards, R. (1999). The Relationship Between Organisational Culture, Organisational Climate and Managerial Values. The International Journal of Public Sector Management

Wirawan. (2007). Budaya dan Iklim Organisasi. Jakarta: Salemba Empat.

Woods, Robert H and Macaulay, James F. (1989). R for Turnover: Retention Program that Work. Cornell Hotel and Restaurant Administration Quarterly. May, pp.78 90.

Zhang, Jianwei., Liu, Yuxin. Organizational Climate and its Effects on Organizational Variables: An Empirical Study. School of Management and Economics, Beijing Institute of Technology. December 2010: International Journal of Psychological Studies Vol. 2, No. 2.

Anda mungkin juga menyukai